Sabtu, 04 Juli 2020

Kebolehan Menerapkan Kompetensi Relatif Berdasarkan Tempat Tinggal Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Actor Sequitor Forum Rei Tanpa Hak Opsi", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kebolehan Menerapkan Kompetensi Relatif Berdasarkan Tempat Tinggal Penggugat.

Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat pertama, memberi hak kepada Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat. Kebolehan menerapkan kompetensi relatif berdasarkan tempat tinggal Penggugat, dengan syarat sebagai berikut:[1]

  • Apabila tempat tinggal atau kediaman Tergugat tidak diketahui. Maksudnya, tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui. Rumusan Pasal 118 ayat (3) HIR mempergunakan juga kata-kata tempat tinggal Tergugat tidak dikenal dianggap tidak rasional. Maksud yang sebenarnya, tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Pasal 390 ayat (3) HIR, telah mengatur tata cara pemanggilannya melalui panggilan umum oleh Walikota atau Bupati.
  • Penerapan katentuan ini, tidak boleh dimanipulasi oleh Penggugat. Agar penerapan yang memberi hak bagi Penggugat mengajukan Gugatan kepada Pengadilan Negeri, di tempat tinggal Penggugat, perlu diikuti dengan surat keterangan dai pejabat yang berwenang, yang menyatakan tempat tinggal Tergugat tidak diketahui. Yang dianggap paling objektif dan kompeten mengeluarkan surat keterangan tentang itu adalah Kepala Desa (atau Lurah) tempat terakhir Tergugat bertempat tinggal.
Ketentuan mengenai kebolehan penerapan ini, lebih jelas diatur dalam Pasal 99 ayat (3) Rv, yang berbunyi: "Jika ia (Tergugat) tidak mempunyai tempat tinggal yang diakui, dihadapan hakim di tempat tinggal Penggugat". Penerapan ketentuan ini beralasan, dan efektif mengatasi Tergugat yang beritikad buruk menghilangkan jejak tempat tinggalnya. Karena dengan ketentuan ini, undang-undang membuka jalan bagi Penggugat membela dan mempertahankan haknya melalui Pengadilan, meskipun Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya.[2] 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 197.
2. Ibid. Hal.: 197.

Kamis, 02 Juli 2020

Actor Sequitor Forum Rei Tanpa Hak Opsi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Actor Sequitor Forum Rei dengan Hak Opsi", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Actor Sequitor Forum Rei Tanpa Hak Opsi.

Kebalikan dari penerapan actor sequitor forum rei dengan hak opsi adalah tanpa opsi. Undang-undang tidak memberi hak opsi kepada Penggugat, meskipun pihak Tergugat terdiri dari beberapa orang. Ketentuannya diatur pada kalimat kedua Pasal 118 ayat (2) HIR dan Pasal 99 ayat (6) Rv yang menjelaskan:[1]
  • Dalam hal para tergugat satu sama lain mempunyai hubungan: a). Yang satu berkedudukan sebagai debitur pokok atau debitur principal; b). Sedangkan yang selebihnya, berkedudukan sebagai penjamin (borgtocht; guarantor) berdasarkan Pasal 1820 KUHPerdata;
  • Maka dalam kasus yang demikian, kompetensi relatif Pengadilan Negeri yang mengadili perkara adalah: a). Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok (principal); b). Kepada penggugat tidak diberi hak mempergunakan hak opsi untuk memilih Pengadilan Negeri berdasarkan daerah hukum tempat tinggal penjamin.
Menghadapi kompetensi relatif yang berkenaan dengan sengketa yang timbul antara kreditur dengan debitur serta penjamin, undang-undang tetap mempertahankan sifat asesor perjanjian penjaminan, sehingga untuk menentukan kompetensi relatif Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa, mutlak berpatokan pada tempat tinggal debitur pokok (principal). Oleh karena itu, hukum tidak membenarkan pengajuan gugatan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan daerah hukum tempat tinggal penjamin.[2] Penulis berpendapat bahwa rasio legis yang digunakan oleh undang-undang cukup jelas, meskipun kedudukan guarantor juga penting, akan tetapi tetaplah kedudukan guarantor adalah sebagai ikutan dari perjanjian pokok yang timbul antara kreditur dengan debitur.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 196.
2. Ibid. Hal.: 196-197.

