Rabu, 12 Agustus 2020

Contoh Perjanjian Nikah

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kesempatan terdahulu platform Hukumindo.com telah memuat beberapa artikel terkait dengan contoh perjanjian, diantaranya adalah "Contoh Perjanjian Sewa Menyewa Tanah", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Contoh Perjanjian Nikah (Marriage Agreement/Huwelijkse voorwaarden).

Perjanjian Nikah

A dan B, berkenaan dengan Perkawinan yang akan dilangsungkan oleh mereka, telah bersepakat untuk mengatur harta kekayaannya dengan Perjanjian Nikah (huwelijkse voorwaarden), sebagai berikut:

Pasal 1

Diantara suami-isteri tidak akan ada campuran harta benda (gemeenschap van goederen), juga tidak akan ada campuran buah hasil pencarian dari masing-masing; Campuran harta-benda, campuran laba dan rugi serta campuran buah hasil dan penghasilan dengan surat ini secara tegas ditiadakan.

Pasal 2

Suami-isteri masing-masing tetap mempunyai dan memiliki segala harta yang masing-masing dimiliki pada waktu hari kawin dan juga harta-harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan berlangsung, baik dari harta warisan, hibah wasiat atau hibah hidup (legaat of schenking) atau dengan cara lain;

Suami-isteri masing-masing juga tetap mempunyai segala harta yang diterima atau diperoleh masing-masing karena pembelian atau penukaran dari masing-masing harta kekayaannya;

Piutang-piutang dari masing-masing suami-isteri pada hari kawin dan yang timbul selama perkawinan berlangsung, kepada masing-masing dan hutang-hutang, yang dibuat oleh masing-masing selama perkawinan tetap menjadi piutang-piutang atau hutang-hutang masing-masing.

Pasal 3

Pihak isteri tetap mempunyai hak urus dan mengurus hartanya yang bergerak dan tidak bergerak, dan akan mempunyai hak bebas untuk memakai dan mempergunakan hasil-hasil dari harta kekayaannya dan penghasilannya yang diterimanya dari manapun juga. Jika pihak suami mengurus harta-harta itu, maka ia wajib bertanggung-jawab atas harta-harta itu.

Pasal 4

Dari harta barang-barang terangkat serta yang diperoleh selama waktu perkawinan berlangsung oleh karena warisan, hibah wasiat atau hibah hidup, atau dengan cara lain oleh masing-masing suami dan isteri, harus dibuat suatu daftar atau harus ternyata dengan surat-surat;

Pihak suami mewajibkan diri sendiri untuk memberi bantuan, supaya diadakan pendaftaran tersebut;

Apabila daftar-daftar dari harta dan barang-barang bergerak dan yang diperoleh si isteri selama perkawinan tidak ada, atau tidak ada surat-surat yang menyatakan barang-barang apakah yang dahulu ada atau berapakah harganya maka pihak isteri atau ahli warisnya berhak untuk membuktikan bekas adanya atau harganya barang-barang itu, dengan saksi-saksi atau apabila perlu dengan pengetahuan orang umum (algemene bekendheid). 

Pasal 5

Semua pakaian dan perhiasan badan yang ada pada sewaktu-waktu, jadi juga diwaktu terputusnya perkawinan, tetap menjadi milik dari suami dan isteri yang memakai pakaian-pakaian dan perhiasan badan itu atau milik dari suami atau isteri untuk siapa pakaian atau persiapan badan itu diuntukan pemakaiannya Pakaian dan Perhiasan badan tersebut, dipandang sebagai pakaian dan perhiasan badan yang dibawa oleh masing-masing suami-isteri pada waktu perkawinan atau yang diterima selama waktu perkawinan atau dipandang sebagai ganti dari satu dan lainnya, sehingga antara suami-isteri dan hal itu tidak ada perhitungan apa-apa. Pada akhirnya pada pihak menerangkan, bahwa dalam perkawinan dibawa oleh Pihak A uang tunai sebesar Rp. ..................................(..................Rupiah) dan bagian dalam harta peninggalan ayahnya, almarhum C, harta peninggalan mana sekarang belum dibagi. 

