Jumat, 24 Juli 2020

Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tahap Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang.

Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada Ketentuan Pasal 388 Jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv:[1]
  • Dilakukan oleh Juru Sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya;
  • Jika orang yang hendak dipanggil berada di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada Juru Sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut.
Dari penjelasan di atas, kewenangan atau yurisdiksi relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif Pengadilan Negeri (PN) tempatnya berfungsi. Pemanggilan yang dilakukan juru sita di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan merupakan pelampauan batas wewenang (exceeding its power), dan berakibat:[2]
  • Pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
  • atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh Pejabat Juru Sita yang tidak berwenang (unauthorized bailif).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU Nomor: 6 Tahun 1986, secara formil jabatan fungsional juru sita telah merupakan salah satu subsistem dalam organisasi Pengadilan Negeri. Fungsi utamanya, membantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 219.
2. Ibid. Hal.: 219.
3. Ibid. Hal.: 220.

Rabu, 22 Juli 2020

Tahap Pemanggilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penetapan Hari Sidang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tahap Pemanggilan.

Setelah dilampaui tahap pengajuan gugatan, pembayaran biaya perkara, registrasi perkara, dan penetapan majelis hakim tentang hari sidang, tahap selanjutnya adalah berupa tindakan pemanggilan pihak Penggugat dan Tergugat untuk hadir di depan persidangan pengadilan (hearing) pada hari dan jam yang ditentukan.[1]

Terkait dengan tahapan pemanggilan, terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini.[2]

Majelis Hakim Memerintahkan Pemanggilan

Setelah menerima pelimpahan berkas dari Ketua Pengadilan Negeri, majelis pemeriksa perkara segera menetapkan hari sidang. Dalam penetapan diikuti pencantuman perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk memanggil kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat), supaya hadir di depan sidang Pengadilan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga menghadirkan saksi-saksi mereka.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 219.
2. Ibid. Hal.: 219.
3. Ibid. Hal.: 219.

Penetapan Hari Sidang

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan Negeri", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Penetapan Hari Sidang.

Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi perkara.[1] Hal ini berarti yang menetapkan hari sidang bukan lagi Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi Majelis Hakim yang mengadili perkara. Dengan kata lain, Ketua Pengadilan Negeri setempat hanya bertugas mendelegasikan perkara kepada hakim-hakim yang berada di dalam lingkungan peradilannya. Pertanyaannya kemudian: Apakah Ketua Pengadilan Negeri bisa menunjuk dirinya dalam menangani suatu perkara? Jawabannya adalah bisa-bisa saja. 

Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan:[2]
  • Menurut Pasal 121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis menerima berkas Perkara;
  • Menurut penggarisan Mahkamah Agung, paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan penetapan hari sidang;
  • Berdasarkan Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang dimasukkan atau dilampirkan dalam berkas perkara, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berkas perkara yang bersangkutan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 218.
2. Ibid. Hal.: 218-219.

Selasa, 21 Juli 2020

Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan Negeri

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Registrasi Perkara", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima berkas dari panitera, yang bersangkutan segera menetapkan majelis yang akan memeriksa dan memutusnya. Apabila ketua berhalangan, penetapan mejelis dilakukan oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri terkait. Dalam hal ini dilakukan secara:[1]
  • Jangka waktu penetapan, dilakukan secepat mungkin;
  • Jangka waktu yang digariskan oleh Mahkamah Agung paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.
Langkah selanjutnya adalah Penyerahan kepada Majelis. Berkas kemudian harus dilakukan penyerahan segera, Mahkamah Agung menggariskan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal surat penetapan majelis.[2]

Langkah selanjutnya adalah terkait dengan jumlah majelis hakim. Majelis hakim paling sedikit 3 (tiga) orang. Pasal 15 UU Nomor: 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999) dan sekarang digariskan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor: 4 Tahun 2004 yang menentukan:[3]
  • Semua Pengadilan memeriksa dan memutus perkara, sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim kecuali apabila undang-undang menentukan lain;
  • Seorang bertindak sebagai Ketua majelis hakim (presiding judge), dan yang lain sebagai anggota.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 217-218.
2. Ibid. Hal.: 218.
3. Ibid. Hal.: 218.

