Senin, 26 Juni 2023

Contoh Surat Kuasa Kepailitan - PKPU

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Due To His Madness, The Tarutung District Court Did Not Convict Harapan Munthe Who Killed His Wife", "Contoh Permohonan PKPU" dan "Contoh Gugatan Waris", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Contoh Surat Kuasa Kepailitan - PKPU'.


S U R A T  K U A S A
Nomor:

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :
Alamat :
NIK :

Selanjutnya disebut sebagai PEMBERI KUASA

PEMBERI KUASA dengan ini menerangkan dan menyatakan memberi kuasa dengan hak substitusi baik seluruhnya maupun sebagian kepada:

………………………………………………..

Masing-masing berkewarganegaraan Indonesia, Advokat dan/atau Konsultan Hukum, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berkantor di ........ yang beralamat di ......... Selanjutnya disebut sebagai PENERIMA KUASA.

--------------------------------------------KHUSUS----------------------------------------

Untuk dan atas nama PEMBERI KUASA:

Bertindak untuk dan atas nama PEMBERI KUASA sebagai Kreditor PT Nusantara Prospekindo Sukses (Dalam Pailit) berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor: ......., guna membela semua hak serta kepentingan PEMBERI KUASA sehubungan dengan Putusan Pailit terhadap PT Nusantara Prospekindo Sukses (Dalam Pailit) berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1433 K/Pdt.Sus-Pailit/2020 tertanggal 26 Januari 2021 Jo. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 188/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga.Jkt.Pst., tertanggal 16 September 2020.
.

Sehubungan dengan hal tersebut, PENERIMA KUASA diberi Hak untuk: Melakukan setiap dan segala tindakan dalam arti seluas-luasnya, termasuk namun tidak terbatas untuk menghadiri persidangan, menghadiri rapat-rapat kreditor, mengajukan dan mendaftarkan tagihan-tagihan, melakukan pencocokan piutang, membuat dan menandatangani perjanjian perdamaian, membuat, menandatangani kwitansi-kwitansi, mengajukan alat-alat bukti, mengambil keputusan-keputusan  dalam setiap Rapat Kreditor, Rapat Verifikasi dan rapat-rapat lainnya berdasarkan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menghadiri setiap dan seluruh proses verifikasi harta, tagihan, dan kewajiban serta setiap dan seluruh Rapat Kreditor, menghadap setiap pejabat baik dari lembaga pemerintah maupun lembaga swasta, melakukan tindakan dan upaya hukum yang dianggap perlu oleh PENERIMA KUASA sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

Selain itu, penerima kuasa diberi wewenang untuk berbicara, memberikan tanggapan baik lisan maupun tulisan terkait keabsahan tagihan kreditor tanpa agunan, kreditor istimewa dan kreditor pemegang jaminan atau pihak ketiga lainya yang menuntut harta debitor, mengajukan dan/atau menolak penyegelan harta kekayaan debitor, menghadap berbicara, menyerahkan dokumen kepada Tim Kurator, Hakim Pengawas dan/atau pihak terkait lainya mengajukan setiap pernyataan, tangkisan, bantahan, terhadap putusan/penetapan Hakim Pengawas;

Surat kuasa ini diberikan dengan hak retensi berdasarkan hukum.

Jakarta, ……………….. 2021

Penerima Kuasa                             Pemberi Kuasa,


                                                        Materai 10.000,-


(Nama Lengkap)                             (Nama Lengkap)

____________________
Reference:

1. "Download Template Surat Kuasa-Kepailitan-PKPU", kepailitan-pkpu.com., Diakses pada tanggal 26 Juni 2023, Link: https://kepailitan-pkpu.com/wp-content/uploads/2021/05/Contoh-Surat-Kuasa-Kreditor_NPS.docx

Sabtu, 24 Juni 2023

Due To His Madness, The Tarutung District Court Did Not Convict Harapan Munthe Who Killed His Wife

(iStock)

By:
Team of Hukumindo

Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about "Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Peninjauan Kembali Perdata", "Be Careful Using AI, You Will be in Trouble for Citing Non-existent Jurisprudence", you may read also "5 Interesting Cases that Become the Jurisprudence of the Supreme Court in Indonesia" and on this occasion we will discuss about 'Due To His Madness, The Tarutung District Court Did Not Convict Harapan Munthe Who Killed His Wife'.

