Jumat, 24 Januari 2020

Perihal Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)

(kanalaceh.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)’, telah dilakukan pembahasan, masih pada bab yang sama tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana, dan selanjutnya untuk kesempatan yang satu ini akan dikaji mengenai melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel).

Hukum positif terkait dengan melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel) terdapat dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Pasal 51 ayat 1 KUHP: tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”. Dalam bahasa Belanda, rumusan ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag’. Dan Pasal 51 ayat 2 KUHP: perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.

Melaksanakan perintah jabatan dibedakan dalam dua hal, yaitu perintah jabatan yang (ber)wenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP) dan perintah jabatan tanpa (we)wenang (Pasal 51 ayat 2 KUHP). Hubungan antara perintah jabatan dan dengan pihak yang diperintah harus mempunyai hubungan hukum yang bersifat berlaku umum, baik menurut isinya peraturan itu sendiri maupun karena sesuatu pernyataan penguasa yang berwenang.[1]

Adapula syarat bahwa mengenai cara dan alat yang dipakai untuk melaksanakan perintah jabatan harus sesuai, dalam arti tidak boleh terjadi seorang penjual rokok mendapat perintah dari jaksa untuk melaksanakan perintah jabatan menahan tersangka.[2]

Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak berwenang (Pasal 51 ayat 2) tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat: (1). Secara subjektif yang diperintah itu mempunyai itikad baik, yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah; dan (2). Secara objektif adalah masuk karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.[3]

Dari sebab itu perintah jabatan pada Pasal 51 ayat 1 di situ perbuatannya dibenarkan, tidak bersifat melawan hukum sebagai rechtvaardigingsgrond, maka perintah jabatan tidak berwenang Pasal 51 ayat 2, di situ perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, sehingga tidak dipidananya adalah karena dihapuskannya kesalahannya, atau dimaafkan.[4]

Memang oleh pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang itu menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika dipenuhi syarat subjektif adanya itikad baik dan syarat objektif masuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah, maka syarat-syarat yang demikian itu dapat menghapuskan kesalahan.[5]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 201.
2.  Ibid. Hal.: 201.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201-202.
5.  Ibid. Hal.: 202.

Rabu, 22 Januari 2020

Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)

(valery-petelin-police-in-action)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam kuliah hukum pidana, khususnya bab tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana. Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)’, telah dilakukan pembahasan, dan pada kesempatan ini akan dikaji mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang (wettelijkvoorchrift).

Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Bertindak untuk melaksanakan ketentuan undang-undang menurut Pasal 50 KUHP tidak dipidana. Dasar alasan penghapusan pidana dari Pasal 50 KUHP adalah paling mudah jalan pemikirannya, oleh karena sudah selayaknya barangsiapa yang oleh undang-undang yang satu diperintah/diberi kekuasaan untuk menjalankannya, di situ tidak akan dipidana oleh undang-undang yang lain, sebab jika tidak demikian tidak akan ada orang yang berani menjalankan undang-undang yang sering memuat larangan/perintah yang berat.[1]

Perbuatannya tidak bersifat melawan hukum, sehingga perbuatan itu dibenarkan karena rechtvaardigingsgrond. Namun tidak berarti meskipun melaksanakan undang-undang itu tanpa batas-batas yang patut, seperti halnya polisi menembak tahanan yang lari tanpa alasan isyarat lebih dahulu. Beberapa yurisprudensi menunjukan bahwa tiap-tiap kasus ditinjau sendiri-sendiri.[2]

Suatu perkataan “menjalankan/melaksanakan” peraturan undang-undang, masih terdapat perbedaan pendapat antara di satu pihak terbatas menjalankan kewajiban, dan di lain pihak mencakup perbuatan menjalankan kewajiban serta menjalankan kekuasaan. Dalam yurisprudensi pernah memutus dengan menganut pandangan yang pertama maupun yang kedua dengan mencakup verplichting dan bevoegheid.[3]

Mengenai arti perkataan “ketentuan/peraturan undang-undang” dalam perkembangan yang terdapat di dalam yurisprudensi sampai dengan tahun 1914, telah diterima sebagai pengertian ketentuan/peraturan undang-undang dalam arti formal maupun yang materiil, tidak hanya peraturan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang saja, melainkan setiap kekuasaan yang berwenang untuk membuat peraturan yang berlaku mengikat.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 200.
2.  Ibid. Hal.: 200.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201.

Senin, 20 Januari 2020

Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

(shutterstock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Daya Paksa (Overmacht)’, telah kita bahas, dan pada kesempatan ini akan dikaji tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer).

Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.

