Sabtu, 13 Juni 2020

3 Syarat Perubahan Gugatan

(Bigstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Batas waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Syarat Perubahan Gugatan.

Pasal 127 Rv tidak menyebut syarat formil pengajuan perubahan gugatan. Dalam praktik peradilan, ditemukan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sebagai berikut:[1]

Pengajuan Perubahan Pada sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat, syarat yang pertama ini berarti perubahan gugatan diajukan oleh Penggugat pada sidang pertama, dan dihadiri oleh Para Pihak. Sebaliknya hal ini berarti Penggugat tidak diperkenankan mengajukan perubahan gugatan dalam hal diajukan di luar hari sidang, dan pada sidang yang tidak dihadiri oleh Tergugat.[2] Disini terlihat bahwa perubahan gugatan yang diajukan sampai Replik-Duplik ataupun sebelum Putusan sangat sulit dilaksanakan, dalam hal ini ahli M. Yahya Harahap tidak menyinggungnya pendapatnya lagi bahwa perubahan gugatan diajukan sampai batas Replik-Duplik (lihat pendapat beliau di artikel sebelumnya), namun secara eksplisit setuju diajukan pada sidang pertama.

Memberi Hak Kepada Tergugat Menanggapi, syarat ini berarti perubahan gugatan yang diajukan Penggugat tanpa mendengar pendapat Tergugat dianggap tidak sah. Serta memberi hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.[3] Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, kesempatan ini kadang dipergunakan oleh Parat Tergugat dan Turut Tergugat dan kadang juga tidak dipergunakan, bahkan kadang kala ada Tergugat yang sampai mempermasalahkan hal-hal yang tidak substansial seperti salah ketik.

Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan, syarat ini dikemukakan dalam catatan perkara Mahkamah Agung Nomor: 943 K/Pdt./1984. Ditegaskan bahwa kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap hal ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengkonstruksikannya dalam tataran praktik. Sebagai catatan, hal dimaksud harus diterapkan secara cermat dan kasuistik.[4] Sepengalaman penulis beracara sebagai advokat, belum pernah bersinggungan dengan aturan yang satu ini, meskipun penulis tentu saja harus menyetujui bahwa perubahan gugatan sudah selayaknya tidak menghambat pemeriksaan perkara.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 95.
2. Ibid. Hal.: 95.
3. Ibid. Hal.: 95-96.
4. Ibid. Hal.: 96.

Jumat, 12 Juni 2020

Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan.

Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan terdapat sedikitnya dua versi. Versi pertama adalah sampai saat perkara diputus. Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang menyatakan, Penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Pada catatan yang diberikan pada Putusan MA Nomor: 943 K/Sip/1987, tanggal 19 September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan selama persidangan. Ahli M. Yahya Harahap, S.H. kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini, hal ini dianggap kesewenang-wenangan terhadap Tergugat.[1] Sepanjang pengalaman penulis beracara sebagai advokat, memang belum menemukan majelis hakim yang memberikan keleluasaan dalam melakukan perubahan gugatan sampai sebelum putusan dijatuhkan. Dan harap maklum, harus diakui oleh penulis, bahwa penulis pun baru mengetahui adanya yurisprudensi tertanggal 19 September 1985 di atas.

Versi kedua adalah sampai dengan hari sidang pertama. Hal ini berpedoman pada Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Dari segi hukum, perubahan gugatan dimaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan gugatan. Menurut M. Yahya Harahap, S.H., hal ini justru terlalu membatasi, sehingga kurang realistis.[2] Sedikit berkomentar, sepengalaman penulis dalam beracara sebagai advokat, inilah jangka waktu lazimnya diajukan perubahan gugatan, yaitu pada sidang pertama. Praktik di lapangan adalah Penggugat mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim pemeriksa perkara pada sidang pertama, dan pada sidang selanjunya paper/berkas sudah diserahkan ke Majelis hakim. Dan sidang setelahnya, baru giliran para tergugat dan turut tergugat mengajukan Jawabannya masing-masing. 

