(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Melakukan Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori.
Azas Lex Fori merupakan prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Bertitik tolak dari prinsip tersebut, tata cara pemanggilan kepada Tergugat, meskipun dia pejabat diplomatik negara asing, tunduk kepada hukum acara negara tempat pengajuan Gugatan. Kalau pengajuan gugatan dalam sengketa perkara negara berdasarkan Hukum Acara Indonesia, dalam hal ini HIR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 124 dan Pasal 390 HIR. Kasusnya, Penggugat adalah pemilik tanah dan bangunan di Jl. Wijaya, Persil Nomor: 36, HGB Nomor: 443. Tanah dan Bangunan sengketa dihuni staff Kedutaan Besar Amerika (Tergugat) dan sampai sekarang tidak dibayar sewanya. Atas peristiwa itu, Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[1]
Atas gugatan tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang mengatakan Panggilan tidak sah atas alasan dalam kedudukannya sebagai Badan Diplomatik negara asing, karena itu merupakan negara di luar RI, maka Panggilan untuk menghadiri sidang peradilan Indonesia, harus melalui prosedur diplomatik, yaitu melalui Pemerintah RI. Oleh karena panggilan langsung dilakukan Juru Sita kepada Kedubes Amerika, cara panggilan adalah keliru, karena tidak melalui prosedur yang benar, dan Pasal 118 ayat (1) HIR yang mengandung azas actor sequitor forum rei tidak dapat diterapkan kepada Tergugat.[2]
Terhadap eksepsi ini, Prof. Asikin Kusuma Atmadja berpendapat: "karena cara mengajukan perkara dan cara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara adalah sangat bersifat acara, maka dari itu harus tunduk pula kepada peraturan hukum dari negara hakim sendiri, in casu berlakulah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR".[3]
Terkait dengan hal ini, Penulis selaku advokat praktik pernah menemukan sebuah kasus yang mirip, yaitu ketika Kedubes Malaysia digugat oleh warga negara Indonesia terkait dengan sengketa kepemilikan sebidang tanah di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Persis, advokat senior di kantor penulis melakukan 'tangkisan' bahwa Panggilan tidak sah atas alasan dalam kedudukannya sebagai Badan Diplomatik negara asing, karena itu merupakan negara di luar RI, maka Panggilan untuk menghadiri sidang peradilan Indonesia, harus melalui prosedur diplomatik, yaitu melalui Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Alhasil eksepsi diterima dan gugatan Penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam menjawab eksepsi tersebut, Penggugat tidak mengemukakan dalil sebagaimana dikemukankan oleh Prof. Asikin sebagaimana telah dikutip di atas.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 227.
2. Ibid. Hal.: 227.
3. Ibid. Hal.: 227.