Jumat, 07 Agustus 2020

Kisah Ketua MA Pertama, Mr. Koesoemah Atmadja


(en.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai tokoh "Mr. Kasman Singodimejo, Jaksa Agung Kedua R.I.", dan Pada kesempatan ini akan membahas Ketua Mahkamah Agung Pertama, yaitu Mr. Koesoemah Atmadja.

Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Mr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja merupakan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama. Anggota BPUPKI dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Mr. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 1950. Kemudian, dia diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada  tahun 1950 hingga beliau meninggal tahun 1952.[1]

Pendidikan & Awal Karir

Mr. Koesoemah Atmadja berasal dari keluarga terpandang sehingga digelari Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja. Sebagai keturunan bangsawan, dia berkesempatan mendapat pendidikan dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1913, dia telah memperoleh gelar diploma dari Rechtshcool atau Sekolah Kehakiman (sekarang FH UI).[2]

Dia pun mengawali kariernya sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun itu juga, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda. Dia pun mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid dari Universitas Leiden pada tahun 1922. Disertasi berjudul De Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie (Lembaga Ulama Islam di Hindia Belanda), yang menguraikan Hukum Wakaf di Hindia Belanda.[3]

Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, dia pun dipercayakan menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia era Pemerintahan Hindia Belanda. Setahun berikutnya, diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu.[4]

Masa Penjajahan Jepang & Awal Kemerdekaan R.I.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[5]

Setelah pemerintahan (penjajahan) Hindia Belanda berakhir dan berganti ke pemerintahan (penjajahan) Jepang, dia tetap berkarir di pengadilan. Pada 1942, dia menjabat sebagai Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang. Pernah juga menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim PT Semarang. Dia juga juga diangkat sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah, 1944.[6]

Menjelang  Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Koesoemah Atmaja pun menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Dan, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk ikut membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[7]

Mahkamah Agung pernah berkedudukan dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun yakni di Jogyakarta sejak bulan Juli 1946. Kemudian, dalam kepemimpinan Koesoemah Atmadja dikembalikan lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Ada pun Susunan Mahkamah Agung sewaktu di Jogyakarta adalah: Ketua Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; WakilKetua Mr. R. Satochid Kartanegara; Anggota-anggota: 1. Mr. Husen Tirtasmidjaja, 2. Mr. Wono Prodjodikoro, 3. Sutan Kali Malikul Add; Panitera: Mr. Soebekti; dan Kepala Tara Usaha: Ranuatmadja. Setelah kembali berkedudukan di Jakarta, Susunan Mahkamah Agung (1950-1952) adalah sebagai berikut: Ketua: Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; Wakil Ketua: Mr. Satochid Kartanegara; Hakim Agung: Mr. Wirjono Prodjodikoro, Mr. Husen Tirtamidjaja; Panitera: Mr. Soebekti; dan Wakil Panitera Ranoeatmadja. Namun, masa tugas Koesoemah Atmadja sebagai Ketua MA hanya sekitar dua tahun, sebab ajal memanggilnya, dia meninggal saat masih menjabat Ketua MA pada tanggal 11 Agustus 1952 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia pun digantikan Mr. Wirjono Prodjodikoro menjabat Ketua MA (1952-1966).[8]

Meletakkan Pondasi Supremasi Hukum Dimasa Sulit

Perkara Soedarsono, yang terjadi pada 1946 itu cukup rumit lagi serius. Presiden Sukarno sampai merasa harus turut-campur dengan mencoba melakukan intervensi kepada hakim yang paling berwenang menanganinya, yakni Koesoemah Atmadja. Orang ini adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) pertama dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia yang belum genap setahun merdeka. Kasus yang ditangani Koesoemah Atmadja dan membuat Sukarno agak kelabakan. Yakni upaya menggulingkan pemerintahan yang dimotori oleh seorang petinggi militer bernama Mayor Jenderal Soedarsono (A. Massier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and Their Languages 1915-2000, 2008:188). Mayjen Soedarsono saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi III di Yogyakarta.[9]

