Selasa, 07 April 2020

Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHPerdata (BW)

(iStock)


Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai batas mana saja yang termasuk hukum keluarga menurut KUHPerdata. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan yang pertama, yaitu ‘Kekuasaan Orang Tua’ (ouderlijke macht).

Setiap anak yang belum dewasa (21 tahun dan belum kawin menurut KUHPerdata) dianggap belum cakap bertindak secara hukum.[1] Oleh karena itu sebagai ganti dari keadaan yang demikian, tugas orang tua dimata hukum adalah menggantikan segala tindakan dan kecakapannya.

Kepada orang tua dibebankan kewajiban menafkahi (alimentasi), yaitu kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup umur. Sebaliknya, anak-anak yang telah dewasa mempunyai kewajiban untuk memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus ke atas.[2] Hal ini mempunyai makna bahwa sepasang orang tua kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya adalah selama jangka waktu sebelum anak dimaksud dewasa.

Kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya terhenti apabila: a). Anak tersebut dewasa; b). Perkawinan orang tua putus; c). Kekuasaan orang tua dipecat oleh Hakim (melalui Putusan Pengadilan); d). Pembebasan dari kekuasaan orang tua, misalnya kelakuan si anak luar biasa nakalnya.[3] Untuk huruf ‘b’, maka bisa saja perkawinan orang tuanya putus, dalam hal ini cerai.

Jadi, segala hak dan kewajiban yang timbul antara anak dengan orang tua seperti akibat-akibat kekuasaan bapak terhadap si anak dan harta bendanya, pembebasan dan pemecatan kekuasaan orang tua, kewajiban timbal balik orang tua dan anak tersebut kesemuanya diatur dalam peraturan tentang kekuasaan orang tua.[4] Dengan demikian, hubungan timbal balik antara orang tua dengan anaknya, selama anak belum dewasa dan setelah orang tua menjadi renta, diatur oleh hukum, khususnya oleh KUHPerdata.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 217.
2.  Ibid. Hal.: 217.
3.  Ibid. Hal.: 217.
4.  Ibid. Hal.: 218.

Senin, 06 April 2020

4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Perorangan (Personenrecht)” telah dibahas mengenai manusia dan badan hukum sebagai pembawa hak dan kewajiban. Pada kesempatan ini, kita akan melangkah lebih jauh dengan mengkaji hukum yang melingkupi beberapa orang yang terikat dalam suatu ikatan hukum berdasarkan darah dan ikatan perkawinan, umumnya ikatan dimaksud disebut sebagai ikatan keluarga.

Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan-peraturan hukum yang ditimbulkan dari pergaulan kekeluargaan. Cakupan hukum keluarga tentu sangat luas, akan tetapi jika disederhanakan termasuk di dalamnya adalah:

Kekuasaan Orang Tua, Pasal 198 KUHPerdata dan seterusnya mewajibkan setiap anak untuk patuh dan hormat kepada orang tuanya. Sebaliknya, orang tua wajib memelihara dan membimbing anak-anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing-masing.[1] Peraturan ini mencakup hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sampai anak-anaknya dimaksud dewasa.

Perwalian, Pasal 331 KUHPerdata dan seterusnya, mengatur tentang anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur namun tidak dalam kekuasaan orang tua secara hukum tetap memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, oleh karenanya harus ditunjuk wali, yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.[2] Hal ini berarti aturan hukum mengenai 'pengganti orang tua' dalam konteks anak dimaksud yatim piatu, sampai ia dewasa.

Pengampuan, Pasal 433 KUHPerdata dan seterusnya, mengatur mengenai orang yang telah dewasa akan tetapi ia (1) sakit ingatan; (2) Pemboros; (3) Lemah daya atau (4) tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk di luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampuan.[3] Hukum pengampuan berarti mengatur pengalihan kapasitas hukum orang dewasa, namun tidak dapat menjalankan dirinya sebagai subjek hukum.

Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa, Pasal 26 KUHPerdata dan seterusnya, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan perundang-undangan yang ditetapkan.[4] Hal ini berarti mengatur ikatan hukum antara seorang pria dan wanita dalam konteks perkawinan.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 217-218.
2.  Ibid. Hal.: 218.
3.  Ibid. Hal.: 218-219.
4.  Ibid. Hal.: 219-222.

Minggu, 05 April 2020

Hukum Perorangan (Personenrecht)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Sistematika Hukum Perdata” telah dibahas mengenai pembagian Hukum Perdata menurut Ilmu Pengetahuan Hukum yang dibagi menjadi 4 (empat) bagian, dan pada kesempatan ini akan dibahas bagian pertama yaitu mengenai Hukum Perorangan (Personenrecht).

