Minggu, 29 Maret 2020

Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama

(cnnindonesia.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Siapa yang mengetahui nama Kapolri yang pertama? Bagi sebagian praktisi hukum pada era millenial ini, tentu tidak semuanya tahu siapa Kapolri pertama. Adalah tugas kita semua untuk turut serta mencari tahu mengenai Kapolri pertama. Tulisan ini bermaksud menyediakan informasi yang memadai guna mengetahui siapa RS Soekanto Tjokrodiatmodjo yang merupakan tokoh Kapolri pertama. Pertama, akan dibahas mengenai sejarah singkat institusi Polri dimana tokoh dimaksud mengabdi. Kedua, dibahas secara singkat perihal riwayat karir pada institusi Polri. Kemudian, ketiga, disinggung mengenai akhir jabatan yang diembannya. Terakhir, atau keempat, disinggung mengenai jasa tokoh dimaksud pada institusi Polri. 

Sejarah Singkat Institusi Polri

Pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[1]

Mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada masa negera Republik Indonesia Serikat, Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia Serikat berada di bawah Perdana Menteri dengan perantaraan Jaksa Agung dalam bidang politik dan operasional. Sementara itu dalam hal pemeliharaan dan susunan administrasi bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri. Presiden RIS, Soekarno pada tanggal 21 Januari 1950 mengangkat kembali Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Republik Indonesia Serikat. Setelah RIS bubar, Soekanto diangkat kembali sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Republik Indonesia.[2]

Pada tahun 1961 Kepolisian Negara menjadi bagian dari angkatan bersenjata. Pada tahun 1962 jabatan kepala jawatan kepolisian diubah menjadi Menteri/Kepala Kepolisian Negara, dan diubah lagi menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian Negara. Pada masa Kabinet Dwikora jabatan Kapolri diubah lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian.[3]

Setelah reorganisasi ABRI tahun 1970, kembali menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang berada di bawah komando dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima ABRI). Mulai tanggal 1 April 1999, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipisahkan dengan Tentara Nasional Indonesia dari ABRI dan menjadi berdiri sendiri. Kapolri dipilih oleh Presiden berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.[4]

Riwayat Singkat Karir Soekanto Sebagai Polisi

Soekanto lahir di Bogor pada 7 Juni 1908 dan cukup mentereng sejak masa mudanya. Dia adalah lulusan HBS KW III, yang gedungnya kini menjadi kompleks Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta Pusat. Menurut G. Ambar Wulan dalam Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949 (2009: 33), setelah lulus dari HBS, Soekanto sempat kuliah di Recht Hooge School (sekolah tinggi hukum) Jakarta.[5]

Soekanto kemudian memilih untuk mengikuti jejak ayahnya, yang saat itu merupakan pensiunan mantri polisi di Tangerang. Maka pada 1930, Soekanto mendaftar di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi. Sebelum masuk sekolah polisi itu, dia sempat aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Sejak 1933, masih menurut Ambar Wulan, Soekanto menjadi aspiran komisaris polisi kelas tiga dan bertugas di bagian lalu lintas di Semarang. Kemudian dia dipindah ke bagian reserse dan berlanjut di Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Di antara tiga bagian itu, seperti dicatat buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000: 24), yang paling disukai Soekanto adalah reserse.[6]

Ambar Wulan menyebut (hlm. 34), selain di Semarang, Soekanto pernah pula bertugas pada bagian pengawasan di Purwokerto dengan pangkat komisaris polisi kelas dua dan kemudian menjabat Kepala Polisi Seksi III di Semarang. Sejak 1940, Soekanto ditugaskan menjadi pimpinan teknis di Kalimantan bagian selatan sambil merangkap sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat komisaris polisi kelas satu. Hingga datangnya Jepang, dia masih di sana. Setelahnya dia ditempatkan di Jakarta, lalu dijadikan pengawas di sekolah polisi Sukabumi. Hoegeng Imam Santoso dalam autobiografinya, Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 137), menyebut Soekanto di zaman Jepang pernah menjadi instruktur di Sekolah Kader Tinggi Polisi di Sukabumi. Di situ, Hoegeng menjadi salah satu murid Soekanto. Ketika Hoegeng menjadi mayor di Polisi Militer di Angkatan Laut, Soekanto adalah orang yang menyadarkan Hoegeng menjadi polisi sipil kembali.[7]

Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Sukarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945. Menurut Ambar Wulan, Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Sukarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Ternyata, dalam sidang kabinet itu, Sukarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut. Ketika ditunjuk Sukarno, Soekanto sempat menyampaikan bahwa ada perwira polisi yang lebih senior darinya seperti Asikin Natanegara di Gunseikanbu, Ating Natakusumah di Palembang, dan Raden Joesoef bin Snouck Hurgronje di Bandung. Sukarno pun memberi ketegasan soal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pengangkatan itu terkait masa lalu Soekanto di era pergerakan nasional. “Soekanto diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk membentuk Polisi Negara RI,” tulis Ambar Wulan dan kawan-kawan dalam Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (2006: 121).[8]

Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakoesoemah V. Setelah November 1945, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri, hingga Maret 1946. Pada 1 Juli 1946 keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946 yang mengeluarkan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri. Soekanto sempat berkantor di Jalan Rijswijk (kini menjadi Jalan Veteran) di kantor Kementerian Dalam Negeri. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, kepolisian pun ikut pindah ke Purwokerto dari Jakarta. Sementara itu, militer Inggris sebagai perwakilan tentara Sekutu di Indonesia barat pada 16 Januari 1946 membentuk Civil Police (polisi sipil) di Jakarta. Menurut Ambar Wulan (2009: 39), Soekanto pernah ditangkap tentara Inggris dan ditawari bergabung dalam Civil Police, namun dia menolaknya. Soekanto sebagai orang yang pernah dekat dengan pergerakan nasional lebih memilih berdiri di belakang Republik.[9]

Bersama jabatan itu, Soekanto merasakan bahaya revolusi. Dalam suatu kunjungan ke Jawa Timur, seperti diakuinya dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II (1983: 325-326), tempat yang hendak dikunjungi Soekanto dan rombongannya kena bom oleh militer Belanda. Soekanto dan rombongan terhindar dari maut karena mobil yang mereka tumpangi mogok.[10]

Akhir Jabatan Yang Unik

Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara dari 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Ketika akan lengser, nama jabatan Soekanto adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Pada era itu polisi mulai menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).[11]

Mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso menyebut pelengseran Soekanto dari jabatan Menpangak boleh dikata cukup unik. Soekanto didongkel oleh sekelompok perwira tinggi yang menganggap dirinya lebih mementingkan urusan kebatinan ketimbang urusan kepolisian.[12]

Soekanto tutup usia pada 24 Agustus 1993, tepat hari ini 26 tahun lalu, di Jakarta. Dia dimakamkan satu liang dengan istrinya yang lebih dulu meninggal pada 1 Maret 1986, Hadidjah Lena Mokoginta, kakak dari Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta. Sebagai kepala polisi pertama, paling tidak namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit milik kepolisian di Kramat Jati, Jakarta Timur.[13]

Arti Penting Soekanto Tjokrodiatmodjo Sebagai Kapolri Pertama

Menurut salah satu media di tanah air, peran penting Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto dalam sejarah kepolisian negeri ini adalah menjadi pemula penataan organisasi kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.[14] Hal ini tentu tidak dapat dipungkiri.
__________________

Referensi:

1. "Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia", www.wikipedia.org., Url: https://id.wikipedia.org/wiki/Kepala_Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia, diakses pada tanggal 21 Maret 2020.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "RS Soekanto: Sejarah Kapolri Pertama yang Teguh di Jalur Kebatinan", tirto.id., Url: https://tirto.id/rs-soekanto-sejarah-kapolri-pertama-yang-teguh-di-jalur-kebatinan-egLw, diakses pada tanggal 21 Maret 2020.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. "Mengenal Kapolri Pertama Indonesia, Raden Said Soekanto...", www.kompas.com, Url: https://nasional.kompas.com/read/2019/07/01/11371501/mengenal-kapolri-pertama-indonesia-raden-said-soekanto?page=all., diakses pada tanggal 21 Maret 2020.