__________

Catatan: 
1. Menurut Pasal 147 KUHPerdata (BW), Perjanjian Nikah harus dibuat dihadapan seorang Notaris.

Referensi: "Contoh-contoh Kontrak Rekes & Surat Resmi Sehari-hari (Jilid I)", Prof. Mr. Dr. S. Gautama, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994, Hal.: 118.

Selasa, 11 Agustus 2020

Perihal Pendelegasian Pemanggilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Jarak Waktu Antara Pemanggilan dengan Hari Sidang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pendelegasian Pemanggilan.

Pengertian

Pengertian pendelegasian adalah tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita pada Pengadilan Negeri yang lain. Apabila orang yang hendak dipanggil berada di luar yurisdiksi relatif juru sita yang mendelegasikan, misalnya Tergugat bertempat tinggal di wilayah Bandung, sedangkan perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Bogor. Dalam hal seperti ini, juru sita Pengadilan Negeri Bogor, tidak berwenang menyampaikan panggilan, karena orang yang hendak dipanggil berada dalam yurisdiksi atau kompetensi relatif Pengadilan Negeri Bandung. Jalan ke luar yang harus ditempuh juru sita Pengadilan Negeri Bogor, mendelegasikan atau melimpahkan kewenangannya kepada juru sita Pengadilan Negeri Bandung.[1]

Dasar Hukum

Mengenai pendelegasian pemanggilan, tidak diatur dalam HIR dan RBg, namun dijumpai dalam Rv, sebagaimana diatur dalam Pasal 5. Ketentuan ini secara analogis dapat dipedomani oleh Pengadilan Negeri dengan acuan penerapan sebagai berikut[2]
  1. Orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum Juru Sita;
  2. Pemanggilan dilaksanakan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal orang yang hendak dipanggil;
  3. Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat tinggal Tergugat, untuk memerintahkan Juru Sita Pengadilan Negeri tersebut menyampaikan Panggilan;
  4. Ketua Pengadilan Negeri yang diminta bantuan, mengeluarkan perintah pemanggilan kepada Juru Sita berdasarkan permintaan bantuan dimaksud;
  5. Segera setelah itu, menyampaikan langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melimpahkan, tentang pelaksanaan panggilan yang dilakukan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 225-226.
2. Ibid. Hal.: 226.

Sabtu, 08 Agustus 2020

Jarak Waktu antara Pemanggilan dengan Hari Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pemanggilan Terhadap yang Meninggal", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Jarak Waktu antara Pemanggilan dengan Hari Sidang.

Pasal 122 HIR dan Pasal 10 Rv, mengatur jarak waktu antara Penggilan dengan Hari Sidang. Dapat dijabarkan sebagai berikut:[1]
  1. Patokan Menentukan Jarak Waktu, Berdasarkan Faktor Jarak Antara Tempat Tinggal Tergugat dengan Gedung Tempat Sidang Dilangsungkan, klasifikasi jarak waktu dapat dipedomani ketentuan Pasal 10 Rv, yaitu: a). 8 (delapan) hari, apabila jarak tempat tinggal Tergugat dengan Gedung PN (tempat sidang) tidak jauh, b). 14 (empat belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan c). 20 (dua puluh) hari jika jaraknya jauh. Sebagai tambahan, sepengalaman penulis sebagai Advokat praktik, untuk delegasi pemanggilan yang berbeda wilayah kompetensi relatifnya, dalam hal ini bisa dikategorikan 'jarak jauh', pemanggilan dilakukan rata-rata 3 (tiga) minggu. 
  2. Jarak Waktu Panggilan dalam Keadaan Mendesak, Pasal 122 HIR mengatur jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang dalam keadaan mendesak: a). Jarak waktunya dapat dipersingkat; b). Batas waktu mempersingkat, tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari. Terkait dengan keadaan mendesak, tergantung penilaian majelis hakim;
  3. Jarak Waktu Pemanggilan Orang yang Berada di Luar Negeri, pada prinsipnya didasarkan pada perkiraan yang wajar, adapun faktor yang diperhatikan: a). Jarak tempat tinggal Tergugat dengan Indonesia pada satu segi serta jarak tempat tinggal Tergugat dengan Konsulat Jenderal R.I., dan b). Faktor birokrasi yang harus ditempuh dalam penyampaian Panggilan;
  4. Penentuan Jarak Waktu, Apabila Tergugat Terdiri dari Beberapa Orang, dalam menghadapi kasus jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang yang tergugatnya terdiri dari beberapa orang, tidak diatur dalam HIR. Oleh karena itu, dapat dipedomani ketentuan Pasal 14 Rv yang menggariskan: a). Tidak boleh berpatokan kepada tempat tinggal Tergugat yang paling dekat; b). Harus didasarkan kepada tempat tinggal Tergugat yang paling jauh.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 225.