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam hukum “Orang” atau “Persoon” berarti pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut sebagai subjek hukum yang terdiri dari:[1]

  1.  Manusia (naturlijke persoon);
  2. Badan hukum (rechtspersoon).

Hukum Perdata mengatur seluruh segi kehidupan manusia sejak ia belum lahir dan masih dalam kandungan ibunya sampai meninggal dunia. Hal itu diatur dalam KUHPerdata Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan apabila kepentingan si anak menghendakinya”. Dengan demikian seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dijamin untuk mendapat warisan jika ayahnya meninggal dunia. Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) KUHPerdata menyatakan, bahwa apabila ia dilahirkan mati, maka ia dianggap tidak pernah ada.[2]

Sebagai negara hukum, Indonesia mengakui setiap orang sebagai manusia terhadap undang-undang, artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang. Konstitusi UUD 45’ negara Republik Indonesia Pasal 27 menetapkan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[3]

Disamping manusia sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga terdapat badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dipandang sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti layaknya manusia. Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan Badan Hukum (Rechtpersoon) yang berarti orang yang diciptakan oleh hukum. Yang dimaksud dengan Badan Hukum (Rechtpersoon) misalnya Negara, Provinsi, Kabupaten, Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan (stichting), wakaf, Gereja dan lain-lain.[4]

Suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan sebagai badan hukum dengan cara:[5]
  1. Didirikan dengan Akta Notaris;
  2. Didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat;
  3. Dimintakan pengesahan Anggaran Dasarnya kepada Menteri yang berwenang;
  4. Diumumkan dalam Berita Negara.
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 215.
2.  Ibid. Hal.: 215.
3.  Ibid. Hal.: 216.
4.  Ibid. Hal.: 216.
5.  Ibid. Hal.: 216.

Jumat, 03 April 2020

Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pertanyaan yang sering timbul dalam perkara perceraian adalah ketika salah seorang keluarga atau malahan seluruh saksi yang diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat terdapat hubungan keluarga, kenapa hal ini diperbolehkan? Padahal sebagaimana akal sehat manusia awam, tentu saja keterangan yang disampaikan oleh orang yang masih mempunyai hubungan keluarga rentan tidak objektif, condong keterangannya menguntungkan kepada orang yang menghadirkannya sebagai saksi.

Larangan Dalam H.I.R (Herzien Indonesis Reglement)

Pasal 145 H.I.R berbunyi sebagaimana berikut:
"Sebagai saksi tidak dapat didengar:
1e. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus.
2e. istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
3e. anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya lima belas tahun;
4e. orang, gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang”.
Adapun penjelasan dari Pasal dimaksud adalah: “Mengenai orang-orang yang disebutkan dalam, sub. 1 dan 2 di atas (keluarga), sebabnya mereka itu tidak sanggup menjadi saksi Wali oleh karena mereka itu tidak dapat dianggap tanpa memihak, sehingga keterangannya dengan demikian tidak dapat dipercaya.” Dengan kata lain, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, keterangan saksi dari keluarga dianggap tidak objektif.

Pengecualian Dalam Perkara Perceraian


Berbeda dengan H.I.R (Herzien Indonesis Reglement) yang jelas-jelas melarang keluarga sebagai saksi, maka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur sebaliknya, atau lebih tepatnya sebagai pengecualian. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi sebagai berikut:
“(1) Apabila gugatan perceraian di dasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus di dengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri
(2) Pengadilan setetelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.”
Perlu ditegaskan di sini, bahwa yang dijadikan pengecualian hanyalah perkara perceraian atas alasan "syiqaq", dengan kata lain perceraian yang disebabkan oleh adanya perselisihan, percekcokan, dan permusuhan, atau perselisihan antara suami dan isteri. Dengan kata lain, tidak termasuk alasan-alasan di luar adanya percekcokan antara suami dengan isteri, saksi keluarga tidak dapat diajukan selain dari perkara perceraian yang disebabkan oleh adanya percekcokan.

Kesimpulan

Setelah membaca dua ketentuan di atas dan dikaitkan dengan duduk persoalannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Saksi keluarga dapat diajukan sebagai saksi dalam perkara perceraian, hanya atas alasan "syiqaq" atau cekcok.
__________________________

Pustaka:
- H.I.R (Herzien Indonesis Reglement);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Kamis, 02 April 2020

Pernyataan dan Pengakuan Dalam Proses Mediasi Tidak Termasuk Bukti

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Di dalam pengalaman penulis berpraktik hukum, khususnya terkait dengan tahapan-tahapan beracara di pengadilan, kadang terjadi hal-hal yang diluar konteks hukum, walaupun dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya cakap hukum. Namun realitas kadang kala tidak seindah idealitas, dalam praktik, tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal yang justru tidak mencerminkan terpeliharanya kecakapan sebuah profesi. 
Sebagaimana layaknya sebuah Gugatan, setelah Para Pihak dipanggil oleh Pengadilan secara sah dan patut, dalam hal Para Pihak hadir, maka terlebih dahulu Majelis Hakim Berkewajiban untuk mendamaikannya. Acara untuk mendamaikan Para Pihak ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. 

