Selasa, 21 April 2020

Lahirnya Perjanjian

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan kuliah terdahulu telah dibahas mengenai perihal mendasar dari Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht), dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai lahirnya perjanjian.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata (BW), perjanjian timbul karena:[1]
  1. Persetujuan (Overeenkomst); dan
  2. Dari Undang-undang.
Lahirnya Perjanjian Yang Disebabkan Oleh Persetujuan (Overeenkomst)

Persetujuan atau Overeenkomst dapat juga disebut sebagai "Contract". Yang berarti suatu tindakan yang seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seseorang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata (BW)). Tindakan yang menciptakan persetujuan, berisi pernyataan kehendak antara para pihak. Dengan demikian persetujuan tiada lain daripada "persetujuan kehendak" antara para pihak. Perlu diingatkan, yang dimaksud persetujuan adalah tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandeling).[2]

Lahirnya Perjanjian Yang Disebabkan Dari Undang-undang

Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352 KUHPerdata (BW):[3]
  1. Semata-mata dari undang-undang;
  2. Dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.
Sepanjang mengenai persetujuan yang menimbulkan perikatan semata-mata karena undang-undang, tidak akan dibicarakan lebih lanjut, dikarenakan persetujuan yang demikian telah diatur tersendiri dalam ketentuan-ketentuan yang jelas. Sebagai contoh adalah kewajiban alimentasi, sudah diatur dalam hukum kekeluargaan. Kewajiban alimentasi timbul akibat persetujuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang sendiri.[4]

Yang menjadi persoalan adalah perjanjian yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari "perbuatan manusia". Sesuai dengan Pasal 1353 KUHPerdata, yang dapat dibedakan dari persetujuan yang timbul sebagai akibat dari perbuatan manusia adalah: 1). Yang sesuai dengan hukum atau perbuatan yang rechtmatig; dan 2). Karena perbuatan dursila atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig daad).[5]

Perbuatan yang sesuai dengan hukum yang mengakibatkan timbulnya perikatan, nampaknya merupakan semacam "quasi-contract". Mirip dengan perjanjian semu. Contoh, mengenai "zaakwaarneming", seperti yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, berarti seorang yang sukarela mengurus kepentingan orang lain atau melakukan perwakilan sukarela tanpa suatu kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya, serta perbuatan yang dilakukannya dengan tidak setahu/persetujuan pihak yang diurusnya, maka secara diam-diam telah mengikatkan diri untuk melanjutkan penyempurnaan penyelesaian perbuatan itu.[6]

Mengenai perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig daad) ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata (BW), yang menyatakan setiap perbuatan melanggar hukum/perbuatan dursila yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap orang lain, mewajibkan si pelaku untuk membayar ganti kerugian. Antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang dialami orang lain, harus merupakan akibat langsung dari perbuatan melanggar hukum. Terhadap kerugian yang langsung inilah yang dapat dituntut "ganti kerugian". Penggantian ganti rugi ini wajib dibayar oleh si Pelaku.[7]
_______________
1. "Segi-segi Hukum Perjanjian", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 23.
2. Ibid., Hal.: 23.
3. Ibid., Hal.: 27.
4. Ibid., Hal.: 28.
5. Ibid., Hal.: 28.
6. Ibid., Hal.: 28.
7. Ibid., Hal.: 30-31.

Senin, 20 April 2020

Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht)

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang membahas mengenai Hukum Harta Kekayaan telah dibahas mengenai Hukum Benda, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht).

Dalam mencapai kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan kerja sama. Manusia saling mengikatkan diri untuk memenuhi sesuatu prestasi, sehingga timbullah hukum perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu, dan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu. Pihak yang berkewajiban memenuhi perikatan disebut debitur, dan pihak yang berhak atas pemenuhan sesuatu perikatan disebut kreditur.[1]

Di dalam sebuah perikatan, yang menjadi objek perikatan adalah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan. Adapun macam-macam perikatan adalah sebagai berikut:[2]
  1. Memberikan sesuatu, seperti membayar harga, menyerahkan barang dan sebagainya;
  2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, kesemuanya karena Putusan Pengadilan dan sebagainya;
  3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak mendirikan sesuatu bangunan, untuk tidak menggunakan merk dagang tertentu, kesemuanya karena ditetapkan oleh Putusan Pengadilan.
Dalam hal debitur tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan di sebut cidera janji (wanprestasi). Sebelum dinyatakan cidera janji, terlebih dahulu harus dilakukan somasi (ingebrekestelling), yaitu suatu peringatan kepada debitur agar memenuhi kewajibannya. Dan dalam hal seseorang terdapat keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa perbuatan debiturnya akan merugikan, maka ia dapat meminta pembatalan perikatan.[3]
____________________
1.“Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 246.
2.  Ibid. Hal.: 247.
3.  Ibid. Hal.: 247.

