Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-pertama saya panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan nikmat sehat sehingga saya dapat menghadiri persidangan yang sangat penting dalam sisa-sisa kehidupan saya ke depan. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankannya, semoga ibadah kita di bulan suci Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT. Aamiin…
Yang mulia Majelis Hakim, yang saya hormati Bapak-bapak Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, teman-teman dari Pertamina dan Exxon Mobil, serta rekan-rekan media, yang selalu setia mengikuti jalannya persidangan ini, khususnya kepada suami tercinta Prof. Dr. Herman Agustiawan, anak-anak saya Jemmy, Nadia, Dimas, Ruci, Dariel, cucu saya Katya beserta kakak-kakak saya, terima kasih atas atensi, empati dan waktu yang diluangkan, baik selama masa persidangan maupun saat saya menjalani kehidupan di rumah tahanan selama hampir sembilan bulan.
Saya ingin memulai pembelaan atau Pleidoi saya dengan menceritakan sedikit tentang karir saya di bidang Industri Migas. Setelah lulus dari ITB pada tahun 1983, saya memulai karir saya di sebuah perusahaan Amerika pada tahun 1984 di Mobil Oil Indonesia (MOI) sebagai Geophysicist. Pada tahun 1988-1991 saya mendapat tugas kerja (working assignment) ke Mobil Oil Dallas, sekaligus mendampingi suami saya yang sedang tugas belajar Program Doctoral (S3) di Dallas Texas, Amerika.
Saya bekerja di MOI selama 13 tahun hingga 1997, namun saya terus berkarir di berbagai perusahaan migas swasta asing (Landmark, Halliburton dll). Kemudian pada tahun 2004 saya memilih untuk menjalankan usaha sendiri dengan harapan memiliki banyak waktu luang untuk anak-anak dan keluarga saya. Keputusan ini saya buat, karena saya yakin bahwa menjadi seorang ibu dari anak-anak saya merupakan pekerjaan yang mulia, sedangkan karir di dunia Migas hanya merupakan pekerjaan sampingan yang saya lakukan untuk menunjang keluarga. Dengan keyakinan tersebut, tak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya untuk menjadi Pejabat Negara atau Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang merupakan BUMN terbesar di Indonesia.
Ternyata Allah SWT berkehendak lain, pada bulan Desember 2006 saya diminta untuk menjadi Staf Ahli Bidang Hulu Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang pada saat itu dijabat oleh Bapak Arie Soemarno. Setelah menjadi Staf Ahli sekitar setahun, saya diminta mengikuti Fit & Proper Test untuk posisi Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) dan dinyatakan lulus, dan saya dilantik pada tanggal 5 Maret 2008. Belum genap setahun, kemudian saya diminta untuk mengikuti proses seleksi yang sama untuk jabatan Dirut PT Pertamina (Persero). Saya pun lulus dari seleksi tersebut dan dilantik menjadi Dirut PT Pertamina (Persero) pada tanggal 5 Februari 2009.
Mungkin banyak yang tidak percaya bahwa pada awalnya saya menolak jabatan Dirut PT Pertamina tersebut, karena saya masih berkeyakinan bahwa pekerjaan utama saya adalah menjadi seorang ibu dan isteri. Saya sadar jika saya menjadi Dirut dari BUMN terbesar di Indonesia tersebut, waktu saya sebagai ibu dan isteri akan menjadi sangat terbatas.
Kendati demikian, saya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut dengan pertimbangan bahwa saya ingin memajukan BUMN ini dan membawanya Go international. Harapannya, jika Pertamina maju, maka hasilnya pun dapat dinikmati oleh generasi saat itu dan generasi di masa-masa berikutnya, termasuk generasi anak-anak dan cucu-cucu saya. Keinginan tersebut akhirnya saya gunakan sebagai dasar strategi saya dalam memimpin Pertamina yaitu: “Aggressive Upstream and Profitable Downstream.”
Pertamina berupaya untuk melakukan ekspansi bisnis hulu dan menjadikan bisnis sektor hilir migas menjadi efisien dan menguntungkan. Untuk mencapai perusahaan yang berkarakter aggressive upstream and profitable downstream perlu dibangun tata kelola perusahaan yang sesuai dengan standar Global best practice, serta dengan mengusung tata nilai korporat yang telah dimiliki dan dipahami oleh seluruh unsur perusahaan (Board of Director, Board of Commisioner, dan seluruh pegawai Pertamina), yaitu Clean, Competitive, Confident, Customer Focus, Commercial and Capable.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Yang dimaksud dengan Aggressive Upstream adalah Pertamina harus berani mengambil peluang investasi di sektor hulu migas, baik di dalam maupun di luar negeri, guna menjamin kelancaran pasokan migas nasional untuk jangka panjang. Sedangkan Profitable Downstream adalah Pertamina harus mencari laba yang sebesar-besarnya dari seluruh kegiatan bisnis hilir, agar Pertamina dapat menjalankan strateginya, termasuk strategi aggressive upstream tersebut.
Strategi di atas adalah bahwa bisnis hilir dijadikan sebagai penunjang bisnis hulu Pertamina. Hal ini karena bisnis hulu migas merupakan bisnis yang penuh dengan “ketidakpastian” (uncertainty). Artinya, sampai saat ini masih belum ada satu jenis teknologi pun yang secara pasti dapat menjamin keberadaan cadangan migas di bawah permukaan tanah atau di dasar laut.
Perkenankan saya memberikan sedikit pemahaman, bahwa bisnis hulu migas sejatinya adalah mencari potensi migas yang dapat dikembangkan dan diproduksi dengan mengambil risiko yang tinggi. Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa suatu blok migas pasti akan menghasilkan. Ibarat sebuah perumpamaan: Pebisnis di bidang hulu migas adalah “Petani” dan bukan “Pedagang”. Sebagaimana Yang Mulia ketahui, meskipun seorang Petani telah menanam benih terbaik dengan menggunakan pupuk yang paling mutakhir sekalipun, namun tidak ada jaminan bahwa Petani tersebut akan memanen hasilnya dengan baik. Berdasarkan kenyataan tersebut, seorang Petani memiliki dua pilihan:
Melakukan investasi dengan membeli benih dan pupuk dengan harapan akan berhasil panen dan siap menanggung risiko apabila gagal panen; atau
Tidak melakukan apa-apa, alias pasrah, sehingga Petani tersebut tidak akan mendapatkan apa-apa.
Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan untung-rugi dalam dunia hulu migas, sebagaimana telah dipertontonkan berkali-kali dalam persidangan ini oleh para Saksi dan Ahli, adalah merupakan sesuatu yang sangat “ganjil” bagi para praktisi dan pebisnis hulu migas. Dalam seluruh kegiatan eksplorasi, perusahaan migas tidak mengenal istilah Kerugian. Dalam pembukuan, seluruh biaya eksplorasi diklasifikasikan sebagai expenses (biaya/pengeluaran), tidak diklasifikasikan sebagai loss (kerugian). Jika bisnis hulu migas harus selalu meraih keuntungan, dan jika tidak untung lantas dikatakan sebagai kerugian, maka perusahaan yang berbisnis di hulu migas akan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Jika hal ini terjadi, maka pada akhirnya Indonesia akan semakin tergantung terhadap negara asing dalam pemenuhan kebutuhan migas bangsanya.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Walaupun bisnis hulu migas adalah bisnis yang penuh dengan uncertainty, namun “keyakinan” bertambah jika telah mendapat sertifikasi oleh lembaga independen terkait kandungan migas di bawah permukaan tanah melalui pendekatan Sosciety of Petroleum Engineers – Petroleum Resources Management System (SPE – PRMS). Di dunia ini hanya ada beberapa lembaga independen yang diberi lisensi untuk mensertifikasi cadangan di dunia, antara lain: RISC, Gaffney and Cline, Ryder Scott, D and M dan Beicip. Namun demikian, seperti telah disebutkan di atas, sertifikasi itupun bukan merupakan suatu jaminan 100% keberadaan migas di bawah permukaan tanah atau di dasar laut.
Setiap blok migas diawali dari blok eksplorasi. Kesimpulan sementara apakah suatu blok migas mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut (dikenal sebagai temuan atau discovery) dilakukan setelah dilakukan survei seismik dan pemboran “wildcat”, dan analisa Geologi, Geofisika & Reservoir (GGR) sebagai best engineering practice
Aset hulu migas yang paling ideal untuk Pertamina adalah aset yang memiliki tiga kriteria fase pengembangan, yaitu: (i) Sudah berproduksi, (ii) Ada temuan atau discovery dan (iii) Ada upside potential atau eksplorasi. Aspek lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah aspek kebijakan fiskal, kemudahan berbisnis, kepastian hukum dan kestabilan politik dari negara setempat. Blok BMG telah memenuhi kriteria untuk tiga fase pengembangan migas tersedut karena alasan-alasan berikut:
1. Blok Basker sudah memproduksi minyak
2. Blok Manta dan Gummy sudah ada “temuan” atau discovery, dan
3. Terdapat upside potential “eksplorasi” di Chimaera.
Selain itu, BMG terletak di Gippsland yang menyumbang produksi Migas sebesar 40% dari total produksi Australia. Sehingga wajar apabila selain Pertamina, beberapa perusahaan migas besar dunia lainnya seperti Exxon, BHP, Santos, Emperor, Apache, BP, Esso, Bass Strait Oil Company dan yang terakhir Cooper juga tertarik pada Gippsland. Di samping itu, Australia juga merupakan negara yang memenuhi kriteria/aspek lainnya yang juga dijadikan pertimbangan seperti kondisi finansial, kepastian hukum, dsb.
Untuk meminimalisasi risiko dalam mengakusisi blok hulu migas, umumnya suatu perusahaan akan masuk sebagai minoritas dan bukan sebagai operator (non-operator) terlebih dahulu. Hal ini guna mempelajari medan operasi sambil menjalin hubungan baik dengan stakeholders setempat. Setelah merasa “nyaman” dengan pengoperasian aset tersebut, kemudian dilakukan ekspansi dengan menambah persentase Participating Interest (PI) dari co-ventures yang lain, sehingga bisa menjadi majority dan akhirnya menjadi operator. Ini adalah best industry standard yang dilakukan oleh perusahaan migas pada umumnya. Namun, meskipun menjadi minority, hak dari minority tetap dilindungi dalam Joint Operating Agreement (JOA), yaitu dengan adanya fasilitas Sole Risk.
Dalam BMG, setelah diputuskannya Fase Pemberhentian Operasi (Non-Production Phase: NPP) oleh pihak majority, Pertamina sebagai minoritas sebenarnya masih bisa melakukan sole risk, yaitu secara individu melakukan pengembangan blok lainnya di Blok Manta dan Gummy maupun di Chimaera. Namun hal tersebut tidak diusulkan oleh Manajemen PT Pertamina Hulu Energi (PHE) selaku pemegang PI kepada Operator/Anzon. Meskipun saya tidak BOLEH menyalahkan kebijakan PHE tersebut, saya tetap menyayangkannya karena saat ini Manta gas field dan Sole gas field akan menjadi pemasok gas utama di daratan East dan South East Australia. Dan apabila pada waktu itu dilakukan sole risk oleh PHE, mungkin saat ini saya tidak akan berada di sini membacakan Pledoi ini.
“Saya hanya ingin mengingatkan para hadirin yang hadir hari ini di sini dan siapapun yang kebetulan membaca Pledoi saya, bahwa nanti pada saat Manta dan Chimaera mulai berproduksi dan dipublikasikan, mohon diingat bahwa pada hari ini tanggal 29 Mei 2019, ada “seseorang” yang telah berupaya keras untuk mengibarkan SANG SAKA MERAH PUTIH di Gippsland, namun tak berdaya karena dinyatakan bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum. Orang tersebut sangat berharap, nanti pada saat sudah berproduksi ada seberkas keadilan bagi dirinya dengan diberi kesempatan untuk membuka kembali kasus ini.”
Faktanya, kini Akuisisi PI di Blok BMG malah dituduh merugikan keuangan negara. Saya dituduh melakukan tindak pidana korupsi, dan bahkan Tim saya telah di-vonis dengan hukuman yang sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan fakta-fakta persidangan. Padahal akuisisi ini semata-mata dilakukan dalam rangka ekspansi guna mengembangkan perusahaan menjadi lebih besar, agar dikenal sebagai perusahaan yang mumpuni secara internasional. Akuisisi ini tidak dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau pihak/perusahaan lain, mengingat Karen Agustiawan sebagai profesional tidak pernah kenal, apalagi bersepakat dengan para pihak pemilik BMG. Selain itu, pembelian PI atau akuisisi adalah sesuatu hal yang biasa dalam dunia bisnis hulu migas.
“Saya yakin semua hadirin dan semua pihak, termasuk bapak-bapak JPU jika jujur terhadap hati nuraninya, akan sependapat bahwa sungguh tidak masuk akal jika saya sengaja melanggar ketentuan untuk menguntungkan pihak/korporasi lain, dan merugikan perusahaan yang selama ini saya telah bekerja keras menumbuh-kembangkannya menggunakan segala kemampuan dan pengalaman yang saya miliki, sekalipun harus berkorban meninggalkan keluarga sendiri.”