The panel of judges at the Tarutung District Court handed down an acquittal to Harapan Munthe. Harapan is a man in Humbang Hasundutan District, North Sumatra who mutilated his own wife's flesh to boil. The sentencing hearing against Harapan Munthe was held on Wednesday (7/6/2023) yesterday. The judge stated that Harapan Munthe was not proven to have committed premeditated murder as stated in the primary indictment of the public prosecutor (JPU), namely Article 340 of the Criminal Code.[1]

"Declaring that the defendant Harapan Munthe has not been proven legally and convincingly guilty of committing the crime as stated in the primary indictment. Therefore, he acquits the defendant from the primary indictment," said the judge's decision as quoted from the Tarutung District Court Case Tracing Information System (SIPP) website, Thursday (8/6/2023).[2]

However, the judge found Harapan Munthe guilty of intentionally killing his wife. According to the judge, Harapan was guilty of violating Article 338 of the Criminal Code as stated in the prosecutor's subsidiary indictment.[3]

Even so, Harapan Munthe could not be jailed for this incident because of his disturbed mental state. "Declaring that the defendant Harapan Munthe has been proven legally and convincingly guilty of committing the crime of murder as in the subsidiary indictment, however the defendant cannot be held criminally responsible. The defendant is therefore released from all charges," the judge explained.[4]

Based on this decision, the judge asked Harapan Munthe to be immediately released from detention. After that, the judge ordered the defendant to be taken to the Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital owned by the North Sumatra Provincial Government for treatment. "Ordered the defendant to be released from temporary detention immediately after this decision was pronounced. Ordered the public prosecutor to place the defendant in the Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital in Medan City immediately after the defendant was released from detention to undergo treatment for one year," he concluded.[5] And if you have any legal issue in Indonesia territory, contact us then, feel free in 24 hour, we will be happy to assist you. 


*) For further information please contact:
Mahmud Kusuma Advocate
Law Office
Jakarta - Indonesia.
E-mail: mahmudkusuma22@gmail.com

________________
References:

1. "Pria Mutilasi Hingga Rebus Daging Istri Di Humbahas Divonis Bebas", www.detik.com., Finta Rahyuni - detikSumut, Kamis, 08 Jun 2023 09:53 WIB, Diakses pada tanggal 20 Juni 2023, Link: https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6761172/pria-mutilasi-hingga-rebus-daging-istri-di-humbahas-divonis-bebas
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.

Jumat, 23 Juni 2023

Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Peninjauan Kembali Perdata

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Kasasi Perdata", "Dasar Hukum Dan Alasan Mengajukan Banding Perkara Perdata" dan "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Peninjauan Kembali Perdata'.

Sejarah dan Pengertian Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Konsep yang serupa dengan Peninjauan Kembali (PK) telah ada ketika Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (1847-1940). Pada masa itu konsep memeriksa kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dikenal dengan istilah Herziening van Arresten en Vonnissen dengan lembaga herziening sebagai pelaksana proses pemeriksaan. Ketentuan pelaksanaan herziening diatur dalam Het Reglement op de Strafvordering yang merupakan hukum acara pidana yang berlaku di pengadilan Raad van Justitie (RVJ) pada masa Hindia Belanda.[1]

