Minggu, 17 Mei 2020

Putusan Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai prinsip pembuktian pada Permohonan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Putusan Permohonan.

Adapun bentuk penetapan terkait permohonan berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga disebut penetapan atas ketetapan (beschikking; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan Pengadilan dalam gugatan contentiosa. Dalam gugatan perdata yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).[1]

Pada permohonan, diktum bersifat deklarator, yaitu:[2]
  1. Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta;
  2. Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun;
  3. Juga tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atau sesuatu barang, dan sebagainya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 40.
2. Ibid. Hal.: 40-41.

Jumat, 15 Mei 2020

Prinsip Pembuktian Pada Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai proses pemeriksaan permohonan, masih pada pokok yang berkaitan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Prinsip Pembuktian Pada Permohonan.

Berbeda dengan proses pemeriksaan permohonan dimana terdapat beberapa asas yang tidak ditegakkan, pada proses pembuktiannya tetap harus menegakkan prinsip-prinsip pembuktian pada umumnya di hukum acara perdata.

Prinsip ajaran dan sistem pembuktian, harus ditegakkan dan diterapkan sepenuhnya dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan. Mengabaikan penegakkan dan penerapan ajaran dan sistem pembuktian dalam pemeriksaan permohonan, dapat menimbulkan akibat yang sangat fatal. Misalnya, permohonan izin poligami. Ternyata bukti yang diajukan pemohon adalah surat keterangan persetujuan dari wanita lain, bukan dari istri pertama Pemohon. Jika Pengadilan hanya bersikap formil, bukti itu dianggap sudah cukup bagi hakim memberi izin poligami. Akan tetapi, apabila ditegakkan ukuran batas minimal pembuktian, surat dimaksud belum cukup memenuhi batas minimal. Oleh karena itu, harus ditambah lagi dengan alat bukti lain, seperti keterangan saksi.[1]

Oleh karena itu, prinsip dan sistem pembuktian yang harus ditegakkan dan diterapkan, adalah sebagaimana berikut:[2]
  1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan Undang-undang, yaitu sesuai yang dirinci secara enumeratif dalam Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBG) atau Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti yang sah terdiri dari: a). Tulisan (akta); b). Keterangan saksi; c). Persangkaan; d). Pengakuan; dan d). Sumpah.
  2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR (Pasal 203 RBG) atau Pasal 1865 KUHPerdata, dalam hal ini sepenuhnya beban wajib bukti dibebankan kepada Pemohon.
  3. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal pembuktian, dengan kata lain, apabila alat bukti yang diajukan oleh Pemohon hanya bernilai sebagai alat bukti permulaan atau alat bukti yang diajukan hanya satu saksi dan tanpa alat bukti yang lain, dalam hal seperti ini, alat bukti yang diajukan Pemohon belum mencapai batas minimal untuk membuktikan dalil Permohonan.
  4. Yang sah sebagai alat bukti, hanya terbatas pada alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, paling tidak asas dan sistem pembuktian yang jelas di atas, harus ditegakkan dan diterapkan Pengadilan dalam memutus dan menyelesaikan permohonan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 39.
2. Ibid. Hal.: 40.

Kamis, 14 Mei 2020

Proses Pemeriksaan Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai Petitum Permohonan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai proses pemeriksaan permohonan.

Dalam pemeriksaan permohonan, jalannya proses pemeriksaan dilakukan secara ex-parte. Dikarenakan yang terlibat dalam permohonan hanya sepihak, yaitu Pemohon sendiri, proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau bersifat ex-parte, sedangkan yang hadir dan tampil dalam pemeriksaan persidangan, hanya pemohon atau kuasanya. Tidak ada pihak lawan atau Tergugat pemeriksaan sidang benar-benar hadir untuk kepentingan Pemohon. Prinsip ex-parte bersifat sederhana, yaitu:[1]
  1. Hanya mendengar keterangan Pemohon atau kuasanya sehubungan dengan Permohonan;
  2. Memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh Pemohon; dan
  3. Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pemeriksaan permohonan adalah yang diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon. Dengan kata lain, pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya dalam pemeriksaan tidak ada bantahan dari Pihak Lain. Selain itu, tidak dipermasalahkan penegakkan seluruh asas persidangan, asas seperti kebebasan peradilan dan peradilan yang adil tetap ditegakkan, namun asas seperti audi alteram partem (mendengar jawaban dari pihak lawan) dan asas memberi kesempatan yang sama tidaklah perlu.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 38.
2. Ibid. Hal.: 38-39.