Perkara Soedarsono ini bisa dikatakan merupakan kudeta pertama di Republik Baru. Yang menjadi sasaran kudeta pertama dalam riwayat RI itu bukanlah Sukarno selaku presiden, melainkan kabinet yang dipimpin Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri. Tujuannya menginginkan sistem pemerintahan Indonesia kembali ke format presidensial di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tanggal 26 Juni 1946, terjadi penculikan terhadap Sjahrir di Surakarta oleh kelompok oposisi yang menamakan diri Persatuan Perjuangan dengan Mayjen Soedarsono selaku penggerak utamanya, dibantu oleh 14 orang pimpinan sipil. Kelompok ini tidak puas pada upaya diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari Belanda. Sjahrir pun mereka tahan di Boyolali.[10]

Tan Malaka dituduh sebagai aktor kudeta ini -- tuduhan yang hingga kini masih terus diperdebatkan. Nama Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula terseret dalam perkara ini kendati nantinya ia selamat dari tudingan.  Akhirnya, drama ini berakhir dengan ditangkapnya Mayjen Sudarsono dan kolega-koleganya. Para pelaku kemudian diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Koesoemah Atmadja.[11]

Mereka yang terlibat kasus ini ternyata orang-orang yang dekat dengan Presiden Sukarno, termasuk M. Yamin. Sukarno, yang dikisahkan murka ketika upaya kudeta 1946 itu terjadi, berusaha mendekati Koesoemah Atmadja. Sukarno memang tidak frontal melakukan intervensi terhadap Koesoemah Atmadja atas perkara ini. Usaha mempengaruhi dilakukan dengan cara halus yakni meminta Koesoemah Atmadja bertindak lebih “lembut” kepada para terdakwa.[12]

Permintaan itu ditolak mentah-mentah Koesoemah Atmadja. Bahkan ia mengancam mundur dari jabatannya jika Presiden Sukarno mencampuri kasus tersebut. Baginya, independensi institusi kehakiman wajib terjaga dan tidak boleh diintervensi, bahkan oleh presiden sekalipun. Pengadilan pun tetap digelar. Koesoemah Atmadja kemudian menjatuhkan vonis tegas. Mayjen Soedarsono dihukum 4 tahun penjara serta dipecat dan dicabut hak dan jabatannya di ketentaraan. Lama hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada M. Yamin. Sementara Budiarto Martoatmojo kena bui selama 3 tahun 6 bulan. Adapun Achmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri masing-masing mendapat ganjaran 3 tahun penjara.[13]
____________________
1. "Ketua Mahkamah Agung Pertama (Mr. Koesoemah Atmadja)", Tokoh.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/ketua-mahkamah-agung-pertama/
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid. 
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. "Kisah Ketua MA Koesoemah Atmadja Menolak Kehendak Penguasa", Tirto.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tirto.id/kisah-ketua-ma-koesoemah-atmadja-menolak-kehendak-penguasa-cumn
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid. 

Rabu, 05 Agustus 2020

Aspek Pidana Tidak Melaksanakan Putusan PHI

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com terkait dengan label Sudut Pandang Hukum telah membahas mengenai "Menakar Pidana yang Mengintai Pengacara Djoko S. Tjandra", dan Pada kesempatan ini akan membahas yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan, khususnya tentang Aspek Pidana Tidak Melaksanakan Putusan Peradilan Hubungan Industrial (PHI).

Baru-baru ini seorang teman penulis dari sebuah Serikat Pekerja mengeluh, bahwa salah satu koleganya telah di PHK dan telah menempuh proses hubungan industrial dari Bipartit, Tripartit bahkan sampai di PHI (Peradilan Hubungan Industrial), dan dari ceritanya telah diputus oleh PHI di salah satu tetangga DKI, dengan inti amar putusan bahwa pihak pekerja mendapatkan pesangon dengan perhitungan 1 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Singkat kata tidak ada pihak yang mengajukan upaya hukum lanjutan, sepertinya juga tidak diurus oleh Pihak Pengusahanya salah satunya terlihat dari jarang datang sidang, dan jadilah putusan PHI tersebut berkekuatan hukum tetap. Jumlah Pesangon yang harusnya diterima oleh pihak Pekerja tidaklah banyak, namun tetap saja dengan nominal puluhan juta dimaksud, dengan masa kerja yang telah dilaluinya, nampak sekali pihak pekerja masih berharap. Kemudian teman penulis bertanya: Pak kami harus bagaimana? Apakah pekerja bisa menempuh upaya Pidana? Kelihatannya memang sudah kendur semangatnya ketika upaya PHI belum membuahkan hasil.