Senin, 20 Juli 2020

Registrasi Perkara

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pembayaran Biaya Panjar Perkara", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Registrasi Perkara.

Registrasi telah dijelaskan dahulu, Pasal 121 ayat (4) HIR menegaskan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara, baru dapat dilakukan setelah Penggugat membayar biaya perkara. Apabila biaya perkara yang ditetapkan Pengadilan dibayar, Penggugat berhak atas pendaftaran gugatan serta panitera wajib mendaftarkan dalam buku register perkara.[1]

Hal-hal atau tindakan yang berhubungan dengan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara terdiri atas:[2]
  • Pemberian Nomor Perkara, panitera memberi nomor perkara atas gugatan, berdasarkan nomor urut yang tercantum dalam buku register perkara;
  • Panitera Menyerahkan Perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri, setelah panitera memberi nomor, perkara diserahkan atau dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini penyerahan perkara harus dilakukan secepat mungkin, dan dalam buku "Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan" yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI menggariskan pelimpahan perkara dari panitera kepada Ketua PN dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal registrasi.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 217.
2. Ibid. Hal.: 217.

Jumat, 17 Juli 2020

Pembayaran Biaya Panjar Perkara

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri", dan sebagai kelanjutannya pada kesempatan ini akan membahas tentang Pembayaran Biaya Perkara.

Pasal 121 ayat (4) HIR menyatakan dengan tegas pembayaran biaya perkara. Disebut juga panjar perkara, pembayaran biaya perkara merupakan syarat imperatif (imperative requirement) atau syarat memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi. Konsekuensi atas ketentuan Pasal ini, selama Penggugat belum membayar lunas biaya perkara yang ditetapkan Panitera PN, belum timbul kewajiban hukum (legal obligation) bagi PN untuk memasukkan gugatan dalam buku register perkara. Akibat lebih lanjut dari keadaan ini, gugatan dimaksud tidak dapat diproses pelimpahan dan pendistribusiannya, sehingga tidak mungkin diperiksa dan diputus melalui proses persidangan.[1]

Lebih lanjut terkait dengan pembayaran biaya perkara ini dapat dijabarkan sebagai berikut:[2]
  1. Yang dimaksud biaya perkara, biaya perkara yang harus dibayar Penggugat adalah panjar biaya perkara, yang disebut juga biaya sementara, agar gugatan dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada Pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses pemeriksaan.
  2. Patokan Menentukan Panjar Biaya, patokan menentukan besarnya panjar biaya perkara menurut Pasal 121 ayat (4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan, meliputi komponen: a). Biaya kantor kepaniteraan dan biaya meterai; b). Biaya melakukan panggilan saksi, ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah; c). Biaya pemeriksaan setempat; d). Biaya juru sita melakukan pemanggilan dan pemberitahuan; dan e). Biaya eksekusi.
  3. Dimungkinkan Berperkara Tanpa Biaya (Prodeo), pada Bab ketujuh, bagian ketujuh HIR, mengatur tentang izin berperkara tanpa biaya, disebut juga berperkara secara prodeo atau kosteloos (free of charge). 1. Syarat berperkara tanpa biaya, diatur dalam Pasal 237 HIR yang menegaskan, bagi orang-orang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberi izin untuk berperkara tanpa biaya; 2. Pengajuan oleh Penggugat, Pasal 238 ayat (1) HIR, diajukan pada saat penyampaian surat gugatan dan dapat juga diajukan secara lisan; 3. Syarat permintaan, Pasal 238 ayat (3), disertai surat keterangan tidak mampu dari Kepala Kepolisian Setempat. Ketentuan ini sekarang tidak tepat, dalam praktik dilakukan oleh Pemerintah Setempat, seperti Lurah atau Kepala Desa; 4. Proses pemberian izin, Pasal 239 aat (1) HIR, permintaan dilakukan pada sidang pertama, sebelum majelis memeriksa perkara, dapat diputus terlebih dahulu, dan pihak lawan bisa mengajukan perlawanan; 5. Putusan izin prodeo tidak bisa dibanding. Dasar Pasal 291 HIR. Merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 214.
2. Ibid. Hal.: 215-216.