Sabtu, 28 Maret 2020

Hukum Social & Physical Distancing Terkait COVID-19

(detikNews)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait wabah COVID-19 yang sedang melanda negara ini, pada kesempatan terdahulu telah dibahas mengenai "Mengenal Istilah Hukum Kekarantinaan Terkait COVID-19" dan "Azas-azas Kekarantinaan Dalam Penanganan COVID-19", sebagai bagian dari pengenalan kita terhadap hukum Kekarantinaan Kesehatan. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai aspek hukum social distancing dan physical distancing.

Istilah Social Distancing & Physical Distancing

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo menegaskan tidak akan menerapkan lock down nasional menanggapi COVID-19 ini, namun menerapkan kebijakan social distancing dan kemudian physical distancing. Apa yang dimaksud dengan social distancing dan physical distancing? Social distancing menurut "Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di Indonesia", social distancing adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah.[1] Penjelasan istilah ini bagi penulis kurang memuaskan, terdapat penjelasan dari Wikipedia.org. lebih baik dengan mengartikannya sebagai serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular. Tujuan dari pembatasan sosial adalah untuk mengurangi kemungkinan kontak antara orang terinfeksi dan orang lain yang tidak terinfeksi, sehingga dapat meminimalkan penularan penyakit, morbiditas, dan terutama, kematian.[2]


Sedangkan terkait dengan istilah physical distancing, bisa diterjemahkan sebagai jaga jarak atau jaga jarak aman dan disiplin untuk melaksanakannya, demikian seperti dikutip dari situs web Sekretariat Kabinet. Selain itu, BNPB menerjemahkannya sebagai "Jaga jarak ini bukan hanya berlaku di tempat umum, tetapi juga berlaku di seluruh rumah tangga di setiap keluarga. Karena diantara keluarga belum tentu semuanya itu negatif, belum tentu seluruh anggota keluarga itu aman dari Virus Korona ini,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, menyampaikan hasil rapat dengan Jokowi.[3]

Hukum Social Dan Physical Distancing Terkait COVID-19

Terkait dengan penanganan COVID-19 di Indonesia, salah satu undang-undang yang mengaturnya adalah Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Mengacu kepada undang-undang sebagaimana dimaksud, istilah social distancing dan physical distancing dapat dilacak dasar hukumnya pada Pasal 59 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi sebagai berikut:[4]
"(1) Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu  wilayah tertentu.
(3) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
(4) Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan."
Khususnya pada ayat (1), (2) dan (3) Pasal 59 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan mengacu pada istilah "Pembatasan Sosial Berskala Besar" sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mengartikannya sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.[5]

Kesimpulan

Jika ditelusuri aspek hukum dari kebijakan social distancing dan physical distancing yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo terkait penanganan COVID-19 di Indonesia, maka hal dimaksud adalah sebagai bentuk perwujudan "Pembatasan Sosial Berskala Besar" sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. 
_________________________
Referensi:
  1. "Alasan Social Distancing Saat Pandemi Virus Corona Covid-19 Begitu Penting", www.liputan6.com, URL: https://www.liputan6.com/bola/read/4211246/alasan-social-distancing-saat-pandemi-virus-corona-covid-19-begitu-penting, diakses pada tanggal 27 Maret 2020.
  2. "Pembatasan sosial", www.wikipedia.org., URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Pembatasan_sosial, diakses pada tanggal 27 Maret 2020.
  3. "Arti Physical Distancing dan Social Distancing, Apa Perbedaannya?", tirto.id., URL: https://tirto.id/arti-physical-distancing-dan-social-distancing-apa-perbedaannya-eHNf, diakses pada tanggal 27 Maret 2020.
  4. Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
  5. "Mengenal Istilah Hukum Kekarantinaan Terkait COVID-19", www.hukumindo.com, URL: https://www.hukumindo.com/2020/03/mengenal-istilah-hukum-kekarantinaan.html, diakses pada tanggal 27 Maret 2020. 

Kamis, 26 Maret 2020

Azas-azas Kekarantinaan Dalam Penanganan COVID-19

(covid19.kemenkes.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam penanganan COVID-19 yang saat ini telah mewabah dan menjadi ancaman kesehatan secara global, dalam menanganinya, negara Indonesia berpegang kepada Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam undang-undang dimaksud, khususnya pada Pasal 2, diatur mengenai azas-azas dalam penanganan kekarantinaan kesehatan.

