Sabtu, 03 Desember 2022

Crypto Master Falls Poor, His Company Debts IDR 48 Trillion!

(detik.com)

By:
Team of Hukumindo

Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about "Wealthy Startup Founder Turns Out to be a Fraudster, Jailed for 11 Years", "Bernie Madoff, The Story of the Biggest Ponzi Scheme Scam in History", you may read also "Related To The Balikpapan Bay Oil Spill Case, Pertamina Won the Lawsuit" and on this occasion we will discuss about 'Crypto Master Falls Poor, His Company Debts IDR 48 Trillion!'.

Crypto exchange company FTX, which claimed to be bankrupt, turned out to be heavily in debt. According to court documents, this US-based company has loans totaling USD 3.1 billion or around IDR 48.7 trillion to its 50 biggest creditors. As reported, FTX has collapsed and its founder, Sam Bankman Fried, has fallen into poverty. From the beginning, Bankman's assets were in the range of USD 16 billion or Rp. 247 trillion, now there is nothing left at all.[1]

As quoted by detikINET from the BBC, in previous bankruptcy filing documents, it was revealed that FTX may have debts to more than 1 million individuals and businesses. It is not yet clear how many people who have invested in FTX will get their money back later. Some experts estimate that they will only get a small portion of the funds they have invested.[2]

FTX said it was reviewing its global assets and would reorganize part of the business. The court will soon decide whether FTX deserves to be declared bankrupt. Sam Bankman himself is currently still in his residence in the Bahamas. The FBI is reportedly exploring the possibility of Bankman's extradition to the United States. According to Bloomberg sources, the extradition effort involves the FBI and the talks have intensified in recent days. Authorities want to know the extent of Bankman's involvement in FTX's downfall. "At this time, Sam Bankman Fried, Gary and Nishah are under surveillance in the Bahamas, which means it will be difficult for them to leave," said an anonymous source.[3]

So how did the FTX collapse start? FTX has its own currency called FTT. It is indicated in a leaked document that an FTX investment company called Alameda Research, has been fully stocked with FTT tokens, of dubious value, to artificially inflate its assets. This prompted another crypto exchange company, Binance, to dump all of its FTT tokens on the market, triggering panic. Consumers directly withdraw their money from FTX billions of dollars.[4] And if you have any legal issue with this topic, contact us then, feel free in 24 hour, we will be happy to assist you. 


*) For further information please contact:
Mahmud Kusuma Advocate
Law Office
Jakarta - Indonesia.
E-mail: mahmudkusuma22@gmail.com

________________
References:

1. "Juragan Kripto Jatuh Miskin, Perusahaannya Ngutang Rp 48 Triliun!", detik.com., Diakses pada tanggal 22 November 2022, https://inet.detik.com/business/d-6417553/juragan-kripto-jatuh-miskin-perusahaannya-ngutang-rp-48-triliun
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.

Jumat, 02 Desember 2022

Wealthy Startup Founder Turns Out to be a Fraudster, Jailed for 11 Years

(gettyimages)

By:
Team of Hukumindo

Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about "Elza Syarief, Salah Satu Advokat Perempuan Populer Indonesia", "Bernie Madoff, The Story of the Biggest Ponzi Scheme Scam in History", "How To Report Online Scammer Or Fraud To The Police In Indonesia" you may read also "Case of Boredom at Work" and on this occasion we will discuss about 'Wealthy Startup Founder Turns Out to be a Fraudster, Jailed for 11 Years'.

Elizabeth Holmes, the founder of startup Theranos who was once one of the richest women in the world, was sentenced to more than 11 years in prison. He was found guilty of deceiving investors about the effectiveness of his company's blood test kits. "I feel deep sorrow for what people have gone through because of my failure. To investors and patients, I apologize," he said, quoted by detikINET from CNBC. The 38-year-old woman's lawyers initially argued that the maximum sentence for her was 18 months. However, the judge rewarded him 11 years and 3 months behind bars.[1]

The startup Theranos' business model is to run blood tests with its own technology that requires only a small sample. This test is claimed Holmes can instantly detect medical conditions such as cancer and high cholesterol. Investors also came because they were promised to reap big profits. Holmes also became one of the richest women in the United States in 2014, according to calculations by Forbes.[2]