Upaya Hukum Perdata

Sebelum menjawab pertanyaan dimaksud, bisakah pekerja menempuh upaya Pidana, penulis sebagai advokat praktik memberikan advis hukum yang sewajarnya, dalam hal ini tentu kerangka berpikirnya adalah upaya yang dapat ditempuh adalah secara keperdataan. Pertama, adalah mengajukan eksekusi atas sita jaminan (Jo. Pasal 227 ayat 1 HIR)[1] yang tercantum dalam Putusan. Dan ironisnya, setelah penulis baca putusan, tidak dicantumkan asset yang dijadikan sita jaminan oleh pihak Pekerja. Setelah ditanyakan, jawabannya adalah tidak tahu, dan tidak mudah bagi pekerja untuk mencari mana yang benar-benar asset perusahaan. Penulis pun harus maklum dengan hal ini. Kedua, adalah menjadikan perusahaan sebagai debitur yang dapat diajukan Pailit ke Pengadilan Niaga (aka. Pekerja sebagai Kreditur Preferen). Meskipun dimungkinkan, akan tetapi tidak mudah bagi pihak pekerja untuk mencari kreditur yang lain dan mengajukan upaya hukum Kepailitan di Pengadilan Niaga terkait. Dengan kata lain, kedua upaya hukum keperdataan ini tidak terlalu prospektif keberhasilannya jika dilakukan.

Upaya Hukum Pidana

Menelisik aspek hukum pidana di luar domain Undang-undang Ketenagakerjaan (UU Nomor: 13 Tahun 2003) memerlukan upaya ekstra. Setelah penulis lakukan riset kecil-kecilan, ternyata dimungkinkan bagi pihak pekerja untuk membuka Laporan Polisi (LP) terkait kasus di atas, diantaranya adalah dengan dugaan:[2]
  • Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang- undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu Rupiah.”
  • Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tentang Penggelapan, yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena Penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus Rupiah".
Sebagai penutup, perlu diperhatikan bahwa ancaman hukuman Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pidana penjara paling lama adalah empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu Rupiah. Serta ancaman hukuman Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus Rupiah.
____________________
1. HIR.
2. KUHP.

Selasa, 04 Agustus 2020

Pemanggilan Terhadap yang Meninggal

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pemanggilan Terhadap yang Meninggal.

Tata cara pemanggilan terhadap Tergugat yang meninggal dunia merujuk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv. Berdasarkan ketentuan itu, apabila Tergugat atau orang yang hendak dipanggil meninggal dunia, adalah sebagai berikut:[1]
  1. Apabila Ahli Waris Dikenal, Panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu persatu. Dalam hal itu cukup disebut nama dan tempat tinggal Pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum (pewaris) yang terakhir.
  2. Apabila Ahli Waris Tidak Dikenal, a). Panggilan disampaikan kepada Kepala Desa (Lurah) di tempat tinggal terakhir almarhum; b). Selanjutnya, Kepala Desa (Lurah) segera menyampaikan Panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum; c). Jika Kepala Desa (Lurah) tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada Juru Sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan Kepala Desa (Lurah) itu, Juru Sita dapat menempuh tata cara melalui Panggilan Umum.
Sedikit memberikan komentar terkait dalam hal apabila ahli waris dikenal, sepengalaman Penulis sebagai Advokat ketika beracara (perkara sengketa kepemilikan tanah di daerah Jakarta Selatan), justru diarahkan oleh majelis hakim untuk dilakukan perubahan surat gugatan, dan diminta untuk mencantumkan seluruh ahli waris beserta alamatnya. Tentu hal ini sungguh memberatkan, karena melacak hal demikian bukanlah pekerjaan yang mudah. Ternyata setelah membaca pendapat dari ahli M. Yahya Harahap, S.H. di atas dengan berpegang pada ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, Panggilan cukup ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu persatu, tentu hal ini sangat menggembirakan Penulis. Hal yang sama Penulis harapakan kepada sidang Pembaca. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 224.

Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri.

Mengenai hal ini tidak diatur dalam HIR dan RBg, akan tetapi dalam Pasal 6 ke-8 Rv ada diatur pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia dengan cara:[1]
  • Panggilan disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya;
  • Selanjutnya, JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya, dan
  • Mengirimkan turunannya kepada Pemerintah (barangkali Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
Dalam praktik, tampaknya ketentuan Pasal 6 ke-8 Rv tersebut, dijadikan pedoman dengan jalan memodifikasi lebih sederhana, dengan acuan sebagai berikut:[2]
  1. Tempat Tinggalnya di Luar Negeri Diketahui, a). Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik; b). Penyampaiannya kepada Departemen Luar Negeri (Deplu)--saat ini sudah Kementerian Luar Negeri--kedutaan, atau Konsulat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan JPU;
  2. Tempat Tinggalnya Tidak Diketahui, dalam kasus seperti ini, tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, yaitu disampaikan melalui Panggilan Umum.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 224.
2. Ibid. Hal.: 224.

Senin, 03 Agustus 2020

Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui.

Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tata cara penyampaian Panggilan kepada Tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Kapan secara hukum tempat tinggal tergugat tidak diketahui? Hal itu berpatokan pada faktor:[1]
  1. Surat gugatan sendiri menyatakan dengan tegas pada identitas Tergugat, bahwa tempat tinggal atau tempat kediamannya tidak diketahui;
  2. Atau pada identitas Tergugat, surat gugatan menyebutkan dengan jelas tempat tinggalnya, tetapi pada saat juru sita melakukan pemanggilan, ternyata Tergugat tidak ditemukan di tempat tersebut dan menurut penjelasan Kepala Desa (Lurah), yang bersangkutan sudah meninggalkan tempat itu tanpa menyebut alamat tempat tinggal yang baru.
Menghadapi kasus seperti itu, secara faktual tidak diketahui tempat tinggal Tergugat di Indonesia maupun di Luar Negeri. Untuk mengantisipasi keadaan yang seperti itu, undang-undang telah menentukan cara panggilan yang sah menurut hukum:[2]
  1. Surat panggilan (surat juru sita) disampaikan kepada Bupati atau Wali Kota, sesuai dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya.
  2. Bupati atau Walikota tersebut: a). Mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu; b). Caranya, dengan jalan menempelkannya pada pintu umum kamar Persidangan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Tata cara pemanggilan yang diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR dalam praktik sehari-hari, disebut panggilan umum atau pemberitahuan umum (general convocation). Akan tetapi, tata cara ini dianggap kurang realistis (unrealistic), karena pengumuman panggilan hanya ditempelkan di pintu ruang pengadilan.[3]

Agar pemanggilan dalam bentuk ini lebih objektif dan realistis, perlu Pengadilan Negeri memedomani ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan:[4]
  • Selain penempelan di pintu sidang;
  • Pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan cara ini, jangkauan Pemanggilan menjadi lebih luas, dan kemungkinan untuk diketahui oleh Tergugat jauh lebih efektif.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 223.
2. Ibid. Hal.: 223.
3. Ibid. Hal.: 223.

Jumat, 31 Juli 2020

Mr. Kasman Singodimejo, Jaksa Agung Kedua R.I.

(Kejaksaan.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com dalam label 'Tokoh Hukum' telah membahas biografi singkat dari  "Mr. Gatot Taroenamihardja Jaksa Agung R.I. Pertama", dan Pada kesempatan ini akan membahas tokoh Mr. Kasman Singodimedjo, Jaksa Agung Kedua R.I.
 
