(kanalaceh.com)
Oleh:
Tim Hukumindo
Pada
kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)’, telah dilakukan
pembahasan, masih pada bab yang sama tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan
Penghapusan Pidana, dan selanjutnya untuk kesempatan yang satu ini akan dikaji mengenai
melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk
Bevel).
Hukum
positif terkait dengan melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel) terdapat dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Pasal 51 ayat 1 KUHP: tidaklah dapat dihukum
barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan
yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah
tersebut”. Dalam bahasa Belanda, rumusan ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat
ter uitvoering van een ambtelijk bevel,
gegeven door het daartoe bevoegde gezag’. Dan Pasal 51 ayat 2 KUHP: perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan
hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya”.
Melaksanakan
perintah jabatan dibedakan dalam dua hal, yaitu perintah jabatan yang (ber)wenang
(Pasal 51 ayat 1 KUHP) dan perintah jabatan tanpa (we)wenang (Pasal 51 ayat 2
KUHP). Hubungan antara perintah jabatan dan dengan pihak yang diperintah harus
mempunyai hubungan hukum yang bersifat berlaku umum, baik menurut isinya
peraturan itu sendiri maupun karena sesuatu pernyataan penguasa yang berwenang.[1]
Adapula
syarat bahwa mengenai cara dan alat yang dipakai untuk melaksanakan perintah
jabatan harus sesuai, dalam arti tidak boleh terjadi seorang penjual rokok
mendapat perintah dari jaksa untuk melaksanakan perintah jabatan menahan
tersangka.[2]
Perintah
yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak berwenang (Pasal 51 ayat 2) tidak
dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi
syarat: (1). Secara subjektif yang diperintah itu mempunyai itikad baik, yaitu
dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak
sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah; dan (2). Secara objektif
adalah masuk karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan
pekerjaannya.[3]
Dari
sebab itu perintah jabatan pada Pasal 51 ayat 1 di situ perbuatannya
dibenarkan, tidak bersifat melawan hukum sebagai rechtvaardigingsgrond, maka perintah jabatan tidak berwenang Pasal
51 ayat 2, di situ perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, sehingga tidak
dipidananya adalah karena dihapuskannya kesalahannya, atau dimaafkan.[4]
Memang
oleh pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan bahwa perintah jabatan
tanpa wewenang itu menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika dipenuhi syarat
subjektif adanya itikad baik dan syarat objektif masuk dalam lingkungan
pekerjaan orang yang diperintah, maka syarat-syarat yang demikian itu dapat
menghapuskan kesalahan.[5]
_________________________________ |
1.“Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 201.
2. Ibid.
Hal.: 201.
3. Ibid.
Hal.: 201.
4. Ibid.
Hal.: 201-202.
5. Ibid. Hal.: 202.