Holmes's name is increasingly known, he is widely covered in the media. He often attends prestigious events such as TED Talks where he shares the stage with Bill Clinton and Jack Ma. Outsiders are widely interested in Theranos. One of them is Walgreens retail, which opened a blood test center with Theranos technology. "I know he had this brilliant idea and he managed to convince all these investors and scientists," said Dr. Jeffrey Flier, former dean of Harvard Medical School, having lunch with Elizabeth Holmes in 2015. In August 2015, the FDA government agency finally began investigating Theranos. Government regulators later found the blood tests Theranos performed on patients were inaccurate.[3]

In October 2015, the influential Wall Street Journal published findings about Theranos that turned out to be dubious technology. This news sparked a deeper downfall for Theranos and Holmes. John Carreyrou, a reporter for the Wall Street Journal, revealed that the Theranos blood test machine, called the Edison, could not give accurate results. Because of this, Theranos seems to be using the same machines as other traditional blood test companies, rather than its own technology.[4] And if you have any legal issue with this topic, contact us then, feel free in 24 hour, we will be happy to assist you. 


*) For further information please contact:
Mahmud Kusuma Advocate
Law Office
Jakarta - Indonesia.
E-mail: mahmudkusuma22@gmail.com

________________
References:

1. "Pendiri Startup Kaya Raya Ternyata Penipu Dibui 11 Tahun", detik.com., Diakses pada tanggal 21 November 2022, Link: https://inet.detik.com/law-and-policy/d-6415895/pendiri-startup-kaya-raya-ternyata-penipu-dibui-11-tahun
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.

Kamis, 01 Desember 2022

Elza Syarief, Salah Satu Advokat Perempuan Populer Indonesia

(detik.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Related To The Balikpapan Bay Oil Spill Case, Pertamina Won the Lawsuit", "Elza Syarief, Salah Satu Advokat Perempuan Terkemuka Indonesia", "Mr. Iskak Tjokroadisurjo, Membuka Kantor Hukum Pertama di Batavia" dan "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Elza Syarief, Salah Satu Advokat Perempuan Populer Indonesia'.

Latar Belakang dan Pendidikan

Elza Syarief berasal dari keluarga Minangkabau. Ia anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya Drs. Syarief Samsuddin, seorang dosen ekonomi lulusan dari Universitas Indonesia tahun 1958. Ayahnya merupakan pejabat tinggi pada Bank Rakyat Indonesia, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Muda Bank Rakyat Indonesia dan ibunya Betty Boerhanuddin lahir di Palembang.[1]

Elza meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya pada 1987, Magister Hukum di bidang Hukum Bisnis dari Universitas Padjajaran pada tahun 2003 dengan nilai Cumlaude, dan Doktor di bidang Hukum Bisnis dari Universitas Padjajaran pada 2009 dengan nilai Cumlaude.[2] Ia juga menjadi dosen di Universitas Internasional Batam sejak 2010.[2]

Elza banyak dikenal sebagai kuasa hukum para selebritis dan pengusaha. Selain itu ia juga menjadi dosen tetap di Universitas Internasional Batam untuk pasca sarjana dan di beberapa universitas antara lain Universitas Jayabaya, Universitas Tarumanegara, Universitas Tujuh Belas Agustus 1945, Universitas Pancasila, Iblam dan juga sebagai pengajar tetap bagi para calon advokat di FHP Law School, serta di Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (PERHAKHI).[3]

Pada Tahun 2013 Elza Syarief menjadi Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) lalu pada tanggal 17 Februari 2016 Elza Syarief mendirikan organisasi Perkumpulan Perempuan Wirausaha Indonesia (PERWIRA) dan pada 21 Maret 2022 terpilih kembali untuk kedua kalinya menjadi Ketua Umum Perkumpulan Perempuan Wirausaha Indonesia (PERWIRA) periode 2022- 2027. Organisasi Perwira merupakan organisasi pertama yang mana Anggaran Dasarnya menetapkan tentang penggunaan Digital untuk kegiatan PERWIRA termasuk juga untuk kegiatan kongres pusat maupun daerah.[4]

Elza Syarief hingga saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum di Ikatan Keluarga Minang. Pada tahun 2014 s/d 2019 Elza diangkat sebagai Ketua Umum Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI). Elza Syarief juga sebagai Pendiri  DPP Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada tahun 2010 dan Elza Syarief menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sejak tahun 2004-2015.[5]