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Setelah pulang dari Sidang Penuntutan dari JPU pada hari Jumat, 24 Mei 2019, saya banyak merenung dan bertanya pada diri sendiri “Ada apa dengan BMG ini?” Mengapa saya bertanya demikian, karena (misalnya) di dalam tuntutan masih dipermasalahkan Evita Tagor seolah-olah telah bersaksi bahwa Akuisisi PI Blok BMG harus mengacu kepada Tata Kerja Organisasi (TKO) dan Tata Kerja Individu (TKI), padahal tidak! Perkenankan Yang Mulia saya memutar kembali rekaman persidangan terkait hal tersebut ………. (Perdengarkan rekaman!)
Yang Mulia, ini hanyalah sebuah contoh rekaman yang saya miliki, dan masih banyak lagi. Pada dasarnya, seluruh tuntutan JPU pun sudah terpatahkan sesuai dengan fakta persidangan, dan KAMI MEMILIKI SEMUA REKAMANNYA, MULAI DARI AWAL SAMPAI AKHIR PERSIDANGAN. Tidak bisa dan tidak boleh fakta persidangan diambil sepenggal-penggal sehingga menjadi tidak utuh atau tidak lengkap. Jika fakta persidangan dipenggal-penggal, maka bukan lagi fakta tapi lebih cocok disebut HOAX. Agar keadilan dapat ditegakan seadil-adilnya, ijinkan saya untuk membagikan seluruh rekaman persidangan ke media lokal maupun asing. Menurut hemat saya, pelanggaran terhadap fakta persidangan bukan hanya akan “membunuh karakter” (Character Assassination) bagi setiap pencari keadilan di persidangan, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Azazi Manusia.
“Berbagai kejanggalan tersebut telah membuat saya berpikir dan bertanya-tanya, siapa sebetulnya sponsor utama “Kasus BMG” ini? Dan apa motifnya? Politik atau Uang atau kedua-duanya? Atau hanya dendam pribadi karena urusan saudara yang tidak dipenuhi permintaannya?” Mudah-mudahan para hadirin, utamanya para awak media yang hadir di sini, paham siapa tokoh-tokoh yang dimaksud.”
Mengacu kepada tuntutan Bapak-bapak JPU yang terhormat, ada beberapa hal yang menyebabkan saya berada di sini sekarang, yaitu:
1.Keputusan BUMN terkait Good Corporate Governance
Pertanyaan saya kepada JPU: Siapa yang dianggap lebih Good Corporate Governance (GCG), yang tunduk kepada Board Manual atau yang sama sekali tidak pernah membaca Board Manual? Dan apakah Bapak-bapak JPU tahu bahwa GCG Direksi tahun 2009 justru mendapatkan nilai lebih tinggi ketimbang Komisaris. Penilaian inipun dilakukan oleh Pihak Independen.
2. Risalah Rapat Direksi (RRD)
Pertanyaan saya, apakah JPU mengetahui bahwa PT Pertamina (Persero) saat itu sedang mencoba melakukan upaya go international, karena sudah tertinggal jauh oleh muridnya sendiri, yaitu Petronas. Kalau tidak tahu, lantas mengapa tidak mencari tahu agar “kebenaran” bisa terungkap secara objektif? Sudah barang tentu, sebagai perusahaan yang mau go international harus menghormati segala perjanjian internasional.
Apakah masih kurang jelas yang telah disampaikan oleh Prof. Nur Basuki Minarno dalam kesaksiannya sebagai Ahli, bahwa “karena business nature Pertamina, maka Direksi sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) pasal 12 ayat 2 diberi keleluasaan, bahwa tidak semua keputusan dilakukan dalam Rapat Direksi sehingga tidak perlu ada dalam RRD.” Hal ini pun sesuai dengan UU PT pasal 92 ayat 2, bahwa Direksi dapat melakukan tindakan yang dianggap tepat dalam menjalankan perseroannya. Lantas kenapa sekarang Business Judgement Rule Direksi dapat di-challenge atau ditantang oleh JPU? Di mana letak kebebasan Direksi dalam hal bertindak yang dianggap “tepat” tersebut?
3. Tidak Ada Persetujuan Komisaris
Yang Mulia, mungkin masih segar dalam ingatan kita. Dalam persidangan, kedua saksi Umar Said dan Humayun Bosha menyampaikan bahwa persetujuannya hanya untuk Pelatihan SDM Pertamina dalam mengikuti bidding internasional dan tidak untuk menang. Pernyataan ini diakui oleh Umar Said dalam BAP-nya tanggal 30 Mei 2017 No 6, dan BUKAN saya! Adalah tragis jika “kualifikasi” Komisaris BUMN terbesar di Indonesia dengan mudah bisa memutarbalikan fakta dan diterima oleh JPU. Kedua komisaris di atas berpikiran bahwa sebuah Perusahan Minyak Nasional (National Oil Company) seperti Pertamina BOLEH ikut tender akuisisi blok hulu migas di Luar Negeri hanya untuk main-main. Dengan kata lain, Pertamina diibaratkan sebagai perusahaan pendamping dalam tender untuk pengadaan barang dan jasa yang umum terjadi di negeri kita.
Memorandum tanggal 30 April 2009 dari Komisaris sangat jelas bahwa persetujuan tersebut dalam rangka membalas memorandum Direksi No.517/C00000/2009-S0 tanggal 22 April 2009. Janganlah beralibi bahwa bidding bukan untuk akuisisi, karena kesaksian para Ahli, yakni: Bapak Hilmi Panigoro dan Hadi Ismoyo juga menekankan tidak ada akusisi yang hanya sampai bidding. Dalam memorandum Dirut tanggal 22 April 2009 No. 517/C00000/2009-S0 tersebut pun jelas dalam paragraf pertama yaitu untuk akuisisi PI Blok BMG. Lantas siapa yang salah jika Komisaris tidak teliti membaca surat Dirut? Dalam Lampiran memorandum tanggal 22 April 2009 ada Surat dari Citi yang menyampaikan bahwa “Binding Offers for Acquisition of a Participating Interest in BMG”. Artinya, bidding ini bersifat mengikat (Binding).