Actor Sequitor Forum Rei dengan Hak Opsi

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Asas Actor Sequitor Forum Rei", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Actor Sequitor Forum Rei dengan Hak Opsi.

Ketentuan penerapan asas actor sequitor forum rei yang memberi hak opsi kepada Penggugat memilih salah satu Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 ayat (2) HIR, kalimat pertama yang menegaskan: "Jika tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat salah seorang dari Tergugat itu, yang dipilih oleh Penggugat".[1]

Ketentuan tersebut sama dengan Pasal 99 ayat (6) Rv. Bahkan rumusan Rv lebih jelas, yang berbunyi sebagai berikut: "Dalam hal ada beberapa Tergugat, di hadapan hakim di tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan Penggugat".[2]

Bertitik tolak dari ketentuan itu, kepada Penggugat diberi hak opsi pengajuan Gugatan berdasarkan asas actor sequitor forum rei dengan acuan penerapan:[3]
  • Tergugat yang ditarik sebagai pihak, terdiri dari beberapa orang (lebih dari satu orang);
  • Masing-masing Tergugat, bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda. Misalnya, A bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri Bogor, B di daerah hukum Pengadilan Negeri Sukabumi, dan C di daerah hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta;
  • Dalam kasus yang seperti ini, undang-undang memberi hak opsi kepada Penggugat untuk memilih salah satu Pengadilan Negeri yang dianggapnya paling menguntungkan. Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor, Pengadilan Negeri Sukabumi, atau Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Menghadapi kasus seperti ini, Penggugat tidak diharuskan mengajukan gugatan kepada masing-masing Tergugat secara terpisah dan berdiri sendiri kepada setiap Pengadilan Negeri sesuai dengan asas actor sequitor forum rei. Gugatan sah diakumulasi kepada semua Tergugat, dan kompetensi relatifnya dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri yang dipilih Penggugat. Penerapannya yang demikian ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 261 K/Sip/1973, tertanggal 19 Agustus 1975.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 195.
2. Ibid. Hal.: 195.
3. Ibid. Hal.: 195.
4. Ibid. Hal.: 195.

Rabu, 01 Juli 2020

Asas Actor Sequitor Forum Rei

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Actor Sequitor Forum Rei.

Patokan menentukan kewenangan mengadili dihubungkan dengan batas daerah hukum Pengadilan Negeri, merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBg). Akan tetapi, untuk memperjelas pembahasannya, sengaja berorientasi juga pada Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketentuan-ketentuan itu, dapat dijelaskan beberapa patokan menentukan kompetensi relatif sebagaimana dijelaskan berikut ini.[1]

1. Actor Sequitor Forum Rei

Patokan ini digariskan Pasal 118 ayat (1) HIR yang menegaskan: a). Yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat; b). Oleh karena itu, agar gugatan yang diajukan Penggugat tidak melanggar batas kompetensi relatif, gugatan harus diajukan dan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di wilayah atau daerah hukum tempat tinggal Tergugat.[2]

Mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri di luar wilayah tempat tinggal Tergugat, tidak dibenarkan. Rasio (legis) penegakkan patokan actor sequitor forum rei atau forum domisili, bertujuan untuk melindungi Tergugat. Siapapun tidak dilarang menggugat seseorang, tetapi kepentingan Tergugat harus dilindungi dengan cara melakukan pemeriksaan di Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, bukan di tempat tinggal Penggugat.[3]

a. Yang dimaksud dengan Tempat Tinggal Tergugat

-Tempat kediaman, atau
-Tempat alamat tertentu, atau
-Tempat kediaman sebenarnya.[4]