Pasal 49 KUHP mengatur tentang pembelaan terpaksa dengan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu untuk perbuatan itu tidak dapat dipidana. Pada hakikatnya pembelaan terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting), akan tetapi dalam batas tertentu diperkenankan karena semata-mata untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan keadaan demikian itu tidak dapat diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan pertolongan guna mencegah kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri.[1]

Syarat untuk terjadinya pembelaan terpaksa harus dipenuhi sifat-sifat berupa: (1). Harus ada serangan, yaitu: a). Yang timbul secara mendadak; b). Yang mengancam secara langsung; c). Yang bersifat melawan hukum. (2). Adanya pembelaan, yaitu: a). Sifatnya harus terpaksa; b). Dorongan yang dilakukan harus seimbang; c). Kepentingan yang dibela hanya tubuh manusia, kesusilaan dan benda.[2]

Suatu sifat khusus di Indonesia dengan pertimbangan wilayahnya yang luas dan petugasnya tidak mencukupi, maka dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP ditentukan, bahwa serangan harus timbul mendadak atau ancaman seranganan secara langsung berarti bahwa tidak perlu serangan sudah dimulai.[3]

Ditentukan pula untuk pembelaan terpaksa harus berhadapan dengan serangan yang melawan hukum, dengan sendirinya serangan itu harus dilakukan oleh orang. Serangan yang datangnya dari binatang buas menjadi tidak termasuk, sedangkan serangan dari orang gila dapat dipandang sebagai noodweer.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 197.
2.  Ibid. Hal.: 198.
3.  Ibid. Hal.: 198.
4.  Ibid. Hal.: 198.

Jumat, 17 Januari 2020

Tentang Daya Paksa (Overmacht)

(123RF.com)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana’, telah kita lalui, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai daya paksa (overmacht).

Daya paksa yang disebut dalam Pasal 48 KUHP (“Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana”) memberikan dasar tentang tidak dipidananya suatu perbuatan karena didorong oleh keadaan memaksa. MvT memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan, suatu tekanan yang tidak dapat dielakkan.[1]

Jonkers membagi overmacht ke dalam tiga bagian:[2]
  1.  Overmacht yang absolut yaitu orang yang mengalami sesuatu yang tidak dapat dilawan karena pengaruh yang dialami baik yang bersifat kejasmanian maupun kejiwaan. Contoh: seseorang yang dipegang oleh orang yang lebih kuat lalu melemparkan sehingga timbul kerusakan pada barang-barang, atau seseorang yang terkena hypnose sehingga tidak sadar melakukan pertunjukan cabul di depan umum;
  2. Overmacht yang relatif yaitu orang yang mengalami pengaruh yang tidak mutlak akan tetapi paksaannya tidak dapat dilawan. Contoh: seorang pemimpin bank yang di bawah ancaman pistol menyerahkan sejumlah uang kepada perampok;
  3. Noodtoestand yaitu keadaan darurat karena seseorang terpaksa melakukan didorong oleh keadaan dari luar untuk memilih di antara dua peristiwa yang sama jeleknya.

Bagi Prof. Moeljatno, S.H dalam Bambang Poernomo, semua daya paksa ini mempunyai keadaan dimana fungsi batinnya tak dapat bekerja secara normal karena tekanan dari luar, kepada orang itu dapat dimaafkan kesalahannya.[3]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 194.
2.  Ibid. Hal.: 195.
3.  Ibid. Hal.: 197.

Rabu, 15 Januari 2020

Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Akibat Hukum Dari Pemikiran Tentang Perbuatan Pidana Dan Kesalahan’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai azas-azas dan dasar alasan penghapusan pidana. Pada bagian ini pembaca akan dihantarkan untuk memahami mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Oleh pembentuk undang-undang, selain menuangkan rumusan perbuatan pidana, juga menentukan pengecualian dengan batasan tertentu, bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana, sehingga disitu terdapat alasan penghapus pidana.[1]

Sebaliknya pembentuk undang-undang juga menentukan karena keadaan tertentu yang menyertai perbuatan pidana, mengakibatkan alasan mengurangi pidana, dan juga mengakibatkan alasan memberatkan pidana.[2]

Meskipun kadang-kadang hanya didapatkan suatu perbedaan terminologi untuk tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana, dalam ilmu pengetahuan diperlukan perbedaan dasar yaitu atas dasar alasan penghapusan penuntutan (vervolgingsuitsluitings gronden) dan atau atas dasar alasan penghapus pidana (strafuitsluitings gronden).[3] Pembuat undang-undang kemudian menggunakannya istilah dimaksud secara tidak persis namun maksudnya adalah sama.

