(idntimes.com)
Oleh:
Tim Hukumindo
Aristoteles
Tokoh dimaksud adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander the Great yang hidup antara
384 SM sampai 322 SM. Ia menulis tentang berbagai subyek yang berbeda, termasuk
fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis,
biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi
seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.
[1]
Aristoteles
lahir tahun 384 SM di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani
(dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah). Ayahnya adalah tabib pribadi
Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi murid
Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama
20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal,
dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. [2]
Aristoteles
kembali ke Athena saat Alexander berkuasa pada tahun 336 SM. Dengan dukungan
dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang
diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya
sampai tahun 323 SM. Perubahan politik seiring jatuhnya Alexander menjadikan
dirinya harus kembali kabur dari Athena guna menghindari nasib naas sebagaimana
dulu dialami Socrates. Aristoteles meninggal tak lama setelah pengungsian
tersebut. Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan.
[3]
Dikarenakan
mayoritas Indonesia adalah muslim, mari kita melihat pandangannya terhadap
Aristoteles. Terdapat legenda dalam masyarakat muslim mengenai Aristoteles, diantaranya berikut. Ia
diyakini sebagai salah seorang Nabi. Karena sebagaimana maklum nabi dalam Islam
sebanyak 124.000. Tetapi nabi sekaligus rasul sebanyak 25 orang. Dan
Aristoteles termasuk dalam kategori nabi yang bukan rasul. Keyakinan ini
berdasarkan pada riwayat dari Rasulullah S.A.W., yang dikutip dalam banyak
kitab sejarah. Adapun riwayatnya; ”Setelah
pulang dari kota Alexanderia ‘Amr bin Al-Ash datang menghadap Rasul S.A.W.
Beliau bertanya kepada ‘Amr tentang kesan-kesan perjalanannya ke negeri
bersejarah itu. ‘Amr kemudian bercerita bahwa ia melihat suatu kaum yang duduk
lesehan melingkar. Mereka menyebut-nyebut dan memuji-muji seorang yang bernama
Aristoteles semoga Allah mengutuknya. Nabi SAW pun terkejut dan berkata, “Enyah
kamu wahai ‘Amr...! ”Tidakkah kamu mengetahui bahwa Aritoteles adalah seorang
Nabi. Tapi umatnya tidak pernah mengubrisnya”. [4]
Logika Aristotelian
Kelahiran
logika aristotelian dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat Polis Yunani pada
waktu itu. Nalar aristotelian ini adalah kritik atas zamannya juga. Menurut
hemat penulis, setidaknya ada dua ‘berhala’ yang hendak dikritik waktu itu,
pertama adalah mitos, sebagaimana halnya perumpamaan “manusia goa” ajaran dari gurunya
Plato, dan kedua adalah aksi-aksi kaum retoris melalui pidatonya, kaum orator
ulung yang memikat hati para pendengarnya namun tidak cukup mumpuni dari segi
keilmuan. Atas keprihatinannya, Aristoteles kemudian bekerja untuk melahirkan
cara berpikir baru.
Logika
aristotelian adalah suatu sistem berpikir sistematis dengan cara deduksi,
dengan kata lain cara berpikir yang berangkat dari premis-premis umum untuk
mengambil kesimpulan (kebenaran) yang sifatnya khusus. Format berpikir
aristotelian yang paling sederhana dalam mencapai kebenaran adalah dengan cara
silogisme. Sederhananya, silogisme adalah suatu suatu cara pengambilan
kesimpulan dari umum ke khusus yang terdiri dari dua premis dan satu
kesimpulan. Contoh legendarisnya adalah sebagai berikut:
Premis mayor : Semua manusia akan mati;
Premis minor : Fulan bin Fulan adalah manusia;
Kesimpulan : Fulan bin Fulan akan mati.
Premis mayor : Semua manusia akan mati;
Premis minor : Fulan bin Fulan adalah manusia;
Kesimpulan : Fulan bin Fulan akan mati.
Dalam
logika aristotelian, jalan menuju kebenaran sifatnya a priori, tidak perlu dialami terlebih dahulu, predictable atau bisa diramalkan, namun demikian, sistem penalaran ini
tidak memproduksi pengetahuan baru. Meskipun dikemudian hari terdapat kritik
atas sistem penalaran ini, akan tetapi warisannya masih bisa dirasakan sampai
sekarang, termasuk dalam nalar undang-undang Pemilihan Umum di Indonesia
berikut ini.
Logika Aristotelian
dalam Undang-undang PEMILU
Mari
kita kaji aturan dalam Undang-undang PEMILU yang relevan dengan hak memilih, diantaranya
adalah sebagai berikut. Aturan Pemilihan Umum atau biasa disebut PEMILU, terakhir,
diatur dalam Undang-undang Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Bab IV
diatur mengenai Hak Memilih. Pasal 198 berbunyi sebagai berikut: (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak memilih. (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. (3) Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.
