Kamis, 18 Juli 2019

Subjek Dan Rumusan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Istilah dan Pengertian Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Subjek delik dan Rumusan delik.

Subjek Delik

Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya. Delik ditujukan kepada yang memperkosa kepentingan hukum, membahayakan kepentingan hukum, dengan tujuan untuk menjaga kepentingan hukum. Kepentingan hukum yang dimaksudkan meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu.[1]

Hubungan antara sifat delik yang demikian itu dan kepentingan hukum yang harus dilindungi, maka yang menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia (een natuurlijk persoon). Vos dalam Bambang Poernomo memberikan penjelasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik:[2]
  1. Terdapat rumusan yang dimulai dengan “hij die...” di dalam peraturan undang-undang pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia;
  2. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada oleh manusia;
  3. Di dalam hukum pidana berlaku azas kesalahan bagi seorang manusia pribadi.

Bambang Poernomo menambahkan, perkembangan di dalam perundang-undangan hukum pidana baru ternyata bagi badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang fiscal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya.[3]

Rumusan Delik

Di dalam bahasannya, Bambang Poernomo membandingkan rumusan delik dari para ahli hukum pidana seperti Jonkers dan Vos. Dengan asumsi berbagai bentuk perumusan delik disebabkan oleh faktor-faktor seperti teknis-yuridis, yuridis-sosiologis dan politis.[4]

Jonkers mengenal empat jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang, terdiri atas:[5]
  1. Yang lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya Pasal 279, 281, 286, 242 dan sebagainya dalam KUHP;
  2. Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti misalnya pemalsuan Pasal 263, pencurian Pasal 362, Penggelapan Pasal 372, penipuan Pasal 378 dalam KUHP;
  3. Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya Penganiayaan Pasal 351, pembunuhan Pasal 338 dalam KUHP;
  4. Kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya Pasal 521 dan Pasal 122 ayat (1) KUHP;

Vos berpendapat hanya mengenal tiga macam rumusan delik, yaitu:[6]
  1. Rumusan yang merupakan bagian-bagian delik (de kenmerken of feitelijke bestanddelen), misalnya Pasal 362, 372, 378 KUHP, dan Pasal 167 dan sebagainya dalam KUHP, akan tetapi tentang pencurian, penggelapan dan sebagainya itu mengandung pula rumusan kualifikasi;
  2. Rumusan yang menyebutkan kualifikasi delik (de juridische benaming of qualificatie), seperti misalnya Pasal 351 tentang Penganiayaan, Pasal 297 tentang Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur dan sebagainya dalam KUHP;
  3. Rumusan yang hanya memuat ancaman pidana (de strafbedreiging) seperti misalnya Pasal 122, 564, 566 KUHP.

Metode perumusan delik dari Vos maupun Jonkers tidak ada perbedaannya dan pendapat inilah yang sekiranya dapat diikuti untuk mengenal metode, perumusan delik atas dasar teknik penyusunan. Ada pendapat lain yang mengatakan rumusan delik dapat dibagi atas dasar tingkah lakunya (gedraging) yang dapat menjadi perumusan kelakuan positif/handelen sebagai “commissiedelict”, atau sebaliknya dengan kelakuan negatif/nalaten sebagai “ommissiedelict”, sehingga kedua rumusan dengan bentuk nyata-nyata dari kelakuan itu dinamakan “formeeldelict”, sedangkan rumusan akibat dari kelakuan dinamakan “materieldelict”.[7]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 92-93.
2.  Ibid. Hal.: 93.
3.  Ibid. Hal.: 93.
4.  Ibid. Hal.: 94-95.
5.  Ibid. Hal.: 94.
6.  Ibid. Hal.: 94-95.
7.  Ibid. Hal.: 95.

Rabu, 10 Juli 2019

Istilah Dan Pengertian Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya berjudul: ‘Azas-azas Tidak Tertulis Dalam Hukum Pidana’, telah kita lalui, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan pengertian dari "delik".