M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat bahwa perubahan gugatan masih dapat dilakukan sampai agenda Replik-Duplik. Hal ini dengan alasan bahwa versi pertama terlalu memberikan keleluasaan jika perubahan gugatan masih dapat diajukan sebelum putusan dijatuhkan. Sebaliknya, versi kedua, terlalu membatasi jika perubahan gugatan hanya dapat diajukan pada saat sidang pertama. Menurut salah satu ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, S.H.), lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat, dalam arti membolehkan pengajuan perubahan gugatan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, namun diperbolehkan sampai dengan agenda Replik-Duplik.[3]

Menurut hemat penulis sebagai advokat, pendapat terakhir ini juga kurang pas, karena dalam praktik akan berimbas pada berubahnya konstruksi tulisan, baik itu gugatan maupun jawaban, bahkan seterusnya. Tidak akan terlalu bermasalah jika perubahan gugatan dimaksud hanya sebatas salah ketik, namun apabila lebih dari itu, misalnya mengurangi tuntutan atau kesalahan pada perhitungan, maka imbasnya cukup signifikan pada konstruksi tulisan posita, bahkan petitum. Sepengalaman penulis, sudah cukup jika perubahan gugatan diajukan pada sidang pertama. Hakim akan menilai jika perubahan gugatan dimaksud cukup signifikan, maka sudah selayaknya diberikan waktu yang relatif lebih lama atau setidaknya proporsional. Sehingga ketika memasuki agenda jawaban, replik dan duplik, para pihak dan majelis hakim yang mengadili telah terbebas dari urusan perubahan gugatan ini.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 94.
2. Ibid. Hal.: 94.
3. Ibid. Hal.: 94-95.

Rabu, 10 Juni 2020

Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pasal 127 Rv & Yurisprudensi Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Merubah Gugatan adalah Hak Penggugat.

Menurut Pasal 127 Rv, perubahan gugatan merupakan hak yang diberikan kepada Penggugat. Hal ini berarti Hakim maupun Tergugat tidak boleh menghalangi dan melarangnya. Penggugat bebas mempergunakan hak itu, asalkan berada dalam kerangka hukum yang dibenarkan. Di dalam praktik, yang tercermin dalam Yurisprudensi, perubahan gugatan tidak diatur dengan tegas sebagai hak, namun memakai istilah lain seperti 'diperbolehkan', hal dimaksud misalknya terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 934 K/Pdt/1984, tertanggal 19 September 1985, antara lain mengatakan: "Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan tuntutan selama persidangan diperbolehkan".[1]

Istilah hukum yang tepat adalah hak, hal ini berarti hukum memberi hak kepada Penggugat. Hak disini tidak hanya terbatas untuk melakukan perubahan, tetapi meliputi juga hak mengurangi tuntutan. Mempergunakan istilah diperbolehkan atau diizinkan maupun diperkenankan, memperlemah hak yang diberikan Pasal 127 Rv kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan.[2]

Perubahan gugatan diajukan, bukan dimohonkan, hal ini berarti Pasal 127 Rv menegaskan bahwa dalam melakukan perubahan gugatan: a). Penggugat berhak mengajukan perubahan dimaksud kepada majelis hakim pemeriksa perkara; b). Harus dimaknai bahwa hal ini (pengajuan) bukan meminta atau memohon izin atau perkenan untuk melakukan perubahan gugatan. Secara tersirat, implikasi dari permohonan atau permintaan izin ini akan seolah-olah hakim pemeriksa perkara dapat menolak permohonan dimaksud, sedangkan dalam hal diajukan, hakim tidak boleh mempersoalkan boleh atau tidak penggugat mengajukan perubahan pada gugatannya.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 92-93.
2. Ibid. Hal.: 93.
3. Ibid. Hal.: 93.

Selasa, 09 Juni 2020

Pasal 127 Rv & Yurisprudensi Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Orientasi Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pasal 127 Rv Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan.

HIR dan RBg sebagai peraturan perundang-undangan hukum acara Perdata di Indonesia tidak mengatur mengenai perubahan gugatan. Padahal berdasarkan kenyataan, perubahan gugatan merupakan kebutuhan dalam proses penyelesaian perkara. Meskipun HIR tidak mengatur mengenai perubahan gugatan, tidak berarti tidak diperbolehkan.[1]

Jika praktik peradilan tidak membenarkan perubahan gugatan, proses pemeriksaan tidak efektif dan tidak efisien. Untuk mengubah atau memperbaiki kesalahan pengetikan (clerical error), terpaksa Penggugat mencabut gugatan. Atau misalnya memperbaiki kesalahan perhitungan, harus mencabut gugatan, serta mengajukan gugatan baru. Beruntung bila pencabutan disetujui oleh Tergugat, Penggugat tidak akan bermasalah, lain halnya apabila tergugat tidak menyetujuinya, masalah akan menimpa Penggugat.[2]

Memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkan dengan tidak diaturnya perubahan gugatan dalam HIR dan RBg, praktik pengadilan dapat berpaling kepada Pasal 127 Rv sebagai landasan rujukan berdasarkan prinsip demi kepentingan beracara atau process doelmatigheid. Soepomo memperlihatkan dalam Landraad Purworejo pada 1937 telah menjadikan Rv tersebut sebagai pedoman penyelesaian perubahan tuntutan. Dalam putusan yang dijatuhkan pada 21 Juni 1937 menyatakan "bahwa sifat hukum acara perdata bagi landraad yang tidak formalistis itu, membolehkan perubahan tuntutan, asal saja hakim menjaga, bahwa tergugat tidak dirugikan dalam haknya untuk membela diri".[3]

