Rabu, 15 April 2020

3 Bentuk Gugatan Error in Persona

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kesempatan sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuatan Pembuktian Photocopy Surat", dan kini akan membahas mengenai bentuk-bentuk gugatan yang dapat dikualifikasi sebagai error in persona.

Dalam sebuah gugatan perdata, terlibat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Pada kondisi demikian, yang bertindak sebagai Penggugat, harus orang yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Sebaliknya, pihak yang ditarik sebagai tergugat, harus orang yang tepat memiliki kedudukan dan kapasitas. Keliru dan salah bertindak sebagai Penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil. Demikian juga sebaliknya, apabila orang yang ditarik sebagai tergugat keliru dan salah, mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.[1] Dengan kata lain, ketika para pihak berperkara di pengadilan, baik Penggugat maupun Tergugat mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan berupa salah menarik pihak atau tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas hukum, akibatnya adalah gugatan menjadi cacat formil.


Pada kesempatan ini, akan dibahas mengenai tiga bentuk gugatan error in persona yang mengakibatkan sebuah gugatan cacat formil, yaitu:[2]

  1. Diskualifikasi in Person, hal ini terjadi apabila yang bertindak sebagai Penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), disebabkan Penggugat dalam kondisi sebagai berikut: a). Tidak mempunyai Hak untuk Menggugat Perkara yang disengketakan. Misalnya, orang yang tidak ikut dalam perjanjian bertindak sebagai Penggugat menuntut dibatalkannya perjanjian; b). Tidak cakap melakukan Tindakan Hukum. Misalnya, orang yang berada di bawah umur atau perwalian.
  2. Salah Sasaran Pihak Yang Digugat, adalah bentuk lain dari error in persona yang mungkin terjadi, yaitu ketika orang yang ditarik sebagai Tergugat keliru (gemis aanhoeda nigheid). Misalnya, yang meminjam uang adalah A, tetapi yang ditarik sebagai Tergugat untuk melunasi pembayaran adalah B, sebagai Tergugat. Dengan kata lain, yang dijadikan Tergugat tidak mempunyai status legal persona standi in judicio (yang sah mempunyai wewenang bertindak di Pengadilan).
  3. Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium), yaitu keadaan dimana pihak yang bertindak sebagai Penggugat atau yang ditarik sebagai Tergugat adalah tidak lengkap, masih ada orang lain yang mesti ikut bertindak sebagai Penggugat atau ditarik sebagai Tergugat. Contoh: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1125 K/Pdt/1984 menyatakan: "Judex facti salah menerapkan tata tertib beracara. Semestinya pihak ketiga yang bernama Oji sebagai sumber perolehan hak Tergugat I, yang kemudian dipindahkan Tergugat I kepada Tergugat II, harus ikut digugat sebagai Tergugat. Alasannya, dalam kasus ini, Oji mempunyai urgensi untuk membuktikan hak kepemilikannya maupun asal usul tanah sengketa serta dsar hukum Oji menghibahkan kepada Terguggat I"
Setelah membaca penjelasan di atas, sebagai sebuah kesimpulan, yang harus diingat ketika menyusun suatu surat gugatan perkara perdata agar tidak dikualifikasi sebagai error in persona agaknya menjadi terang, yaitu baik Penggugat dan Tergugat harus mempunyai Hak dan Cakap secara hukum, Tergugatnya tepat dan lengkap.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 111.
2. Ibid. Hal.: 111-113.

Selasa, 14 April 2020

Kekuatan Pembuktian Photocopy Surat

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo


Pada kesempatan sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah beberapa kali membahas tentang hukum acara perdata, diantaranya lewat artikel berjudul: "Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian", kemudian "Pernyataan dan Pengakuan Dalam Proses Mediasi Tidak Termasuk Bukti" dan artikel lain yang berjudul: "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan".