Rabu, 13 Mei 2020

Petitum Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Setelah sebelumnya dibahas mengenai Istilah & Pengertian Yuridis Permohonan (Gugatan Voluntair), redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Petitum Permohonan.

Pada kasus permohonan, pihak yang ada hanya pemohon sendiri. Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau tergugat. Pada prinsipnya, tujuan permohonan untuk menyelesaikan kepentingan pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak lawa. Dalam kerangka demikian, petitum permohonan harus mengacu pada penyelesaian kepentingan pemohon secara sepihak.[1]

Sehubungan dengan hal di atas, petitum permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain. Oleh karena itu, terdapat acuan sebagai berikut:[2]
  1. Isi petitum permohonan bersifat deklaratif (memuat kata-kata: "menyatakan bahwa Pemohon adalah orang yang berkepentingan atas masalah yang dimohon");
  2. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai Pemohon;
  3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukuman);
  4. Petitum permohonan harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya;
  5. Petitum tidak boleh bersifat compositur ex aequo et bono (tidak dibenarkan hanya memohon keadilan semata).
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 37.
2. Ibid. Hal.: 37-38.

Selasa, 12 Mei 2020

Istilah & Pengertian Yuridis Permohonan (Gugatan Voluntair)



(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Setelah sebelumnya membahas tentang kuasa, pada kesempatan berikut ini, redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Permohonan atau Gugatan Voluntair.

Yang disebut dengan istilah permohonan (gugatan voluntair) dapat dilihat terlebih dahulu pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1970 Jo. UU Nomor: 35 Tahun 1999, yang menyatakan:[1]
"Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair."
Secara umum inilah permohonan (gugatan voluntair) inilah yang merujuk pada kutipan sebagaimana di atas.

Secara yuridis, permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.[2]

Sedangkan ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah sebagai berikut:[3]
  1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only);
  2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada PN, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party);
  3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-parte
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 28.
2. Ibid. Hal.: 29.
3. Ibid. Hal.: 28.

Senin, 11 Mei 2020

Kuasa Menurut Hukum


(iStock)


Oleh:
Tim Hukumindo

Masih pada bahasan tentang kuasa, redaksi Hukumindo.com, sebelumnya telah disinggung mengenai jenis-jenis kuasa, dan kini akan dibahas mengenai Kuasa Menurut Hukum. 

Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoordig atau legal mandatory (legal representative). Maksudnya, undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.[1]

Di bawah ini dideskripsikan beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak mewakili kepentingan orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari orang atau badan tersebut, yaitu:[2] 
  1. Wali terhadap anak di Bawah Perwalian, berdasarkan ketentuan Pasal 51 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
  2. Kurator atau Orang yang Tidak Waras, berdasarkan Pasal 229 HIR.
  3. Orang Tua terhadap Anak yang Belum Dewasa, berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
  4. BPH sebagai Kurator Kepailitan, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf "b" Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan PKPU.
  5. Direksi atau Pengurus Badan Hukum, disini direksi atau pemimpin (pengurus) Badan Hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum (legal mandatory) mewakili kepentingan badan hukum yang bersangkutan (Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi).
  6. Direksi BUMN, disini menyangkut perseroan terbatas yang seluruh atau sedikitnya 51% saham yang dikeluarkan, dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung.
  7. Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing, perkembangan hukum di Indonesia, telah membenarkan "pimpinan perwakilan" perusahaan asing, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan kantor perwakilan perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari kantor pusat (head office) yang ada di luar negeri.
  8. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 779 K/Pdt/1992, bahwa "pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa untuk itu".
Demikian untuk dimaklum. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 8.
2. Ibid. Hal.: 8-12.