Pertanyaan 

Memasuki tahap mediasi ini, Para Pihak tunduk pada ketentuan dimaksud. Setelah Para Pihak sepakat Menunjuk sendiri Mediator, atau Majelis Hakim Menunjuk Mediator Hakim, maka Para Pihak dirujuk pada ruang mediasi untuk menghadap Mediator. Para Pihak secara bebas akan mengemukakan dalil-dalil gugatannya masing-masing, dan Mediator akan berusaha untuk mendamaikan Para Pihak. Dalam hal tercapai kata sepakat untuk berdamai, maka akan dibuatkan akta perdamaian (dading), sebaliknya dalam hal tidak terdapat kata sepakat, maka perkara dikembalikan oleh Mediator kepada Majelis Hakim untuk diperiksa pokok perkaranya.
Setelah perkara dikembalikan kepada Majelis Hakim, maka acara selanjutnya adalah proses jawab menjawab (replik dan duplik) oleh Para Pihak, pembuktian (umumnya saksi maupun surat), kesimpulan sampai akhirnya adalah Putusan. Pertanyaan kemudian timbul, dalam hal Para Pihak tidak mencapai perdamaian, apakah pernyataan dan Pengakuannya selama dalam proses mediasi dapat dijadikan sebagai bukti pada acara pembuktian?

Pernyataan Dan Pengakuan Para Pihak Dalam Mediasi Tidak Termasuk Bukti

Pasal 35 angka (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, mengatur perihal dimaksud sebagaimana dikutip berikut:
"(3) Jika Para Pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara".
Jika kita kaitkan antara persoalan hukum di atas dengan instrumen PERMA Nomor: 1 Tahun 2016 yang mengaturnya, maka menjadi jelas bahwa pernyataan dan pengakuan Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti oleh Para Pihak. Dengan kata lain, acara mediasi tunduk pada domain hukum tersendiri, hal mana salah satu di dalamnya mengatur bahwa pernyataan dan pengakuan Para Pihak selama proses Mediasi berlangsung tidak dapat diajukan sebagai bukti. 
_____________________
Referensi:
  • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan

Rabu, 01 April 2020

Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam dunia praktik hukum, khususnya perdata, surat gugatan memegang peranan penting ketika seseorang akan menempuh prosedur beracara. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai larangan melakukan perubahan gugatan. Tentunya bukan sembarang larangan, ia mesti berdasarkan hukum acara yang berlaku.

Dasar hukum yang dimaksud bersumber pada Pasal 127 Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering, yaitu hukum acara perdata dan pidana yang berlaku untuk golongan Eropa di jaman penjajahan Hindia - Belanda), yang bunyinya adalah sebagai berikut:
"Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya."
Bunyi Pasal 127 Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering) ini mengharuskan kita untuk terlebih dahulu memahami arti "pokok gugatan".

Perihal Pokok Gugatan


Pokok gugatan tidak dijelaskan dalam aturan dimaksud, sehingga mendorong kita untuk mendalami lebih jauh mengenai maksud pokok gugatan. Salah satu tempat untuk bertanya adalah kepada para ahli hukum, diantaranya adalah Subekti, Soepomo, Sudikno dan M. Yahya Harahap. Subekti mengemukakan, yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah kejadian materiil gugatan. Sedangkan menurut Soepomo, yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah berasal dari kata "onderwerp van den eis". Sedangkan Sudikno menerangkan, menurut praktik selain meliputi juga dasar tuntutan, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan.[1]

M. Yahya Harahap menyimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan pokok gugatan secara umum adalah materi pokok gugatan atau materi pokok tuntutan, atau kejadian materiil gugatan.[2] Terlepas dari persilangan pendapat para ahli sebagaimana diterangkan sebelumnya, penulis dengan ini berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud dengan pokok gugatan secara umum adalah terkait dengan tuntutan inti. 