Peraturan Perundang-undangan Terkait Photocopy Surat

Sesuai dengan judul, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Kekuatan Pembuktian menurut hukum acara dari sebuah Photocopy Surat. Mengutip Yahya Harahap, S.H., sampai saat ini belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi yang mengatur maupun membicarakan sejauh mana kesamaan dan keidentikan photocopy dengan orisinilnya.[1]


Lanjutnya, secara umum, pengakuan keabsahan identiknya photocopy dengan aslinya, yaitu apabila para pihak mampu dan dapat menunjukan aslinya di persidangan. Selama tidak dapat ditunjukan aslinya, photocopy tidak bernilai sebagai salinan pertama atau salinan keberapa, sehingga tidak sah sebagai alat bukti.[2]

Yurisprudensi Terkait Photocopy Surat Sebagai Bukti

Hal yang sama juga tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 7011 K/ Sip/1974, antara lain dikatakan: "Putusan yang didasarkan pada surat bukti photocopy-photocopy tidaklah sah karena surat bukti photocopy-photocopy tersebut dinyatakan sama dengan aslinya, sedang terdapat di antaranya perbedaan yang penting secara substansial. Dengan demikian judex facti telah memutus perkara berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah".[3]

Pendapat yang sama ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3609 K/Pdt/1985, dikatakan: "Surat bukti photocopy yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti". Hal yang sama juga terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 112 K/Pdt/1996, yang mengatakan: "Bukti photocopy kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta tidak dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan".[4]

Dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa bukti yang diajukan berupa surat hasil photocopy yang tidak ditunjukan aslinya dan atau tidak dikuatkan oleh keterangan saksi-saksi, maka tidak mempunyai nilai pembuktian secara hukum acara.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 622.
2. Ibid. Hal.: 622.
3. Ibid. Hal.: 622.
4. Ibid. Hal.: 622.

Senin, 13 April 2020

Anarko-Sindikalis, COVID-19 Dan Joker

(Tempo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Redaksi Hukumindo sebelumnya telah menulis perihal kelompok anarko-sindikalis ini melalui artikel yang berjudul "Eksistensi Anarcho-syndicalism dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia" ketika kelompok ini melancarkan aksinya di hari Buruh Internasional tahun 2019 lalu. Ternyata baru-baru ini, mereka juga melancarkan aksinya di tengah pandemi COVID-19. Beberapa titik di daerah seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung dan Banjar menjadi sasaran aksi vandalisme kelompok ini. Bahkan aparat Kepolisian menginformasikan melalui beberapa situs berita online, mengklaim kelompok ini akan melakukan aksi vandalisme massal pada tanggal 18 April 2020.

Kelompok Anarko-Sindikalis

Secara sederhana, Anarko-Sindikalis merujuk pada sekelompok manusia yang beranggapan bahwa kehidupan manusia akan lebih baik jika tidak ada penguasa atau institusi kekuasaan—baca NegaraIstilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, ‘anarkos’, yang berarti tanpa penguasa. Dalam konteks yang lebih spesifik, penguasa dimaksud adalah penguasa dalam arti kelompok yang mempunyai akses atas konsentrasi modal dan penguasa dalam arti sekelompok orang yang mewakili otoritas negara.

Coretan-coretan di dinding berupa huruf "A" khas dengan lingkaran yang menjadi simbol kelompok ini kerap ditemui kala kelompok ini menjalankan aksinya. Sejak merebaknya COVID-19 di tanah air, kelompok ini sepertinya memanfaatkan momentum kondisi sosial masyarakat yang kini tengah menurun. Masyarakat pada umumnya yang lebih memilih untuk tinggal di rumah masing-masing menjadikan tempat-tempat yang dahulunya adalah simpul keramaian menjadi sepi. Keadaan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan aksi corat-coret di beberapa tempat, tulisan seperti 'Kill The Rich', 'Sudah Krisis Saatnya Membakar', dan 'Mau Mati Konyol atau Melawan' menjadi bertebaran.


Ditengarai, motif kelompok ini melakukan vandalisme adalah dikarenakan ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan Negara saat ini, khususnya terkait kondisi sosial yang makin memburuk akibat penanganan pandemi COVID-19. Mereka berupaya untuk memanfaatkan momentum ini agar masyarakat mempertanyakan keadaan di sekitarnya dengan tulisan-tulisan di dinding sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Tentu saja oleh aparat yang berwenang hal ini dianggap sebagai ajakan menyesatkan yang membuat masyarakat resah dan kemudian menindaknya secara hukum. Menurut petugas, kelompok anarko-sindikalis yang tertangkap ini disangkakan Pasal 14 dan atau 16 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo. Pasal 160 KUHP tentang tindakan Keonaran dengan membuat berita bohong.