Karier Advokat

Karier pengacaranya bermula ketika ia ikut bergabung dengan Ikatan Warga Satya, yaitu kumpulan mantan CPM maupun POM AD. Elza sempat berkarier di kantor pengacara milik O.C. Kaligis sebelum akhirnya pada tahun 1991 ia membuka kantor hukum sendiri, Elza Syarief & Partner. Elza banyak menangani kasus-kasus korporat besar, terutama perusahaan milik keluarga Soeharto. Beberapa perusahaan yang ditanganinya ialah Mandala Permai, Citra Nasional, Timor Motor, Timor Industri Complement, Mandala Citra Unggulan, serta Humpuss.[6]

Penampilannya tenang, simpatik, sabar serta cerdas dengan pengalamannya sebagai pengacara kawakan, menumbuhkan kepercayaan di keluarga Soeharto. Dia pernah menjadi pengacara Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Rukmana. Namanya sontak menjadi terkenal setelah ia menjadi kuasa hukum Tommy Soeharto dalam kasus tukar guling Bulog dengan Goro, perusahaan milik Tommy. Dan Tommy bebas dalam kasus ini yang ditangani oleh Elza Syarief.[7]

Demikian juga kasus yang menarik Perhatian yaitu kasus korupsi Nazaruddin dalam perkara Wisma Atlet dan 39 kasus lainnya. Selain menjadi advokat korporat besar, Elza juga sering menangani kasus-kasus selebritis. Beberapa kasus selebritis yang telah ia tangani antara lain kasus Kristina dalam upaya perceraiannya dengan Al-Amin Nasution, sebagai pengacara MD Entertainment yang berkasus dengan Cinta Laura, menjadi pengacara Maia Estianty dalam upaya perceraian dengan Ahmad Dhani, kuasa hukum Tamara Bleszynski, Cut Memey, Cut Keke, Nikita Willy, aktor Gary Iskak, Emilia Contesa, kuasa hukum Denada Tambunan dan adiknya tentang warisan, Denada Tambunan tentang perceraian, Jessica Iskandar serta pembela Ratu Felisha dalam kasus pemukulan Andika. Adjie Massaid, Anjasmara, Manohara, Ratna Sarumpaet, dan masih banyak lagi. Elza juga menjadi anggota advokat Tim Merah Putih yang mengusung pasangan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa untuk gugatan hasil Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi.[8]

Pada tahun 2006, Elza ikut serta mendirikan Partai Hanura tetapi ia dipecat pada tanggal 24 Juli 2014 karena Elza tidak setuju adanya pernyataan bahwa  Prabowo dinyatakan telah melanggar HAM begitu juga dengan pamannya bernama Mayjen TNI (Purn) Chairawan K. Nursyiman dinyatakan melanggar HAM padahal Elza adalah kuasa hukum dari kurang lebih 50 jenderal yang dianggap melanggar HAM dan telah memperjuangkannya bersama-sama Mayor Jenderal TNI (Purn) Zacky Anwar Makarim untuk melakukan upaya hukum sehingga akhirnya dinyatakan oleh Dunia Internasional bahwa di Indonesia tidak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI.[9]

Tetapi kemudian pada bulan Februari 2015, Elza dipilih oleh Bapak Wiranto dan masuk kembali di Partai Hanura dan menjabat sebagai Ketua Perempuan. Kemudian pada bulan Maret 2015 karena kesibukannya, Elza mengundurkan diri dari Partai Hanura. Kemudian akhir April 2015, Elza dilantik oleh Bapak Prabowo Subianto menjabat sebagai Ketua Divisi Penyelesaian Sengketa di Mahkamah Konstitusi Gerindra.Kemudian tahun 2019 Elza ditunjuk sebagai Ketua Mahkamah Partai di Partai Berkarya tetapi Partai Berkarya diambil alih oleh Muchdi P.R. Elza juga sebagai kuasa hukum dari Eurico Guterres orang NTT pro integrasi dan akhirnya di Mahkamah Agung dia dibebaskan. Elza juga sebagai Kuasa Hukum Fadel Muhammad Wakil Ketua MPR RI. Elza menjadi Narasumber di berbagai Televisi dan Acara-Acara di berbagai Televisi.[10] 
____________________
References:

1. "Elza Syarief", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 29 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Elza_Syarief
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.

