Jumat, 22 Mei 2020

2 Bentuk Gugatan


(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu telah dibahas mengenai "Pengertian Gugatan Kontentiosa", dan pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Dua Bentuk Gugatan.

Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan oleh undang-undang dalam praktinya terdapat dua bentuk, pertama dalam bentuk lisan, dan kedua dalam bentuk tulisan.[1]

Gugatan dalam bentuk lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang menegaskan: "Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya". Pada saat HIR ini dibuat pada tahun 1941, ketentuan Pasal 120 ini benar-benar realistis, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasikan gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada ketua PN, yang oleh Undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugatan lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasikannya dalam bentuk tertulis. Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat ketentuan ini tidak relevan lagi.[2] Dan penulis berpendapat ada benarnya, oleh karena itu, dalam hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut.

Gugatan dalam bentuk tulisan, diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBg). Menurut pasal ini gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya. Memperhatikan ketentuan ini, yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah: a). Penggugat sendiri, dan b). Kuasanya.[3]

Dalam hal penggugat sendiri yang mengajukan, maka surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh Penggugat sendiri. Diperbolehkannya penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN adalah karena HIR maupun RBg, tidak menganut sistem yang mewajibkan penggugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat pengacara atau advokat untuk mewakilinya.[4] Selanjutnya, Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau menyampaikan surat gugatan kepada PN. Dengan demikian, jika yang bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa, maka sebelum itu dilakukannya, ia harus lebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari Penggugat.[5]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 48-49.
2. Ibid. Hal.: 48.
3. Ibid. Hal.: 49-50.
4. Ibid. Hal.: 50.
5. Ibid. Hal.: 50-51.

Kamis, 21 Mei 2020

Pengertian Gugatan Kontentiosa



(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu telah dibahas mengenai "Koreksi Terhadap Permohonan Yang Keliru", dan pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Pengertian Gugatan Kontentiosa.

Dasar hukum Gugatan Kontentiosa adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor: 35 Tahun 1999), dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor: 4 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1970. Isinya adalah tugas dan wewenang badan peradilan di bidang Perdata yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang berperkara. Wewenang pengadilan menyelesaikan perkara di antara pihak yang bersengketa disebut yurisdiksi contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut juga contentious. Dengan demikian, yurisdiksi dan gugatan contentiosa merupakan hal yang berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak (ex-parte).[1]

Lain halnya dengan gugatan voluntair, gugatan contentiosa mengandung sengketa di antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties). Artinya, penyelesaian sengketa di Pengadilan melalui proses sanggah-menyanggah dalam bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban), dan duplik (jawaban kedua kali).[2]
 
Istilah contentiosa atau contentious berasal dari bahasa Latin. Salah satu arti perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah 'penuh semangat bertanding atau berpolemik'. Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam praktik. Sedangkan dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja. Pasal 118 ayat (1) HIR menggunakan istilah gugatan perdata atau gugatan saja. Pasal 1 Rv menyebut gugatan. Prof. Sudikno Mertokusumo juga menggunakan istilah gugatan, berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Prof. Subekti mempergunakan sebutan gugatan, yang dituangkan dalam surat gugatan.[3]

Bertitik tolak dari penjelasan di atas, yang dimaksud dengan gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa antara pihak yang berperkara, yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak sebagai berikut:[4]
  1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai Penggugat (plaintiff);
  2. Yang ditarik sebagai lawan dalam penyelesaian, disebut dan berkedudukan sebagai Tergugat (defendant);
  3. Permasalahan hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa (disputes);
  4. Sengketa terjadi di antara para pihak, paling kurang di antara dua pihak;
  5. Gugatannya bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai Penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai Tergugat. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 46.
2. Ibid. Hal.: 46.
3. Ibid. Hal.: 46-47.
4. Ibid. Hal.: 47-48.

Rabu, 20 Mei 2020

Koreksi Terhadap Permohonan Yang Keliru


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu telah dibahas mengenai "Upaya Hukum Terhadap Penetapan", dan pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Koreksi Terhadap Permohonan Yang Keliru.

Apabila terjadi peristiwa pengajuan permohonan yang keliru, menjadi pertanyaan adalah: Upaya hukum apa yang dapat diajukan pihak yang berkepentingan atau yang dirugikan untuk mengoreksi atau meluruskannya? Misalnya, Putusan PN Jakarta Pusat Nomor: 274/972, tanggal 27 Juni 1973 yang telah mengabulkan permohonan secara voluntair pengesahan RUPS serta mengatakan perjanjian yang dibuat tidak mengikat First Product Corp Ltd. Permohonan dan penetapan PN dalam kasus ini jelas melanggar dan melampaui batas yurisdiksi voluntair, karena kasus yang dipermasalahkan selain tidak diatur dalam undang-undang, juga perkara yang dipersoalkan jelas mengandung sengketa antara Pemohon dengan pihak lain (pemegang saham yang lain). Oleh karena itu, upaya hukum yang dapat ditempuh adalah:[1]