Jumat, 07 Agustus 2020

Kisah Ketua MA Pertama, Mr. Koesoemah Atmadja


(en.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai tokoh "Mr. Kasman Singodimejo, Jaksa Agung Kedua R.I.", dan Pada kesempatan ini akan membahas Ketua Mahkamah Agung Pertama, yaitu Mr. Koesoemah Atmadja.

Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Mr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja merupakan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama. Anggota BPUPKI dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Mr. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 1950. Kemudian, dia diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada  tahun 1950 hingga beliau meninggal tahun 1952.[1]

Pendidikan & Awal Karir

Mr. Koesoemah Atmadja berasal dari keluarga terpandang sehingga digelari Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja. Sebagai keturunan bangsawan, dia berkesempatan mendapat pendidikan dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1913, dia telah memperoleh gelar diploma dari Rechtshcool atau Sekolah Kehakiman (sekarang FH UI).[2]

Dia pun mengawali kariernya sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun itu juga, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda. Dia pun mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid dari Universitas Leiden pada tahun 1922. Disertasi berjudul De Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie (Lembaga Ulama Islam di Hindia Belanda), yang menguraikan Hukum Wakaf di Hindia Belanda.[3]

Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, dia pun dipercayakan menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia era Pemerintahan Hindia Belanda. Setahun berikutnya, diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu.[4]

Masa Penjajahan Jepang & Awal Kemerdekaan R.I.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[5]

Setelah pemerintahan (penjajahan) Hindia Belanda berakhir dan berganti ke pemerintahan (penjajahan) Jepang, dia tetap berkarir di pengadilan. Pada 1942, dia menjabat sebagai Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang. Pernah juga menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim PT Semarang. Dia juga juga diangkat sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah, 1944.[6]

Menjelang  Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Koesoemah Atmaja pun menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Dan, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk ikut membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[7]

Mahkamah Agung pernah berkedudukan dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun yakni di Jogyakarta sejak bulan Juli 1946. Kemudian, dalam kepemimpinan Koesoemah Atmadja dikembalikan lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Ada pun Susunan Mahkamah Agung sewaktu di Jogyakarta adalah: Ketua Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; WakilKetua Mr. R. Satochid Kartanegara; Anggota-anggota: 1. Mr. Husen Tirtasmidjaja, 2. Mr. Wono Prodjodikoro, 3. Sutan Kali Malikul Add; Panitera: Mr. Soebekti; dan Kepala Tara Usaha: Ranuatmadja. Setelah kembali berkedudukan di Jakarta, Susunan Mahkamah Agung (1950-1952) adalah sebagai berikut: Ketua: Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; Wakil Ketua: Mr. Satochid Kartanegara; Hakim Agung: Mr. Wirjono Prodjodikoro, Mr. Husen Tirtamidjaja; Panitera: Mr. Soebekti; dan Wakil Panitera Ranoeatmadja. Namun, masa tugas Koesoemah Atmadja sebagai Ketua MA hanya sekitar dua tahun, sebab ajal memanggilnya, dia meninggal saat masih menjabat Ketua MA pada tanggal 11 Agustus 1952 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia pun digantikan Mr. Wirjono Prodjodikoro menjabat Ketua MA (1952-1966).[8]