Pandemi COVID-19

COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan. Dalam ilmu mikrobiologi kedokteran, virus corona diartikan sebagai kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Gejala-gejalanya dapat terlihat pada manusia dari batuk pilek, susah bernafas, diare dan sindrome pernapasan akut. Dikemudian hari ditemukan dapat saja seseorang terinfeksi virus ini tanpa menampakan gejala sama sekali. 

Adalah hal yang cukup sulit secara pemikiran untuk melacak hubungan antara COVID-19 dengan kelompok Anarko-Sindikalis. Bahkan secara ilmiah mungkin tidak ada kaitannya secara langsung. Akan tetapi, menurut hemat penulis, terdapat akibat-akibat dari penanganan pandemi COVID-19 yang notabene dilakukan oleh negara, khususnya Pemerintah, yang menjadikan kondisi sosial-masyarakat tidak lagi sama seperti sebelum terjadinya pandemi dimaksud.

Bagi kelompok Anarko-Sindikalis, kondisi sosial-masyarakat saat ini, ketika pandemi COVID-19 berlangsung, adalah produk langsung dari kekuasaan. Sehingga segala akibat yang ditanggung oleh masyarakat saat ini adalah sebab dari kekuasaan secara langsung. Tidak dapat dipungkiri dampak dari pandemi COVID-19 terhadap ekonomi di Indonesia memang cukup parah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hanya memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh sekitar 2,3% saja untuk kuartal 2 dan 3 tahun ini. Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada menurun tajamnya daya beli masyarakat. 

Masyarakat berpenghasilan rendah yang ditopang umumnya dari sektor ekonomi informal akan sangat terdampak secara ekonomi. Daya beli masyarakat akan makin lemah, singkat kata mencari makan akan sangat sulit. Belum lagi jika menghitung variabel konkrit lainnya berupa ancaman kesehatan bagi masyarakat ekonomi lemah dari adanya pandemi COVID-19 ini. Lengkap sudah, perut lapar di ancam dengan pandemi COVID-19. Secara garis besar, kondisi demikian menjadikan kondisi sosial dalam keadaan rawan.

Joker

Film Joker besutan DC Comic ini bercerita tentang sosok Arthur Fleck alias Joker musuhnya Batman, seorang yang berprofesi sebagai penghibur badut diperankan oleh aktor negeri Paman Sam, Joaquin Phoenix. Film ini rilis tahun lalu, sekitar bulan Oktober. Film Joker tergolong laris dan menjadikan Joaquin Phoenix sebagai peraih piala oscar. Film bergenre psikologis anti hero ini bercerita tentang hidup Arthur Fleck yang kacau balau. Dikisahkan Arthur menderita sakit otak yang menyebabkan ia tertawa pada moment tidak lazim.

Suatu ketika dalam perjalanan pulang menggunakan kereta bawah tanah, Arthur Fleck dianiaya oleh tiga anak muda yang bekerja pada perusahaan Wayne Enterprise, karena terdesak Arthur kemudian menembak mati ketiganya dengan pistol pinjaman dari seorang teman. Arthur tidak menyadari bahwa pembunuhan itu mejadi pemicu gerakan unjuk rasa terhadap orang kaya di kota Gotham dengan ciri khas topeng badut. Sementara itu, di kancah politik kota Gotham, seorang pengusaha kaya bernama Thomas Wayne (ayah Bruce Wayne--Batman) maju mencalonkan diri guna menjadi wali kota Gotham karena merasa resah dengan kekacauan di kota itu.

Kerusuhan dan kekacauan Kota Gotham dipicu oleh pernyataan Thomas Wayne terhadap kematian ketiga anak muda yang bekerja pada perusahaannya oleh Joker. Thomas Wayne mengatakan bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah orang yang iri pada golongan orang kaya dan sukses, dan melabelinya orang-orang miskin dan gagal total tersebut sebagai 'badut'. Pemberontakan Joker/Arthur Fleck atas kondisi personalnya, diantaranya: dianiaya oleh karyawan Wayne Enterprise, dirundung oleh bandit jalanan ketika menjadi badut, dipecat dari pekerjaannya, dipermalukan oleh Murray Franklin dalam acara TV favorit-nya, kegagalan karirnya dalam stand-up comedy, serta dibohongi oleh ibu angkatnya karena ternyata ia adalah anak angkat, ternyata tidak hanya dirasa oleh dirinya sendiri, tapi juga khalayak ramai dengan beragam penderitaannya masing-masing, yang kemudian terakumulasi menjadi kerusuhan sosial massif di kota Gotham. Pemberontakan demikian, oleh kaum anarkis sebagai perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas.