Perubahan Surat Gugatan Yang Diperbolehkan

Sebelum membahas mengenai larangan untuk merubah surat gugatan, ada bainya terlebih dahulu mengetahui perubahan surat gugatan yang diperbolehkan, diantaranya mencakup: a). Perubahan gugatan yang tidak prinsipil, misalnya memperbaiki hubungan darah antara Para Tergugat dengan pewaris Penggugat; b). Perubahan Nomor Surat Keputusan (SK), hal ini diakibatkan oleh salah ketik, tidak menghambat proses pemeriksaan; dan terakhir adalah c). Perubahan tanggal tidak dianggap merugikan kepentingan tergugat.[3]

Dari ketiga perbolehan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan gugatan yang dapat dilakukan adalah yang tidak prinsipil, dan selain itu tidak merugikan kepentingan dari tergugat.

Tiga Larangan Hukum Merubah Surat Gugatan

Setelah membahas perbolehan melakukan perubahan gugatan, maka pada kesempatan ini, penulis akan menerangkan mengenai tiga (3) larangan hukum dalam hal merubah gugatan, yaitu:
  1. Larangan Mengubah Materi Pokok Perkara, dilarang perubahan gugatan atau tuntutan yang menimbulkan akibat terjadinya perubahan materi pokok perkara. Penegasan ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 547 K/Sip/1973, yang menyatakan "Perubahan gugatan mengenai materi pokok perkara adalah perubahan tentang pokok gugatan, oleh karena itu harus ditolak".[4]
  2. Larangan Mengubah Posita Gugatan, dilarang dan tidak dibenarkan perubahan mengakibatkan perubahan posita gugatan. Larangan ini dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1043 K/Sip/1971 yang menyatakan: "Yurisprudensi mengizinkan perubahan gugatan atau tambahan asal hal itu tidak mengakibatkan perubahan posita, dan pihak tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri." Yang dimaksud dengan perubahan posita atau penyimpangan dari posita; perubahan itu mengakibatkan terjadinya penggantian posita semula menjadi baru atau posita lain. Misalnya, posita jual-beli, diubah menjadi sewa-menyewa atau hibah.[5]
  3. Larangan Mengurangi Gugatan Yang Merugikan Tergugat, Pasal 127 Rv memberi hak kepada Penggugat untuk mengurangi gugatannya atau tuntutannya. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 848 K/Pdt./1983, ganti rugi dari Rp. 13 Juta menjadi Rp. 4 Juta. Contoh mengurangi gugatan yang merugikan tergugat adalah misalnya perkara pembagian harta warisan. Penggugat mendalilkan, harta peninggalan orang tua belum dibagi waris. Semula penggugat memasukkan seluruh harta warisan, meliputi harta yang dikuasai dengan yang dikuasai ahli waris lainnya. Pada sidang pengadilan, penggugat mengurangi objek harta warisan yang dikuasainya dari gugatan, sehingga harta yang menjadi objek gugatan hanya yang dikuasai oleh Para Tergugat, hal dimaksud sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2 K/Sip/1959 tertanggal 28 Januari 1959.[6]
_________________________

Referensi:
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal. 97.
2. Ibid. Hal.: 97-98.
3. Ibid. Hal.: 98-99.
4. Ibid. Hal.: 98-99.
5. Ibid. Hal.: 100.
6. Ibid. Hal.: 100-101.

Selasa, 31 Maret 2020

Legal Consequences of Mixed Marriage Against Someone's Citizenship

(Medium)

Oleh:
Team of Hukumindo

Continuing our discussion previously, namely concerning the "Marriage Law For Different Nationality In Indonesia" or in the language of the Law known as Mixed Marriage, on this occasion will be discussed regarding the legal consequences of the intended Mixed Marriage.


Legal Standing

Regarding marriage, in our country Indonesia is regulated in Law Number: 1 of 1974 concerning Marriage. The rule of law that regulates the legal bond between husband and wife and all its consequences, also regulates in it a mixed marriage and the legal consequences thereof.

What is meant by the legal consequences of a Mixed Marriage in this Law is to refer to Article 58 of Law Number: 1 of 1974 which reads as follows:
"For people of different nationalities who engage in mixed marriages, can obtain citizenship from their husband / wife and can also lose their citizenship, according to the methods specified in the applicable Citizenship Act of the Republic of Indonesia."
From the sound of the article above, it is clear to say that the legal consequences of marriages of different nationalities in Indonesia, one of which, is a matter of citizenship. In other words, a person can gain Indonesian citizenship or lose Indonesian citizenship as a result of his marriage.