Meletakkan Pondasi Supremasi Hukum Dimasa Sulit

Perkara Soedarsono, yang terjadi pada 1946 itu cukup rumit lagi serius. Presiden Sukarno sampai merasa harus turut-campur dengan mencoba melakukan intervensi kepada hakim yang paling berwenang menanganinya, yakni Koesoemah Atmadja. Orang ini adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) pertama dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia yang belum genap setahun merdeka. Kasus yang ditangani Koesoemah Atmadja dan membuat Sukarno agak kelabakan. Yakni upaya menggulingkan pemerintahan yang dimotori oleh seorang petinggi militer bernama Mayor Jenderal Soedarsono (A. Massier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and Their Languages 1915-2000, 2008:188). Mayjen Soedarsono saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi III di Yogyakarta.[9]

Perkara Soedarsono ini bisa dikatakan merupakan kudeta pertama di Republik Baru. Yang menjadi sasaran kudeta pertama dalam riwayat RI itu bukanlah Sukarno selaku presiden, melainkan kabinet yang dipimpin Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri. Tujuannya menginginkan sistem pemerintahan Indonesia kembali ke format presidensial di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tanggal 26 Juni 1946, terjadi penculikan terhadap Sjahrir di Surakarta oleh kelompok oposisi yang menamakan diri Persatuan Perjuangan dengan Mayjen Soedarsono selaku penggerak utamanya, dibantu oleh 14 orang pimpinan sipil. Kelompok ini tidak puas pada upaya diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari Belanda. Sjahrir pun mereka tahan di Boyolali.[10]

Tan Malaka dituduh sebagai aktor kudeta ini -- tuduhan yang hingga kini masih terus diperdebatkan. Nama Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula terseret dalam perkara ini kendati nantinya ia selamat dari tudingan.  Akhirnya, drama ini berakhir dengan ditangkapnya Mayjen Sudarsono dan kolega-koleganya. Para pelaku kemudian diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Koesoemah Atmadja.[11]

Mereka yang terlibat kasus ini ternyata orang-orang yang dekat dengan Presiden Sukarno, termasuk M. Yamin. Sukarno, yang dikisahkan murka ketika upaya kudeta 1946 itu terjadi, berusaha mendekati Koesoemah Atmadja. Sukarno memang tidak frontal melakukan intervensi terhadap Koesoemah Atmadja atas perkara ini. Usaha mempengaruhi dilakukan dengan cara halus yakni meminta Koesoemah Atmadja bertindak lebih “lembut” kepada para terdakwa.[12]

Permintaan itu ditolak mentah-mentah Koesoemah Atmadja. Bahkan ia mengancam mundur dari jabatannya jika Presiden Sukarno mencampuri kasus tersebut. Baginya, independensi institusi kehakiman wajib terjaga dan tidak boleh diintervensi, bahkan oleh presiden sekalipun. Pengadilan pun tetap digelar. Koesoemah Atmadja kemudian menjatuhkan vonis tegas. Mayjen Soedarsono dihukum 4 tahun penjara serta dipecat dan dicabut hak dan jabatannya di ketentaraan. Lama hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada M. Yamin. Sementara Budiarto Martoatmojo kena bui selama 3 tahun 6 bulan. Adapun Achmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri masing-masing mendapat ganjaran 3 tahun penjara.[13]
____________________
1. "Ketua Mahkamah Agung Pertama (Mr. Koesoemah Atmadja)", Tokoh.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/ketua-mahkamah-agung-pertama/
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid. 
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. "Kisah Ketua MA Koesoemah Atmadja Menolak Kehendak Penguasa", Tirto.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tirto.id/kisah-ketua-ma-koesoemah-atmadja-menolak-kehendak-penguasa-cumn
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid. 

Rabu, 05 Agustus 2020

Aspek Pidana Tidak Melaksanakan Putusan PHI

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com terkait dengan label Sudut Pandang Hukum telah membahas mengenai "Menakar Pidana yang Mengintai Pengacara Djoko S. Tjandra", dan Pada kesempatan ini akan membahas yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan, khususnya tentang Aspek Pidana Tidak Melaksanakan Putusan Peradilan Hubungan Industrial (PHI).