Di dalam Rv sendiri, ketentuan mengenai perubahan gugatan, hanya terdiri dari satu Pasal, yaitu Pasal 127 yang berbunyi, "Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya".[4] Pada tataran praktik, selanjutnya dasar hukum mengenai perubahan gugatan didasarkan pada Pasal 127 Rv dimaksud serta tentunya Yurisprudensi terkait.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 91.
2. Ibid. Hal.: 91-92.
3. Ibid. Hal.: 92.
4. Ibid. Hal.: 92.

Orientasi Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait dengan perubahan gugatan, pada bagian terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas salah satunya mengenai "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas mengenai perubahan gugatan. Hal ini berarti, artikel-artikel selanjutnya akan membahas secara lebih luas dan mendalam mengenai perubahan gugatan.

Pertanyaan pertama terkait dengan perubahan gugatan adalah: Apakah Penggugat boleh melakukan perubahan gugatan? Pertanyaan ini mengandung dua sisi kepentingan. Satu sisi, dalam kenyataan praktik, dibutuhkan perubahan gugatan agar gugatan tidak mengalami cacat formil, sehingga terhindar dari sebuah kategori gugatan yang kabur (obscuur libel). Di sisi yang lain, membolehkan perubahan gugatan berarti mendatangkan kerugian kepada Tergugat. Bahkan bisa menimbulkan proses pemeriksaan terhambat yang dapat menimbulkan kerugian pada Tergugat.[1]

Sehubungan dengan itu, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi kepentingan para pihak secara seimbang dan proporsional, sehingga terbina suatu kerangka tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada satu sisi, tidak menimbulkan kerugian Tergugat pada sisi yang lain. Keadaan inilah yang akan dibahas terkait dengan perubahan gugatan. Hal ini akan berisi tentang ruang lingkup perubahan gugatan yang dibenarkan secara hukum.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 91.
2. Ibid. Hal.: 91.

Sabtu, 06 Juni 2020

Pengajuan Kembali Gugatan Yang Telah Dicabut

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Akibat Hukum Pencabutan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pengajuan Kembali Gugatan Yang Telah Dicabut.

Pada kesempatan ini akan dibahas tentang pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut. Mengenai permasalahan ini, tidak dijumpai jawaban dan aturannya dalam Rv. Namun demikian, kekosongan hukum ini perlu dipersoalkan, agar diperoleh pedoman yang diperlukan untuk itu:[1]
  1. Yang Dicabut Tanpa Memerlukan Persetujuan Tergugat Dapat Diajukan Kembali, pada dasarnya, terhadap pencabutan gugatan yang belum diperiksa di persidangan, tidak melekat persetujuan Tergugat. Dengan berpedoman pada Pasal 271 Rv, maupun Yurisprudensi yang ada, pencabutan gugatan yang belum diperiksa, tidak memerlukan persetujuan dari Tergugat. Dengan demikian: a). Gugatan yang dicabut tanpa persetujuan Tergugat dapat diajukan kembali sebagai Perkara Baru; b). Oleh karena itu, PN wajib menerima dan mendaftarkannya setelah Penggugat membayar biaya perkara sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat (4) HIR, dan selanjutnya diperiksa dan diperluas melalui proses persidangan.[2]
  2. Gugatan Yang Dicabut atas Persetujuan Tergugat, Tidak Dapat Diajukan Kembali, berbeda dengan hal di atas, dalam pencabutan itu melekat kesepakatan kedua belah pihak: a). Penggugat mengajukan penawaran pencabutan; b). Tergugat menyetujui pencabutan perkara. Bertitik tolak dari ketentuan di atas dapat disimpulkan: 1). Pencabutan gugatan yang disetujui Tergugat di Pengadilan, dikonstruksi sebagai kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, analog dengan putusan perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR; dan 2). Dengan demikian pencabutan gugatan merupakan penyelesaian sengketa yang mengikat (binding) dan bersifat final (mengakhiri) kepada Penggugat dan Tergugat; serta 3). Oleh karena itu penyelesaian sengketa dianggap final dan mengikat, maka tidak dapat diajukan kembali oleh para pihak, bukan saja Penggugat, namun juga Tergugat.[3]  
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 89-90.
2. Ibid. Hal.: 90.
3. Ibid. Hal.: 90-91.

Kamis, 04 Juni 2020

Akibat Hukum Pencabutan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Cara Pencabutan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Akibat Hukum Pencabutan Gugatan.