Jika dikaitkan antara kondisi pandemi COVID-19 yang tengah kita alami sekarang ini dengan film Joker di atas, maka ada kesamaannya, yaitu pandemi COVID-19 ini dapat saja melahirkan kondisi sosial yang rawan. Dan jika mengikuti alur berpikir kelompok anarko-sindikalis selanjutnya, maka diharapkan terjadi akumulasi perlawanan dari masyarakat atas ketidakpuasan terhadap kondisi sosial saat ini yang pecah menjadi kerusuhan sosial massif layaknya di kota Gotham sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang secara klise dianggap menindas.

Pertanyaannya sekarang adalah: apakah pemerintah Indonesia dengan segala perangkat negara yang dimilikinya mampu mengatasi pandemi COVID-19 ini? Penulis berasumsi pemerintah akan mampu mengatasinya. Meskipun demikian, hal ini tentu tidak mudah, dan juga, meski terdapat negara-negara yang berhasil mengatasinya, juga terdapat contoh kegagalan dari negara Lain, Turki misalnya. Baru-baru ini, menteri dalam negeri Turki (Soylu) mengundurkan diri dikarenakan dianggap bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan lock-down yang diterapkan di negaranya, kebijakan ini memicu kekacauan hebat di seluruh penjuru negeri, reaksi masyarakat Turki menjadi panik merespond kebijakan ini dengan buru-buru memborong kebutuhan pokok dan tidak melaksanakan instruksi physical distancing. Akibatnya bisa ditebak dengan terjadinya kekacauan. 

Lalu soal aksi-aksi vandalisme kelompok anarko-sindikalis di tengah pandemi COVID-19 ini bagaimana? Penulis tidak mempunyai data akurat mengenai peta kekuatan kelompok ini, apakah mereka mempunyai akses yang sepadan terhadap sumber daya yang ada guna mendukung aksi-aksi rovolusionernya sebagaimana cita-cita ajarannya dan mungkin sebagaimana terekam dalam film Joker, hal ini bisa ditanyakan ke Badan Intelejen Negara (BIN).

Minggu, 12 April 2020

4 Pasal KUHP Bagi Pelanggar PSBB

(liputan6.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya yang berjudul “2 Ancaman Pidana Tidak Patuh PSBB” telah dibahas mengenai ancaman pidana yang diatur di luar KUHP bagi siapa saja yang melanggar kebijakan Pemerintah berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar atau disingkat dengan PSBB.


Sebaliknya, pada kesempatan ini, akan dibahas aturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat digunakan para penegak hukum, khususnya Polisi, untuk menjerat siapa saja yang tidak patuh pada kebijakan PSBB sebagaimana dimaksud.

Di dalam KUHP, sedikitnya terdapat empat Pasal yang dapat mengancam seseorang untuk dipidana dalam hal tidak mematuhi PSBB, yaitu:
  1. Pasal 212 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: "Melawan seseorang pejabat yang menjalankan tugas yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan".
  2. Pasal 214 KUHP, yang berbunyi sebagaimana dikutip berikut ini: "Jika hal tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih maka ancaman pidananya maksimal 7 tahun penjara".
  3. Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: "Tidak menurut perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, dipidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu".
  4. Pasal 218 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut: "Barangsiapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta dengan pidana penjara 4 bulan 2 minggu".
Pada pasal pertama, kedua, ketiga dan keempat, pada umumnya disebut sebagai Pasal melawan perintah petugas yang sah. Pasal-pasal sebagaimana dimaksud, lazimnya ketika diaplikasikan pada konteks praktik tidaklah berdiri sendiri, ia di-juncto-kan ("berhubungan dengan") pasal yang lain. Pasal lain sebagaimana telah dibahas pada artikel sebelumnya adalah Pasal 93 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.

Sabtu, 11 April 2020

2 Ancaman Pidana Tidak Patuh PSBB

(abtlaw.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait pandemi COVID-19 yang sedang marak ini, tim redaksi hukumindo.com pada artikel sebelumnya telah membahas mengenai Hukum Social & Physical Distancing Terkait COVID-19, sedangkan dalam perkembangannya terjadi kebijakan baru dari Pemerintah, yaitu dengan menerapkan Pembatasan Sosial Sekala Besar atau disingkat dengan PSBB.