Istilah Delik

Di dalam KUHP (WvS) dikenal dengan istilah strafbaar feit. Kepustakaan hukum pidana sering mempergunakan istilah ‘delik’, sedangkan pembuat undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan istilah ‘peristiwa pidana’ atau ‘perbuatan pidana’, atau ‘tindak pidana’. Tanpa mempersoalkan perbedaan istilah seperti tersebut di atas, yang nantinya akan ditulis tersendiri, pada kesempatan ini akan dicari pengertian strafbaar feit lebih dahulu menurut pendapat para ahli hukum Belanda.[1]

Pengertian Delik

Vos dalam Bambang Poernomo terlebih dahulu mengemukakan arti delict sebagai “Tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna “Tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka dari situ telah ada delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru merupakan delik apabila kelakuan itu “dem Wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan.[2]

Delik menurut pengertian sebagai “Wesenschau” telah diikuti oleh para ahli hukum pidana dan jurisprudensi di negeri Belanda dalam hubungannya dengan ajaran sifat melawan hukum yang materiil.[3]

Pengertian dari istilah “strafbaar feit” menurut Vos dalam Bambang Poernomo adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilaran dengan ancaman pidana.[4]

Menurut Pompe dalam Bambang Poernomo, pengertian “strafbaar feit” dibedakan atas:[5]
  1. Definisi menurut teori memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
  2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.


Sejalan dengan definisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari Jonkers yang telah memberikan definisi ‘strafbaar feit’ menjadi dua pengertian:[6]
  1. Definisi pendek memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;
  2. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.


Jalan pikiran menurut definisi pendek pada hakikatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang.[7]
Sedangkan dalam definisi yang panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungan jawab yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Apabila dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan unsur-unsur delik tersebut akan banyak persoalan, untuk setiap kali harus dibuktikan yang merupakan beban yang berat bagi penuntut umum.[8]

Di dalam mencari elemen yang terdapat di dalam ‘strafbaar feit’ oleh Vos telah ditunjuk pendapat dari Simons yang menyatakan suatu ‘strafbaar feit’ adalah perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengertian ini dapat dikatakan suatu ‘strafbaar feit’ mempunyai elemen “wederrechtelijkheid” dan “schuld”.[9]

Bambang Poernomo menyimpulkan, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti, yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.[10]

_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 90.
2.  Ibid. Hal.: 90.
3.  Ibid. Hal.: 91.
4.  Ibid. Hal.: 91.
5.  Ibid. Hal.: 91.
6.  Ibid. Hal.: 91.
7.  Ibid. Hal.: 91.
8.  Ibid. Hal.: 91-92.
9.  Ibid. Hal.: 92.
10.        Ibid. Hal.: 92.

Senin, 08 Juli 2019

Azas-azas Tidak Tertulis Dalam Hukum Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya berjudul: 'Azas Hukum Pidana Menurut Waktu’, telah kita lalui, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai azas-azas tidak tertulis dalam hukum pidana. Kenapa di dalam tulisan ini dinamai azas-azas yang tidak tertulis dalam hukum pidana? Jawabannya adalah azas yang tidak tertulis atau tidak dirumuskan dengan tegas dalam KUHP akan tetapi telah dianggap berlaku di dalam praktik hukum pidana.[1]

Hal dimaksud meliputi empat hal, yaitu: [2]
  1. Tidak dipidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld);
  2. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden);
  3. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden);
  4. Alasan penghapus penuntutan (onvervolgbaarheid/vervolgbaarheid).


Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Azas tiada pidana tanpa kesalahan dan azas penghapusan kesalahan merupakan dua hal yang mempunyai titik kesamaan, akan tetapi penggunaannya berbeda. Tiada pidana tanpa kesalahaan adalah azas penghapusan pidana yang bersifat umum dan luas yang biasanya “schuld” itu mengandung tiga macam sifat atau elemen yang terdiri atas: pertama tentang adanya kemampuan bertanggung jawab dari pembuat, kedua tentang adanya keadaan batin tertentu dari pembuat yang dihubungkan dengan kejadian dengan bentuk kesengajaan atau kealpaan, dan ketiga karena tidak terdapatnya pertanggungjawaban dari suatu kejadian atas pembuat.[3]

Syarat kemampuan bertanggung jawab dari pembuat merupakan elemen pokok dalam azas kesalahan, ketidakmampuan bertanggungjawab berlaku bagi seseorang yang tidak dapat menginsyafi arti perbuatannya, misalkan karena di bawah umur, atau karena fungsi batrinnya tidak normal atau sakit jiwa. Bagi mereka ini tidak dapat dipidana.[4]

Elemen kedua adalah culpa atau opzet, yaitu merupakan hubungan antara keadaan batin dan kejadian karena kelakuan pembuat yang di dalam KUHP dirumuskan menjadi delik.[5]

Elemen ketiga yaitu tentang tidak terdapatnya pertanggungan jawab dari suatu keadaan batin si pembuat yang menjadi elemen ketiga dari kesalahan dan merupakan dasar untuk alasan penghapus pidana. Misalnya adalah seorang dokter yang melakukan perbuatan daya paksa (pasal 48), seseorang yang memukul orang lain karena perbuatan pembelaan terpaksa (pasal 49 ayat (2)).[6]

Alasan Pembenar

Suatu keadaan tertentu dari perbuatan seseorang yang menghapuskan atau meniadakan sifat elemen hukum sehingga perbuatan yang bersangkutan tidak melawan atau bertentangan dengan hukum (alasan pembenar), seperti misalnya perbuatan orang karena pembelaan terpaksa (noodweer) dalam pasal 49 ayat (1), atau perbuatan seseorang karena melaksanakan ketentuan undang-undang dalam pasal 50 KUHP.[7]

Alasan Pemaaf

Dasar pikiran “schulduitsluitinggronden” artinya perbuatan seseorang tetap sebagai perbuatan melawan hukum yang karena alasan tertentu perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat sehingga kesalahannya dihapuskan (dimaafkan).[8]

Alasan Penghapus Penuntutan

Vos dalam Bambang Poernomo menerangkan kejahatan harta kekayaan antara suami-isteri tidak terpisah kekayaannya atau pisah ranjang dan meja, perbuatan yang dijamin dengan parlementaire immuniteit, kesemuanya itu merupakan hal-hal tertentu yang menjadi alasan penghapusan penuntutan. Dasar logika untuk alasan penghapusan penuntutan, bagi Pasal 367 dan seterusnya karena hubungan hidup kekeluargaan, dan bagi parlementaire immuniteit untuk kepentingan bebas berbicara di dalam persidangan parlemen.[9]

Dibandingkan dengan “strafuitsluitingsgronden” yang lain, maka peniadaan pidana yang berdasarkan “vervolgbaarheid uitsluiten” mempunyai keuntungan praktis, karena tidak perlu memakan waktu dan membuang tenaga untuk sampai pada putusan Hakim untuk melepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging), melainkan cukup pernyataan tidak diterimanya penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum atas dasar pertimbangan politik kriminil pemerintah melalui saluran penghentian penuntutan.[10]  
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 80.
2.  Ibid. Hal.: 80.
3.  Ibid. Hal.: 81.
4.  Ibid. Hal.: 81.
5.  Ibid. Hal.: 81.
6.  Ibid. Hal.: 82.
7.  Ibid. Hal.: 82.
8.  Ibid. Hal.: 82.
9.  Ibid. Hal.: 83.
10. Ibid. Hal.: 83.

Sabtu, 06 Juli 2019

Azas Hukum Pidana Menurut Waktu

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya berjudul: ‘Azas Hukum Pidana Menurut Tempat’, kita telah mengerti mengenai azas-azas hukum pidana menurut tempat, maka untuk kuliah selanjutnya kita mendalami azas hukum pidana menurut waktu.

