Oleh:
Tim Hukumindo
Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Esensi Tindakan Penyitaan", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Sita Berdasarkan Permohonan.
Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No.: 5 Tahun 1975, pengabulan dan perintah pelaksanaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan Penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.[1] Hal ini menerangkan bahwa titik tolak adanya pengabulan dan perintah sita adalah dari adanya niat dari Penggugat yang diwujudkan dengan sebuah permohonan.
Adapun bentuk permohonannya bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut dalam HIR-RBg, terutama terkait proses beracara secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR, maka bentuk permohonan sita adalah:[2]
- Bentuk lisan (oral), hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam HIR-RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup;
- Bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan: a). Permintaan disatukan dengan surat gugatan, artinya diajukan bersama-sama dengan surat gugatan; dan b). Diajukan dalam surat tersendiri, artinya pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara. Berarti permohonan sita diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap, sikap ini dianggap berlebihan, karena dengan cara ini terdapat permohonan sita secara ganda.
Sangat lumrah jika sita diajukan dengan dua cara di atas, akan tetapi terkait dengan permohonan secara lisan, saat ini sudah sangat jarang. Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, lazimnya permohonan sita diajukan secara tertulis. Adapun hal yang menarik adalah, terkadang ada juga kuasa hukum yang mengajukan sita secara ganda, yaitu tidak hanya diajukan dalam surat gugatan, namun diajukan juga terpisah dalam persidangan. Salah satu alasannya adalah supaya ada penegasan, hal ini tidak dilarang, akan tetapi di lain sisi memang hal demikian menjadi overlapping.
____________Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 287.
2. Ibid., Hal.: 288-289.