Baru-baru ini seorang teman penulis dari sebuah Serikat Pekerja mengeluh, bahwa salah satu koleganya telah di PHK dan telah menempuh proses hubungan industrial dari Bipartit, Tripartit bahkan sampai di PHI (Peradilan Hubungan Industrial), dan dari ceritanya telah diputus oleh PHI di salah satu tetangga DKI, dengan inti amar putusan bahwa pihak pekerja mendapatkan pesangon dengan perhitungan 1 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Singkat kata tidak ada pihak yang mengajukan upaya hukum lanjutan, sepertinya juga tidak diurus oleh Pihak Pengusahanya salah satunya terlihat dari jarang datang sidang, dan jadilah putusan PHI tersebut berkekuatan hukum tetap. Jumlah Pesangon yang harusnya diterima oleh pihak Pekerja tidaklah banyak, namun tetap saja dengan nominal puluhan juta dimaksud, dengan masa kerja yang telah dilaluinya, nampak sekali pihak pekerja masih berharap. Kemudian teman penulis bertanya: Pak kami harus bagaimana? Apakah pekerja bisa menempuh upaya Pidana? Kelihatannya memang sudah kendur semangatnya ketika upaya PHI belum membuahkan hasil.

Upaya Hukum Perdata

Sebelum menjawab pertanyaan dimaksud, bisakah pekerja menempuh upaya Pidana, penulis sebagai advokat praktik memberikan advis hukum yang sewajarnya, dalam hal ini tentu kerangka berpikirnya adalah upaya yang dapat ditempuh adalah secara keperdataan. Pertama, adalah mengajukan eksekusi atas sita jaminan (Jo. Pasal 227 ayat 1 HIR)[1] yang tercantum dalam Putusan. Dan ironisnya, setelah penulis baca putusan, tidak dicantumkan asset yang dijadikan sita jaminan oleh pihak Pekerja. Setelah ditanyakan, jawabannya adalah tidak tahu, dan tidak mudah bagi pekerja untuk mencari mana yang benar-benar asset perusahaan. Penulis pun harus maklum dengan hal ini. Kedua, adalah menjadikan perusahaan sebagai debitur yang dapat diajukan Pailit ke Pengadilan Niaga (aka. Pekerja sebagai Kreditur Preferen). Meskipun dimungkinkan, akan tetapi tidak mudah bagi pihak pekerja untuk mencari kreditur yang lain dan mengajukan upaya hukum Kepailitan di Pengadilan Niaga terkait. Dengan kata lain, kedua upaya hukum keperdataan ini tidak terlalu prospektif keberhasilannya jika dilakukan.

Upaya Hukum Pidana

Menelisik aspek hukum pidana di luar domain Undang-undang Ketenagakerjaan (UU Nomor: 13 Tahun 2003) memerlukan upaya ekstra. Setelah penulis lakukan riset kecil-kecilan, ternyata dimungkinkan bagi pihak pekerja untuk membuka Laporan Polisi (LP) terkait kasus di atas, diantaranya adalah dengan dugaan:[2]
  • Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang- undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu Rupiah.”
  • Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tentang Penggelapan, yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena Penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus Rupiah".
Sebagai penutup, perlu diperhatikan bahwa ancaman hukuman Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pidana penjara paling lama adalah empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu Rupiah. Serta ancaman hukuman Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus Rupiah.
____________________
1. HIR.
2. KUHP.

Selasa, 04 Agustus 2020

Pemanggilan Terhadap yang Meninggal

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pemanggilan Terhadap yang Meninggal.