Azas-azas sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berbunyi sebagai berikut:
"Kekarantinaan Kesehatan berasaskan: a. Perikemanusiaan; b. Manfaat; c. Perlindungan; d. Keadilan; e. Nondiskriminatif; f. Kepentingan Umum; g. Keterpaduan; h. Kesadaran Hukum; dan i. Kedaulatan Negara".
Adapun Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menerangkan sebagai berikut:

  1. Perikemanusiaan adalah bahwa penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus dilandasi atas pelindungan dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan universal.
  2. Manfaat adalah bahwa Kekarantinaan Kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pelindungan kepentingan nasional dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
  3. Perlindungan adalah bahwa Kekarantinaan Kesehatan harus mampu melindungi seluruh masyarakat dari penyakit dan faktor risiko kesehatan yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
  4. Keadilan adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada Setiap Orang.
  5. Nondiskriminatif adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan tidak membedakan perlakuan atas dasar agama, suku, jenis kelamin, dan status sosial yang berakibat pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
  6. Kepentingan umum adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
  7. Keterpaduaan adalah bahwa penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dilakukan secara terpadu melibatkan lintas sektor.
  8. Kesadaran hukum adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan menuntut peran serta kesadaran dan kepatuhan hukum dari masyarakat.
  9. Kedaulatan adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus mengutamakan kepentingan nasional dan ikut meningkatkan upaya pengendalian Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia.
Dengan demikian, penanganan COVID-19 di Indonesia tidak boleh lepas dari azas-azas Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
__________________
Referensi:
  • Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Rabu, 25 Maret 2020

Mengenal Istilah Hukum Kekarantinaan Terkait COVID-19

(Okezone.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait dengan masalah COVID-19 yang saat ini tengah mendera kesehatan masyarakat, dari segi hukum salah satunya telah diatur mengenai kekarantinaan melalui Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Didalam undang-undang tersebut terdapat istilah-istilah kekaraantinaan yang sebaiknya dimengerti oleh masyarakat luas.
  1. Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
  2. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
  3. Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau Barang di sekitarnya.
  4. Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
  5. Karantina Rumah adalah pembatasan penghuni dalam suatu rumah beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  6. Karantina Rumah Sakit adalah pembatasan seseorang dalam rumah sakit yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  7. Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  8. Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
  9. Status Karantina adalah  keadaan Alat Angkut, orang, dan Barang yang berada di suatu tempat untuk dilakukan Kekarantinaan Kesehatan.
  10. Zona Karantina adalah area atau tempat tertentu untuk dapat menyelenggarakan tindakan Kekarantinaan Kesehatan.
  11. Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat adalah haI, keadaan, atau peristiwa yang dapat mempengaruhi kemungkinan timbulnya pengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat.
  12. Terjangkit adalah kondisi seseorang yang menderita penyakit yang dapat menjadi sumber penular penyakit yang berpotensi menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
  13. Terpapar adalah kondisi orang, Barang, atau Alat Angkut yang terpajan, terkontaminasi, dalam masa inkubasi, insektasi, pestasi, ratisasi, termasuk kimia dan radiasi.
  14. Pejabat Karantina Kesehatan adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang kesehatan yang diberi kewenangan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk melaksanakan Kekarantinaan Kesehatan.
  15. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  16. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Beberapa istilah di atas adalah sebagaimana dikutip dari Pasal 1 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
__________
Referensi:
  • Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Selasa, 24 Maret 2020

Aturan Hukum Married By Accident (MBA)

(id.wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kehidupan artis tanah air yang lalu-lalang di layar infotainment maupun media informasi pada umumnya kerap menjadi perhatian publik. Salah satu moment artis yang kerap kali menjadi perhatian adalah soal hubungan asmaranya. Lazimnya sebuah tahapan hubungan asmara, didahului oleh tahap pacaran, dilanjutkan dengan naik ke pelaminan dan dikaruniai momongan. Namun, ada beberapa 'pengecualian' dimana beberapa artis justru terlebih dahulu hamil duluan baru nikah kemudian. Anak gaul menyebutnya dengan salah satu istilah yaitu 'MBA' alias Married By Accident.