Furthermore, Law Number 12 of 2006 concerning Citizenship of the Republic of Indonesia, in particular Article 19 reads as follows:
"(1). Foreign nationals who are legally married to Indonesian citizens can obtain citizenship from the Republic of Indonesia by making a statement of being a citizen before an official.
(2). The statement as referred to in paragraph (1) shall be made if the person concerned has resided in the territory of the Republic of Indonesia for at least 5 (five) consecutive years or at least 10 (ten) years in a row, except with the acquisition of citizenship resulting in citizenship. double.
(3). In the event that the relevant nationality of the Republic of Indonesia is not obtained due to dual citizenship as referred to in paragraph (2), the person concerned may be granted a permanent residence permit in accordance with statutory provisions.
(4). Further provisions regarding the procedure for submitting statements to become Indonesian Citizens as referred to in paragraph (1) and paragraph (2) shall be regulated by Ministerial Regulation. "
From the sounding of Article 19 above, it is clearly regulated that a foreign national can obtain Indonesian citizenship based on a legal marriage. This means, what is meant by a legal marriage is a marriage that is official and meets the legal requirements of marriage in Indonesia. While the next requirement is to follow up in the form of reporting in front of the Officer appointed for it.

Obtain Citizenship or Loss of Citizenship

As explained earlier, the result of mixed marriages with Indonesian brides is being able to obtain citizenship or lose citizenship. The matter referred to is regulated in Article 58 of Law Number: 1 of 1974 concerning Marriage.

In addition, it is also regulated in Article 19 paragraph (2) and (3) of Law Number: 12 of 2006 concerning Citizenship of the Republic of Indonesia, that in the case of not obtaining Citizenship due to dual citizenship.

In conclusion there are only two, first a person who marries an Indonesian citizen can obtain Indonesian citizenship, second a person who marries an Indonesian citizen spouse can lose the nationality of his native country by choosing Indonesian citizenship and / or in the case of resulting dual citizenship under Indonesian law. And if you have any difficulties with this topic, contact us, feel free in 24 hours, we will be glad to help you.


*) For further information please contact:
Mahmud Kusuma Advocate
Law Office
Jakarta - Indonesia.
E-mail: mahmudkusuma22@gmail.com
____________
References:

1. Law Number: 1 of 1974 concerning Marriage.
2. Law Number: 12 of 2006 concerning Citizenship of the Republic of Indonesia. 

Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap Kewarganegaraan Seseorang

(Medium)

Oleh:
Tim Hukumindo

Melanjutkan bahasan kita terdahulu, yaitu tentang Hukum Kawin Beda Kewarganegaraan atau dalam bahasa Undang-undang dikenal sebagai Perkawinan Campuran, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai akibat hukum dari Perkawinan Campuran dimaksud.


Dasar Hukum

Mengenai perkawinan, di negara kita Indonesia diatur dalam undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Aturan hukum yang mengatur ikatan hukum antara suami-istri beserta segala akibatnya ini, juga mengatur di dalamnya tentang Perkawinan campuran beserta akibat hukum daripadanya.

Yang dimaksud dengan akibat hukum dari Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini adalah merujuk pada Pasal 58 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut:
"Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku."
Dari bunyi pasal di atas, jelas dikatakan bahwa akibat hukum atas perkawinan beda kewarganegaraan di Indonesia, salah satunya, adalah soal kewarganegaraan. Dengan kata lain, seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan yang dilakukannya.

Lebih lanjut, pada Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, khususnya Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
"(1). Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat.
(2). Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
(3). Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri."
Dari bunyi Pasal 19 di atas, jelas diatur bahwa seorang warga negara asing, dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia berdasarkan perkawinan yang sah. Hal ini berarti, yang dimaksud dengan perkawinan sah adalah perkawinan yang resmi dan memenuhi syarat-syarat hukum perkawinan di Indonesia. Sedangkan syarat selanjutnya adalah dengan menindaklanjutinya berupa melakukan pelaporan dihadapan Pejabat yang ditunjuk untuk itu.

Memperoleh Kewarganegaraan atau Kehilangan Kewarganegaraan

Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa akibat dari perkawinan campuran dengan mempelai berkewarganegaraan Indonesia adalah dapat memperoleh kewarganegaraan atau dapat kehilangan kewarganegaraan. Hal dimaksud adalah diatur dalam Pasal 58 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Selain itu, diatur juga dalam Pasal 19 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, bahwa dalam hal tidak memperoleh Kewarganegaraan yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda.

Kesimpulannya hanya ada dua, pertama seseorang yang kawin dengan pasangan berkewarganegaraan Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kedua seseorang yang kawin dengan pasangan berkewarganegaraan Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraan negara asalnya dengan memilih berkewarganegaraan Indonesia dan/atau dalam hal mengakibatkan kewarganegaraan ganda menurut hukum Indonesia.
____________
Referensi:
1. Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2. Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...