Yang Mulia Majelis Hakim,
Mengapa Komisaris yang “lalai” membaca justru tidak duduk di sini menggantikan saya? Apakah ini yang selama ini dikenal dengan istilah “target operasi atau tebang pilih?” Karena kasus ini terkesan sudah MENARGETKAN orang-orang tertentu sesuai dengan PESANAN. Saya yakin di dalam hati nurani para peserta persidangan ini, sudah tahu atas pesanan atau perintah siapa yang dimaksud. Memorandum persetujuan Komisaris tanggal 30 April 2009 adalah persetujuan “TUNGGAL” yang dibutuhkan untuk akuisisi. Artinya, persetujuan cukup SATU kali, dan bukan hanya sampai penandatanganan Sales Purchase Agreement (SPA) saja, tetapi juga sampai dengan pembentukan anak perusahaan sebagai pengelola, sesuai dengan AD pasal 11. c.
4. Melanggar TKO dan TKI Investasi
Beberapa kali dalam persidangan saksi-saksi telah menyampaikan bahwa Tata Kerja Organisasi (TKO) dan Tata Kerja Individu (TKI) adalah pedoman untuk menyusun RKAP dan RJPP yang sifatnya rutin (routine). Perlu dipahami bahwa akuisisi yang disebut dalam TKO dan TKI bukan untuk Akuisisi Migas yang merupakan investasi non-routine, karena pedoman Akuisisi Migas baru ada pada tahun 2011. Yang menjadi Pedoman untuk Akuisisi Migas sebelum tahun 2011 adalah: (i) SK 230 yang ditandatangani oleh Direktur Hulu Sukusen Samarinda pada bulan Desember 2007, (ii) SK 10 yang ditandatangani oleh seluruh Direksi pada bulan Januari 2009 dan (iii) Best Industry Standard. Yang diambil dari TKO dan TKI sesuai dengan kesaksian Direksi dalam persidangan ini adalah hanya “Parameter Investasi” saja. Dan parameter inipun sudah digunakan dalam perhitungan analisa investasi Blok BMG.
5. Merugikan Keuangan Negara
Beberapa Ahli, baik Dr. Dian Puji Simatupang maupun Irmansyah MAcc., CA, CPA, AAP telah memberikan kesaksiannya secara jelas apa itu arti dari KEUANGAN NEGARA. Keuangan Pertamina adalah keuangan negara yang DIPISAHKAN. Artinya, bukan APBN tapi sudah menjadi keuangan milik PERSEROAN. Mungkin yang hadir di sini banyak yang tidak tahu, bahwa pemerintah RI TIDAK PERNAH memberikan MODAL AWAL ke Pertamina. Modal awal yang diakui oleh Pemerintah RI adalah justru NILAI ASET Pertamina sendiri yang dibukukan di tahun 2003 sebesar Rp 84,5 Triliun. Saya yakin Kantor Akuntan Publik Drs. Soewarno di Ciputat pun, karena keterbatasan pengetahuannya, tidak mengetahui hal tersebut.
Yang mulia Majelis Hakim, kalau tidak ada Modal Awal dan Penambahan Modal dari pemerintah yang dialokasikan dalam APBN setiap tahunnya, lantas dimana letak dakwaan “merugikan keuangan negara?” Sungguh aneh bukan! Pertamina yang tumbuh dan berkembang tanpa modal dari Pemerintah, hanya dengan modal awal berupa aset yang dimiliki, tapi tiba-tiba dituduh “MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA?” Dengan kata lain, pemerintah yang tidak pernah mengucurkan modal usaha setiap tahunnya melalui APBN, tapi mendapatkan banyak manfaat seperti dividen, pajak, CSR dan lain-lain.
6. Memperkaya Roc Oil Company Ltd.
Yang mulia, masih ada dalam catatan saya ketika mengajukan permohonan Eksepsi tanggal 7 Februari 2019. Salah satu eksepsi tersebut adalah Roc Oil Company (ROC) Ltd. yang telah dianggap menerima keuntungan oleh JPU tidak pernah diperiksa secara pro justisia. Adapun bantahan JPU pada tanggal 14 Februari 2019 yaitu; “Status perkara masih dalam proses pemeriksaan untuk menentukan pihak-pihak lain yang akan diminta pertanggungjawaban.”
Jelas bahwa dalam bantahannya JPU secara tidak langsung telah MENGAKUI bahwa dakwaannya tidak cermat, karena kurangnya para pihak atau tidak lengkap untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan. Faktanya, setelah semua Saksi dan Ahli dari JPU dihadirkan ke persidangan, pihak atau korporasi yang dianggap telah diuntungkan tersebut TIDAK PERNAH DIPERIKSA, terlebih DIHADIRKAN ke persidangan. Pertanyaannya, bagaimana menghitung kerugian keuangan negara kalau tidak pernah dibuktikan secara PASTI dan NYATA berapa kerugiannya dan siapa yang telah diuntungkan? Di samping itu, seandainya pihak yang diuntungkan tersebut (ROC Ltd.) benar adanya (padahal tidak), apakah keuntungannya tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum? Hukumnya siapa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya JPU harus memeriksa dan menghadirkan ROC Ltd. sehingga bukan hanya menjadi lebih fair tapi juga menjadi terang-benderang siapa yang dirugikan, berapa dan siapa yang diuntungkan? Dengan tidak diperiksanya pihak yang dituduh telah diuntungkan tersebut maka dakwaan dan tuntutan JPU TIDAK TERBUKTI di persidangan.
Keenam poin di atas, bahkan seluruh proses akuisisi PI Blok BMG termasuk “penyusutan nilai dalam pembukuan” (impairment) yang dilakukan oleh PHE, kepada Direksi sudah diberikan “Pelunasan dan Pembebasan Tanggungjawab” (Release and Discharge) dari Pemegang Saham pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahun Buku 2009. Sehingga, seluruh tuntutan dari JPU terkait Due Dilligence, Flare Gas, Floating Production Storage and Offloading (FPSO) dan sebagainya, yang saya tidak bisa sebutkan semuanya di sini, sudah mendapatkan Release and Discharge dari Pemegang Saham.
Lantas, jika JPU masih mempersalahkan Direksi, apakah ini berarti bahwa Penegak Hukum memiliki “kompetensi” dana tau “kekuasaan” yang lebih tinggi dari RUPS atau Pemegang Saham? Jika memang demikian, maka yang perlu duduk di sini adalah Pemegang Saham Pertamina dan bukan Direksi. Saya hanya ingin mengingatkan kembali pernyataan Prof. Nur Basuki Minarno, bahwa pada saat Direksi sudah mendapatkan Release and Discharge, maka tanggungjawab Direksi sudah berpindah ke Pemegang Saham, dan itu sudah diserahkan oleh Direksi ke Pemegang Saham tertanggal 31 Des 2010. Alangkah menjadi sangat lucu apabila sidang ini menghadirkan kedua institusi pemerintah yang sedang berperkara.