Minggu, 19 April 2020

Memperbaiki Gugatan Error In Persona

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo

Artikel sebelumnya yang berjudul: "2 Akibat Hukum Gugatan Error In Persona" telah redaksi Hukumindo posting, dan masih terkait dengan topik yang sama, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai cara memperbaiki gugatan error in persona.


Sebagaimana telah diketahui, konsekuensi putusan gugatan perdata yang dikualifikasi sebagai error in persona adalah nietontvankelijke verklaard/N.O. atau putusan tidak dapat diterima. Mengutip Yahya Harahap, S.H., tindakan yang dianggap tepat dilakukan penggugat menghadapi putusan yang menyatakan mengandung cacat error in persona adalah:[1]
  • Memperbaiki atau menyempurnakan pihak yang dinyatakan cacat oleh Pengadilan;
  • Jika cacat yang terkandung dalam gugatan itu diskualifikasi, perbaikan dilakukan dengan menempatkan orang yang tepat. Begitu juga apabila pihak yang ditarik sebagai tergugat keliru orangnya diperbaiki dengan menarik orang yang tepat sebagai tergugat. Jika putusan menyatakan gugatan kurang pihak, gugatan harus diperbaiki dan disempurnakan dengan memasukkan orang bersangkutan sebagai pihak penggugat atau tergugat.
Dengan perbaikan atau penyempurnaan itu, penggugat dapat mengajukan kembali gugatan sebagai perkara baru. Cara ini yang dianggap paling efektif dan efisien. Oleh karena itu, seandainya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan menyatakan gugatan mengandung error in persona:[2]
  • Kurang efektif dan efisien mengajukan upaya hukum banding atau Kasasi;
  • Lebih tepat langsung melakukan perbaikan yang dilanjutkan dengan pengajuan kembali sebagai perkara baru.
Sebab kalau diajukan banding maupun kasasi, dan ternyata putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi pada tingkat Banding dan MA pada tingkat Kasasi, dengan sendirinya hal itu memperpanjang proses penyelesaian perkara.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 113-114.

2. Ibid. Hal.: 114.

Sabtu, 18 April 2020

Hukum Benda (Zakenrecht)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Harta Kekayaan” telah dibahas mengenai uang dan yang dapat dinilai dengan uang dari perspektif hukum. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Hukum Benda. Sebagai prolog, manusia di dalam pergaulan hidupnya memerlukan benda-benda baik untuk dipergunakan langsung ataupun sekedar sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.[1]


Benda dalam arti Ilmu Pengetahuan Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum, sedangkan menurut Pasal 499 KUHPerdata, benda ialah segala barang dan hak yang dapat menjadi milik orang (obyek hak milik). Benda-benda tersebut dapat dibedakan menjadi:[2]

  1. Benda tetap, ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya bangunan-bangunan, tanah tanam-tanaman (karena sifatnya), hak opstal, hak erfpah, hak hipotik (karena penentuan undang-undang) dan sebagainya.
  2. Benda bergerak, ialah benda-benda yang karena sifatnya  atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak, misalnya alat-alat perkakas, kendaraan, binatang (karena sifatnya), hak-hak terhadap surat-surat berharga (karena undang-undang) dan sebagainya.

Benda-benda itu juga dapat dibedakan lagi menjadi: (a). Benda-benda berwujud (= barang-barang) dan; (b). Benda-benda tak berwujud (= bermacam-macam hak). Benda-benda ini dapat dimiliki dan dikuasai oleh manusia dan karena itu diperlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan benda-benda tersebut. Timbullah peraturan-peraturan tentang hukum kebendaan (zakelijke rechten) yang bersifat mutlak (absoluut recht), artinya dapat berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang.[3]

Hak mutlak dalam lapangan keperdataan, dapat meliputi:[4]
  1. Benda-benda berwujud, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpah, hak gadai, hak hipotik dan sebagainya;
  2. Benda tidak berwujud, seperti hak panenan, hak pengarang (hak cipta), hak oktroi (paten), hak merk, dan sebagainya.