Menurut Van Hamel, strafuitsluitings gronden dibedakan antara alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) dan alasan yang menghapuskan sifat dapat dipidana (strafwaardigheid).[4]

Vos dalam Bambang Poernomo, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) mempunyai arti dihapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan sehingga perbuatan itu dibenarkan, dengan kata lain disebut alasan pembenar. Hal ini merupakan bagian objektif. Sedangkan alasan yang menghapuskan sifat dapat dipidana (strafwaardigheid) artinya dihapuskan dari pertanggungjawaban si pembuat atau dihapuskan kesalahan si pembuat sehingga perbuatan itu tidak dipidana, dengan kata lain disebut alasan pemaaf. Hal ini merupakan bagian subjektif.[5]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 191.
2.  Ibid. Hal.: 191.
3.  Ibid. Hal.: 191.
4.  Ibid. Hal.: 192.
5.  Ibid. Hal.: 193.

Senin, 13 Januari 2020

Akibat Hukum Dari Pemikiran Tentang Perbuatan Pidana Dan Kesalahan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Kesalahan Sebagai Elemen Subjektif Dari Strafbaar Feit’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai akibat hukum dari pemikiran tentang perbuatan pidana dan kesalahan. Patut diperhatikan di sini ada dua terminologi yang kemudian dibahas, yaitu antara terminologi ‘perbuatan pidana’ dan terminologi ‘kesalahan’.

Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan adanya dua pengertian strafbaar feit dari para sarjana hukum pidana Belanda, sejak dahulu membuat perbedaan antara pengertian strafbaar feit menurut doktrin ilmu pengetahuan dan strafbaar feit menurut dasar hukum positif.[1]

Untuk strafbaar feit menurut para penulis hukum pidana Belanda sendiri dalam perkembangannya tidak mempunyai kesatuan pendapat, sehingga terdapat dua pengertian yaitu menurut makna cara lama (tradisional) dan menurut makna cara baru, yang terakhir nampaknya lebih sesuai dengan perkembangan hukum pidana di beberapa negara. Makna tradisional dari strafbaar feit yang mempunyai arti suatu kelakuan yang melanggar hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan pidana kepada orang yang dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan perkataan lain maknanya mencakup unsur-unsur perbuatan pidana dan unsur-unsur kesalahan sekaligus, kiranya harus diperbaiki dengan membuat pemisahan antara perbuatan pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan itu yang dilarang dengan diancam pidana, dan di lain pihak kesalahan yang menitikberatkan pada orang yang dapat dipidana.[2]

Oleh karena itu perbuatan pidana dipisahkan dari kesalahan, seperti halnya “criminal act” yang mempunyai makna sendiri dipisahkan dengan “criminal responsibility” dalam sistem pidana Anglo-Saxon. Prof. Moeljatno, S.H. dalam pidato Dies Natalis Universitas Gadjah Mada 1955 memberikan dasar pemikiran pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum pidana di Indonesia. Perbuatan pidana yang hanya menunjukan sifatnya perbuatan yang dilarang, tidaklah mungkin perbuatan itu meliputi juga sifat dari dipidananya orang yang melanggar larangan. Beberapa peraturan hukum pidana Indonesia sekarang sudah banyak yang disusun atas dasar pemikiran pemisahan antara ketentuan perbuatan pidana dan ketentuan tentang pertanggungjawaban pidana yang berupa ancaman pidana, seperti susunan pada Undang-undang Nomor: 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.[3]

Dalam Undang-undang tersebut memuat tentang sifat perbuatan yang dilarang pada Bab I, sebagai perbuatan pidana disebut pada Pasal 1 ayat (1) a, b, c, d, e dan ayat (2), sedangkan mengenai ketentuan tentang pertanggungjawaban dengan ancaman pidana pada Bab V disebut dalam Pasal 28. Di situ jelas pada Bab I membuat tentang perbuatan apa yang dilarang sebagai perbuatan pidana, sedangkan pada Bab V memuat tentang ancaman pidana bagi orang/pembuat yang melanggar larangan.[4]

Dengan uraian dari apa yang tersebut di atas, antara perbuatan pidana dengan titik berat tentang perbuatan yang dilarang, yang dipisahkan dari kesalahan dengan titik berat dapat dipidananya orang yang melanggar larangan, adalah merupakan pemikiran hukum pidana yang dapat disalurkan untuk merumuskan undang-undang baru yang tidak tradisionil lagi.[5]

_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 180.
2.  Ibid. Hal.: 182.
3.  Ibid. Hal.: 182.
4.  Ibid. Hal.: 182-183.
5. Ibid. Hal.: 183.