Setelah
kita mengerti mengenai nalar berpikir aristotelian di atas, dan kita juga telah
mengutip aturan hukum positif mengenai Hak Memilih sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, maka saatnya sekarang untuk menguji
logika Undang-undang PEMILU dimaksud. Caranya adalah dengan memasukkannya ke
dalam format silogisme aristotelian.
• Premis mayor : Semua warga negara Indonesia mempunyai hak memilih. Semua warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak memilih (Pasal 198 ayat 1);
• Premis minor : Fulan bin Fulan terdaftar sebagai pemilih dan tidak dicabut hak politiknya oleh Pengadilan; Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. Dan Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih (Pasal 198 ayat 2 dan 3);
• Kesimpulan : Fulan bin Fulan akan memilih. Fulan bin Fulan datang ke TPS terkait pada hari yang ditentukan dan ‘nyoblos’.
• Premis mayor : Semua warga negara Indonesia mempunyai hak memilih. Semua warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak memilih (Pasal 198 ayat 1);
• Premis minor : Fulan bin Fulan terdaftar sebagai pemilih dan tidak dicabut hak politiknya oleh Pengadilan; Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. Dan Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih (Pasal 198 ayat 2 dan 3);
• Kesimpulan : Fulan bin Fulan akan memilih. Fulan bin Fulan datang ke TPS terkait pada hari yang ditentukan dan ‘nyoblos’.
Inilah
kebenaran yang diproduksi oleh nalar logika aristotelian, yaitu pada tanggal 17
April 2019, Fulan bin Fulan datang ke TPS terkait, nyoblos, menggunakan hak
memilihnya. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah terkait ‘Golput’, yaitu tindakan seorang warga
negara yang seyogyanya terdaftar sebagai pemilih namun tidak menggunakan haknya.
Dimana posisi Golput dalam bingkai ketentuan
Pasal 198 Undang-undang Nomor: 7 tahun 2017 konsisten dengan produksi kebenaran
nalar aristotelian?
Golput
Sebagai Anomali dalam Undang-undang PEMILU
Perlu
ditegaskan terlebih dahulu di sini, bahwa penulis bukanlah seorang Golput karena akan datang nyoblos ke TPS dan tidak mengajak para
pembaca untuk Golput, serta tidak
berkeinginan menanggung nestapa pidana akibat dari salah paham audience dalam membaca artikel ini,
penulis hanya berusaha secara keilmuan melihat fenomena ini dengan lebih
terbuka. Kembali ke pertanyaan di atas, dimana posisi Golput dalam bingkai ketentuan Pasal 198 Undang-undang Nomor: 7
tahun 2017 konsisten dengan produksi kebenaran nalar aristotelian?
Jawabannya
menurut hemat penulis adalah anomali. Tindakan tidak lazim yang di luar nalar DPR
dan Pemerintah pembuat Undang-undang Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Golput adalah ‘anak haram’ demokrasi
perwakilan. Ia ada, akan tetapi setelah PEMILU usai, ia tidak menjadi dasar
apapun untuk tujuan perbaikan. Setelah PEMILU usai, yang dihitung adalah berapa
nominal yang menang dan berapa nominal yang kalah. Setidaknya sampai saat ini, Goput belum dijadikan sumber untuk memperbaiki
demokrasi perwakilan, misalnya memperbaiki partai-partai politik. Malahan masih
terasa aura publik agar memusuhi kaum Golput
ini.
Dalam
khayalan penulis yang paling liar, bisa saja—meskipun menjadikan Proses PEMILU menjadi
tidak sederhana lagi—dalam kertas suara tercantum kolom Golput, dan pemilih bisa menuliskan alasan-alasannya, misalnya kader
partai politiknya sudah berkali-kali terbukti korup. Bukankah tidak kalah penting
untuk mendapat feed back langsung dan
berharga dari konstituen berupa review atas perbuatan wakilnya lima tahun yang
lalu maupun forecast atas calon wakil-wakilnya
di parlemen dan eksekutif serta DPD lima tahun ke depan dalam lebaran demokrasi
ini?
________________________________
|
|
1.
|
“Biografi Plato - Filsuf dan Matematikawan
Yunani", Muhamad Nurdin Fathurrohman, 16 April 16 2014, https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/04/biografi-plato-filsuf-dan-matematikawan-yunani.html
|
2.
|
Ibid.
|
3.
|
Ibid.
|
4.
|
"Akal Dan Logika Aristotelian", http://samrumi.blogspot.com/2008/06/akal-dan-logika-aristotelian.html
|