“Saya memohon kepada yang mulia Majelis Hakim untuk dapat melihat realita yang terjadi di Blok BMG Australia dan bertanya: Di mana letak korupsinya? Di mana letak pelanggaran hukumnya? Di mana letak penyalahgunaan wewenangnya? Siapa yang telah merugikan keuangan negara? Dan yang paling penting, di mana dan mohon dibuktikan letak niat jahat atau mens rea saya?”
Selama hampir SEMBILAN bulan saya ditahan dan mendiskusikan masalah ini dengan berbagai pihak dari seluruh kalangan masyarakat di dalam maupun luar negeri, baik itu para praktisi dan aparat di bidang Hukum, Politik, Keuangan, Pegiat Korporasi, Akademisi, dan berbagai profesi bidang keahlian lainnya. SAYA BELUM PERNAH MENDENGAR ATAU MENEMUKAN ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SAYA PATUT DIHUKUM. Justru sebaliknya, yaitu pemerintah Indonesia seharusnya memberikan PENGHARGAAN (Reward) kepada saya. Banyak yang mengatakan bahwa kasus ini sebenarnya telah “DIREKAYASA” untuk MENGHUKUM saya, entah karena alasan apa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh teman-teman media, rekan-rekan lainnya yang hadir dalam persidangan saya hari ini.
Kendati demikian, perih hati saya selama persidangan ini karena satu-satunya pihak yang TELAH MENUDUH SAYA TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI, adalah justru yang dapat MENENTUKAN NASIB SAYA.
Namun demikian yang mulia Majelis Hakim,
“Saya masih yakin dan percaya serta berbesar hati bahwa ini BUKAN merupakan suatu “persengkongkolan” antar instansi, sebagaimana yang telah dicurigai oleh publik dan media massa selama ini.”
Yang Mulia, perlu saya sampaikan di sini bahwa Pertamina setelah menjadi Persero di tahun 2003 TELAH dan HARUS tunduk kepada UU PT dan AD PT Pertamina (Persero). Di tahun 2006, Pertamina memulai perjalanannya menjadi suatu Korporasi yang seutuhnya dengan program “Transformasi”. Guna menunjang program tersebut, pada tahun 2008 telah diterbitkan Board Manual sebagai penjabaran dari Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate Governance) yang mengacu kepada Anggaran Dasar Pertamina. Board Manual merupakan naskah kesepakatan antara Direksi dan Komisaris yang bertujuan:
1. Menjadi rujukan/pedoman tentang tugas pokok dan fungsi kerja masing-masing organ;
2. Meningkatkan kualitas dan efektivitas hubungan kerja antar organ; dan
3. Menerapkan azas-azas GCG yakni, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan fairness (kewajaran).
Tentunya dengan Board Manual diharapkan adanya hubungan yang harmonis antara Direksi dan Komisaris, sehingga Visi dan Misi perusahaan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Namun ini semua tidak akan tercapai apabila salah satu organ TIDAK TUNDUK, atau bahkan TIDAK MENGETAHUI adanya Board Manual sebagaimana diakui oleh Anggota Komisaris yang dijadikan Saksi Kunci oleh JPU dalam membuat dakwaan dan tuntutannya. Di samping itu, penggiringan opini bahwa Direksi harus me-review due dilligence dan Sale Purchase Agreement (SPA) menjadi sesuatu yang MENGGELITIK dalam persidangan ini. Karena terkait investasi hanya ada dua pasal dalam Board Manual yang mengatur tugas Direksi terkait hal tersebut yaitu:
Secara kolektif kolegial menetapkan persetujuan proyek investasi sesuai kewenangan Direksi, memantau dan melakukan koreksi terhadap pelaksanaannya. Dalam persidangan tanggal 25 April 2019 secara aklamasi Direksi menyetujui Investasi PI BMG dalam rapat 17 April 2009 (referensi: Board Manual, Pasal 3.1.7).
Direktur Hulu memberikan Prioritas peluang investasi serta menetapkan Anggaran Pembelanjaan kapital dan Operasi Kegiatan Usaha sesuai persetujuan Direksi (referensi: Board Manual, Pasal 3.2.3.7). Hal ini yang menjadikan dasar Direktur Hulu dapat menyampaikan bid atau penawaran tertanggal 1 dan 11 Mei 2009, sesuai dengan otoritas expenditure yang mencapai USD 100 juta, pertumbuhan anorganik (non-routine) sudah disetujui dalam RKAP 2009 yang juga sudah disetujui oleh Pemegang Saham, dan persetujuan Komisaris tanggal 30 April 2009. Bahkan perintah pembayaran oleh Direktur Hulu pun mengacu kepada Dokumen SPA tertanggal 27 Mei 2009. Artinya, bukan atas “MAU-MAUNYA” sendiri Direktur Hulu yang pada saat itu saya rangkap.
Terlebih lagi Saksi Dr. Waluyo sebagai Mantan Direktur SDM dalam persidangan yang sama telah menegaskan bahwa system Completed Staff Work (CSW) telah dijalankan sejak tahun 2008. CSW berarti bahwa Wewenang dan Tanggung Jawab Dibagi Habis Ke Semua Staf dalam Organisasi PT Pertamina (Persero).
Adapun tujuan dibuatnya Board Manual 2008 adalah agar PT Pertamina (Persero) dapat dinilai oleh Pihak Independen terkait penerapan GCG dalam perusahaan. Penilaian tersebut merupakan bagian yang vital dari laporan Tahunan kepada Pemegang Salam dalam RUPS.
Mungkin Yang Mulia dan para hadirin masih ingat bagaimana citra PT Pertamina di masa lampau, yang ditengarai sebagai sarang para PENYAMUN. Untuk mengubah citra buruk tersebut, saya perlu melakukan TEROBOSAN agar dunia internasional melihat perubahan tata kelola di pertamina yang akhirnya dapat membuka PELUANG BISNIS BARU.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Komisaris Utama (yang juga Mantan Panglima) dan Direktur Utama pada saat itu paham betul bahwa GCG ini dipantau oleh Pemegang Saham. Sehingga tidak heran bila terdapat sebuah pasal dalam Board Manual yakni Pasal 4.2 terkait “PERTEMUAN INFORMAL” yang sifatnya TIDAK MENGIKAT, dan TIDAK DAPAT DIJADIKAN DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN.
Tujuan utamanya adalah apabila Direksi diintervensi oleh anggota Komisaris secara lisan atau tidak tertulis, maka sekali lagi bahwa hal tersebut adalah tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan. Sehingga, jika dikatakan oleh saksi Umar Said di persidangan bahwa pertemuan informal tersebut telah “MENJIWAI” persetujuannya, maka pendapat atau pernyataan ini sungguh amat Tidak Berdasar, Ngawur dan Terkesan Tidak Paham Makna dan Tujuan dibuatnya Board Manual.