Beberapa Contoh Artis Yang 'MBA'

Ada beberapa contoh artis yang menghadapi isu married by accident (MBA), bahkan isu ini kemudian tidak dibantah dan beberapa artis memang mengakuinya. Pertama adalah Kezia Karamoy, artis cantik ini telah memiliki buah hati dari suaminya, Axcel Narang. Mereka menikah pada 29 Maret 2017 lalu dikaruniai anak pertama pada Agustus 2017. Tentu saja hal itu menimbulkan sejumlah pertanyaan dari publik, karena hanya butuh lima bulan dari perkawinan untuk menghasilkan keturunan. Kedua adalah Eriska Nakesya yang merupakan isteri dari penyanyi rapper Young Lex (Samuel Alexander). Young Lex dan sang istri menjawab pertanyaan warganet melalui video di kanal YouTube Young Lex. Di situlah Young Lex pun mengaku bahwa Eriska telah hamil sebelum menikah.[1]

Artis selanjutnya adalah Nana Mirdad dan Andrew White menikah pada 13 Mei 2006 hingga dikaruniai seorang putra. Menghebohkannya, jarak antara pernikahan dan persalinan Nana hanya berselang tujuh bulan. Sang ibunda, Lydia Kandou, akhiyarnya mengungkapkan hal yang sebenarnya dialami putrinya. "Aku bahagia mendengar Nana hamil. Sekarang dia tinggal bersama kami. Dia hamil sebelum nikah. Aku bersyukur Nana enggak punya pikiran untuk menggugurkan. Dia cukup bertanggung jawab atas anaknya".[2]

Contoh yang lain adalah Vokalis Killing Me Inside, Onadio Leonardo alias Onad, mengaku bahwa istrinya, Beby Prisilia, telah hamil sebelum mereka menikah. Onad menyampaikannya dalam sebuah wawancara pada 30 September 2019. "Iya, istri gue hamil duluan baru gue kawinin,Ya gitulah pokoknya, jangan ditanyalah. Wajarlah yang penting dinikahin kan," ujar Onadio. Selanjutnya ada artis Uus, Uus beberapa waktu lalu mengakui bahwa ia menikah di kala istrinya, Kartika, tengah hamil. Uus mengungkapkannya dalam sebuah video yang diunggah pasangan artis Ussy dan Andhika Pratama. "Mungkin semua orang sudah tau, gua ngehamilin dia duluan kan sebelum nikah. Dan orang bilang itu kecelakaan-kecelakaan. Gua pengen banget ngasih tahu ke orang, 'ini perempuan kalau enggak gua hamilin, enggak bakal sayang sama gua, enggak bakal tahu kalau gue sayang sama dia."[3] Lalu, pertanyaan yang berkaitan dengan hukum muncul, adakah dasar hukumnya menikahi seorang wanita yang telah dihamili terlebih dahulu? Apa akibat hukumnya?

Dasar Hukum dan Akibat Hukum 

Pada artikel ini, penulis lebih berfokus pada kejadian-kejadian artis beragama Islam dengan kasus married by accident (MBA), dengan demikian sumber hukum yang akan dirujukpun adalah hukum positif yang relevan. Setelah penulis mencermati Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, belum ditemukan pasal khusus yang mengatur tentang menikahi seorang wanita yang telah dihamili terlebih dahulu atau yang sejenisnya ataupun yang mendekati hal dimaksud.[4]

Untuk yang beragama Islam, aturan terkait dapat ditemukan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Khususnya pada Bab VIII Perihal KAWIN HAMIL, Pasal 53 yang bunyinya adalah sebagai beikut:[5]
"(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir." 
Dari bunyi pasal 53 KHI di atas, cukup jelas bahwa akibat hukum dari keadaan married by accident (MBA) ada tiga, pertama hukumnya adalah boleh menikahi wanita hamil di luar nikah oleh pria yang menghamilinya. Kedua, perkawinan antara pasangan married by accident (MBA) dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anak. Ketiga dan terakhir, tidak diperlukannya perkawinan ulang setelah anak pasangan dimaksud lahir. 