Istilah peninjauan kembali dalam perundang-undangan nasional mulai dipakai pada Undang-Undang No 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 15 undang-undang tersebut disebutkan bahwa "Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang". Permohonan PK dalam sistem peradilan umum di Indonesia diterima oleh Mahkamah Agung melalui Lembaga Peninjauan Kembali (Lembaga PK). Pada perkembangannya, keberadaan Lembaga PK dalam sistem peradilan di Indonesia mengalami tahap pasang-surut dalam arti kadang aktif kadang tidak. Sekitar tahun 1970-an, Lembaga PK menjadi tidak aktif. Lembaga PK kembali aktif dalam sistem peradilan Indonesia pada tahun 1980-an setelah terkuak kasus peradilan "Sengkon-Karta" yang menghebohkan dunia hukum Indonesia saat itu.[2]

Pengertian Peninjauan Kembali, adalah suatu upaya untuk memeriksa dan mementahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.[3]

Peninjauan Kembali (PK) adalah 'suatu upaya hukum yang dapat ditempuh ... dalam suatu kasus hukum tertentu dan biasanya kasus hukum tersebut telah  memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde)'. Peninjauan kembali (PK) dapat dilakukan dalam perkara pidana maupun perdata.[4] Dalam konteks hukum Perdata, penulis memahami upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) sebagai lembaga peradilan luar biasa yang bisa diakses oleh Pihak pencari keadilan dalam hal adanya ketidakpuasan terhadap putusan perkara perdatanya yang telah berkekuatan hukum tetap. 

Dasar Hukum Peninjauan Kembali 

Adapun dasar hukum dari upaya hukum Peninjauan Kembali ini di antaranya yang paling utama adalah sebagai berikut:
  1. Undang-undang No.: 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
  2. Undang-undang No.: 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan
  3. Undang-undang No.: 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Alasan Hukum Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Perdata

Dalam putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, upaya hukum PK dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU Mahkamah Agung):[5]
  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
  7.  
Alasan-alasan hukum pengajuan upaya hukum PK di atas sepengalaman penulis sifatnya komplementer, artinya beberapa saja terpenuhi sudah cukup, tidak harus terdapat semuanya. 

Pasal 69 Undang-undang Mahkamah Agung juga mengatur terkait dengan jangka waktu. Tenggang waktu pengajuan permohonan uapaya hukum PK yang didasarkan atas alasan tersebut di atas adalah 180 hari untuk:[6]
  1. Yang disebut pada huruf 'a' sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
  2. Yang disebut pada huruf 'b' sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
  3. Yang disebut pada huruf 'c', 'd', dan 'f' sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
  4. Yang tersebut pada huruf 'e' sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

____________________
References:

1. "Peninjauan Kembali", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Peninjauan_kembali
2. Ibid.
3. "Catat! Ini 2 Macam Upaya Hukum Perdata", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/catat-ini-2-macam-upaya-hukum-perdata-lt63f6adcfdd1bf/
4. "PENINJAUAN KEMBALI (PK)", konspirasikeadilan.id., Fepi Patriani, Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://konspirasikeadilan.id/artikel/peninjauan-kembali-pk4555
5. "Aturan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Perkara Perdata", www.hukumonline.com., Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H., Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/aturan-permohonan-peninjauan-kembali-perkara-perdata-lt4a0bd93d0f7ac/
6. Ibid.

Kamis, 22 Juni 2023

Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Kasasi Perdata

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Hukum Dan Alasan Mengajukan Banding Perkara Perdata", "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH" dan "Contoh Memori Kasasi Perdata", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Kasasi Perdata'.

Sejarah Dan Pengertian Kasasi 

Upaya hukum kasasi awalnya ada di Perancis. Setelah Belanda dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi kemudian diterapkan di Netherland dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah Belanda dan dibawa ke Indonesia.[1]

Upaya hukum kasasi berasal dari kata kerja casser yang memiliki pengertian “membatalkan atau memecahkan” yang merupakan salah satu dari tindakan Mahkamah Agung RI sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain. Hal demikian disebabkan dalam tingkat kasasi yang tidak melakukan suatu pemeriksaan kembali dalam perkara tersebut.[2]

Pengertian kasasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Ahli. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kasasi adalah sebagai berikut:[3]
"Kasasi adalah pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan tersebut menyalahi ataupun tidak sesuai dengan undang-undang".