Kemudian pertanyaannya, “Apabila kepada Yang Mulia dihadapkan dua pilihan: mempercayai keterangan yang melanggar Board Manual atau mempercayai keterangan yang tunduk terhadap Board Manual, keterangan manakah Yang Mulia akan pilih?” Mungkin bagi orang yang tidak memiliki “agenda” lain, pertanyaan tersebut akan sangat mudah untuk dijawab. Saya amat sangat berharap bahwa Yang Mulia Majelis Hakim pun tidak mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Yang mulia Majelis Hakim, selanjutnya ijinkan saya menyampaikan apa yang menjadi catatan saya selama persidangan, sebagai berikut:
1. Seluruh Direksi secara aklamasi MENYETUJUI investasi PI di Blok BMG Australia dalam Rapat 17 April 2009, sebagaimana fakta persidangan tanggal 25 April 2019;
2. Persetujuan Komisaris adalah TUNGGAL dan FINAL sejak 30 April 2009 sampai dengan pembentukan Anak Perusahaan, termasuk penandatangan SPA dan diakui oleh Direksi serta Tim Legal Pertamina, sesuai fakta persidangan tanggal 25 April 2019;
3. Seluruh temuan Due Dilligence tanggal 17 April 2009 telah dimitigasi dan diindemnifikasi dalam SPA dan JOA, kecuali ketidakpastian (uncertainty) dalam bisnis hulu Migas dan cuaca (yang merupakan alasan terjadinya NPP) oleh tim Legal Pertamina. Hal ini diungkapkan oleh seluruh Saksi BagianLegal PT Pertamina (Persero) pada persidangan (fakta persidangan) tanggal 25 April 2019; Sekali lagi saya tekankan di sini bahwa terjadinya NPP tidak ada hubungannya dengan temuan Deloitte, Baker McKenzie dan atau Persetujuan Komisaris.
4. Tuduhan Harga Akuisisi Kemahalan adalah TIDAK BENAR dan TIDAK BERDASAR. Hal ini terbukti dari tiga Lembaga Independen Internasional yang menyatakan harga Pertamina lebih rendah, yaitu: JP Morgan Asia Pacific Equity Research (30%), UBS Investment Research (25%), Macquarie Research Equities harga Pertamina harga wajar pasar;
5. Dinamika dengan Komisaris timbul karena Komisaris Tidak Tunduk kepada Board Manual dan Tidak Mematuhi prinsip-prinsip GCG. Inipun sudah diakui oleh saksi Humayun Bosha bahwa belum pernah membaca Board Manual sampai kasus PI BMG ini diajukan ke persidangan pada tanggal 11 April 2019;
6. Karena Komisaris tidak tunduk kepada Board Manual dan melakukan intervensi dengan menyuruh divestasi secara tertulis, maka Komisaris-lah yang mengakibatkan Pertamina tidak ada lagi di Gippsland Australia bagian selatan. Dengan kata lain, jika JPU menuntut adanya kerugian keuangan negara, maka yang paling layak dimintakan pertanggungjawaban adalah Dewan Komisaris, karena Memorandum Dewan Komisaris tanggal 23 Juni 2009 terkait divestasi Tidak Pernah Dicabut. Pertanyaannya, mengapa Komisaris sebagai penyebab utama hilangnya kesempatan bisnis di Gippsland, dianggap benar di mata Hukum? Apakah tidak menjadi perhatian JPU bahwa salah satu Komisaris, Humayun Bosha, diberhentikan di bulan Mei 2010 oleh RUPS? Mengapa? Apakah tidak terlintas bahwa hal tersebut terjadi karena yang bersangkutan telah gagal paham terkait seluruh aturan dan etika korporasi yang terdapat di Persero saat itu? Dan kemudian menyusul pemberhentian anggota Komisaris lainnya, yakni Umar Said.
7. Terkait permohonan maaf Dirut PT Pertamina (Persero) kepada Komisaris yang menjadi salah satu hal yang diuraikan dalam dakwaan yang disampaikan di persidangan, bukanlah hal prinsipil dan bukan juga pengakuan bahwa saya dan direksi bersalah, melainkan permintaan maaf tersebut merupakan etika ketimuran, apalagi kepada kolega atau mitra yang lebih tua. Permintaan maaf tersebut saya lakukan semata-mata hanya untuk mengikuti saran dari saksi Umar Said. Hal ini seperti yang dikatakannya dalam persidangan tanggal 11 April 2019, bahwa yang bersangkutanlah yang meminta saya untuk bersurat meminta maaf kepada komisaris. Saya pikir hal itu suatu kebaikan, sehingga saya tidak melihat masalah jika saya lakukan demi hubungan baik, dan bentuk takzim saya kepada kolega yang lebih senior.
8. Walaupun tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana hanya berada di tahun 2009 – 2010 sebagaimana tercantum di dalam Surat Dakwaan, namun saya memperhatikan bahwa surat perintah withdrawal dari Dirut Pertamina (Persero) ke Dirut PHE menjadi barang bukti Jaksa Penuntut Umum. Pertanyaan: MENGAPA ADA BARANG BUKTI YANG TERPENGGAL-PENGGAL? Saya mempunyai barang bukti yang sangat lengkap, mulai dari permohonan divestasi oleh Dirut PHE kepada Direktur Hulu saat itu, sampai dengan permohonan dari Direktur PIMR kepada Direksi Korporat terkait divestasi yang dibatasi oleh waktu dan bila batas waktu habis, maka harus dilakukan withdrawal. Hal ini telah disetujui oleh seluruh Direksi, Dewan Komisaris dan Kementrian BUMN. APAKAH SAYA SELAKU DIRUT MEWAKILI PERSEROAN MELANGGAR KEWENANGAN BERSURAT KE PHE SETELAH MENDAPAT SELURUH PERSETUJUAN TERSEBUT DI ATAS? Dalam Pledoi ini saya lampirkan secara utuh dan lengkap seluruh dokumen terkait divestasi sampai dengan withdrawal. Selain itu, kronologi singkat dari mulai proses investasi akuisisi PI Blok BMG sampai dengan keputusan divestasi/withdrawal, akan terlihat bahwa peran saya sangat minim dan sesuai dengan tupoksi sebagai Direktur Utama merangkap sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Hulu.