Senin, 06 Januari 2020

Alasan-alasan Hukum Mengajukan Perceraian

(dailymail)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebagaimana diketahui, sebelumnya telah dibahas mengenai "Gugatan Cerai di Tangerang" dan "Gugatan Cerai di Jakarta", serta "How to submit a divorce lawsuit in Indonesia" pada versi bahasa Inggris. Pada bagian tersebut diterangkan secara baik untuk kepentingan para pembaca dengan narasi yang tidak terlalu kental teknis hukumnya, sehingga sangat berguna untuk khalayak ramai mengerti tahapan pengajuannya secara mandiri.

Selain daripada itu, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari artikel-artikel sebagaimana dimaksud di atas, www.hukumindo.com juga telah dilengkapi dengan artikel "Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Tangerang)" dan "Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Jakarta)",  dimana masing-masing artikel dimaksud secara teknis hukum telah menerangkan bagaimana menyusun surat gugatan yang memenuhi kaidah-kaidah minimal hukum acara.

Sebagai kelanjutan dari artikel-artikel di atas, pada bagian ini, akan diterangkan mengenai alasan-alasan hukum dalam mengajukan gugatan perceraian. Sepengalaman penulis berpraktik, banyak sekali alasan-alasan klien atau mantan klien atau hanya calon klien ketika akan mengajukan gugatan, akan tetapi tentu saja dikarenakan pada umumnya awam hukum, maka alasan-alasan tersebut bukanlah alasan-alasan yang diatur sebagaimana undang-undang memperbolehkannya, atau kadang-kadang alasan-alasan sebagaimana dikemukakan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang tentu saja menjadi salah satu tugas advokat dalam menjalankan profesinya.

Pada bagian ini secara khusus akan membahas mengenai alasan-alasan hukum dimaksud. Meskipun termasuk teknis hukum, akan tetapi disajikan sesederhana mungkin agar mudah dimengerti oleh semua kalangan, khususnya yang mempunyai kepentingan akan mengajukan gugatan dimaksud. Beberapa peraturan perundang-undangan mengatur secara jelas alasan-alasan mengajukan perceraian ini, misalnya pada Penjelasan Pasal 39 ayat 2 (dua) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya Pasal 19 sebagaimana dikutip sebagai berikut:
  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam, khususnya pada Buku I tentang Hukum Perkawinan, Pasal 116 ditambahkan alasan sebagai berikut:
  1. Suami melanggar taklik talak; dan
  2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hal ini harus dimaknai bahwa terdapat kekhususan alasan-alasan perceraian untuk yang beragama Islam, jika dihitung, maka untuk yang beragama Islam dapat mengajukan 8 (delapan) alasan perceraian, sedangkan untuk non muslim hanya 6 (enam) saja. Dalam tataran praktik, sudah menjadi kelaziman ketika mengajukan sebuah gugatan perceraian pada umumnya seorang Penggugat mengajukan maksimal 3 (tiga) alasan-alasan sebagaimana diatur di atas.
________________
Referensi: "Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan", Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam  Departemen Agama Republik Indonesia, 2009.

Senin, 02 Desember 2019

Contoh Surat Pencabutan Kuasa

(virgielaw)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya beragam bentuk surat kuasa, diantaranya: Contoh surat kuasa untuk menagih utang, kemudian Contoh surat kuasa membeli tanah, ada juga Contoh surat kuasa menyewakan rumah, lalu Contoh surat kuasa menjual tanah, terdapat juga Contoh surat kuasa untuk mengurus balik nama sertifikat, contoh lainnya adalah Contoh surat kuasa untuk pencairan deposito, yang lain adalah Contoh surat kuasa mengurus pajak, Contoh surat kuasa pendaftaran merek, Contoh surat kuasa pendaftaran paten, Contoh surat kuasa menghadiri RUPS, dan Contoh surat kuasa menjual kendaraan bermotor, akan tetapi sebaliknya, sebuah surat kuasa juga dapat dilakukan pencabutan, dan pada kesempatan ini akan diberikan contoh pencabutan surat kuasa. 

Sebelum itu, perlu dipahami bahwa lazimnya Kuasa yang diterima oleh Penerima Kuasa sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Pemberi Kuasa secara sepihak, sebagaimana ketentuan Pasal 1813 dan 1814 KUHPerdata (BW).

Pencabutan Kuasa

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama:.....................
NIK:.....................
Pekerjaan:.....................
Alamat:.....................

Sebagaimana Surat tertanggal .................... telah memberikan Kuasa perihal ........................ kepada:

Nama:.....................
NIK:.....................
Pekerjaan:.....................
Alamat:.....................

Dengan ini menerangkan bahwa terhitung tanggal .........................., sebagaimana perihal surat ini, mencabut kuasa dimaksud. Oleh karena itu, surat kuasa yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat dipergunakan lagi. Demikian hal ini disampaikan.

Kota/Kabupaten .......................
Tanggal .....................



(......................)

___________________
Catatan: untuk dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...