Di dalam KUHPerdata (BW) diatur beberapa hak kebendaan, antara lain:[5]
  1. Hak Eigendom (Hak milik Barat), pada Pasal 570 dan seterusnya, ialah hak untuk menikmati dengan bebas dan menguasai mutlak suatu benda, asal tidak dipergunakan yang bertentangan dengan undang-undang, peraturan-peraturan lain dan tidak mengganggu kepentingan orang lain; kesemuanya itu sekedar tidak diadakan pencabutan hak milik oleh Negara untuk kepentingan umum.
  2. Hak Pekarangan (Servituut), Pasal 674 dan seterusnya, ialah kewajiban bagi pemilik pekarangan yang berdekatan dengan kepunyaan orang lain untuk mengizinkan memakai atau menggunakan pekarangan tersebut.
  3. Hak Opstal, Pasal 711 dan seterusnya, ialah hak untuk mempunyai atau mendirikan bangunan-bangunan atau tanaman di atas milik orang lain. Untuk mendirikan bangunan atau menanami tanah itu, diperlukan izin pemiliknya, sedangkan orang itu tidak perlu memiliki tanah sendiri.
  4. Hak Erfpah, Pasal 70 dan seterusnya, ialah suatu hak untuk mempergunakan benda tetap kepunyaan orang lain dengan kemerdekaan penuh, seolah-olah menjadi miliknya sendiri, dengan pembayaran uang canon (pacht) pada tiap-tiap tahun, baik berupa uang ataupun benda lain atau buah-buahan.
  5. Hak Pemakaian Hasil (Vruchtgebruik), Pasal 756 dan seterusnya, ialah hak atas benda tetap atau benda bergerak, untuk menggunakan seluruhnya serta memungut hasil dan buahnya sedang sifat benda tersebut tidak boleh berubah ataupun berkurang nilainya; sebab itu undang-undang mengharuskan ada jaminan gadai, hipotik atau tanggungan orang.
  6. Hak Gadai (Pand), Pasal 1150 dan seterusnya, adalah hak seseorang kreditur (penagih) atas sesuatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya sebagai jaminan hutangnya dengan ketentuan bahwa kreditur tersebut harus dibayar lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya dengan jalan melelang benda tersebut di muka umum.
  7. Hak Hipotik, Pasal 1162 dan seterusnya, ialah hak tanggungan seperti gadai; akan tetapi benda yang dijadikan jaminan berupa benda tetap (rumah, tanah dan sebagainya). Kapal yang muatannya 20 M3 ke atas, segala hak-hak kebendaan seperti hak opstal, erfpah, pemakaian hasil dan lain-lain dapat dibebani hipotik.

Pada tahun 1960, telah ditetapkan penghapusan hak-hak berkenaan dengan tanah sebagaimana dimaksud di atas. Hal ini diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960). Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan lahirnya undang-undang ini maka tercapailah suatu keseragaman mengenai hukum tanah, sehingga tidak lagi ada hak-hak atas tanah menurut hukum Barat.[6]

Dengan undang-undang ini telah dicabut Buku II KUHPerdata (BW) sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini.[7] Sebagai informasi tambahan, pasal-pasal yang di dalam KUHPerdata (BW) yang mengatur tentang Hipotik, dengan berlakunya Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, menjadikannya tidak berlaku lagi.

Dengan telah dicabutnya Buku II KUHPerdata ini, maka oleh Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960 ini telah diciptakan hak-hak berikut atas tanah, yaitu:[8]

1.   Hak Milik, adalah hak turun-temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial;
2.   Hak Guna Usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun (untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan untuk waktu 35 tahun), waktu mana dapat diperpanjang;
3. Hak Guna Bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, waktu mana dapat diperpanjang;
4.  Hak Pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah;
5.   Hak Sewa, adalah seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sewa.
____________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 244.
2.  Ibid. Hal.: 244.
3.  Ibid. Hal.: 244.
4.  Ibid. Hal.: 244.
5.  Ibid. Hal.: 244-245.
6.  Ibid. Hal.: 245-246.
7.  Ibid. Hal.: 246.
8.  Ibid. Hal.: 246.

