(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Kuasa Mutlak Yang Diperbolehkan
Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak penerima kuasa untuk melepas secara sepihak di sisi lain, lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Perjanjian kuasa seperti ini, diberi judul "kuasa mutlak", yang memuat klausul: a). Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa; b). Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa.[1]
Kedua bentuk klausul di atas merupakan ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Klausul itu menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata, sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolehkannya membuat persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.[2]
Pendapat dan pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu diantaranya, adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3604 K/Pdt/1985. Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 731 K/Sip/1975, yang antara lain menyatakan:[3]
- Surat kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUHPerdata. Namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, atau disebut juga perpetual and usual or customary condition.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor: 731 K/Sip/1975 telah menegaskan ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak bersifat mengikat. Oleh karena itu, jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali. Pendirian ini didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur (additional law).
- Begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima pendapatnya di Indonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata.
Kuasa Mutlak Yang Dilarang
Perlu diingat, tidak semua urusan dapat dilakukan kuasa mutlak, terdapat larangan yang dimuat dalam Instruksi Mendagri Nomor: 14 Tahun 1982. Bahwa Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual-beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan: surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyeludupkan jual beli tanah.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 5.
2. Ibid. Hal.: 5.
3. Ibid. Hal.: 5-6.
4. Ibid. Hal.: 6.