(en.Wikipedia.org)
Oleh:
Tim Hukumindo
Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai tokoh "Mr. Kasman Singodimejo, Jaksa Agung Kedua R.I.", dan Pada kesempatan ini akan membahas Ketua Mahkamah Agung Pertama, yaitu Mr. Koesoemah Atmadja.
Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Mr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja merupakan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama. Anggota BPUPKI dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Mr. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 1950. Kemudian, dia diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950 hingga beliau meninggal tahun 1952.[1]
Pendidikan & Awal Karir
Mr. Koesoemah Atmadja berasal dari keluarga terpandang sehingga digelari Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja. Sebagai keturunan bangsawan, dia berkesempatan mendapat pendidikan dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1913, dia telah memperoleh gelar diploma dari Rechtshcool atau Sekolah Kehakiman (sekarang FH UI).[2]
Dia pun mengawali kariernya sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun itu juga, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda. Dia pun mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid dari Universitas Leiden pada tahun 1922. Disertasi berjudul De Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie (Lembaga Ulama Islam di Hindia Belanda), yang menguraikan Hukum Wakaf di Hindia Belanda.[3]
Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, dia pun dipercayakan menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia era Pemerintahan Hindia Belanda. Setahun berikutnya, diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu.[4]
Masa Penjajahan Jepang & Awal Kemerdekaan R.I.
Kemudian, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[5]
Setelah pemerintahan (penjajahan) Hindia Belanda berakhir dan berganti ke pemerintahan (penjajahan) Jepang, dia tetap berkarir di pengadilan. Pada 1942, dia menjabat sebagai Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang. Pernah juga menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim PT Semarang. Dia juga juga diangkat sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah, 1944.[6]
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Koesoemah Atmaja pun menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Dan, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk ikut membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[7]
Mahkamah Agung pernah berkedudukan dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun yakni di Jogyakarta sejak bulan Juli 1946. Kemudian, dalam kepemimpinan Koesoemah Atmadja dikembalikan lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Ada pun Susunan Mahkamah Agung sewaktu di Jogyakarta adalah: Ketua Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; WakilKetua Mr. R. Satochid Kartanegara; Anggota-anggota: 1. Mr. Husen Tirtasmidjaja, 2. Mr. Wono Prodjodikoro, 3. Sutan Kali Malikul Add; Panitera: Mr. Soebekti; dan Kepala Tara Usaha: Ranuatmadja. Setelah kembali berkedudukan di Jakarta, Susunan Mahkamah Agung (1950-1952) adalah sebagai berikut: Ketua: Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; Wakil Ketua: Mr. Satochid Kartanegara; Hakim Agung: Mr. Wirjono Prodjodikoro, Mr. Husen Tirtamidjaja; Panitera: Mr. Soebekti; dan Wakil Panitera Ranoeatmadja. Namun, masa tugas Koesoemah Atmadja sebagai Ketua MA hanya sekitar dua tahun, sebab ajal memanggilnya, dia meninggal saat masih menjabat Ketua MA pada tanggal 11 Agustus 1952 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia pun digantikan Mr. Wirjono Prodjodikoro menjabat Ketua MA (1952-1966).[8]
Meletakkan Pondasi Supremasi Hukum Dimasa Sulit
Perkara Soedarsono, yang terjadi pada 1946 itu cukup rumit lagi serius. Presiden Sukarno sampai merasa harus turut-campur dengan mencoba melakukan intervensi kepada hakim yang paling berwenang menanganinya, yakni Koesoemah Atmadja. Orang ini adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) pertama dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia yang belum genap setahun merdeka. Kasus yang ditangani Koesoemah Atmadja dan membuat Sukarno agak kelabakan. Yakni upaya menggulingkan pemerintahan yang dimotori oleh seorang petinggi militer bernama Mayor Jenderal Soedarsono (A. Massier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and Their Languages 1915-2000, 2008:188). Mayjen Soedarsono saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi III di Yogyakarta.[9]
Perkara Soedarsono ini bisa dikatakan merupakan kudeta pertama di Republik Baru. Yang menjadi sasaran kudeta pertama dalam riwayat RI itu bukanlah Sukarno selaku presiden, melainkan kabinet yang dipimpin Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri. Tujuannya menginginkan sistem pemerintahan Indonesia kembali ke format presidensial di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tanggal 26 Juni 1946, terjadi penculikan terhadap Sjahrir di Surakarta oleh kelompok oposisi yang menamakan diri Persatuan Perjuangan dengan Mayjen Soedarsono selaku penggerak utamanya, dibantu oleh 14 orang pimpinan sipil. Kelompok ini tidak puas pada upaya diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari Belanda. Sjahrir pun mereka tahan di Boyolali.[10]
Tan Malaka dituduh sebagai aktor kudeta ini -- tuduhan yang hingga kini masih terus diperdebatkan. Nama Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula terseret dalam perkara ini kendati nantinya ia selamat dari tudingan. Akhirnya, drama ini berakhir dengan ditangkapnya Mayjen Sudarsono dan kolega-koleganya. Para pelaku kemudian diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Koesoemah Atmadja.[11]
Mereka yang terlibat kasus ini ternyata orang-orang yang dekat dengan Presiden Sukarno, termasuk M. Yamin. Sukarno, yang dikisahkan murka ketika upaya kudeta 1946 itu terjadi, berusaha mendekati Koesoemah Atmadja. Sukarno memang tidak frontal melakukan intervensi terhadap Koesoemah Atmadja atas perkara ini. Usaha mempengaruhi dilakukan dengan cara halus yakni meminta Koesoemah Atmadja bertindak lebih “lembut” kepada para terdakwa.[12]
Permintaan itu ditolak mentah-mentah Koesoemah Atmadja. Bahkan ia mengancam mundur dari jabatannya jika Presiden Sukarno mencampuri kasus tersebut. Baginya, independensi institusi kehakiman wajib terjaga dan tidak boleh diintervensi, bahkan oleh presiden sekalipun. Pengadilan pun tetap digelar. Koesoemah Atmadja kemudian menjatuhkan vonis tegas. Mayjen Soedarsono dihukum 4 tahun penjara serta dipecat dan dicabut hak dan jabatannya di ketentaraan. Lama hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada M. Yamin. Sementara Budiarto Martoatmojo kena bui selama 3 tahun 6 bulan. Adapun Achmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri masing-masing mendapat ganjaran 3 tahun penjara.[13]
____________________
1. "Ketua Mahkamah Agung Pertama (Mr. Koesoemah Atmadja)", Tokoh.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/ketua-mahkamah-agung-pertama/
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. "Kisah Ketua MA Koesoemah Atmadja Menolak Kehendak Penguasa", Tirto.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tirto.id/kisah-ketua-ma-koesoemah-atmadja-menolak-kehendak-penguasa-cumn
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.