Biografi Singkat

Kasman Singodimedjo bernama lengkap Mayjen TNI (Purn.) Prof.Dr.Mr. H.R. Kasman Singodimedjo. Pada tahun 1904 Kasman Singodimedjo lahir di di Desa Klapar, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, tanggal 25 Februari 1904. Ia pernah sekolah di Batavia, namun kemudian pulang, melanjutkan sekolah di Kutoarjo dan Magelang. Di Kutoarjo, Kasman bergabung dengan .[1]

Mendapatkan pendidikan hukum pada Rechts Hoge School (RHS), Batavia (Jakarta), 1933-20 Agustus 1939 (Mr., 1939, Bagian Sosiologi Ekonomi). Beliau pernah menjabat di antaranya Ketua Moehammadijah, untuk Batavia & Buitenzorg (Jakarta & Bogor), 1939-1941. Juga Asisten Dosen Prof. van der Kolf, Rechts Hoge School (RHS), Batavia (Jakarta), 1939-1940. Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Wakil Ketua dan kemudian Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pusat 1945 merangkap Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Jakarta, 29 Agutus 1945-10 Oktober 1945; Pengacara, 1945-1946; Jaksa Agung RI, 6 November 1945-10 Mei 1946. Pada tahun 1982 Kasman Singodimedjo wafat di Jakarta, tepatnya pada 25 Oktober, dalam usia 78 tahun. Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas nama Pemerintah R.I. menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 2018.[2]

Menjabat sebagai Jaksa Agung R.I.

Pada saat menjabat sebagai menjadi Jaksa Agung, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Karena itu, ia menganjurkan agar segera menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum diselesaikan. Polisi dan Jaksa dituntut untuk selalu menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yang berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim.[3]

Pada masa kepemimpinannya pula, ada instruksi Jaksa Agung yang sangat penting bagi perkembangan eselonisasi dan tata kerja kejaksaan selanjutnya. Dalam instruksi pertama (tanpa tanggal pengeluaran) yang ditujukan kepada Kepala-kepala pemerintah di Jawa dan Madura, antara lain dikemukakan bahwa susunan kejaksaan di Jawa dan Madura untuk sementara terdiri dari Kejaksaan Agung sebagai pusat yang langsung memimpin kejaksaan-kejaksaan di bawahnya. Dalam Instruksi Jaksa agung lainnya tanggal 20 Desember 1945 tentang Pengadilan Kepolisian yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian, diberikan petunjuk bahwa sebelum diadakan ketentuan lain, maka hukum acara pidana yang dipakai adalah HIR dan ketentuan mengenai penahanan dalam pasal 9 Gunseikkeizirei (Peraturan Pidana militer) tidak lagi digunakan.[4]

Kesimpulan

Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kajian tentang Kasman Singodimedjo, diantaranya, pertama adalah beliau pernah menjabat sebagai Jaksa Agung R.I. yang kedua setelah Mr. Gatot Taroenamihardja. Kedua, dalam konteks perkembangan birokratisasi instansi Kejaksaan RI, beliau berjasa melakukan perkembangan eselonisasi dan tata kerja kejaksaan yang waktu itu baru lahir.
____________________
1. "Sejarah 25 Februari 1904: Pancasila & Lahirnya Kasman Singodimedjo", Tirto.id., Diakses pada 1 Agustus 2020, https://tirto.id/sejarah-25-februari-1904-pancasila-lahirnya-kasman-singodimedjo-dhHF
2. "Pahlawan Nasional Kasman Singodimedjo Si Singa Podium", Kompasiana.com, Diakses pada 1 Agustus 2020, https://www.kompasiana.com/ahmad25847/5cdbbcfe3ba7f737ed145ae2/pahlawan-nasional-kasman-singodimedjo-si-singa-podium    
3. "MR. KASMAN SINGODIMEDJO", Kejaksaan.go.id., diakses pada 31 Juli 2020, https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=12&ids=26 
4. Ibid.

Kamis, 30 Juli 2020

Mr. Gatot Taroenamihardja Jaksa Agung R.I. Pertama

(Kejaksaan.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu pada label Tokoh Hukum platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama", serta Pada kesempatan ini akan membahas tokoh Mr. Gatot Taroenamihardja selaku Jaksa Agung R.I. yang pertama.

Tidak banyak literatur yang membahas mengenai Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama di dunia maya. Namun hal ini tentu tidak menyurutkan penulis untuk menulis artikel yang satu ini, dengan segala keterbatasannya, artikel ini diharapkan mampu menambah referensi terkait hal dimaksud, atau setidaknya menyebarluarkan informasi yang telah ada.