b. Sumber Menentukan Tempat Tinggal Tergugat

-Berdasarkan KTP,
-Kartu Rumah Tangga,
-Surat Pajak, dan
-Anggaran Dasar Perseroan.[5]

c. Perubahan Tempat Tinggal Setelah Gugatan Diajukan

Apabila terjadi perubahan tempat tinggal, setelah gugatan diajukan:
- Tidak memengaruhi keabsahan gugatan ditinjau dari segi kompetensi relatif;
- Hal ini demi menjamin kepastian hukum (legal certainty) dan melindungi kepentingan Penggugat dari kesewenangan dan itikad buruk Tergugat.[6]

d. Diajukan kepada Salah Satu Tempat Tinggal Tergugat

Apabila Tergugat memiliki dua atau lebih tempat tinggal yang jelas dan resmi, gugatan dapat diajukan Penggugat kepada salah satu Pengadilan Negeri, sesuai dengan daerah hukum tempat tinggal tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MA Nomor: 604 K/Pdt/1984, tertanggal 28-9-1985.[7]

e. Kompetensi Relatif Tidak Didasarkan Atas Kejadian Peristiwa yang Disengketakan

Seperti yang sudah dijelaskan, Pasal 118 ayat (1) HIR telah menetapkan patokan kompetensi relatif Pengadilan Negeri mengadili suatu perkara, berdasarkan tempat tinggal tergugat (actor sequitor forum rei). Patokannya bukan locus delicti seperti yang diterapkan dalam perkara pidana.[8]

f. Penerapan Asas Actor Sequitor Forum Rei Apabila Objek Sengketa Benda Bergerak dan Tuntutan Ganti Kerugian Atas Perbuatan Melawan Hukum

Memang hal ini tidak disebut secara tegas dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, namun hal itu disimpulkan jika ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 118 ayat (3), yang menegaskan, apabila objek gugatan barang tidak bergerak, Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya barang tersebut terletak. Dalam Rv, hal itu disebut dengan tegas dalam Pasal 99 ayat (1) yang berbunyi: "Seorang tergugat dalam perkara pribadi yang murni mengenai benda-benda bergerak dituntut di hadapan hakim di tempat tinggalnya". Penerapannya ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2558 K/Pdt/1984, tanggal 20 Januari 1986. Menurut putusan ini, oleh karena yang disengketakan bukan mengenai benda tetap (barang tidak bergerak), melainkan tentang ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) kebun Penggugat terbakar, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 142 ayat (1) RBg (sama dengan Pasal 118 ayat (1) HIR), kompetensi relatif yang harus ditegakkan dalam penyelesaian perkara adalah berdasarkan asas actor sequitor forum rei, bukan asas forum rei sitae (letak barang) yang digariskan Pasal 142 (4) RBg (Pasal 118 ayat (3) HIR).[9]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 192.
2. Ibid. Hal.: 192.
3. Ibid. Hal.: 192.
4. Ibid. Hal.: 192. 
5. Ibid. Hal.: 193.
6. Ibid. Hal.: 193.
7. Ibid. Hal.: 193.
8. Ibid. Hal.: 193-194
9. Ibid. Hal.: 194.

Selasa, 30 Juni 2020

Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri.

Setiap Pengadilan Negeri (District Court) terbatas daerah hukumnya. Hal itu sesuai dengan kedudukan Pengadilan Negeri hanya berada pada wilayah tertentu. Menurut Pasal 4 ayat (1) UU Nomor: 2 Tahun 1986, bahwa: a). Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten; b). Daerah hukumnya, meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan.[1]

Berdasarkan pasal itu, kewenangan mengadili Pengadilan Negeri hanya terbatas pada daerah hukumnya, di luar itu tidak berwenang. Daerah hukum masing-masing Pengadilan Negeri hanya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten, tempat dia berada dan berkedudukan. Pengadilan Negeri yang berkedudukan di Kabupaten Bekasi, daerah hukumnya terbatas meliputi wilayah Kabupaten Bekasi (saja).[2]

Tempat kedudukan daerah hukum, menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri. Meskipun perkara yang disengketakan termasuk yurisdiksi absolut lingkungan Peradilan Umum, sehingga secara absolut Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya, namun kewenangan absolut itu dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jika perkara yang terjadi berada di luar daerah hukumnya, secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya. Apabila terjadi pelampampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan Negeri bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan (exceeding its power).[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 191.
2. Ibid. Hal.: 191.
3. Ibid. Hal.: 191-192.