Mengajukan Perlawanan terhadap Permohonan selama Proses Pemeriksaan Berlangsung, landasan upaya perlawanan terhadap permohonan yang merugikan kepentingan orang lain, merujuk secara analogis kepada Pasal 378 Rv, atau Pasal 195 ayat (6) HIR. Tindakan tersebut dapat dilakukan pihak yang merasa dirugikan apabila mengetahui adanya permohonan yang sedang berlangsung.[2]
 
Mengajukan gugatan Perdata, apabila isi penetapan mengabulkan permohonan dan pihak yang merasa dirugikan baru mengetahui setelah pengadilan menjatuhkan penetapan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan perdata biasa. Dalam hal ini, pihak yang merasa dirugikan bertindak sebagai Penggugat dan Pemohon ditarik sebagai Tergugat.[3]

Mengajukan Permintaan Pembatalan kepada MA atas Penetapan, tentang upaya ini dapat dipedomani Penetapan Mahkamah Agung Nomor: 5 Pen/Sep/1975 sebagai preseden. Dalam preseden ini, pihak yang merasa dirugikan atas Penetapan PN Jakarta Pusat Nomor: 274/1972, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung agar Mahkamah Agung mengeluarkan penetapan untuk membatalkan penetapan PN, dan ternyata permohonan itu dikabulkan MA dengan jalan menerbitkan Penetapan Nomor: 5 Pen/Sep/1975.[4]

Mengajukan Upaya Peninjauan Kembali (PK), upaya PK dapat juga ditempuh untuk mengoreksi dan meluruskan kekeliruan atas Permohonan dengan mempergunakan Putusan PK Nomor: 1 PK/Ag/1990 tanggal 22 Januari 1991 sebagai preseden. Dalam kasus ini PA Pandeglang mengabulkan status ahli waris dan pembagian harta warisan melalui permohonan secara sepihak. Terhadap penetapan tersebut, pihak yang dirugikan mengajukan PK kepada Mahkamah Agung, dan ternyata Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK dimaksud, bersamaan dengan itu, MA membatalkan Penetapan PA dimaksud.[5]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 43-44.
2. Ibid. Hal.: 44.
3. Ibid. Hal.: 44-45.
4. Ibid. Hal.: 45.
5. Ibid. Hal.: 45.

Selasa, 19 Mei 2020

Upaya Hukum Terhadap Penetapan



(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah dibahas mengenai "Kekuatan Pembuktian dari sebuah Penetapan", dan pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Upaya Hukum Terhadap Penetapan.

Apabila permohonan ditolak oleh Pengadilan, apa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pemohon? Guna menjawab hal dimaksud, akan dijelaskan hal-hal sebagaimana berikut ini.[1]

Yang pertama, Penetapan atas Permohonan Merupakan Putusan Tingkat Pertama dan Terakhir. Sesuai dengan doktrin dan praktik yang berlaku, penetapan yang dijatuhkan dalam perkara yang berbentuk permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir.[2]
 
Yang kedua, terhadap Putusan Peradilan Tingkat Pertama yang bersifat Pertama dan Terakhir, Tidak dapat diajukan Banding. Contohnya adalah Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 1 Maret 1952, Nomor: 120 Tahun 1950, terkait dengan permohonan pengangkatan wali, yang menegaskan antara lain:[3]
"Permohonan banding atas putusan PN tentang pengangkatan perwalian berdasarkan Pasal 360 BW, harus dinyatakan niet ontvankelijke verklaard (tidak dapat diterima), karena menurut Pasal 364 BW sendiri dengan tegas mengatakan, bahwa banding atas pengangkatan wali tidak dapat dimohon banding".
Yang ketiga, upaya hukum yang dapat diajukan adalah Kasasi. Kebolehan mengajukan kasasi terhadap Penetapan atas Permohonan merujuk secara analogis pada penjelasan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 2004. Pasal 43 ayat (1) mengatakan, Permohonan Kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang, Terhadap kalimat terakhir pasal ini, dirumuskan penjelasan yang berbunyi: "Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan tingkat pertama yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohon banding."[4]

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 42.
2. Ibid. Hal.: 42.
3. Ibid. Hal.: 42-43.
4. Ibid. Hal.: 43.

Senin, 18 Mei 2020

Kekuatan Pembuktian Penetapan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah dibahas mengenai putusan permohonan, dan pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Kekuatan Pembuktian Penetapan.

Mengenai kekuatan pembuktian dari sebuah penetapan, pada prinsipnya adalah sebagai:[1]
  1. Penetapan sebagai Akta Otentik, dalam arti setiap produk yang diterbitkan hakim atau Pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik. Doktrin ini sesuai dengan yang digariskan Pasal 1868 KUHPerdata. Dengan memperhatikan ketentuan dimaksud, berarti sesuai dengan Pasal 1870 KUHPerdata, pada diri putusan itu, melekat ketentuan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht). 
  2. Nilai Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Penetapan Permohonan Hanya Terbatas kepada Diri Sendiri, meskipun penetapan yang dijatuhkan Pengadilan berbentuk akta autentik, namun nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, berbeda dengan yang terdapat pada putusan yang bersifat contentiosa. Dalam penetapan yang bersifat ex-parte: a). Nilai kekuatan pembuktiannya hanya pada diri pemohon saja; b). Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak ketiga. 
  3. Pada Penetapan Tidak Melekat Azas Ne Bis in Idem, sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 KUHPerdata, apabila Putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 41-42.