Kamis, 16 Juli 2020

Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Perihal Pemanggilan", pada kesempatan ini kita akan mundur sedikit ke perihal tahapan maupun tindakan yang mendahului pemanggilan. Pada bagian pertama, akan di bahas tentang Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri.

Sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan Pasal 118 ayat (1) dan Pasal 121 ayat (4) HIR, panggilan merupakan tindakan lanjutan dari tahap berikut ini.[1]

Tahapan yang dimaksud yang pertama adalah tahapan penyampaian gugatan kepada Pengadilan Negeri. Penyampaian atau pengajuan gugatan kepada Pengadilan Negeri oleh Penggugat. Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatif:[2]
  • Dalam bentuk surat gugatan (in writing),
  • Ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, dan
  • Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat tentu tidak sesederhana ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR di atas, tentu secara teknis Penggugat atau Kuasa Hukumnya harus lebih mawas diri. Pertama, terkait dengan  surat gugatan, setelah ditandatangani dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dituju, kemudian surat gugatan di photo copy sebanyak (eksemplar) para pihak yang ada di dalam surat gugatan ditambah tiga eksemplar majelis hakim dan satu panitera pengganti, hal ini nantinya akan dimintakan ketika melakukan pendaftaran di Pengadilan Negeri terkait. 

Kedua, masih terkait hal itu, juga harus didaftarkan surat kuasa dalam hal memakai kuasa hukum, lazimnya surat kuasa di photo copy rangkap 3 (tiga) dan disertai dengan Kartu Tanda Anggota (KTA) organisasi advokat terkait dan photo copy Berita Acara Sumpah (BAS) advokat yang diterbitkan oleh Pengadilan Tinggi tempat dimana advokat tersebut dilantik.

Setelah dilakukan langkah pertama dan kedua sebagaimana disebutkan di atas, kemudian petugas pada loket pendaftaran akan mengeluarkan slip estimasi panjar perkara. Kemudian Pengugat harus membayarkannya di kasir, dan slip setoran dikasir kemudian dibawa kembali ke loket pendaftaran dan setelah itu lazimnya diterbitkan nomor perkara.

Ketiga, perlu dipertimbangkan juga perihal pendaftaran perkara secara online. Hal ini mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik dimana pendaftaran perkara, dan bahkan proses acara, dilakukan secara daring. Sepengetahuan penulis, hal ini telah diterapkan di beberapa Pengadilan Negeri, khususnya pilot project, seperti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana pendaftar harus membuat account terlebih dahulu sebelum melakukan pendaftaran. Selanjutnya pendaftaran bisa secara elektronik dengan mengikuti dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Terkait hal ini, penulis akan membahasnya pada bagian tersendiri. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 214.
2. Ibid. Hal.: 214.

Perihal Pemanggilan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada bahasan sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Kekuasaan Mengadili dengan artikel terakhir berjudul "Negara/Pemerintah Dapat Digugat pada Setiap Pengadilan Negeri (PN)", dan Pada kesempatan selanjutnya akan membahas Tata Cara Panggilan Dan Proses Yang Mendahuluinya. Pertama-tama akan dibahas pada artikel ini tentang Pengertian Panggilan.

Hukum acara perdata mengartikan Panggilan sebagai: menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di Pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau Pengadilan.[1]

Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya panggilan yang dilakukan juru sita yang dianggap sah dan resmi. Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan. [2]

Pemanggilan atau panggilan (convocation, convocatie) dalam arti sempit dan sehari-hari sering diidentikan, hanya terbatas pada perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Akan tetapi, dalam hukum acara perdata, sebagaimana dijelaskan Pasal 388 HIR, pengertian panggilan meliputi makna dan cakupan yang lebih luas, yaitu:[3]
  • Panggilan sidang pertama kepada Penggugat dan Tergugat;
  • Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada Pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
  • Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting ke Persidangan);
  • Selain daripada itu, panggilan dalam arti luas meliputi juga tindakan hukum berupa pemberitahuan atau aanzegging (notification), antara lain: a). Pemberitahuan putusan PT dan MA; b). Pemberitahuan permintaan banding kepada Terbanding; c). Pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding, dan d). Pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada Termohon Kasasi.  
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 213.
2. Ibid. Hal.: 213
3. Ibid. Hal.: 213-214.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...