Adapun yang dimaksud dengan Pembatasan Sosial Sekala Besar sebagaimana telah disinggung dalam artikel “Mengenal Istilah Hukum Kekarantinaan Terkait COVID-19” situs ini, adalah suatu terminologi dalam Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mempunyai arti sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.


Terkait dengan kebijakan PSBB yang telah diluncurkan oleh Pemerintah ini, terdapat ancaman pidana khusus bagi siapa saja yang tidak mematuhinya. Dikatakan sebagai ancaman pidana khusus dikarenakan diatur di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedikitnya ada dua ancaman Pidana sebagaimana dimaksud, yaitu diatur dalam Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-undang Tentang Wabah Penyakit Menular, selanjutnya akan dijelaskan berikut ini:
Pasal 93 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

Pasal dimaksud berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana penjara 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (Seratus juta Rupiah)”.

Hal ini berarti, jika dikaitkan antara kondisi aktual sekarang dengan aturan hukum dimaksud, yang dimaksud dengan ketidakpatuhan terhadap PSBB yang diluncurkan oleh Pemerintah konkritnya adalah tindakan siapa saja yang sifatnya menghalangi kebijakan PSBB dimaksud sehingga kondisi masyarakat terkait COVID-19 ini makin darurat. Adapun ancaman hukuman apabila masyarakat tidak mematuhi ketentuan dimaksud adalah berupa pidana penjara satu tahun dan denda maksimal seratus juta Rupiah.

Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular

Pasal dimaksud berbunyi sebagai berikut:

(1) Menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah, diancam pidana penjara 1 tahun dan/atau denda Rp. 1.000.000,-
(2) Karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah, diancam pidana kurungan 6 bulan dan/atau denda Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu Rupiah)”.

Hal ini berarti jika dikaitkan antara kondisi aktual sekarang dengan aturan hukum dimaksud, yang dimaksud dengan ketidakpatuhan terhadap PSBB yang diluncurkan oleh Pemerintah konkritnya adalah tindakan siapa saja yang sifatnya menghalangi usaha penanggulangan wabah penyakit menular yang tengah dilakukan Pemerintah, ataupun tindakan siapa saja yang karena kealpaannya menghalangi usaha penanggulangan wabah penyakit menular yang tengah dilakukan Pemerintah sebagaimana dimaksud. Ayat pertama penekanannya adalah pada adanya kesengajaan, dan ayat kedua penekanannya pada kealpaan. Pada ayat pertama diancam dengan pidana satu tahun dan denda satu juta Rupiah, sedangkan pada ayat kedua diancam dengan pidana penjara lebih sedikit, yaitu enam bulan dan/atau denda lima ratus ribu Rupiah.
____________________
1.     Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.
2.     Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Jumat, 10 April 2020

Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa (KUHPerdata (BW))


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Pengampuan Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum pengampuan dalam cakupan hukum keluarga yang ketiga. Selanjutnya, pada kesempatan ini akan dijelaskan cakupan hukum keluarga selanjutnya, keempat, yaitu mengenai ‘Perkawinan’ menurut KUHPerdata (BW).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa, berlandaskan pada Pasal 26 KUHPerdata (BW) dan seterusnya, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan perundang-undangan yang ditetapkan.

Kebanyakan isi peraturan mengenai pergaulan hidup suami-isteri diatur dalam norma-norma kegamaan, kesusilaan atau kesopanan. Hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata (BW) berdasarkan agama Kristen yang berasaskan monogami (seorang suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri).[1]

Syarat-syarat yang pokok yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perkawinan menurut Hukum Perdata Barat antara lain:[2]

  1.  Pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin;
  2. Laki-laki berumur 18 tahun, perempuan 15 tahun;
  3. Dilakukan di muka Pegawai Catatan Sipil (Burgerlijke Stand);
  4. Tidak ada pertalian darah yang terlarang;
  5. Dengan kemauan yang bebas, dan sebagainya.