Minggu, 17 Mei 2020

Putusan Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai prinsip pembuktian pada Permohonan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Putusan Permohonan.

Adapun bentuk penetapan terkait permohonan berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga disebut penetapan atas ketetapan (beschikking; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan Pengadilan dalam gugatan contentiosa. Dalam gugatan perdata yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).[1]

Pada permohonan, diktum bersifat deklarator, yaitu:[2]
  1. Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta;
  2. Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun;
  3. Juga tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atau sesuatu barang, dan sebagainya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 40.
2. Ibid. Hal.: 40-41.

Jumat, 15 Mei 2020

Prinsip Pembuktian Pada Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai proses pemeriksaan permohonan, masih pada pokok yang berkaitan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Prinsip Pembuktian Pada Permohonan.

Berbeda dengan proses pemeriksaan permohonan dimana terdapat beberapa asas yang tidak ditegakkan, pada proses pembuktiannya tetap harus menegakkan prinsip-prinsip pembuktian pada umumnya di hukum acara perdata.

Prinsip ajaran dan sistem pembuktian, harus ditegakkan dan diterapkan sepenuhnya dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan. Mengabaikan penegakkan dan penerapan ajaran dan sistem pembuktian dalam pemeriksaan permohonan, dapat menimbulkan akibat yang sangat fatal. Misalnya, permohonan izin poligami. Ternyata bukti yang diajukan pemohon adalah surat keterangan persetujuan dari wanita lain, bukan dari istri pertama Pemohon. Jika Pengadilan hanya bersikap formil, bukti itu dianggap sudah cukup bagi hakim memberi izin poligami. Akan tetapi, apabila ditegakkan ukuran batas minimal pembuktian, surat dimaksud belum cukup memenuhi batas minimal. Oleh karena itu, harus ditambah lagi dengan alat bukti lain, seperti keterangan saksi.[1]

Oleh karena itu, prinsip dan sistem pembuktian yang harus ditegakkan dan diterapkan, adalah sebagaimana berikut:[2]
  1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan Undang-undang, yaitu sesuai yang dirinci secara enumeratif dalam Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBG) atau Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti yang sah terdiri dari: a). Tulisan (akta); b). Keterangan saksi; c). Persangkaan; d). Pengakuan; dan d). Sumpah.
  2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR (Pasal 203 RBG) atau Pasal 1865 KUHPerdata, dalam hal ini sepenuhnya beban wajib bukti dibebankan kepada Pemohon.
  3. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal pembuktian, dengan kata lain, apabila alat bukti yang diajukan oleh Pemohon hanya bernilai sebagai alat bukti permulaan atau alat bukti yang diajukan hanya satu saksi dan tanpa alat bukti yang lain, dalam hal seperti ini, alat bukti yang diajukan Pemohon belum mencapai batas minimal untuk membuktikan dalil Permohonan.
  4. Yang sah sebagai alat bukti, hanya terbatas pada alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, paling tidak asas dan sistem pembuktian yang jelas di atas, harus ditegakkan dan diterapkan Pengadilan dalam memutus dan menyelesaikan permohonan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 39.
2. Ibid. Hal.: 40.

Kamis, 14 Mei 2020

Proses Pemeriksaan Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai Petitum Permohonan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai proses pemeriksaan permohonan.

Dalam pemeriksaan permohonan, jalannya proses pemeriksaan dilakukan secara ex-parte. Dikarenakan yang terlibat dalam permohonan hanya sepihak, yaitu Pemohon sendiri, proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau bersifat ex-parte, sedangkan yang hadir dan tampil dalam pemeriksaan persidangan, hanya pemohon atau kuasanya. Tidak ada pihak lawan atau Tergugat pemeriksaan sidang benar-benar hadir untuk kepentingan Pemohon. Prinsip ex-parte bersifat sederhana, yaitu:[1]
  1. Hanya mendengar keterangan Pemohon atau kuasanya sehubungan dengan Permohonan;
  2. Memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh Pemohon; dan
  3. Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pemeriksaan permohonan adalah yang diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon. Dengan kata lain, pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya dalam pemeriksaan tidak ada bantahan dari Pihak Lain. Selain itu, tidak dipermasalahkan penegakkan seluruh asas persidangan, asas seperti kebebasan peradilan dan peradilan yang adil tetap ditegakkan, namun asas seperti audi alteram partem (mendengar jawaban dari pihak lawan) dan asas memberi kesempatan yang sama tidaklah perlu.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 38.
2. Ibid. Hal.: 38-39.

Japan Asks Its Citizens To Write Cellphone Passwords And Applications In Wills

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Singapore Oil King Defrauds Giant Bank ...