Sumber utama tentang berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, tersimpul di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Antara lain pengertian yang dapat diberikan kepada Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah:[1]

  1. Mempunyai makna “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu. (Sifat umum adagium di dalam ilmu hukum pidana);
  2. Mempunyai makna “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut” (Mr. J.E. Jonkers 1946: 37);
  3. Mempunyai makna “lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu (Mr. D.H. Suringa 1968: 305).


Pada mulanya timbul pikiran klasik melalui saluran politik untuk melindungi kepentingan “rakyat banyak” dari kekuasaan sewenang-wenang dari Raja-raja yang absolut, dengan cara membatasi kekuasaan Raja untuk menuntut dan menjatuhkan putusan pengadilan yang bertentangan dengan azas-azas yang diakui sesuai dengan hak asasi manusia.[2]

Perlindungan kepentingan rakyat di negara Barat itu ternyata lebih menitikberatkan kepada kepentingan individu yang terkandung dalam deklarasi Magna Charta 1215 dan Habeas Corpus Act 1679. Di Eropa, terutama Prancis, dianggap tokoh yang pertama adalah Montesquieu menyatakan perlunya perlindungan kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu tuntutan serta tindakan hakim yang sewenang-wenang. Seorang sarjana Jerman bernama A. Von Feurbach merumuskan adagium dalam bahasa Latin “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali” yang terkandung dalam buku karangan “Lehrbuch des peinlichen Rechts” (1801).[3]

Sepanjang sejarah perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yang mempengaruhi, kiranya dapat disusun dalam empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh azas legalitas:[4]

  1. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum (rechtszekerheid en rechtsgelijkheid) terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang.
  2. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya.
  3. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dua unsur yang sama pentingnya, yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi harus juga diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.
  4. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju kepada “a crime is a socially dangerous act of commission of ommission as prescribed in criminal law”.


Berlakunya azas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP sebenarnya tidaklah mutlak, dengan alasan bahwa KUHP bukan merupakan undang-undang dasar melainkan sekedar kodifikasi undang-undang hukum pidana, dan selain itu derajat undang-undang selalu dimungkinkan dapat diubah oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama Pemerintah) jika dipandang perlu. Lain halnya apabila asas legalitas itu sekaligus ada perumusannya di dalam Undang-undang Dasar yang tidak secara mudah untuk mengadakan perubahannya.[5]

Pembentuk undang-undang telah menetapkan pengecualiannya Pasal 1 ayat (1) KUHP di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mempunyai dua ketentuan pokok, yaitu: a). Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan; b). Dipakai aturan yang meringankan/menguntungkan. [6]

_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 68.
2.  Ibid. Hal.: 68.
3.  Ibid. Hal.: 69.
4.  Ibid. Hal.: 72-73.
5.  Ibid. Hal.: 76.
6.  Ibid. Hal.: 76.

Rabu, 03 Juli 2019

Azas-azas Hukum Pidana Menurut Tempat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya berjudul: ‘Sekilas Hukum Pidana’, kita telah mengerti mengenai definisi hukum pidana dan tugas dari ilmu hukum pidana, maka untuk kuliah selanjutnya kita mendalami hukum pidana terutama terkait dengan azas-azas hukum pidana.

Azas-azas Yang Terkandung Dalam Hukum Pidana

Azas-azas hukum pidana dapat digolongkan: a). Azas-azas yang dirumuskan di dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan lainnya; b). Azas yang tidak dirumuskan dan menjadi azas hukum pidana yang tidak tertulis, dan dianut dalam yurisprudensi.[1]

Azas hukum pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: a). Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, yang mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana; b). Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, yang mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana; c). Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang sebagai pembuat atau peserta, yang mempunyai arti penting untuk terjadinya perbuatan pidana dan penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu negara maupun yang berada di luar wilayah negara.[2]

Akan tetapi lebih baik pembagian tersebut cukup hanya menjadi dua azas, yaitu azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dan waktu saja. Hal ini disebabkan untuk lebih mudah menghadapi masalah lain di bidang hukum pidana yang sering mencampuradukkan tentang ajaran mengenai tempat dan waktu terjadinya delik/perbuatan pidana.[3]