Mr. Gatot Taroenamihardja adalah Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama. Mr. Gatot Taroenamihardja ditetapkan menjadi Jaksa Agung pada tanggal 19 Oktober 1945. Ketetapan yang diumumkan oleh Presiden Soekarno itu menandai eksistensi Kejaksaan dan Jaksa Agung sebagai lembaga dan jabatan penting di Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 1945, nama Mr. Gatot Taroenamihardja sebagai Jaksa Agung kembali diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri dalam Maklumat Pemerintah. Masa jabatan Mr. Gatot Taroenamihardja sebagai Jaksa Agung pertama berlangsung sangat singkat. Sebab, pada tanggal 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, ia diberhentikan dengan hormat oleh Presiden.[1] Meskipun masa jabatan yang diembannya sangatlah singkat, akan tetapi point pentingnya adalah beliau tercatat sebagai Jaksa Agung RI yang pertama.

Dalam masa jabatannya yang singkat itu, Mr. Gatot Taroenamihardja sempat mengeluarkan satu maklumat dan satu instruksi. Dalam maklumat tanggal 1 Oktober 1945 yang diumumkan bersama-sama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, dikemukakan antara lain kedudukan struktural organik Kejaksaan dalam Lingkungan Departemen Kehakiman dan Jaksa Agung sebagai pemegang pimpinan Kepolisian Kehakiman. Sementara dalam instruksinya tertanggal 1 Oktober 1945, secara gamblang dan tegas Jaksa Agung memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk bertindak lebih keras menjaga keamanan, terutama terhadap Belanda-Belanda yang mau membinasakan Republik Indonesia.[2] Penulis berpendapat bahwa dalam masa awal pembentukan negara tidaklah ideal memandang institusi Kejaksaan sebagaimana saat ini. Pada maklumat yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung yang pertama ini adalah seputar kedudukan struktural korps Penuntutan dalam Departemen Kehakiman, serta instruksinya seputar Belanda yang kembali membayangi untuk kembali ke tanah air.

Sebagai kesimpulan, dengan adanya artikel ini diharapkan sidang pembaca setidaknya mengetahui bahwa Jaksa Agung yang pertama Republik Indonesia dijabat oleh Mr. Gatot Taroenamihardja.
____________________
1.“Mr. Gatot Taroenamihardja", www.kejaksaan.go.id., diakses pada 29 Juli 2020, https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=12&ids=27.
2. Ibid.

Selasa, 28 Juli 2020

Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Isi Surat Panggilan Pertama Kepada Tergugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui.

Tentang cara panggilan menurut hukum, diatur dalam Pasal 390 ayat (1) dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, dapat diklasifikasikan tata cara panggilan berdasarkan faktor diketahui atau tidak tempat tergugat atau orang yang dipanggil.[1]

Apabila tempat tinggal atau tempat kediaman Tergugat atau orang yang dipanggil diketahui, tata cara pemanggilan yang sah adalah sebagai berikut:[2]
  • Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan Tergugat (Pasal 390 ayat (1), Pasal 1 Rv.)
  • Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri, jadi harus disampaikan secara in person kepada Tergugat atau Keluarganya. Dalam praktik peradilan, ketentuan Pasal 3 Rv, telah dijadikan pedoman, praktik peradilan telah menganggap sah panggilan yang disampaikan kepada keluarga apabila tergugat secara in person tidak ditemui juru sita di tempat kediamannya. Pengertian keluarga di sini adalah meliputi istri dan anak yang sudah dewasa, ayah atau ibu. Tidak meliputi Pembantu Rumah Tangga dan Karyawan.
  • Disampaikan kepada Kepala Desa (lurah), apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau kediaman. Tentang masalah kelalaian Kepala Desa (Lurah) menyampaikan panggilan segera kepada pihak yang berkepentingan, M. Yahya Harahap, S.H., menyetujui proposal yang termuat dalam Himpunan Materi Rapat Kerja Teknis 1997, Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang menegaskan agar dalam pembaruan hukum acara Perdata dicantumkan ancaman kepada Kepala Desa (Lurah) yang sengaja atau lalai menyampaikan relaas kepada pihak yang berkepentingan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 221.
2. Ibid. Hal.: 222.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...