9. Setelah membaca tuntutan, saya ingin bertanya kepada JPU, “Apakah pernah membaca seluruh dokumen SPA dan JOA, serta memahami semua isi dari kedua dokumen tersebut?” Karena dalam akuisisi PI Blok BMG ini, kedua dokumen tersebut merupakan dokumen “sakral” untuk semua pihak. Jika memang TIDAK PERNAH DIBUKA, DIBACA dan DIPAHAMI, tidak heran Yang Mulia, tuntutan 22 temuan Deloitte dan 4 dari Baker Mckenzie, masih saja dituduhkan oleh JPU kepada saya bahwa saya telah mengabaikan temuan-temuan tersebut.
10. Seluruh kegiatan investasi PI BMG di tahun 2009 dan withdrawal di tahun 2013 telah mendapatkan persetujuan RUPS, dan telah memperoleh Acquiet Et de Charge (pelunasan dan pembebasan tanggung jawab) tanpa catatan khusus.
11. Bahwa pembelian PI Blok BMG bukan merupakan ranah pidana dan bukan merupakan suatu kejahatan terlihat dari sikap dan penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2012 yang telah melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terkait akusisi PI Blok BMG. BPK sangat paham akan konsep “petani” dan bukan “pedagang” dalam bisnis Hulu Migas yang sifatnya “uncertainty” di atas, dan oleh BPK tidaklah dijadikan permasalahan.
12. Di dalam tuntutan JPU, banyak sekali dokumen resmi Persero yang tidak dijadikan bahan pertimbangan tuntutan dikarenakan oleh sesuatu hal yang saya tidak pahami. Beberapa diantaranya adalah:
a. Board Manual
b. SK 230
c. SK 10
d. Laporan PDTT BPK, April 2012
e. SPA
f. JOA
g. Pertemuan Komisaris dengan Wadirut tertanggal 26 Mei 2009, meskipun dalam rapat tersebut dibahas Blok BMG, namun tidak ada permintaan Komisaris untuk pembatalan penandatanganan SPA.
h. Kelengkapan Dokumen Divestasi dan Withdrawal PI Blok BMG
“Padahal jika JPU betul-betul ingin mencari kebenaran dan bukan pembenaran, maka Yang Mulia, seharusnya seluruh dokumen tersebut dijadikan bahan pertimbangan.”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan dan tindakan saya selama menjadi Direktur Utama Pertamina (Persero) merupakan bagian dari aksi korporasi. Sehingga muncul kembali pertanyaan besar, yakni:
“Di mana saya telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertindak di luar kewenangan saya sebagai Dirut Pertamina, sehingga karenanya telah merugikan keuangan negara dan saya harus meratap dalam tahanan yang sudah berjalan hampir sembilan bulan, serta harus berpisah dengan keluarga, kerabat dan handai tolan?
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Banyak lagi fakta-fakta persidangan, karena memang sifatnya yang terbuka dan direkam, serta diterjemahkan dan sudah didengar oleh para pegiat Hulu Migas secara nasional maupun internasional. Mereka berpendapat bahwa KASUS BMG INILAH YANG PERTAMA KALI ADA DI DUNIA, BAHWA BISNIS HULU MIGAS YANG SIFATNYA “UNCERTAINTY” DAPAT DIKRIMINALISASI SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA KORUPSI.
Jika hal tersebut dibenarkan, maka janganlah bermimpi bahwa Pertamina akan menjadi Singa Asia melampui Petronas Malaysia, apabila pemahaman Bisnis Hulu Migas saja tidak ada. Dan jangan bermimpi bahwa Pertamina akan menjadi suatu perseroan yang besar mengalahkan Temasek Singapura, apabila pemahaman terkait laporan Keuangan Konsolidasi Tahunan dan Acquit Et de Charge oleh RUPS saja tidak memiliki makna dan tidak berkekuatan hukum yang pasti. Terakhir, Indonesia jangan bermimpi bisa Mandiri Energi kalau harus selalu tergantung pada impor sebagai akibat dari tata kelola pemerintahan dalam bidang migas tidak memiliki kepastian hukum.
Yang Mulia Majelis Hakim, tanpa bermaksud menyombongkan diri, ijinkan saya menyampaikan keberhasilan saya sebagai Dirut PT Pertamina (Persero) periode 2009 – 2014 sebagai berikut (USD 1 = Rp. 10.000):
1. Pajak yang Disetor: Rp. 309,19 Triliun
2. Dividen yang Disetor: Rp. 45,02 Triliun
3. Total Pendapatan: USD 367,1M (Rp. 3671 Triliun).
4. Total Keuntungan Bersih: USD 13,2 Miliar (Rp. 132 Triliun).
5. Penambahan nilai aset
2008: USD 26,7M (Rp. 267 Triliun)
2014: US$ 50,7 (Rp. 507 Triliun).
Kenaikan Nilai Aset: Rp. 240 Trilun (dalam waktu 5 tahun)
6. Masuk Peringkat 122 & 123 dalam Fortune Global 500 Company (2012 & 2013).
7. Pencapaian Tingkat GCG: 2009 (83.56%) ; 2014 (94%)
8. Tercatat di Dunia sebagai CEO Pertama Wanita di Perusahaan Migas dan Masuk Rekor MURI.
9. Asia 50 Most powerfull Business Women Versi Forbes 2012.
(Referensi: Laporan PT Pertamina Persero 2009 -2014)
Dengan segala kerendahan hati, saya mohon yang Mulia berkenan membandingkan prestasi saya tersebut di atas dengan Dirut-dirut sebelum maupun sesudah saya. Seluruh keberhasilan di atas, tentunya telah memberikan kontribusi yang sangat positif untuk negeri dan bangsa ini, dan dapat dijadikan pertimbangan yang Mulia dalam membuat putusan untuk kasus ini. Bahwasanya tidak semua keputusan saya dapat membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan, namun secara overall atau keseluruhan dengan Business Judgement matang yang saya peroleh selama karir saya di Industri Migas, justru Pertamina menjadi lebih maju dan namanya menjadi lebih harum di dunia selama kepemimpinan saya.
Sebelum menutup pleidoi ini, ingin saya sajikan salah satu illustrasi bagaimana pihak luar berkomentar terkait apa yang menimpa diri saya. Beliau adalah salah satu CEO Konsultan Migas terbesar dunia, dan berikut adalah bunyi suratnya kepada anak saya yang bungsu, Dariel:
———- Forwarded message ———
From: McCreery, John <John.McCreery@bain.com>
Date: Thu, Apr 25, 2019 at 7:50 AM
Subject: Personal
To: darielmj@gmail.com <darielmj@gmail.com>
Cc: mccreery.john@gmail.com <mccreery.john@gmail.com>
Dear Dariel,
I just wanted to send you an email to say how sorry I was to hear about your mother’s ongoing trail and detention in Indonesia. I know it must be very distressing and upsetting for her and all of your family.