Senin, 28 November 2022

Sudargo Gautama, Advokat Dan Ahli Hukum Perdata Internasional

(belbuk.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Bribery in Corruption Act", "Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu", "Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum" dan "Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sudargo Gautama, Advokat Dan Ahli Hukum Perdata Internasional'.

Biografi Singkat

Sudargo Gautama memiliki nama asli Gouw Giok Siong (lahir di Jakarta, tahun 1928) adalah seorang pakar hukum perdata internasional dan hukum antar golongan. Dia meraih gelar doktor di Universitas Indonesia, dengan disertasi: Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran pada tahun 1955.[1]

Sebagai seorang mahasiswa di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia, Gautama muda dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan tekun. Beliau memulai kuliah di pertengahan tahun 1947 dan lulus untuk layak menyandang gelar meester in de rechten (Mr) pada 18 Desember 1950. Dengan demikian, masa studi yang normalnya 4-5 tahun diselesaikannya dalam waktu tiga setengah tahun![2]

Demikian antara lain cerita yang dikisahkan kepada penulis oleh Dr. Ko Swan Sik, juniornya di UI, yang kemudian menjadi Guru Besar Hukum Internasional di Erasmus Universiteit, Rotterdam. Disertasi Prof. Gautama yang berjudul “Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran” adalah disertasi hukum pertama yang ditulis dan dipertahankan dalam bahasa Indonesia. 12 Disertasi yang berhasil dipertahankan di awal tahun 1955 di depan sivitas akademika UI tak pelak menyita perhatian banyak penyelidik ilmu hukum dan bahasa di Van Vollenhoven Instituut, Universitas Leiden, Belanda. Khususnya mereka yang mempelajari bahasa hukum sebagai topik disertasi. Beliau mengakui bahasa Indonesia-nya yang masih bersifat terlampau “pasaran dan penuh hollandismen” sebagai kelemahan.[3]

Tanpa banyak pemberitaan, pada hari Senin 8 September 2008 di Perth, Australia telah berpulang salah seorang yuris terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam usia 80 tahun. Prof. Gautama, yang memiliki nama Tionghoa Gouw Giok Siong, sampai dengan akhir hayatnya adalah Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.[4]

Advokat Dan Ahli Hukum Perdata Internasional

Sebagai seorang advokat, beliau pernah bergabung bersama Mr. A. A. Maramis dan Mr. Iwa Kusumasumantri dalam satu kantor advokat. Nama yang disebut pertama adalah mantan anggota BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia, sedangkan nama yang disebut terakhir adalah Rektor pertama Universitas Padjadjaran. Terakhir beliau berkantor di Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama and Associates yang terletak di bilangan elit ibukota, Jl. Merdeka Timur, Gambir.[5]

Sebagai advokat beliau dalam banyak kesempatan telah membela kepentingan Republik Indonesia di berbagai forum pengadilan di mancanegara. Hal ini paling tidak dimulai dari perkara yang kemudian terkenal dengan nama The Bremen Tobacco Case, di Bremen, Republik Federal Jerman. Kasus ini berawal dari terbitnya Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, perusahaanperusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi dan dinyatakan sebagai milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. Perkebunan tembakau milik NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah-Maatschappij, keduanya adalah perusahaan Belanda, ikut dinasionalisasi dengan ganti kerugian yang akan ditetapkan kemudian. Sebagai gantinya Indonesia mendirikan Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru.[6]