Kesimpulan intinya adalah, terlepas dari isu moral dan kepatutan, aturan hukum positif mengawini wanita hamil di luar nikah oleh pria yang menghamilinya adalah boleh dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
___________________

Referensi:
1. "Kezia Karamoy dan 5 Artis Ini Ngaku Hamil di Luar Nikah", www.liputan6.com, Url: https://www.liputan6.com/showbiz/read/4134778/kezia-karamoy-dan-5-artis-ini-ngaku-hamil-di-luar-nikah, diakses pada tanggal 22 Maret 2020.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
5. Kompilasi Hukum Islam.

Senin, 23 Maret 2020

Tiga Alasan Berpoligami Secara Legal

(tribunnews.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Jika mendengar kata 'poligami', memori kolektif kita akan teringat kepada beberapa icon publik yang pernah mondar-mandir di jagad informasi, diantaranya adalah pengusaha Puspo Wardoyo pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wongsolo, da'i kondang Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), dan yang terakhir mencuat dalam pemberitaan media adalah Anggota DPR RI (2019-2024) dari Partai NasDem, yaitu Lora Fadil yang terpilih dari Dapil Jawa Timur III meliputi Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bondowoso. Terlepas dari sensasi pemberitaan media massa terkait poligami, lalu seperti apa hukum positif di Indonesia mengaturnya?

Azas Monogami Dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia

Perkawinan sebagai salah satu fase dalam kehidupan manusia tidak luput dari aturan hukum, tidak terkecuali di negara kita Indonesia. Undang-undang yang mengatur tentang Perkawinan salah satunya adalah Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Di dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada azasnya di Indonesia menganut monogami. Hal ini sebagaimana bunyi dari Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut:
"(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."
Dengan demikian, satu hal menjadi jelas bahwa secara negara, Indonesia menganut azas perkawinan yang sifatnya monogami. Hal dimaksud tidak menjadi perdebatan lagi, apapun agama dan keyakinannya, sudah tertuang dalam aturan sebagaimana dikutip di atas bahwa azas perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah monogami.

Poligami Dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia

Meskipun pada azasnya Indonesia menganut perkawinan yang monogami, akan tetapi hal dimaksud tidaklah mutlak. Atau dengan posisi pemikiran yang berlawan, dapat diartikan bahwa poligami di Indonesia diperbolehkan dan 'sah' secara hukum, hanya saja diatur secara ketat.

Aturan undang-undang yang mengatur tentang poligami di Indonesia diantaranya adalah Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3 
(1)...
(2). Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan." 
Bunyi Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di atas secara limitatif telah mengatur bahwa yang dapat melakukan praktik poligami di Indonesia adalah dari pihak Suami. Serta, keabsahan seorang suami yang berpoligami dilihat dari perspektif hukum yang berlaku adalah dengan syarat terbitnya izin dari Pengadilan. Lalu, apa saja tiga alasan undang-undang yang melegitimasi seseorang untuk berpoligami secara sah menurut hukum?

Tiga Alasan Undang-undang Seseorang Dapat Berpoligami Secara Legal

Aturan mengenai sahnya praktik poligami seseorang di mata hukum tidak berhenti di atas, hal dimaksud juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Adapun bunyinya adalah sebagaimana berikut:
"(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan" 
Artinya, izin seorang suami kepada Pengadilan mencakup tiga alasan di atas, yaitu: tidak dapatnya isteri menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri, terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan terakhir adanya keadaan mandul dari seorang isteri. Selain itu, pengajuan izin poligami dimaksud sifatnya adalah wajib diajukan permohonannya ke Pengadilan terkait. Selain tiga alasan di atas, selanjutnya apa saja syarat-syaratnya agar dapat diajukan izin ke Pengadilan?