Perlu menjadi perhatian, bahwa pembahasan hukum perkawinan menurut KUHPerdata (BW) ini untuk kini sangat sedikit sekali faedahnya, dikarenakan sudah terbit Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta perubahannya, adapun jika tetap dilakukan pembahasan, tujuannya pada artikel ini hanya semata-mata pembelajaran saja. Dalam perjalanannya, hukum perkawinan menurut Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 dan perubahannya, adalah objek bahasan hukum yang cukup luas, sehingga patut menjadi pembahasan tersendiri.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 219.
2.  Ibid. Hal.: 219.


Kamis, 09 April 2020

Pengampuan Menurut KUHPerdata (BW)

(wetrecht.nl)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Perwalian Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum perwalian dalam cakupan hukum keluarga yang kedua. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan hukum keluarga selanjutnya, ketiga, yaitu mengenai ‘Pengampuan’ (Curatele).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Pengampuan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 433 KUHPerdata dan seterusnya adalah mengatur mengenai orang yang telah dewasa akan tetapi ia (1) sakit ingatan; (2) Pemboros; (3) Lemah daya atau (4) tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk di luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampuan.

Biasanya suami jadi pengampu atas isterinya atau sebaliknya. Akan tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan-perkumpulan, sedangkan sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.[1] Dengan kata lain, yang dapat menjadi pengampu adalah dapat berupa orang atau perkumpulan.

Penetapan di bawah pengampuan dapat dimintakan oleh suami atau isteri, keluarga sedarah, Kejaksaan dalam hal lemah daya hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja.[2]

Orang yang dibawah pengampuan disebut Kurandus, dan akibat dari dibawah pengampuan adalah dinyatakan tidak cakap bertindak. Pengampuan berakhir apabila alasan-alasan itu sudah tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara Kurator dengan Kurandus, tentang syarat-syarat timbul dan hilangnya pengampuan dan sebagainya, kesemuanya itu diatur dalam peraturan tentang pengampuan atau curatele.[3]

Menurut C.S.T. Kansil, terdapat perbedaan dan persamaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan.

  • Persamaannya adalah bahwa kesemua itu mengawasi dan menyelenggarakan hubungan hukum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak.[4]

Sedangkan Perbedaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dengan pengampuan adalah:[5]
  • Pada kekuasaan orang tua, kekuasaan asli dilaksanakan oleh orang tuanya sendiri yang masih dalam ikatan perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Pada Perwalian, pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu ibunya atau bapaknya yang tidak dalam keadaan ikatan perkawinan lagi atau orang lain terhadap anak-anak yang belum dewasa. Sedangkan pada Pengampuan bimbingan dilaksanakan oleh kurator (yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang-orang dewasa yang karena sesuatu sebab dinyatakan tidak cakap bertindak di dalam lalu lintas hukum.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 218.
2.  Ibid. Hal.: 218.
3.  Ibid. Hal.: 219.
4.  Ibid. Hal.: 219.
5.  Ibid. Hal.: 219.

Rabu, 08 April 2020

Perwalian Menurut KUHPerdata (BW)

(stearn-law.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum kekuasaan orang tua menurut KUHPerdata. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan hukum keluarga yang kedua, yaitu mengenai ‘Perwalian’ (Voogdij).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 331 KUHPerdata dan seterusnya, adalah tentang anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur namun tidak dalam kekuasaan orang tua secara hukum tetap memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, oleh karenanya harus ditunjuk wali, yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.

Wali ditetapkan oleh Hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal. Sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan si anak itu atau bapaknya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-saudaranya yang dianggap cakap untu itu. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan-perkumpulan sebagai wali.[1] Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dapat diangkat sebagai wali adalah perorangan atau perkumpulan.

Perwalian dapat terjadi karena: a). Perkawinan orang tua putus, baik disebabkan salah seorang meninggal dunia atau karena bercerai; b). Kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan, maka Hakim mengangkat seorang Wali yang disertai Wali Pengawas yang harus mengawasi pekerjaan Wali tersebut. Wali Pengawas di Indonesia dijalankan oleh pejabat Balai Harta Peninggalan (Weeskamer).[2] Pada umumnya, perwalian dapat terjadi karena dua hal, yaitu perkawinan yang putus atau dipecatnya orang tua oleh Hakim.

Yang perlu ditegaskan di sini, perbedaan antara wali dengan orang tua adalah bahwa wali tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan anak, meskipun sangat disarankan masih mempunyai hubungan keluarga, sedangkan orang tua mempunyai hubungan darah langsung dengan anak.
_______________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 218.
2.  Ibid. Hal.: 218.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...