Tim Hukumindo
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan praktik bisnis,
tidak jarang dijumpai istilah ‘nota kesepahaman’ yang merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris Memorandum of
Understanding atau sering disingkat dengan ‘M.o.U’ dengan Perjanjian atau agreement. Seringkali istilah ini dijumbuhkan, terutama ketika dibawa
ke dalam ranah hukum, meskipun demikian kedua istilah ini memang saling kait
mengkait dan berdekatan, sedangkan untuk membedakan dan memahami keduanya diperlukan
usaha lebih serta ketelitian.
Istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)
‘M.o.U’ adalah kepanjangan dari istilah dalam bahasa Inggris
yaitu Memorandum of Understanding. Jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia disebut dengan ‘nota kesepahaman’. Dengan
demikian istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu: (1). Memorandum, yaitu suatu ringkasan pernyataan secara tertulis yang
isinya menjelaskan mengenai syarat sebuah perjanjian atau transaksi, dan (2) Understanding, yaitu suatu pernyataan
persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya yang sifatnya informal atau
persyaratan yang longgar.[1]
Beberapa pakar hukum memberikan pendapat sebagai berikut:[2]
- Erman Radjagukguk: “M.o.U adalah suatu dokumen yang
isinya memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat.
Isi dari Memorandum of Understanding
harus dimasuk-kan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.
- Munir Fuady: “M.o.U adalah perjanjian
pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian
lain yang mengaturnya secara detail, karena itu, memorandum of understanding
berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai aspek lain-lain dari M.o.U relatif sama dengan perjanjian lainnya”.
Dari kedua pendapat pakar hukum di atas, terdapat beberapa ‘key words’ atau kata kunci yang mengacu
pada istilah M.o.U, diantaranya
adalah ‘dokumen pra perjanjian’, ‘perjanjian pendahuluan’, ‘dijabarkan dalam
perjanjian’, ‘berisikan hal-hal pokok saja’. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa istilah M.o.U atau Nota Kesepahaman ini adalah semacam dokumen
tertulis yang merupakan perjanjian pendahuluan adapun isinya adalah berupa hal-hal
pokok yang kelak diperjanjikan lebih rinci.
Ketika M.o.U dimaknai sebagai
perjanjian pendahuluan, maka di dalam M.o.U
biasanya dicantumkan “intention to create
legal relation” oleh kedua belah pihak.[3]
Ciri-ciri Nota Kesepahaman (M.o.U)
Adapun ciri-ciri dari Nota Kesepahaman (M.o.U) adalah sebagai berikut:[4]
- Umumnya isi M.o.U dibuat secara ringkas, bahkan seringkali hanya dibuat satu halaman saja.
- Isi di dalam M.o.U adalah hal-hal yang sifatnya pokok atau umum saja.
- M.o.U sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh kesepakatan lain yang isinya lebih detail.
- M.o.U jangka memiliki jangka waktu yang cukup singkat, misalnya sebulan hingga satu tahun. Jika tidak ada tindak lanjut dengan perjanjian yang lebih rinci dari kedua belah pihak, maka nota kesepakatan tersebut batal.
- Umumnya nota kesepahaman (M.o.U) dibuat dalam bentuk perjanjian di bawah tangan.
- M.o.U digunakan sebagai dasar untuk membuat perjanjian untuk kepentingan banyak pihak, misalnya: investor, kreditor, pemegang saham, pemerintah, dan lainnya.
Perlu di pahami, dalam praktik, meskipun M.o.U dikatakan mempunyai salah
satu ciri yaitu ‘ringkas’ (Catatan: untuk contoh Nota Kesepahaman (M.o.U) yang ringkas/sederhana dapat dengan mudah diperoleh contohnya di internet), akan tetapi hal ini sangat tergantung dari volume perihal
yang nantinya akan diatur, adakalanya ketika isi dari perihal yang akan diatur
ini juga banyak, maka M.o.U-nya juga tidak hanya satu halaman saja, namun lebih
dari itu. Perhatikan contoh yang dikutip dari situs www.acehkita.com[5], terkait Nota Kesepahaman (M.o.U) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka berikut ini.