Pemerintah kemudian menetapkan Bremen sebagai kota untuk memperdagangkan tembakau, dan membentuk Deutsch-Indonesische Tabakhandels GmbH, suatu perusahaan patungan PPN Baru dengan sejumlah pedagang tembakau asal Bremen. Pihak Deli-Senembah menilai tindakan nasionalisasi tersebut sebagai suatu tindakan barbar dan merupakan suatu bentuk tekanan politik terkait dengan masalah Irian Barat. Oleh karena itu, ketika tembakau hendak diperdagangkan di Bremen, mereka mengajukan klaim kepemilikan, karena menurut mereka Indonesia tidak benar-benar akan memberikan ganti kerugian atau kompensasi, sehingga yang terjadi bukan nasionalisasi melainkan ekspropriasi. Kasus ini kemudian disidangkan di Landgericht, Bremen. Isu-isu hukum dalam sengketa ini menyita perhatian dunia internasional. Di bidang hukum internasional (publik) salah satu isu hukum krusial adalah apakah kompensasi bagi DeliSenembah harus bersifat adequate, prompt, dan effective? Apakah nasionalisasi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara (general principles of law as recognized by civilized nations)? Di bidang HPI, isu hukum krusial dari nasionalisasi tersebut adalah ketertiban umum (ordre public) dan doktrin tindakan negara (act of state doctrine). Pihak Deli-Senembah diperkuat dengan dukungan sebelas orang Guru Besar, yang antara lain adalah Prof. Logemann, Prof. Lemaire, dan Prof. Kollewijn dari Universitas Leiden. Mereka bertiga pernah menjabat Guru Besar di Rechtshogeschool (yang kemudian menjelma menjadi FHUI). Prof. Logemann untuk Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Prof. Kollewijn untuk Pengantar Ilmu Hukum dan kemudian Hukum Intergentiel, dan Prof. Lemaire menggantikan Prof. Kollewijn untuk mata kuliah-mata kuliah yang sama. Pihak Indonesia diperkuat oleh lima orang Guru Besar, yakni Prof. Dölle dan Prof. Zweigert, dan Prof. Ipsen dari Universitas Hamburg, Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Gautama dari Universitas Indonesia. Gautama muda adalah murid Prof. Lemaire di UI. Maka terjadilah “pertarungan” antara guru lawan murid! Sengketa ini akhirnya diselesaikan melalui keputusan pengadilan banding, Oberlandesgericht, Bremen, pada tanggal 21 Agustus 1959, yang menguatkan putusan Landgericht tanggal 21 April 1959 dan 16 Juni 1959, yakni menolak gugatan pihak Deli-Senembah. Pengadilan Jerman menerima argumentasi Indonesia, yang antara lain adalah bahwa kompensasi yang bersifat adequate, prompt, dan effective tidak bisa diterapkan secara kaku. Jika diterapkan secara kaku, maka citacita luhur kemerdekaan yang antara lain memperbaiki perekonomian yang terpuruk pasca-kolonialisme hanya akan sia-sia akibat terkurasnya kas negara untuk membayar kompensasi sekaligus kepada pihak Belanda. Oleh karena itu, kompensasi yang wajib dibayarkan harus memperhatikan kondisi perekonomian dan kemampuan Indonesia. Dengan demikian nasionalisasi yang dilakukan Indonesia adalah sah![7]

Sengketa hukum lainnya yang cukup menyita perhatian dunia ilmu hukum adalah sengketa pencabutan izin oleh Pemerintah atas investasi di Hotel Kartika Plaza. Pihak investor asal Amerika AMCO menuntut Pemerintah di forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) atas pencabutan izin tersebut, dan menuntut kompensasi sebesar US$ 17 ditambah bunga semenjak tahun 1981. Pemerintah Indonesia membentuk tim pengacara, dengan Prof. Gautama di dalamnya, untuk membela kepentingan Pemerintah. Argumentasi-argumentasi hukum yang diajukan oleh tim ini berhasil untuk menyakinkan para arbitrator, sehingga Indonesia hanya perlu memberikan kompensasi sebesar US$ 2,5 juta dengan bunga 6% per tahun sejak tahun 1990! 18 Di atas lahan hotel tersebut yang beralamat Jl. Moh. Husni Thamrin No. 9 tersebut kini sedang dibangun Gedung UOB Plaza.[8]

Produktivitas Prof. Gautama dalam menulis sungguh menggagumkan. Apalagi jika diingat bahwa kesibukan beliau sebagai seorang advokat yang memiliki banyak klien dari dalam negeri maupun mancanegara menyita banyak waktu. Untuk tetap produktif menulis, beliau merekam ide-idenya dengan menggunakan tape recorder. Kemudian rekaman tersebut diketik oleh asistennya, untuk kemudian ia periksa. Beliau adalah salah satu dari sedikit yuris Indonesia yang menuliskan buku tentang hukum Indonesia dalam bahasa Inggris.[9]