Sedangkan menurut salah satu ahli, yaitu Tritaamidjaja, Kasasi diartikan sebagai berikut:[4]
"Pengertian kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat tertinggi yakni keputusan yang tak dapat dilawan atapun tidak dapat dimohon bandingan, baik karena kedua jalan hukum yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, maupun didasarkan karena telah dipergunakan".

Bagi penulis, pengertian kasasi harus dikembalikan ke dalam tempatnya di dalam hukum acara, baik pidana, perdata, tata usaha negara dan lain-lainnya, yaitu sebagai upaya hukum terhadap putusan pada tingkat banding yang memeriksa kembali perkara dari aspek penerapan hukumnya (judex juris). 

Dasar Hukum Kasasi 

Ketentuan mengenai kasasi ini diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan diatur pula dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 14 Tahun 1985 yang telah beberapa kali dirubah dan terakhir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.[5]

Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari sejak putusan atau penetapan Pengadilan Tinggi disampaikan kepada yang bersangkutan, serta 14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi, pemohon wajib menyerahkan memori kasasi.[6]

Alasan Mengajukan Kasasi Dalam Perkara Perdata

Secara umum alasan dari seorang pihak mengajukan upaya hukum kasasi adalah adanya ketidakpuasan terhadap putusan pada tingkat Banding. Dengan kata lain, upaya hukum Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan dan juga merasa kurang puas terhadap suatu putusan Judex facti, agar hakim Mahkamah Agung dapat memeriksa kembali perihal penerapan hukum dalam putusan dimaksud.[7]

Berbeda dengan banding, memori banding bukanlah menjadi kewajiban bagi pemohon banding, akan tetapi dalam kasasi, memori kasasi adalah kewajiban bagi pemohon kasasi untuk diserahkan. Artinya, apabila memori kasasi itu tidak dibuat, permohonan kasasi akan ditolak.[8]

Selain alasan umum dari seorang pihak mengajukan upaya hukum kasasi di atas, juga terdapat alasan-alasan yang sifatnya teknis hukum. Untuk melakukan kasasi, harus ada alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar kasasi yaitu putusan atau penetapan pengadilan:[9]
  1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
  2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan
  3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Berdasarkan dari Undang-undang No.: 5 Tahun 2004, Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan bahwa secara limitatif alasan-alasan dalam Permohanan Kasasi yakni:[10]

a. Tidak Berwenang ataupun Melampaui Batas Wewenang

Hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam ini bertendensi kepada suatu kompetensi relatif (relatieve competentie) dan kompetensi absolut (absolute competentie). Contoh konkretnya, Judex facti in casu suatu pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU yang seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya mengenai judex facti tidak berwenang atau bukan merupakan kewenangannya. Sedangkan dalam alasan kasasi disebabkan judex facti yang melampui batas wewenang adalah bahwa judex facti telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam Undang-Undang. Adapun perihal melampaui batas wewenang dapat diartikan sebagai Judex facti dalam putusannya telah mengabulkan lebih dari pada yang telah diminta Penggugat dalam surat gugatannya.[11]

b. Salah Menerapkan atau Melanggar Hukum yang Berlaku

Hakikat salah menerapkan hukum diartikan secara sederhana sebagai keliru memilah mana yang merupakan ketentuan hukum formal maupun hukum materiilnya. Kesalahan demikian dilihat dari penerapan hukum yang seharusnya diberlakukan. Sedangkan melanggar hukum bertendensi pada salah dan juga tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan yang seharusnya telah digariskan oleh Undang-Undang.[12]

c. Lalai Memenuhi Syarat-syarat yang Diwajibkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang Mengancam Kelalaian Itu dengan Batalnya Putusan yang Bersangkutan

Menurut hemat penulis, hal ini berarti ada kewajiban dari Judex Facti agar terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak terpenuhinya syarat-syarat hukum ini oleh Judex Facti  dikualifikasi sebagai kelalaian yang kemudian harus dikoreksi oleh Judex Juris. Dalam hal kewajiban pemenuhan syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka Mahkamah Agung sebagai Judex Juris mempunyai kewenangan untuk membatalkan putusan pada tingkat dibawahnya. 