Syarat-syarat Undang-undang Dalam Pengajuan Izin Poligami Ke Pengadilan

Selain daripada itu, masih terdapat syarat-syarat seorang suami apabila hendak mengajukan izin Poligami ke Pengadilan. Syarat dimaksud diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, adapun bunyinya adalah sebagai berikut:
"(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf 'a' pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan." 
Jelaslah bahwa meskipun seorang suami beralasan untuk meminta izin poligami dari Pengadilan, akan tetapi syarat-syarat yang harus dipenuhi relatif ketat. Harus adanya persetujuan dari isteri yang dikawinnya terlebih dahulu tentu bukan perkara mudah, dalam praktik harus sepersetujuan tertulis dan dibenarkan di depan Hakim Pengadilan. Syarat selanjutnya berupa jaminan bahwa suami memenuhi keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya sangat berdimensi ekonomistik, sehingga untuk memenuhi syarat ini, praktinya seorang suami harus memenuhi dan harus membuktikan memiliki kuantitas asset yang tidak sedikit. Syarat selanjutnya juga tidak mudah, karena pertangungjawaban berlaku adil sifatnya adalah transendental dan kadangkala sangat subjektif dan personal.

Realitas Praktik Poligami Di Indonesia

Pada tataran realitas, praktik poligami di Indonesia tidaklah sebaik aturan positif di atas kertas. Tentu banyak faktor yang menjadikan kondisi realitas dimaksud. Faktor determinan seperti budaya, aturan hukum dan ekonomi menurut hemat penulis muncul sebagai faktor dominan.

Pada tataran budaya, Indonesia adalah mayoritas negara muslim terbesar di Dunia, sehingga ajaran agama Islam melingkupi sendi-sendi berkehidupan rakyatnya. Ajaran Islam yang memperbolehkan beristeri lebih dari satu telah menjadi nilai yang dianut secara turun menurun, bahkan bisa dirunut sampai pada raja-raja Jawa Islam yang beristerikan lebih dari satu. Hal ini, dalam batas tertentu, dijadikan contoh oleh sebagian rakyat Indonesia. Selain itu, aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia menerapkan syarat yang ketat (belum lagi jika seseorang adalah juga berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil) dalam hal seseorang ingin berpoligami secara legal, salah satu imbasnya banyak terjadi praktik kawin siri untuk 'mengakalinya' secara illegal. Faktor terakhir adalah karena ekonomi, dikarenakan besarnya biaya ekonomi yang dibutuhkan seseorang untuk berpoligami secara sah, tidak jarang yang menyetujuinya menempuh cara-cara ekonomi yang lebih terjangkau dengan melakukan poligami secara siri.

Faktor-faktor dimaksud hanyalah sebagian kecil saja yang dapat disebutkan dalam melihat tidak idealnya praktik poligami di Indonesia, tentu masih banyak faktor-faktor lain yang juga cukup menentukan untuk dapat dikaji lebih dalam lagi. 

Sebagai penutup, dapat ditarik benang merah dalam dunia hukum di Indonesia, bahwa Poligami adalah tidak dilarang, hanya saja praktik perizinannya sangatlah ketat. Sebagai seorang praktisi, penulis sangat menyarankan bagi semua kaum Hawa di Indonesia yang berminat, hanya untuk yang berminat, agar berpoligami secara legal, sah diakui oleh hukum kita, dan penulis sangat siap apabila ditunjuk menjadi kuasa hukum untuk proses perizinannya ke Pengadilan. Bagi anda yang serius dan sedang menghadapi perihal hukum dimaksud, dapat berkomunikasi dengan penulis di alamat e-mail: mahmudkusuma22@gmail.com
_____________________________

Referensi:
  • Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Rabu, 05 Februari 2020

Sistematika Hukum Perdata

(rebateumrah.blogspot.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Sejarah Hukum Perdata di Indonesia (Hindia-Belanda)” telah disinggung bahwa pada dasarnya KUHS yang saat ini berlaku di Indonesia (dahulu Hindia-Belanda) adalah merupakan suatu copy KUHS negeri Belanda. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai sistematika dari KUHS dimaksud.


Hukum perdata diatur dalam (bersumber pokok pada) Kitab Undang-undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.).[1]

KUHS itu terdiri dari atas 4 Buku, yaitu:[2]
  1. Buku I, yang berjudul Perihal Orang (van Personen), yang memuat Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan;
  2. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (van Zaken), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris;
  3. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (van Verbintennissen), yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak, hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
  4. Buku IV, yang berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Liwat waktu (van Bewijs en Verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat liwat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata (yang termuat dalam KUHS) dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu:[3]
  1. Hukum Perorangan (Personenrecht) yang memuat antara lain: a. Peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum; b. Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.
  2. Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain: a. Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/isteri; b. Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua—ouderlijke macht); c. Perwalian (voogdij); d. Pengampuan (curatele).
  3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum Harta Kekayaan meliputi: a. Hak mutlak, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap tiap orang; b. Hak Perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
  4. Hukum Waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda atau kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).