Sebagai seorang yuris, Prof. Gautama sangat produktif dalam menulis artikel ilmiah, baik di jurnal nasional maupun internasional. Beliau juga sangat produktif menulis artikel-artikel hukum di media massa. Buku-buku tulisan beliau berjumlah lebih dari seratus duapuluh judul! Banyak di antara buku-buku tersebut tetap dicetak-ulang. Meski kebanyakan buku-bukunya dapat dikategorikan sebagai a no book, karena hanya merupakan kumpulan sejumlah artikel dan makalahnya, tetapi perkembangan ilmu hukum dan informasi dinamika hukum nasional maupun internasional dipaparkannya dalam tanggung jawab ilmiah, sehingga para mahasiswa dan dosen tetap dapat mempelajari perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu HATAH.[10]

Sebagai seorang Guru Besar, Prof. Gautama telah menunaikan janjinya secara bertanggung jawab. Judul dari pidato pengukuhannya merupakan suatu bukti awal bahwa beliau kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan yang dipercayakan kepadanya, yakni Hukum Perselisihan (Conflictenrecht) atau Hukum Kollisie (Collisierecht), yang juga dikenal sebagai Hukum Perdata Internasional/HPI (international privatrecht), yang mencakup hukum antar golongan atau intergentil (intergentilrecht). Sebagai pengemban ilmu tersebut, Prof. Gautama mengusulkan perubahan nama bagi Hukum Perselisihan menjadi Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Ekstern dan HATAH Intern, yang di  dalamnya mencakup Hukum Antar golongan, Hukum Antar tempat, dan Hukum Antar waktu, untuk menggambarkan dengan tepat permasalahan hukum yang dibahas dalam cabang ilmu tersebut. Selanjutnya beliau menuliskan buku “Hukum Antar Golongan: Suatu Pengantar” untuk mata kuliah HATAH (Intern). Seri “Hukum Perdata Internasional Indonesia”, yang terdiri dari delapan buku, ditulis oleh Prof. Gautama untuk mata kuliah HPI. Penulisan seri HPI ini dilakukan karena luas bidang pembahasan HPI terlalu luas untuk dijadikan hanya sebagai satu buku. Mungkin juga ada pertimbangan ekonomi yakni agar harga buku lebih terjangkau bagi mahasiswa. Oleh karena itu, Prof. Gautama secara bertahap menyusun buku seri ini ke dalam tiga jilid Jilid I memuat bagian umum HPI, Jilid II memuat teori-teori dan prinsip-prinsip umum (règlèsgènèrales), dan Jilid II memuat bagian khusus (Besondere Teil). Buku-buku ini diterbitkan secara berurut, dan dengan produktifnya Prof. Gautama dalam menghasilkan karya tulis Prof. Zulfa Djoko Basuki pernah bercerita bagaimana para mahasiswa HATAH berusaha keras untuk tidak mengulang kuliah di tahun atau semester berikutnya. Karena pasti akan ada buku baru yang ditulis Prof. Gautama yang akan menjadi bahan bacaan tambahan dalam perkuliahan! Baru pada tahun 1977 Prof. Gautama menyarikan buku seri tersebut ke dalam suatu buku pengantar, yakni “Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia”. Buku-buku tersebut masih tetap menjadi buku pegangan wajib untuk perkuliahan HPI di FHUI bagi mahasiswa dengan program kekhususan hukum tentang hubungan transnasional. Nama mata kuliah ini sendiri tidak diubah menjadi HATAH Ekstern, dengan pertimbangan nama HPI sudah terlanjur populer dan umum diterima.[11] 
____________________
References:

1. "Sudargo Gautama", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 20 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Sudargo_Gautama
2. "In Memoriam Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama", staff.ui.ac.id., Oleh: Yu Un Oppusunggu, Diakses pada tanggal 20 November 2022, https://staff.ui.ac.id/system/files/users/oppusunggu.un/publication/inmemoriamprof.gautama-jhp.pdf
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.

Jumat, 25 November 2022

Sebab Dissenting Opinion, Abdul Rahman Saleh Menjadi Jaksa Agung

(tokoh.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Concerning Attempts, Assistance or Evil Conspiracy to Commit Corruption Crimes", "Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu" dan "Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sebab Dissenting Opinion, Abdul Rahman Saleh Menjadi Jaksa Agung'.