Azas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, dapat dibedakan menjadi empat azas. Pertama yaitu azas territorial (territorialiteits-beginsel), azas personal (personaliteits-beginsel), azas perlindungan atau national passif (bescermings-beginsel atau passif nationaliteit-beginsel), dan azas universal (universaliteit-beginsel).[4]

Pasal 2 KUHP mengandung azas territorialitas, yang menyatakan aturan pidana (wettelijke strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia. Azas territorial berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun orang asing. Menurut pasal ini berlakunya undang-undang hukum pidana dititikberatkan pada tempat perbuatan di wilayah negara Indonesia dan tidak mensyaratkan bahwa si pembuat harus berada di wilayah, tetapi cukup dengan bersalah dengan melakukan perbuatan pidana yang “terjadi” di dalam wilayah negara Indonesia.[5]

Azas personal (actief nationaliteit) yang terkandung dalam Pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah, yaitu:[6]

  1. Pada ayat (1) ke-1 menentukan beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat diharapkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana negara asing, oleh karena pembuat deliknya adalah warga negara Indonesia dan karena kurang perhatian terhadap kepentingan khusus negara Indonesia, maka kepada setiap warga negara Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
  2. Ayat (1) ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa: 1) perbuatan-perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan terjadi. Dua syarat itu harus dipenuhi, sebab apabila menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, maka KUHP tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (di luar golongan pertama). Jadi semua kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga negara Indonesia di luar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama sekali. Atau dapat pula dikatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) ke-1 mempunyai tujuan khusus, sedangkan Pasal 5 ayat (1) ke-2 mempunyai tujuan umum yang bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain. Secara teoritis, akan timbul persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan kejahatan di daerah tidak bertuan (laut lepas) di dalam kapal asing atau kapal terbang.
  3. Pada ayat (2) untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang sing di luar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasi menjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan Pasal 5 ayat (1) kedua masih dapat dilaksanakan.

Pengertian azas nasional passif adalah azas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah negara bagi setiap orang, warga negara atau orang asing yang melanggar kepentingan hukum Indonesia, atau melakukan perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan kepentingan nasional Indonesia di luar negeri. Titik berat azas ini ditujukan kepada perlindungan kepentingan nasional yang dibahayakan oleh perbuatan pidana yang dilakukan seseorang di luar negeri, sehingga azas yang demikian ini juga dapat disebut azas perlindungan. Pasal 4 ke-1, ke-2 bagian akhir dan ke-3 KUHP mengandung azas nasional passif.[7]

Azas universal adalah azas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Namun tidak mungkin semua kepentingan hukum di dunia akan mendapat perlindungan, melainkan hanya untuk kejahatan yang menyangkut tentang keuangan dan pelayaran. Pasal 4 ke-2 kalimat pertama dan ke-4 KUHP mengandung azas universal yang melindungi kepentingan hukum dunia terhadap kejahatan dalam mata uang atau uang kertas dan pembajakan laut, yang dilakukan oleh setiap orang, dan dimana saja dilakukan.[8]

_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 56.
2.  Ibid. Hal.: 56-57.
3.  Ibid. Hal.: 57.
4.  Ibid. Hal.: 58.
5.  Ibid. Hal.: 58.
6.  Ibid. Hal.: 62.
7.  Ibid. Hal.: 63-64.
8.  Ibid. Hal.: 64.

Minggu, 30 Juni 2019

Sekilas Hukum Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Melanjutkan kuliah sebelumnya berjudul: ‘Pembagian Ilmu Hukum’, maka untuk kuliah selanjutnya kita sudah memasuki bagian-bagian dari ilmu hukum. Untuk bagian pertama, penulis akan membahas mengenai hukum pidana terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai preferensi saja, jika L.J. van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul: “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993., mempunyai kecenderungan dominan hukum Perdata, dan E. Utrecht dalam bukunya berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961., mempunyai kecenderungan dominan hukum tata negara, maka dalam kesempatan ini penulis memilih hukum pidana sebagai bahasan yang didahulukan.