Minggu, 28 Juni 2020

Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Extra Judicial", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional.

Faktor lain yang menjadi dasar terbentuknya kewenangan absolut mengadili adalah faktor instansional. Pasal 10 ayat (3), Pasal 19 dan Pasal 20 UU Nomor: 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999), dan sekarang berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004 memperkenalkan sistem instansional penyelesaian perkara:[1]
  1. Pengadilan Tingkat Pertama, menurut Pasal 3 UU Nomor: 2 Tahun 1986, kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum, terdiri dari: 1). Pengadilan Negeri (PN), dan 2). Pengadilan Tinggi (PT). Selanjutnya Pasal 6, Pasal 50 mengatur: a). PN Merupakan pengadilan tingkat pertama; b). PN Sebagai pengadilan tingkat pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama , dan c). PN Berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten.[2]
  2. Pengadilan Tingkat Banding, menurut Pasal 19 UU Nomor: 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999 dan sekarang berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor: 4 Tahun 2004, semua putusan pengadilan pertama dapat diminta banding. Selanjutnya Pasal 6 UU Nomor: 2 Tahun 1986 mengatur yang bertindak sebagai instansi pengadilan tingkat banding adalah Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di Ibukota Provinsi.[3]
  3. Pengadilan Kasasi, Pengadilan kasasi menurut Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004, dilakukan oleh MA. Pasal ini mengatakan, terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding, dapat dimintakan Kasasi kepada MA oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Ketentuan ini sama dengan yang digariskan Pasal 11 ayat (2) huruf "a" UU tersebut yang mengatur, terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain dari MA, kasasi dapat dimintakan kepada MA. Hal dimaksud dipertegas lagi dalam UU Nomor: 14 tahun 1985 sebagaimana diubah dalam UU Nomor: 5 Tahun 2004. Pada Pasal 28 ayat (1) huruf "a" mengatakan salah satu kekuasaan MA, bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan Kasasi.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 190.
2. Ibid. Hal.: 190.
3. Ibid. Hal.: 190.
4. Ibid. Hal.: 191.

Sabtu, 27 Juni 2020

Kewenangan Absolut Extra Judicial

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuasaan Absolut Mengadili", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Absolut Extra Judicial.

Selain pengadilan negara yang berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang digariskan amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor: 4 Tahun 2004, terdapat juga sistem penyelesaian sengketa berdasarkan yurisdiksi khusus (specific jurisdiction) yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sistem dan badan yang bertindak melakukan penyelesaian itu, disebut peradilan semu atau extra judicial.[1] Penulis berpendapat akan lebih tepat jika perdilan dimaksud disebut dengan 'peradilan khusus'. Berikut dijumpai beberapa extra judicial yang memiliki yurisdiksi absolut menyelesaikan jenis sengketa tertentu.

Arbitrase, kedudukan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia telah dikenal sejak masa lalu, Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg mengakui eksistensi arbitrase. Saat ini, kedudukan dan keberadaan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia diperkokoh oleh UU Nomor: 30 Tahun 1999. Undang-undang ini mengatur yurisdiksi absolut arbitrase: a). Pasal 3 menyatakan, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase; b). Pasal 11 mempertegas yurisdiksi absolut arbitrase yang disebut dalam Pasal 3, yang menyatakan: 1). Adanya klausul arbitrase dalam perjanjian, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa yang termuat dalam perjanjian ke PN; 2). PN wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu, misalnya dalam pelaksanaan putusan.[2]