Biografi Singkat

Abdul Rahman Saleh, S.H. (lahir di Pekalongan, 1 April 1941; biasa dipanggil Arman adalah Duta besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Denmark dan Republik Lithuania (berkedudukan di Kopenhagen) sejak 14 Juni 2008, serta Jaksa Agung Republik Indonesia pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (2004-Mei 2007).[1]

Pendidikan: S1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 1967. S2 Notariat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) 1990. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) 1995.[2]

Karier: Wartawan harian Nusantara Jakarta (1968-1972). Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1981-1984). Sekretaris Dewan Penyantun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI. Notaris/PPAT (1992 - 1999). Hakim Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung (1999 - 2004). Jaksa Agung RI (Oktober 2004 - Mei 2007). Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh R.I. untuk Kerajaan Denmark merangkap Lithuania (sejak 14 Juni 2008).[3] Buku: Memoar berjudul “Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz”, Penerbit Kompas, Juli 2008.

Sebab Dissenting Opinion & Pesan Moral Soal Integritas

Namanya mulai populer saat ia menjabat sebagai Hakim Agung dan menyampaikan dissenting opinion dalam kasus korupsi Bulog II. Ia pun terpilih sebagai Jaksa Agung pada era Kabinet Indonesia Bersatu. Pada saat terpilih, ia berjanji memperkarakan kasus korupsi besar pada 100 hari pertamanya. Namun, secara mengejutkan, pria yang akrab disapa Arman ini, salah satu dari tiga pejabat yang diganti saat reshuffle kabinet saat itu.[4]

Pria kelahiran Pekalongan, 1 April 1941 ini kemudian menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Denmark merangkap Republik Lithuania. Sebelum menjadi Jaksa Agung, lulusan Fakultas Hukum UGM ini memiliki banyak profesi. Ia pernah menjadi wartawan hukum dan juga bintang film.[5] Dalam sebuah acara halalbihalal Keluarga Besar Purna Adhyaksa (KBPA) di Kejaksaan Agung (Kejagung), eks Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh agar jaksa harus mempunyai integritas. "Yang paling penting itu integritas. Kalau soal menambah ilmu, pengalaman, itu kan sambil jalan ya. Tapi kalau integritas itu harga mati," ujar Abdul Rahman di sela acara di Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan. "Hanya orang-orang yang mempunyai integritas yaitu keberanian, kejujuran, keadilan boleh dan bisa bekerja di bidang hukum. Kalau nggak, dagang saja atau di profesi lainlah," sambung Abdul Rahman.[6] 

____________________
References:

1. "Abdul Rahman Saleh (Jaksa)", wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Rahman_Saleh_(jaksa)
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Sisi Lain Eks Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh", www.viva.co.id., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://www.viva.co.id/arsip/529575-sisi-lain-eks-jaksa-agung-abdul-rahman-saleh
5. Ibid.
6. "Eks Jaksa Agung Abdul Rahman: Kalau Nggak Bisa Jadi Jaksa, Dagang Saja!", detik.com, Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://news.detik.com/berita/d-2986816/eks-jaksa-agung-abdul-rahman-kalau-nggak-bisa-jadi-jaksa-dagang-saja

Rabu, 23 November 2022

Mengenal Hillary Clinton Sebagai Seorang Pengacara

(wikipedia.org.)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "The Crime of Giving Gifts or Promises to Civil Servants", "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln", "Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu" dan "Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Mengenal Hillary Clinton Sebagai Seorang Pengacara'.

Biografi Singkat

Hillary Diane Rodham Clinton (/ˈhɪləri daɪˈæn ˈrɒdəm ˈklɪntən/ ; lahir 26 Oktober 1947 dengan nama Hillary Diane Rodham) adalah senator junior Amerika Serikat dari negara bagian New York, suatu jabatan yang dimulai pada 3 Januari 2001. Ia menikah dengan Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat ke-42 dan Ibu Negara Amerika Serikat selama dua masa jabatan (1993 - 2001).[1]