_________________________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 214.
2.  Ibid. Hal.: 214.
3.  Ibid. Hal.: 214-215.

Senin, 03 Februari 2020

Sejarah Hukum Perdata di Indonesia (Hindia-Belanda)

(MUI Sumut)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah disinggung sebelumnya pada artikel berjudul: ‘Sejarah Hukum Perdata di Negeri Belanda & Hindia Belanda’, bahwa kodifikasi hukum perdata yang berlaku di Indonesia saat ini adalah berasal dari negeri Belanda. Melalui Staatsblad No.: 23 yang berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (kemudian Indonesia) mulai berlaku Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), disingkat KUHS (B.W.).

KUHS yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oudhaarlem. Maksud kodifikasi pada waktu itu adalah untuk mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia Belanda dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda.[1]

Di negeri Belanda, setelah merdeka dari Perancis, aliran kodifikasi diwujudkan pada tahun 1830 dalam KUHS (tertanggal 5 Juli 1830) dan akan mulai berlaku jam 12 malam tanggal 31 Januari 1831 (antara 31 Januari dan 1 Februari 1831). Sesudah kodifikasi itu setelah pemerintah Belanda mengangkat Mr. C.C. Hageman sebagai Presiden Mahkamah Agung di Hindia Belanda dengan tugas supaya menyesuaikan peraturan lama Hindia-Belanda dengan kodifikasi tadi. Tapi Mr. C.C. Hageman yang diangkat pada Juli 1830 sampai dengan tahun 1835 tidak juga mengerjakan tugas utamanya, kemudian Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada waktu itu J.CH. BAUD menegur beliau, dan kemudian digantikan oleh Scholten van Oudhaarlen.[2]

Terkait dengan tugas dimaksud, kemudian dibentuk panitia dengan Scholten van Oudhaarlen sebagai ketua, dengan anggotanya adalah: 1). Mr. I. Schneither dan 2). Mr. I.F.H van NES. Adapun tugas panitia tersebut adalah untuk: 1). Merancang peraturan, agar aturan-aturan undang-undang Belanda dapat dijalankan; 2). Mengemukakan usul-usul; 3). Memperhatikan organisasi kehakiman. Panitia dimaksud berhasil membuat rancangan peraturan tentang susunan badan peradilan di Hindia-Belanda, yang walaupun sudah disahkan oleh pemerintah Belanda, mulai berlakunya ditangguhkan. Rancangan yang disahkan itu kemudian dikirimkan ke Gubernur Jenderal (Merkus) untuk kemudian meminta nasihat dari J. Van de Vinne selaku directeur’s Lands Middelen en Domein. Panitia menyelesaikan pula beberapa usul, antara lain tentang KUHS dan RO. Walaupun reaksinya sengit, namun Scholten van Oudhaarlen sebagai Jurist masih dapat mempertahankan pendirian-pendiriannya, sehingga usulnya diterima menjadi undang-undang (KUHS dan RO/Reglement op de R.O.).[3]

Sebagaimana telah diketahui, bahwa peraturan di Hindia-Belanda konkordan dengan peraturan di negeri Belanda. Disimpulkan bahwa azas konkordansi itu adalah sempit (enge concordantie), jadi, peraturan-peraturan negeri Belanda selalu diikuti oleh Hindia-Belanda. Hanya bila sangat perlu saja boleh menyimpang; konkordansi itu demikian eratnya, sehingga, walaupun peraturan Belanda nyata-nyata salah, namun peraturan Hindia-Belanda tidaklah boleh menyimpang. Demikianlah KUHS Hindia-Belanda kemudian Indonesia setelah merdeka, sekarang ini (yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848) dapat dikatakan suatu copy KUHS negeri Belanda.[4]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 210.
2.  Ibid. Hal.: 210-211.
3.  Ibid. Hal.: 212-213.
4.  Ibid. Hal.: 213-214.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...