Tujuan Nota Kesepahaman (M.o.U)
Pada dasarnya M.o.U yang dibuat oleh para pihak memiliki tujuan tertentu. Menurut
Munir Fuady, beberapa tujuan dari M.o.U adalah sebagai berikut:[6]
- Memudahkan Proses Pembatalan Suatu Kesepakatan. Dalam hal untuk prospek bisnis yang belum jelas benar
sehingga masih ada kemungkinan terjadi pembatalan kesepakatan. Dalam hal ini,
pembuatan M.o.U karena belum ada kepastian mengenai kesepakatan kerja sama
namun kedua belah pihak perlu merasa perlu menindaklanjuti kemungkinan
kerjasama tersebut.
- Sebagai Ikatan yang Sifatnya Sementara. Proses kesepakatan dan penandatanganan kontrak biasanya
membutuhkan waktu dan negosiasi yang cukup alot. Maka M.o.U dibuat dan berlaku
untuk sementara agar kedua belah pihak memiliki ikatan sebelum penandatanganan
kontrak kerjasama.
- Sebagai Pertimbangan dalam Kesepakatan. Tidak jarang pihak-pihak yang ingin bekerjasama masih
ragu dan membutuhkan waktu untuk berpikir mengenai penandatanganan kerjasama
yang akan dilakukan. Maka untuk sementara dibuatlah Nota Kesepahaman.
- Sebagai Gambaran Besar Kesepakatan. Nota kesepahaman dibuat dan ditandatangani oleh pejabat
eksekutif suatu perusahaan dimana isinya lebih umum. Sedangkan isi perjanjian
yang lebih rinci akan dibuat dan dinegosiasikan oleh staf-staf yang menguasai
hal-hal teknis.
Manfaat Nota Kesepahaman (M.o.U)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Nota Kesepahaman (M.o.U) seyogyanya
memiliki manfaat bagi para pihak yang ingin membuat suatu perjanjian. Terdapat
dua manfaat dari M.o.U, yaitu:[7]
- Manfaat Yuridis. Manfaat yuridis adalah adanya kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang
membuat kesepakatan. Selain itu, M.o.U dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi
setiap pihak yang membuatnya.
- Manfaat Ekonomis. Manfaat ekonomisnya adalah adanya penggerakan hak milik sumber daya yang
awalnya nilai penggunaannya rendah menjadi lebih tinggi setelah adanya M.o.U.
Definisi Perjanjian &
Unsur-unsurnya
Perjanjian adalah salah satu istilah hukum. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata
Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan hukum antara dua orang
atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
Dengan demikian, terdapat beberapa unsur dari Perjanjian. Pertama adalah unsur adanya perbuatan. Kedua adalah adanya subjek hukum, dalam
hal ini bisa satu orang dengan satu orang lainnya, atau lebih. Unsur ketiga adalah timbulnya hubungan hukum
berupa perikatan. Unsur terakhir atau keempat
adalah adanya hak dan kewajiban para pihak yang mengikatkan diri dalam
perjanjian.
Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
yaitu sebagai berikut:
1. Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal
tertentu;
4. Suatu sebab
yang halal.