Jumat, 17 April 2020

2 Akibat Hukum Gugatan Error In Persona

(young lawyer)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah membahas secara linier mengenai "3 Bentuk Gugatan Error In Persona", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai akibat hukum dari sebuah gugatan yang dikualifikasi sebagai error in persona.


Seperti yang dijelaskan terdahulu, kekeliruan pihak mengakibatkan gugatan cacat error in persona (kekeliruan mengenai orang). Cacat yang ditimbulkan kekeliruan itu, berbentuk diskualifikasi (salah orang yang bertindak sebagai penggugat). Dapat juga berbentuk, salah pihak yang ditarik sebagai tergugat (gemis aanhoedarmigheid) atau mungkin juga berbentuk plurium litis consortium (kurang pihak dalam gugatan).[1]

Sebagaimana pendapat dari Yahya Harahap, S.H., gugatan error in persona mengakibatkan dua akibat hukum, yaitu:[2]
  1. Gugatan dianggap tidak memenuhi syarat formil, oleh karena itu gugatan dikualifikasi mengandung cacat formil;
  2. Akibat lebih lanjut, Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (nietontvankelijke verklaard/N.O.).
Dengan demikian, kecermatan dalam menganalisis sebuah peristiwa hukum adalah sangat diperlukan dalam menyusun sebuah surat gugatan, agar dikemudian hari tidak dikategorikan tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan diputus N.O.

_________________

1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 113.
2. Ibid. Hal.: 113.

Kamis, 16 April 2020

Hukum Harta Kekayaan

(ayutiapuspasari)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya telah dibahas mengenai "hukum perorangan" dan "hukum keluarga" pada artikel masing-masing. Masih dalam bahasan "sistematika hukum perdata", pada bagian ini akan dibahas mengenai hukum harta kekayaan.


Apa yang dimaksud dengan Hukum Harta Kekayaan? C.S.T. Kansil menjawab pertanyaan ini, sebagai peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang.[1] Dengan kata lain, hukum harta kekayaan ini adalah himpunan peraturan yang melingkupi manusia terkait uang atau perihal yang dapat dinilai dengan uang.

Adapun ruang lingkup hukum harta kekayaan ini cukup luas, akan tetapi, apabila dilakukan penyederhanaan, tergolong ke dalam dua lapangan, yaitu:[2]
  1. Hukum Benda, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak, artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati;
  2. Hukum Perikatan, ialah peraturan-peraturan yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan sesuatu) dan pihak yang lain wajib memenuhi suatu prestasi. 

_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 243.
2.  Ibid. Hal.: 243-244.

Rabu, 15 April 2020

3 Bentuk Gugatan Error in Persona

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kesempatan sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuatan Pembuktian Photocopy Surat", dan kini akan membahas mengenai bentuk-bentuk gugatan yang dapat dikualifikasi sebagai error in persona.

Dalam sebuah gugatan perdata, terlibat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Pada kondisi demikian, yang bertindak sebagai Penggugat, harus orang yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Sebaliknya, pihak yang ditarik sebagai tergugat, harus orang yang tepat memiliki kedudukan dan kapasitas. Keliru dan salah bertindak sebagai Penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil. Demikian juga sebaliknya, apabila orang yang ditarik sebagai tergugat keliru dan salah, mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.[1] Dengan kata lain, ketika para pihak berperkara di pengadilan, baik Penggugat maupun Tergugat mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan berupa salah menarik pihak atau tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas hukum, akibatnya adalah gugatan menjadi cacat formil.