Could I ask you to pass on my message of support to your mother at this difficult time? I have always and continue to hold her in the highest professional regard and it was always a privilege to meet with her. Please be reassured that I know, as many of us outside Indonesia do, that she always acted in the best interests of Pertamina and was a breath of fresh air for the organization.
With best wishes – take care.
John
John McCreery
Partner
Bain & Company, Inc. | One Houston Center, 1221 McKinney Street, Suite 3600
| Houston, TX 77010 | United States
Tel: +1 857 277 3637
Web: www.bain.com | Email: John.McCreery@Bain.com
Yang Mulia, kata-kata “breath of fresh air” atau “menghirup udara segar” malah dianggap sebagai koruptor di negaranya sendiri. Sungguh tragis,
“Saya tidak tahu apakah saya salah satu yang tidak diinginkan untuk menjadi Warga Negara Indonesia atau ada alasan lain. Mengingat pihak di luar Indonesia lebih bisa mengapresiasi saya sebagai seorang profesional.”
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saya tidak pernah berkeinginan untuk menjadi Dirut PT Pertamina (Persero). Sesungguhnya, keluarga saya semuanya agak “keberatan” ketika saya mengambil jabatan ini mengingat saya satu-satunya wanita dalam keluarga karena saya memiliki tiga anak laki-laki.
Saya juga teringat ketika salah satu anak saya sedih karena social media twitter di mana terdapat komentar-komentar negatif terkait saya, yakni pada saat Program Transformasi Minyak Tanah ke LPG karena pada saat itu banyak tabung LPG yang meledak akibat kurangnya penyuluhan. Tentunya yang Mulia dapat membayangkan betapa beratnya untuk anak saya yang pada saat itu masih remaja mendengar dan melihat cacian yang terkasar dilontarkan kepada ibunya dalam suatu platform atau media yang dapat diakses oleh publik.
Oleh karena kondisi di atas, tidak lama setelah saya menjabat sebagai Dirut, seluruh anak saya memilih untuk tinggal di luar negeri agar tidak ter-ekspose kepada hal-hal tersebut. Hampir selama tiga tahun terakhir saya menjabat sebagai Dirut, saya harus berpisah negara dengan anak-anak saya. Bukan hanya tidak bisa memperhatikan kehidupan kesehariannya, tetapi juga saya tidak mampu menghadiri acara wisuda mereka karena kesibukan dalam menjalankan tugas-tugas sebagai Dirut Pertamina.
“Pengorbanan tersebut saya lakukan demi kebaikan negara dengan harapan hasilnya (kelak) dapat dinikmati oleh bangsa ini.”
Pada September tahun 2014 saya memutuskan untuk berhenti karena saya menyadari bahwa anak saya yang paling kecil sudah hampir tamat SMA, dan selama ini dia harus tumbuh tanpa adanya sosok ibu yang utuh. Saya baru menyadari bahwa saya telah melalaikan pekerjaan utama saya, dan saya perlu kembali fokus pada pekerjaan utama saya yang sangat mulia tersebut.
Yang Mulia, silahkan cek publikasi-publikasi yang ada, bahwa benar adanya saya mengundurkan diri, dan bukan diberhentikan! Ini merupakan yang pertama yang pernah terjadi dalam sejarah PT Pertamina (Persero). Oleh karenanya, sangat mengusik hati saya ketika kasus BMG ini sampai naik ke persidangan, apalagi ketika saya dituduhkan melakukan tindak pidana korupsi. APABILA SAYA PERNAH MELAKUKAN KORUPSI, SAYA TIDAK AKAN MENGUNDURKAN DIRI DARI JABATAN DIRUT PERTAMINA, AGAR DAPAT MELAKUKAN LAGI DAN DAPAT TERLINDUNGI DARI APARAT PENEGAK HUKUM MENGINGAT JABATAN TERSEBUT SANGAT DEKAT DENGAN KEKUASAAN.
Tidak lama mengundurkan diri dari Pertamina untuk mengerjakan pekerjaan mulia sebagai ibu, saya kembali diusik dengan adanya berbagai jenis pemeriksaan dari Kejaksaan Agung. AKHIRNYA PADA TANGGAL 24 SEPTEMBER 2018 SAYA HARUS DIPISAHKAN LAGI DARI KELUARGA SAYA DAN MENJADI TAHANAN KEJAKSAAN AGUNG UNTUK KASUS YANG LEMAH DAN DIPAKSAKAN INI.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,
Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup, saya yakin dan percaya di dalam hati yang Mulia tahu bahwa mengacu kepada fakta persidangan saya TIDAK BERSALAH. Saya bermohon keberanian yang Mulia untuk mengambil putusan tersebut, karena penyelidikan dan penyidikan telah dilakukan oleh para jaksa yang saya yakini tidak memahami baik secara Teknis maupun karakter Bisnis Hulu Migas. Yang Mulia, diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang memadai serta waktu yang relatif lama untuk memahami dengan benar terkait hal-hal Teknis dan Bisnis Akuisisi Hulu Migas.
Mengingat usia saya yang sudah memasuki senja, dan seluruh pengorbanan yang saya dan keluarga saya berikan untuk negara selama ini, berikanlah saya kesempatan untuk dapat kembali kepada keluarga dan menjalankan pekerjaan utama saya sebelum saya dipanggil untuk menghadap ke Allah S.W.T.
Oleh karena pengadilan ini adalah tempat mencari keadilan, bukan ketidakadilan apalagi penghukuman, maka dengan alasan ini pula saya mohon sudilah kiranya Majelis Hakim MENOLAK TUNTUTAN Jaksa Penuntut Umum dengan menyatakan bahwa TUNTUTAN TERSEBUT BUKAN UNTUK KEADILAN, MELAINKAN UNTUK PENGHUKUMAN, sehingga Dakwaan JPU TIDAK TERBUKTI secara sah dan meyakinkan.
Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah saya uraikan secara rinci di atas, sekali lagi saya memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Persidangan ini agar berkenan MEMBEBASKAN saya, Karen Agustiawan, dari semua tuntutan JPU.
Demikian Pembelaan dari saya. Atas perhatian dan kebijaksanaan Yang Mulia saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah, rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin Ya Rabbal Alamin…
Wassalamualaikum Warahmatullahih Wabarokatuh.
Jakarta, Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI,
29 Mei 2019
Hormat saya,
Ttd.
Karen Agustiawan
1. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
2. "Nota Pembelaan Karen Agustiawan", petrominer.com., 2 Juni 2019, Penulis: Prismono, diakses pada tanggal 29 Desember 2021, https://petrominer.com/nota-pembelaan-karen-agustiawan-bagian-1/