Pasal 272 Rv mengatur akibat hukum pencabutan gugatan. Ketentuan pasal ini dapat dijadikan pedoman dengan cara memodifikasi dengan kebutuhan perkembangan. Akibat hukum pencabutan gugatan adalah sebagai berikut:[1]
  1. Pencabutan Mengakhiri Perkara, hal ini berarti pencabutan gugatan bersifat final mengakhiri penyelesaian sengketa.[2]
  2. Tertutup upaya hukum bagi Para Pihak. Dengan dicabutnya gugatan, maka mempunyai konsekwensi putusan pencabutan bersifat mengikat. Dengan demikian akibat lanjutannya adalah tertutupnya upaya hukum bagi para pihak.[3]
  3. Para Pihak Kembali kepada Keadaan Semula. Hal ini berarti para pihak kembali ke keadaan sebelum adanya gugatan. Dalam artian seolah-olah di antara mereka tidak pernah terjadi sengketa.[4]
  4. Biaya perkara dibebankan kepada Penggugat. Akibatnya adalah pihak yang mencabut gugatan berkewajiban untuk membayar biaya perkara. Ketentuan ini dianggap adil karena yang mengajukan gugatan adalah Penggugat.[5]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 87.
2. Ibid. Hal.: 87.
3. Ibid. Hal.: 88.
4. Ibid. Hal.: 88.
5. Ibid. Hal.: 89.

Cara Pencabutan Gugatan

(iStockphoto)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Hak Penggugat Melakukan Pencabutan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Cara Pencabutan Gugatan.

Mengenai cara pencabutan gugatan berpedoman pada ketentuan Pasal 272 Rv sebagai rujukan. Adapun jika dilakukan penjabaran adalah sebagai berikut:[1]

Yang berhak melakukan pencabutan, hal ini berarti agar sah secara hukum, pencabutan gugatan harus dilakukan oleh orang yang berhak. Yang berhak melakukan pencabutan gugatan adalah: a). Penggugat sendiri secara pribadi, dan b). Kuasa yang ditunjuk oleh Penggugat. Perlu dicermati, pencabutan dapat dilakukan oleh kuasa yang ditunjuk Penggugat berdasarkan surat kuasa khusus yang digariskan dalam Pasal 123 HIR, dan SEMA Nomor: 1 Tahun 1971, di dalamnya dengan tegas diberi penugasan untuk mencabut gugatan. Atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa tersendiri dari Principal untuk melakukan perbuatan pencabutan gugatan.[2]

Pencabutan Gugatan yang Belum Diperiksa Dilakukan dengan Surat, hal ini telah dibahas dahulu bahwa pencabutan gugatan yang belum diperiksa di sidang Pengadilan, mutlak menjadi hak dari Penggugat. Mengenai Pencabutannya dapat dilakukan sebagai berikut: a). Dilakukan dengan surat, yang ditujukan kepada Ketua PN dan secara tegas berisi pencabutan gugatan, dan b). Kemudian Ketua PN menyelesaikan administrasi Yustisial atas Pencabutan. Dalam hal panggilan sidang belum disampaikan kepada Tergugat, maka Ketua PN cukup memerintahkan panitera untuk mencoret perkara dari buku register. Dan apabila panggilan sidang sudah disampaikan kepada Tergugat, maka majelis memerintahkan juru sita untuk menyampaikan pemberitahuan pencabutan gugatan kepada Tergugat, disampaikan dalam sidang perkara, dan memerintahkan untuk mencoret perkara dari buku register.[3]

Pencabutan Gugatan yang sudah Diperiksa Dilakukan dalam Sidang, hal ini berarti cara pencabutan yang sudah diperiksa perkaranya di sidang pengadilan, merujuk kepada ketentuan Pasal 272 Rv sebagai pedoman dengan modifikasi seperlunya. Pada sidang dapat dilakukan dengan cara: a). Pencabutan dilakukan pada saat Sidang, disampaikan kepada Penggugat pada sidang pengadilan dan dihadiri oleh Tergugat; b). Meminta persetujuan Tergugat, dalam hal Tergugat menolak pencabutan, maka majelis hakim harus tunduk pada penolakan tersebut, dan majelis hakim menyampaikan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara; c). Tergugat menyetujui pencabutan. Maka majelis hakim menerbitkan putusan atau penetapan pencabutan, dan memerintahkan pencoretan perkara dari buku reguster, dengan alasan pencabutan gugatan oleh Penggugat.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 84.
2. Ibid. Hal.: 84-85.
3. Ibid. Hal.: 85-86.
4. Ibid. Hal.: 86-87.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...