____________________
References:

1. "Pengertian Kasasi, Alasan, Proses & Fungsi Kasasi Bag I", tribratanews.kepri.polri.go.id., Diakses pada tanggal 22 Juni 2023, Link: https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2021/06/02/pengertian-kasasi-alasan-proses-fungsi-kasasi-bag-i/
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Upaya Hukum Perdata", pn-karanganyar.go.id., Diakses pada tanggal 22 Juni 2023, Link: https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/719-upaya-hukum-perdata
6. "Catat! Ini 2 Macam Upaya Hukum Perdata", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 22 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/catat-ini-2-macam-upaya-hukum-perdata-lt63f6adcfdd1bf/
7. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.
8. www.hukumonline.com., Op. Cit.
9. www.hukumonline.com., Op. Cit.
10. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.
11. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.
12. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.

Rabu, 21 Juni 2023

Dasar Hukum Dan Alasan Mengajukan Banding Perkara Perdata

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH", "Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham" dan "Hukum Jual-Beli Tanah Kavling", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Dasar Hukum Dan Alasan  Mengajukan Banding Perkara Perdata'.

Pengertian Banding

Banding (appeal) merupakan lembaga yang tersedia bagi para pihak yang tidak menerima atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama.[1] Dengan kata lain, yang dimaksud upaya hukum banding adalah suatu lembaga Yudikatif yang disediakan oleh Negara kepada para pihak yang menolak (atau tidak setuju) putusan sengketa pada tingkat Pengadilan Negeri. Dalam konteks ini, upaya hukum Banding hanya dapat diajukan apabila terlebih dahulu telah ada putusan Pengadilan Negeri terkait.

Dasar Hukum Banding Perkara Perdata

Dasar hukum banding diatur dalam Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 Herziene Inlandsche Reglement atau HIR (untuk Jawa dan Madura) kemudian Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rechtsglement Buitengewesten atau Rbg (untuk luar Jawa dan Madura), serta Pasal 3 Jo. Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 (UU Darurat No. 1 Tahun 1951). Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.[2] 

Pengajuan banding dapat dilakukan dalam rentang waktu selama 14 (empat belas) hari kalender, terhitung keesokkan hari dari hari dan tanggal putusan dijatuhkan dan apabila hari ke 14 (empat belas) tersebut jatuh pada hari libur maka dihitung pada hari kerja selanjutnya.[3]

Alasan Mengajukan Banding Perdata

Alasan hukumnya secara sederhana adalah dikarenakan adanya penolakan atau ketidaksetujuan dari Pembanding atas putusan pada tingkatan pertama/Pengadilan Negeri. Atas alasan tersebut, Pengadilan Tinggi pada tingkat Banding ini berkewajiban untuk memeriksa ulang perkara Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri yang dimintakan banding dimaksud.

Pada prinsipnya, Pengadilan Tinggi pada tingkat Banding adalah Judex Factie, hal ini berarti hakim-hakim ini merupakan hakim yang memeriksa fakta persidangan, apakah dari fakta itu terbukti atau tidak perkara tersebut. Pengadilan Tinggi ialah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus Pengadilan Negeri untuk memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta hukum yang terjadi. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi disebut juga sebagai pengadilan judex factie.[4] 
____________________
References:

1. "Upaya Hukum Perkara Perdata", pn-tabanan.go.id., Diakses pada tanggal 21 Juni 2023, Link: https://pn-tabanan.go.id/upaya-hukum-perkara-perdata/ 
2. "Upaya Hukum Banding Kasasi Dan Verzet", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 21 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/berita/a/upaya-hukum-banding--kasasi--dan-verzet-lt63286dfddf934/
3. Ibid.
4. "Mengenal Judex Factie Dan Judex Jurist Dalam Praktik Peradilan", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 21 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-judex-factie-dan-judex-jurist-dalam-praktik-peradilan-lt61f193261cc1a/

Selasa, 20 Juni 2023

Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "7 Most Sadistic Serial Killer Cases in Indonesia: Dukun AS", "Direksi Sebagai Agen Perusahaan" dan "Hukum Jual-Beli Tanah Garapan", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Alasan-alasan Hukum Mengajukan Gugatan Perdata'.