Hukum pidana sebagai bagian dari ilmu hukum tentu memiliki keluasan, dan pada pembelajaran pertama ini akan dibahas terlebih dahulu azas-azas hukum pidana sebagai pondasinya. Pada bagian pertama ini akan dibahas terlebih dahulu pengertian hukum pidana, kemudian tugas dari ilmu hukum pidana. Tanpa basa-basi lagi, mari kita pelajari hukum pidana lebih lanjut.

Pengertian Hukum Pidana

Pompe dalam Poernomo, mendefinisikan hukum pidana sebagai: 1). Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk mengautkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat. 2). Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.[1]

D. Hazewingkel-Suringa dalam Poernomo, mendefinisikan hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale) meliputi: a). Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak; b). Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penitentiaire; c). Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma-norma tersebut di atas. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.[2]

Tugas Ilmu Hukum Pidana

Ilmu hukum pidana mempunyai tugas untuk menjelaskan, menganalisa, dan seterusnya menyusun dengan sistematis dari norma hukum pidana dan sanksi pidana agar pemakaiannya menjadi berlaku sesuai dengan kemanfaatan dalam masyarakat. Oleh karena itu yang menjadi objek ilmu hukum pidana adalah hukum pidana positif.[3]

Ilmu hukum pidana positif memandang kejahatan sebagai pelanggaran norma (rechtsnorm) dan mendapatkan pidana karena ancaman sanksi pidana (rechtsanctie) itu memang tidak dapat disangkal, akan tetapi apabila perkembangan hukum pidana positif telah sampai pada tujuan untuk memperhatikan kejahatan dan penjahat (aliran hukum pidana modern) berdasarkan kenyataan masyarakat dan kemanfaatan masyarakat berarti tidak akan lepas dari peninjauan terhadap manusia yang melanggar hukum dengan menyelidiki sebab-sebab dan cara ditindaknya (diagnose dan therapy) terhadap kejahatan itu. Penerapan hukum pidana dalam pertumbuhannya memerlukan bantuan bahan-bahan dan pengaruh hasil penyelidikan dari kriminologi.[4]

_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 19-20.
2.  Ibid.
3.  Ibid. Hal.: 38.
4.  Ibid. Hal.: 39.

Senin, 24 Juni 2019

Mendorong Pengisian Jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta Melalui Mekanisme Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Mundurnya Sandiaga Uno Dari Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta

Sandiaga Uno resmi mundur sebagai Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta usai membacakan surat pengunduran diri di Gedung DPRD D.K.I. Jakarta dalam sidang paripurna, Senin 27 Agustus 2018. Dalam rapat itu, Sandi membacakan surat pengunduran diri di depan sembilan fraksi DPRD D.K.I. "Sesuai undang-undang maka dengan ini saya Sandiaga Salahuddin Uno menyatakan berhenti dari jabatan saya Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta periode 2017-2022.”[1] Jika dihitung sampai saat ini, maka kekosongan jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta sampai saat ini telah lebih dari 9 (sembilan) bulan.

Sandi telah mengajukan surat pengunduran diri pada tanggal 9 Agustus 2018. Ia melayangkan surat ke Gubernur Anies Baswedan setelah namanya menguat sebagai cawapres Prabowo Subianto. Lalu surat itu diteruskan ke DPRD oleh Wakil Ketua DPRD D.K.I. Muhammad Taufik, sehari setelahnya. DPRD D.K.I. pun telah menggelar paripurna pada 21 Agustus 2018. Namun karena Sandi tidak hadir, rapat diundur. Setelah ini, Gerindra, PKS, dan PAN sebagai partai pengusung akan mengajukan dua nama pengganti Sandi ke DPRD D.K.I.[2] Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme hukum untuk pengisian jabatan Wakil Gubernur ini.