Hillary Rodham dilahirkan di Chicago, Illinois, dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Methodist di Park Ridge, Illinois. Ayahnya, Hugh Ellsworth Rodham, seorang konservatif, adalah seorang eksekutif dalam industri tekstil, dan ibunya, Dorothy Emma Howell Rodham, seorang ibu rumah tangga. Hillary mempunyai dua orang saudara lelaki, Hugh dan Tony. Mantan duta besar AS untuk Britania Raya, Philip Lader, merujuk kepada minatnya yang mendalam kepada nenek moyangnya dari Wales.[2]

Setelah pindah ke New York, Clinton terpilih sebagai senator Negara Bagian New York pada tahun 2000 sehingga menjadi mantan Ibu Negara pertama yang memenangi pemilihan umum untuk suatu jabatan di AS. Di Senat, awalnya ia mendukung pemerintahan George W. Bush mengenai beberapa kebijakan luar negeri, termasuk memberikan suaranya dalam mendukung Resolusi Perang Irak yang menyetujui dilaksanakannya Perang Irak. Ia kemudian berbalik menentang tindakan pemerintah dalam Perang Irak dan juga menentang kebijakan pemerintah Bush dalam hampir seluruh masalah dalam negeri.[3]

Ia terpilih kembali sebagai senator dengan kemenangan telak pada tahun 2006. Pada 20 Januari 2007 ia resmi menyatakan dirinya ikut serta dalam pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2008. Pada pemilihan calon presiden Amerika tersebut, Clinton berhasil memenangi lebih banyak pemilihan pendahuluan dan anggota delegasi daripada wanita lainnya sepanjang sejarah AS, namun setelah kampanye yang panjang, Senator Barack Obama menjadi calon terpilih Partai Demokrat pada Juni 2008. Pada tanggal 22 Januari 2009 Hillary Clinton dilantik sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS hingga 1 Februari 2013, dan digantikan oleh John Kerry.[4]

Hillary Clinton Sebagai Seorang Pengacara

Setelah lulus SMA, Hillary kuliah di Wellesley College, di mana dia menjadi lebih terlibat dalam aktivisme keadilan sosial. Pada saat dia lulus, Hillary telah menjadi pemimpin mahasiswa terkemuka—dia dipilih oleh rekan-rekannya untuk menjadi pembicara mahasiswa pertama di upacara pembukaan Wellesley.[5]

Setelah lulus kuliah, Hillary mendaftar di Yale Law School, di mana dia adalah salah satu dari hanya 27 wanita di kelas kelulusannya. Saat kuliah di Yale, Hillary mulai berkencan dengan salah satu teman sekelasnya, Bill Clinton.[6]

Setelah tamat sekolah hukum, Hillary tidak bergabung dengan firma hukum besar di Washington atau New York. Sebaliknya, dia pergi bekerja untuk Dana Pertahanan Anak, pergi dari rumah ke rumah di New Bedford, Massachusetts, mengumpulkan cerita tentang kurangnya sekolah untuk anak-anak cacat. Kesaksian ini berkontribusi pada pengesahan undang-undang bersejarah yang mengharuskan negara menyediakan pendidikan berkualitas bagi siswa penyandang disabilitas. Komitmen untuk pelayanan publik dan berjuang untuk orang lain—terutama anak-anak dan keluarga—tetap bersamanya sepanjang hidupnya.[7]

Setelah bertindak sebagai pengacara untuk komite kongres yang menyelidiki Presiden Nixon, dia pindah ke Arkansas di mana dia mengajar hukum dan menjalankan klinik hukum yang mewakili orang-orang yang dicabut haknya. Dia ikut mendirikan Arkansas Advocates for Children and Families, salah satu kelompok advokasi anak pertama di negara bagian itu.[8] Jika dipadankan dengan lingkungan hukum di Indonesia, maka penulis berpendapat bahwa Hillary Clinton tidak menimba ilmu di law firm besar, ia memilih jalan sebagai advokat pejuang kemanusiaan dan keadilan dengan aktif di lembaga bantuan hukum setara LBH di Indonesia. 
____________________
References:

1. "Hillary Clinton", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Hillary_Clinton
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "The Office of Hillary Rodham Clinton", www.hillaryclinton.com., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://www.hillaryclinton.com/about/
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

An Indonesian Citizen was Arrested by United States Customs Officers on Suspicion of Counterfeit Money

    ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " The IDR 3.1 Trillion Royalty Issue Lim...