Pada kesempatan ini, akan dibahas mengenai tiga bentuk gugatan error in persona yang mengakibatkan sebuah gugatan cacat formil, yaitu:[2]

  1. Diskualifikasi in Person, hal ini terjadi apabila yang bertindak sebagai Penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), disebabkan Penggugat dalam kondisi sebagai berikut: a). Tidak mempunyai Hak untuk Menggugat Perkara yang disengketakan. Misalnya, orang yang tidak ikut dalam perjanjian bertindak sebagai Penggugat menuntut dibatalkannya perjanjian; b). Tidak cakap melakukan Tindakan Hukum. Misalnya, orang yang berada di bawah umur atau perwalian.
  2. Salah Sasaran Pihak Yang Digugat, adalah bentuk lain dari error in persona yang mungkin terjadi, yaitu ketika orang yang ditarik sebagai Tergugat keliru (gemis aanhoeda nigheid). Misalnya, yang meminjam uang adalah A, tetapi yang ditarik sebagai Tergugat untuk melunasi pembayaran adalah B, sebagai Tergugat. Dengan kata lain, yang dijadikan Tergugat tidak mempunyai status legal persona standi in judicio (yang sah mempunyai wewenang bertindak di Pengadilan).
  3. Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium), yaitu keadaan dimana pihak yang bertindak sebagai Penggugat atau yang ditarik sebagai Tergugat adalah tidak lengkap, masih ada orang lain yang mesti ikut bertindak sebagai Penggugat atau ditarik sebagai Tergugat. Contoh: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1125 K/Pdt/1984 menyatakan: "Judex facti salah menerapkan tata tertib beracara. Semestinya pihak ketiga yang bernama Oji sebagai sumber perolehan hak Tergugat I, yang kemudian dipindahkan Tergugat I kepada Tergugat II, harus ikut digugat sebagai Tergugat. Alasannya, dalam kasus ini, Oji mempunyai urgensi untuk membuktikan hak kepemilikannya maupun asal usul tanah sengketa serta dsar hukum Oji menghibahkan kepada Terguggat I"
Setelah membaca penjelasan di atas, sebagai sebuah kesimpulan, yang harus diingat ketika menyusun suatu surat gugatan perkara perdata agar tidak dikualifikasi sebagai error in persona agaknya menjadi terang, yaitu baik Penggugat dan Tergugat harus mempunyai Hak dan Cakap secara hukum, Tergugatnya tepat dan lengkap.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 111.
2. Ibid. Hal.: 111-113.

Selasa, 14 April 2020

Kekuatan Pembuktian Photocopy Surat

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo


Pada kesempatan sebelumnya, redaksi Hukumindo.com telah beberapa kali membahas tentang hukum acara perdata, diantaranya lewat artikel berjudul: "Saksi Keluarga Dalam Perkara Perceraian", kemudian "Pernyataan dan Pengakuan Dalam Proses Mediasi Tidak Termasuk Bukti" dan artikel lain yang berjudul: "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan".

Peraturan Perundang-undangan Terkait Photocopy Surat

Sesuai dengan judul, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Kekuatan Pembuktian menurut hukum acara dari sebuah Photocopy Surat. Mengutip Yahya Harahap, S.H., sampai saat ini belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi yang mengatur maupun membicarakan sejauh mana kesamaan dan keidentikan photocopy dengan orisinilnya.[1]


Lanjutnya, secara umum, pengakuan keabsahan identiknya photocopy dengan aslinya, yaitu apabila para pihak mampu dan dapat menunjukan aslinya di persidangan. Selama tidak dapat ditunjukan aslinya, photocopy tidak bernilai sebagai salinan pertama atau salinan keberapa, sehingga tidak sah sebagai alat bukti.[2]

Yurisprudensi Terkait Photocopy Surat Sebagai Bukti

Hal yang sama juga tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 7011 K/ Sip/1974, antara lain dikatakan: "Putusan yang didasarkan pada surat bukti photocopy-photocopy tidaklah sah karena surat bukti photocopy-photocopy tersebut dinyatakan sama dengan aslinya, sedang terdapat di antaranya perbedaan yang penting secara substansial. Dengan demikian judex facti telah memutus perkara berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah".[3]

Pendapat yang sama ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3609 K/Pdt/1985, dikatakan: "Surat bukti photocopy yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti". Hal yang sama juga terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 112 K/Pdt/1996, yang mengatakan: "Bukti photocopy kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta tidak dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan".[4]

Dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa bukti yang diajukan berupa surat hasil photocopy yang tidak ditunjukan aslinya dan atau tidak dikuatkan oleh keterangan saksi-saksi, maka tidak mempunyai nilai pembuktian secara hukum acara.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 622.
2. Ibid. Hal.: 622.
3. Ibid. Hal.: 622.
4. Ibid. Hal.: 622.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...