Mekanisme Pengisian Jabatan Wakil Gubernur

Mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur telah diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Bunyi Pasal 176 ayat (1) undang-undang dimaksud adalah sebagai berikut: “Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung.”[3]

Sedangkan bunyi ayat (2) Pasal 176 undang-undang dimaksud berbunyi sebagai berikut: “Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut.[4]

Selanjutnya terkait dengan prosesi pemilihan Wakil Gubernur dalam Rapat Paripurna DPRD, telah diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pemilihan Wagub diselenggarakan dalam rapat paripurna DPRD dan hasil pemilihannya ditetapkan dengan keputusan DPRD. Dari situ kemudian Pimpinan DPRD mengumumkan pengangkatan Wakil Gubernur baru dan menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wagub kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri).[5] Dari segi aturan, belum begitu jelas sampai berapa lama kekosongan ini diperbolehkan.

Mendorong Pengisian Jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta Melalui Mekanisme Gugatan

Sampai saat ini, partai pengusung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga S. Uno, seyogyanya sudah mulai mengeksekusi secara riil mekanisme peraturan perundang-undangan dimaksud untuk mengisi jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta, akan tetapi berbagai kendala seringkali dikemukakan, terutama terkait adanya hajatan Pilkada dan Pilpres serentak tahun 2019 ini. Tidak bisa dipungkiri, hajatan Pilpres dan Pilkada serentak dimaksud tentu menyita waktu dan tenaga, konsekwensinya hampir dipastikan pengisian ini menunggu pelantikan komposisi DPRD D.K.I. hasil Pilkada 2019 terpilih. Patut disayangkan para politisi partai pengusung sebelumnya juga tidak bergerak cepat atau setidaknya mengantisipasi kondisi kekosongan ini.

Meskipun pada dasanya jabatan Wakil Gubernur adalah satu paket dengan Gubernur, namun dengan belum juga terisinya jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta menjadikan pengelolaan tugas pemerintahan daerah menjadi tidak ideal. Sudah sewajarnya terdapat tugas-tugas pemerintahan yang dapat didelegasikan dari Gubernur kepada Wakil Gubernur, meskipun tidak menyangkut hal-hal yang signifikan. Selain itu, dengan berlarut-larutnya proses pengisian jabatan Wakil Gubernur ini, mengindikasikan ada hal yang tidak seharusnya terjadi. Atau mungkin dalam proses yang seharusnya dilakukan terdapat hal-hal yang mengganjal, ataupun digantungkan pada dinamisnya politik di luar mekanisme hukum, yang seharusnya dapat dicari solusinya dengan cepat atau dilakukan antisipasi.

Dikarenakan penulis berada di luar sistem yang seharusnya melaksanakan mekanisme dimaksud, serta dari segi aturan, belum begitu jelas sampai berapa lama kekosongan ini diperbolehkan, maka salah satu tawaran solusi hukum yang dapat ditempuh bagi rakyat D.K.I. Jakarta adalah dengan mengajukan gugatan Perdata agar mekanisme untuk mengisi kekosongan jabatan di atas segera dilaksanakan. Terutama oleh partai politik pengusung seperti Gerindra, PKS, dan PAN wilayah D.K.I. Jakarta yang seharusnya memegang inisitif untuk lebih cepat bergerak.
________________________________
1. "Sandiaga Uno Resmi Mundur sebagai Wakil Gubernur DKI", CNNIndonesia.com, Dhio Faiz, 27 Agustus 2018, Diakses pada 23 Juni 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180827151253-20-325219/sandiaga-uno-resmi-mundur-sebagai-wakil-gubernur-dki
2.     Ibid.
3.   "Kursi Wagub DKI Kosong, Begini Aturan dan Mekanisme Pengisiannya", Metrosindonews.com, Puguh Hariyanto, 12 Agustus 2018, Diakses pada 23 Juni 2019, https://metro.sindonews.com/read/1329833/171/kursi-wagub-dki-kosong-begini-aturan-dan-mekanisme-pengisiannya-1534077327
4.     Ibid.
5.     Ibid.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...