Tata cara pemanggilan terhadap Tergugat yang meninggal dunia merujuk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv. Berdasarkan ketentuan itu, apabila Tergugat atau orang yang hendak dipanggil meninggal dunia, adalah sebagai berikut:[1]
  1. Apabila Ahli Waris Dikenal, Panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu persatu. Dalam hal itu cukup disebut nama dan tempat tinggal Pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum (pewaris) yang terakhir.
  2. Apabila Ahli Waris Tidak Dikenal, a). Panggilan disampaikan kepada Kepala Desa (Lurah) di tempat tinggal terakhir almarhum; b). Selanjutnya, Kepala Desa (Lurah) segera menyampaikan Panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum; c). Jika Kepala Desa (Lurah) tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada Juru Sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan Kepala Desa (Lurah) itu, Juru Sita dapat menempuh tata cara melalui Panggilan Umum.
Sedikit memberikan komentar terkait dalam hal apabila ahli waris dikenal, sepengalaman Penulis sebagai Advokat ketika beracara (perkara sengketa kepemilikan tanah di daerah Jakarta Selatan), justru diarahkan oleh majelis hakim untuk dilakukan perubahan surat gugatan, dan diminta untuk mencantumkan seluruh ahli waris beserta alamatnya. Tentu hal ini sungguh memberatkan, karena melacak hal demikian bukanlah pekerjaan yang mudah. Ternyata setelah membaca pendapat dari ahli M. Yahya Harahap, S.H. di atas dengan berpegang pada ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, Panggilan cukup ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu persatu, tentu hal ini sangat menggembirakan Penulis. Hal yang sama Penulis harapakan kepada sidang Pembaca. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 224.

Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri.

Mengenai hal ini tidak diatur dalam HIR dan RBg, akan tetapi dalam Pasal 6 ke-8 Rv ada diatur pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia dengan cara:[1]
  • Panggilan disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya;
  • Selanjutnya, JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya, dan
  • Mengirimkan turunannya kepada Pemerintah (barangkali Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
Dalam praktik, tampaknya ketentuan Pasal 6 ke-8 Rv tersebut, dijadikan pedoman dengan jalan memodifikasi lebih sederhana, dengan acuan sebagai berikut:[2]
  1. Tempat Tinggalnya di Luar Negeri Diketahui, a). Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik; b). Penyampaiannya kepada Departemen Luar Negeri (Deplu)--saat ini sudah Kementerian Luar Negeri--kedutaan, atau Konsulat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan JPU;
  2. Tempat Tinggalnya Tidak Diketahui, dalam kasus seperti ini, tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, yaitu disampaikan melalui Panggilan Umum.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 224.
2. Ibid. Hal.: 224.

Senin, 03 Agustus 2020

Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui.

Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tata cara penyampaian Panggilan kepada Tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Kapan secara hukum tempat tinggal tergugat tidak diketahui? Hal itu berpatokan pada faktor:[1]
  1. Surat gugatan sendiri menyatakan dengan tegas pada identitas Tergugat, bahwa tempat tinggal atau tempat kediamannya tidak diketahui;
  2. Atau pada identitas Tergugat, surat gugatan menyebutkan dengan jelas tempat tinggalnya, tetapi pada saat juru sita melakukan pemanggilan, ternyata Tergugat tidak ditemukan di tempat tersebut dan menurut penjelasan Kepala Desa (Lurah), yang bersangkutan sudah meninggalkan tempat itu tanpa menyebut alamat tempat tinggal yang baru.
Menghadapi kasus seperti itu, secara faktual tidak diketahui tempat tinggal Tergugat di Indonesia maupun di Luar Negeri. Untuk mengantisipasi keadaan yang seperti itu, undang-undang telah menentukan cara panggilan yang sah menurut hukum:[2]
  1. Surat panggilan (surat juru sita) disampaikan kepada Bupati atau Wali Kota, sesuai dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya.
  2. Bupati atau Walikota tersebut: a). Mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu; b). Caranya, dengan jalan menempelkannya pada pintu umum kamar Persidangan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Tata cara pemanggilan yang diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR dalam praktik sehari-hari, disebut panggilan umum atau pemberitahuan umum (general convocation). Akan tetapi, tata cara ini dianggap kurang realistis (unrealistic), karena pengumuman panggilan hanya ditempelkan di pintu ruang pengadilan.[3]

Agar pemanggilan dalam bentuk ini lebih objektif dan realistis, perlu Pengadilan Negeri memedomani ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan:[4]
  • Selain penempelan di pintu sidang;
  • Pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan cara ini, jangkauan Pemanggilan menjadi lebih luas, dan kemungkinan untuk diketahui oleh Tergugat jauh lebih efektif.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 223.
2. Ibid. Hal.: 223.
3. Ibid. Hal.: 223.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...