Pengertian Gugatan

Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat, yang mana terjadinya gugatan umumnya pihak tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat. Terjadinya gugatan umumnya setelah pihak tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan kewajiban yang diminta oleh pihak penggugat, sehingga akan timbul sengketa antara penggugat dan tergugat. Sengketa yang dihadapi oleh pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai di luar persidangan umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk mendapatkan keadilan.[1]

Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam objek pembahasan ini adalah pengadilan negeri. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa.[2] Kata kunci dari sebuah gugatan adalah adanya 'sengketa', sehingga harus diputus oleh Pengadilan setelah upaya hukum musyawarah-mufakat tidak tercapai.

Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum

Contoh gugatan di dalam dunia praktisi hukum banyak sekali. Diantaranya adalah gugatan sengketa waris, gugatan sengketa jual beli tanah, gugatan sengketa sewa menyewa rumah, dan sebagainya dan sebagainya. Dalam artikel ini, kita akan membahas dua dasar hukum gugatan perdata yang banyak ditemui dalam tataran riil praktik hukum, yaitu Gugatan Wanprestasi (Cidera Janji) dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum atau sering disingkat PMH.

Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi (Cidera Janji)

Dasar hukum wanprestasi dapat ditemukan dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:[3]
"Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan."

Jika kita cermati dari dasar hukum Pasal 1243 KUH Perdata di atas, maka setidaknya terdapat tiga unsur pasal yang mendasarinya, yaitu:[4]
  1. Adanya perjanjian;
  2. Terdapat pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian; dan
  3. Telah dinyatakan lalai, namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian.

Sehingga, hal yang menyebabkan timbulnya wanprestasi adalah karena adanya cidera janji terhadap perjanjian yang telah disepakati sebelumnya yang menyebabkan salah satu pihak ingkar akan janjinya atau melanggar janji. Maka, pihak yang cidera janji harus bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.[5]

Dasar Hukum Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Dasar hukum Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dapat ditemukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:[6]
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut."

Jika kita cermati dari dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata di atas, maka menurut hemat penulis setidaknya terdapat tiga unsur pasal yang mendasarinya, yaitu:
  1. Terdapat/adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum;
  2. Perbuatan yang bertentangan tersebut mengakibatkan kerugian kepada orang lain;
  3. Orang yang mengakibatkan kerugian diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. 

Perlu dipahami, bahwa konteks perbuatan melawan hukum ini pengertiannya sangat luas. Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip oleh Rosa Agustina memberi penjelasan bahwa Perbuatan Melawan Hukum bisa diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bisa juga diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bisa juga diartikan bertentangan dengan kesusilaan, bisa juga diartikan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.[7] Perbuatan-perbuatan ini, jika dilakukan penyederhanaan pengertian secara hukum, maka disebut sebagai segala perbuatan yang bertentangan dimata hukum. 

____________________
References:

1. "PENGERTIAN GUGATAN DAN BENTUK GUGATAN DAN TUNTUTAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA", MARDIOS, Universitas Ekasakti, Makalah, Tanpa Tahun, Hal.: 2. 
2. Ibid. Hal.: 2.
3. "Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 20 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-wanprestasi-dan-perbuatan-melawan-hukum-cl2719/
4. Ibid. 
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.

An Indonesian Citizen was Arrested by United States Customs Officers on Suspicion of Counterfeit Money

    ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " The IDR 3.1 Trillion Royalty Issue Lim...