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan
dengan para subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat
dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian.[8]
Syarat Pertama “sepakat mereka yang
mengikatkan diri” berarti, para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat
atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana
kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau
kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata). Misalnya, sepakat untuk melakukan
jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb. Syarat
Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu
perikatan” Pasal 1330 KUH Perdata sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang
boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian.[9]
Syarat Ketiga “suatu hal tertentu”
maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek
perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (lihat
Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). Misalnya, jual beli tanah dengan luas 500 M2,
terletak di Jl. Merpati No: 15, Jakarta Pusat, yang berbatasan dengan sebelah utara
dengan sungai Ciliwung, sebelah selatan dengan Jalan Raya Bungur, sebelah timur
dengan sekolah dasar inpres, dan sebelah barat dengan tempat pemakaman umum. Syarat
Keempat “suatu sebab yang halal”
berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau
yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum
(Pasal 1337 KUH Perdata). Misalnya melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau
perjanjian jual beli orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini adalah dilarang
dan tidak sah.[10]
Kekuatan Hukum Perjanjian
Mengenai kekuatan hukum perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang berbunyi sebagai berikut:
“Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang
membuatnya”.
Sudah cukup jelas bahwa terkait dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat
secara sah, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan
diri pada perjanjian yang telah dibuat.
Perbedaan Nota Kesepahaman (M.o.U)
dengan Perjanjian
Setelah mempelajari kedua hal di atas, yaitu Nota Kesepahaman (M.o.U) dengan Perjanjian (agreement), maka menurut Penulis, terdapat setidaknya tiga perbedaan penting. Pertama adalah perbedaan Istilah. Apakah di dalam KUH Perdata
dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)? Jawabannya adalah KUH Perdata tidak
mengenal istilah Nota Kesepahaman atau M.o.U., istilah ini menurut hemat
penulis muncul dalam konteks keseharian, khususnya banyak dipergunakan dalam
bidang bisnis. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa secara hukum tidak
dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U), yang dikenal adalah istilah
Perjanjian. KUH Perdata tidak mengenal istilah Pra Perjanjian atau Perjanjian
Pendahuluan.
Kedua adalah terkait isi. Telah diuraikan di atas bahwa Nota
Kesepahaman (M.o.U) mempunyai muatan perjanjian yang ringkas, memuat hal-hal yang
sifatnya umum atau pokok saja, sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh
kesepakatan lain yang isinya lebih detail, jangka waktunya pendek, dll. Sedangkan
Perjanjian, sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, hanya diatur mengenai
syarat-syarat terpenuhinya perjanjian yang sah. Apakah bisa sebuah dokumen
dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) sedangkan isinya ternyata berupa perjanjian
sederhana yang sah secara hukum? Jawabannya adalah sepanjang memenuhi
syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, maka dokumen yang dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) dimaksud sah dan
mengikat para pihak secara hukum.
Ketiga adalah terkait kekuatan hukumnya. Sebagaimana diuraikan
di atas, dikarenakan Nota Kesepahaman ini adalah bukan istilah hukum, maka
tidak diatur dalam KUH Perdata mengenai kekuatan hukumnya. Sedangkan sebuah
perjanjian, sebagaimana diterangkan sebelumnya, berlaku sebagai Undang-undang
bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian yang telah dibuatnya.
Akan tetapi, perlu dicermati bahwa sebuah dokumen yang dinamakan Nota
Kesepahaman (M.o.U) pun yang isinya ternyata berupa perjanjian sederhana yang
sah secara hukum adalah mengikat para pihak yang membuatnya layaknya
Undang-undang.
Semoga bermanfaat.
___________________________________
1. "Arti MoU (Memorandum of Understanding):
Pengertian, Tujuan, Manfaat, dan Jenisnya", www.maxmanroe.com, Diakses
pada 10 September 2019, https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/arti-mou.html.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Naskah Perjanjian Damai RI dan GAM", www.acehkita.com, Tanggal 23 November 2011, Diakses tanggal 10 September 2019, http://www.acehkita.com/naskah-perjanjian-damai-ri-dan-gam/
6. www.maxmanroe.com., Op.Cit.
7. www.maxmanroe.com., Op.Cit.
8. “Syarat Sahnya
Perjanjian", Konsultanhukum.web.id, Diakses tanggal 10 September 2019,
https://konsultanhukum.web.id/syarat-sahnya-perjanjian/
9. Ibid.
10. Ibid.