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, badan ini disingkat dengan P4, keberadaannya dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan UU Nomor: 22 tahun 1957. Akan tetapi dengan diterbitkannya UU Nomor: 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004, kewenangan penyelesaian perselisihan yang timbul antara Pengusaha dengan Buruh jatuh menjadi yurisdiksi absolut Pengadilan Hubungan Industrial, yang bertindak: a). Sebagai Pengadilan Khusus; b). Kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial; c). Organisasinya dibentuk di Lingkungan Pengadilan Negeri.[3]

Pengadilan Pajak, peradilan lain yang memiliki yurisdiksi khusus adalah Pengadilan Pajak. Semula diatur dalam UU Nomor: 17 Tahun 1997, diberi nama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BSPP). Berdasarkan UU Nomor: 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, BPSP dirubah menjadi Pengadilan Pajak.[4]

Mahkamah Pelayaran, badan ini diatur dalam Ordonansi Majelis Pelayaran, St. 1934-215 (27 April 1934) Jo. St. 1938-2, yurisdiksi khususnya diatur dalam Pasal 1, meliputi kewenangan: a). Memeriksa dan memutus perkara yang timbul dari Pasal 25 ayat (4), (7), (8) dan (11) Ordonansi Kapal 1935 (St. 1939-66); b). Memeriksa dan memutus peristiwa yang disebut Pasal 373 a KUHD yaitu: Nahkoda yang melakukan tindakan yang tidak senonoh terhadap kapal, muatan atau penumpang; c). Memeriksa dan/atau memutus semua hal yang oleh suatu peraturan perundang-undangan dibebankan kepada Mahkamah Pelayaran.[5]

Para pembaca yang budiman tentu dapat menambahkan yurisdiksi absolut lainnya, yang cukup familiar adalah Peradilan Niaga yang mengadili (1) kepailitan dan Peradilan (2) HAM terkait Hak Azasi Manusia. Namun demikian, penulis tidak akan membahas hal ini lebih lanjut.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 183.
2. Ibid. Hal.: 183-184.
3. Ibid. Hal.: 185-187.
4. Ibid. Hal.: 188.
5. Ibid. Hal.: 189.

Kamis, 25 Juni 2020

Kekuasaan Absolut Mengadili

(Shutterstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuasaan Mengadili Merupakan Syarat Formal", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kekuasaan Absolut Mengadili.

Ditinjau dari segi kekuasaan absolut atau yurisdiksi absolut mengadili, kedudukan Pengadilan Negeri (PN) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama adalah berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Negeri (PN) berhadapan dengan kewenangan absolut lingkungan peradilan lain.[1]

Menurut amandeman Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor: 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor: 4 Tahun 2004, mengenai Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA), dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari:[2]
  1. Peradilan Umum;
  2. Peradilan Agama;
  3. Peradilan Militer; dan
  4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Umum sebagaimana yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51 UU Nomor: 2 Tahun 1986 (Tentang Peradilan Umum), hanya berwenang mengadili Perkara:
  1. Pidana (Pidana Umum dan Khusus) dan
  2. Perdata (Perdata umum dan niaga).
Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 UU Nomor: 7 Tahun 1989 (Tentang Peradilan Agama), hanya berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama Islam, mengenai:
  1. Perkawinan;
  2. Kewarisan (Meliputi wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam),
  3. Wakaf dan shadaqoh. Penulis meneruskan, yang juga harus ditambahkan adalah ekonomi syariah.
Peradilan TUN, menurut Pasal 47 UU Nomor: 5 Tahun 1986 (Tentang Peradilan TUN), kewenangannya terbatas dan tertentu untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara.[3]

Peradilan Militer, sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU Nomor: 31 Tahun 1997, hanya berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya terdiri dari Prajurit TNI berdasarkan ketentuan tertentu.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 180.
2. Ibid. Hal.: 180.
3. Ibid. Hal.: 181.
4. Ibid. Hal.: 181.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...