Sabtu, 09 Mei 2020

Jenis-jenis Kuasa

(iStock)


Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya terkait dengan surat kuasa ini, telah dibahas mengenai kuasa mutlak yang diperbolehkan dan yang dilarang. Pada gilirannya kini, akan dibahas mengenai jenis-jenis kuasa. 

  1. Kuasa Umum, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu: a). Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa; b). Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya; c). Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai kepengurusan, yaitu disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa.[1]
  2. Kuasa Khusus, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menjelaskan bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan Pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal.[2]
  3. Kuasa Istimewa, diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa khusus tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa. Syarat yang dimaksud adalah: a). Bersifat limitatif, yaitu terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting; b). Harus berbentuk akta otentik, menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah, R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik.[3]
  4. Kuasa Perantara, diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal 62 KUHD. Kuasa perantara disebut juga sebagai agen (agent). Dengan kata lain disebut sebagai agen perdagangan atau makelar. Disebut juga broker atau "perwakilan dagang".[4]
Dalam praktinya, kuasa umum dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti menunjuk seseorang guna mengurus perihal kekayaan kita atau sejenisnya yang dapat dinilai dengan uang. Sedangkan untuk kuasa khusus adalah kuasa yang lazim dipergunakan ketika beracara di pengadilan dalam mengurus perkara. Kuasa istimewa sifatnya sangat penting, hingga harus menggunakan akta otentik, dalam artian pemberian kuasa ini dihadapan pejabat yang berwenang. Dan terakhir, kuasa perantara sering dipergunakan dalam lapangan bisnis untuk menunjuk agen, atau perwakilan dagang.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 6.
2. Ibid. Hal.: 7.
3. Ibid. Hal.: 7-8.
4. Ibid. Hal.: 8.

Senin, 04 Mei 2020

Kuasa Mutlak Yang Diperbolehkan Dan Yang Dilarang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Bahwa sebelumnya telah dibahas mengenai "Pengertian Kuasa Secara Umum", "Sifat Perjanjian Kuasa" dan "Berakhirnya Kuasa", dan kini akan dibahas mengenai kuasa mutlak yang diperbolehkan dan yang dilarang.

Kuasa Mutlak Yang Diperbolehkan

Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak penerima kuasa untuk melepas secara sepihak di sisi lain, lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Perjanjian kuasa seperti ini, diberi judul "kuasa mutlak", yang memuat klausul: a). Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa; b). Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa.[1]

Kedua bentuk klausul di atas merupakan ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Klausul itu menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata, sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolehkannya membuat persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.[2]

Pendapat dan pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu diantaranya, adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3604 K/Pdt/1985. Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 731 K/Sip/1975, yang antara lain menyatakan:[3]
  • Surat kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUHPerdata. Namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, atau disebut juga perpetual and usual or customary condition.
  • Putusan Mahkamah Agung Nomor: 731 K/Sip/1975 telah menegaskan ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak bersifat mengikat. Oleh karena itu, jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali. Pendirian ini didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur (additional law).
  • Begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima pendapatnya di Indonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata.

Kuasa Mutlak Yang Dilarang

Perlu diingat, tidak semua urusan dapat dilakukan kuasa mutlak, terdapat larangan yang dimuat dalam Instruksi Mendagri Nomor: 14 Tahun 1982. Bahwa Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual-beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan: surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyeludupkan jual beli tanah.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 5.
2. Ibid. Hal.: 5.
3. Ibid. Hal.: 5-6.
4. Ibid. Hal.: 6.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...