Kamis, 27 Agustus 2020

Contoh Surat Kuasa Pengambilan BPKB

(Polri.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Pencabutan Kuasa Perusahaan", serta Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Contoh Surat Kuasa Pengambilan BPKB. Adakalanya seseorang tidak mempunyai waktu untuk mengambil bukti kepemilikan penting mobil di sebuah leasing, padahal cicilan telah lunas, dengan surat kuasa yang dimuat pada artikel ini anda dapat mengkuasakan kepada orang lain untuk mengambil dan menyerahkannya kepada si empunya.


SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

-----------------KHUSUS--------------

Untuk mengambil Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) Roda Empat, dengan rincian sebagai berikut:

- Nomor : ............................
- Nama Pemilik : ............................
- Nomor Polisi : ............................
- Merk : ............................
- Type : ............................
- Tahun Pembuatan : ............................
- Nomor Mesin : ............................
- Nomor Rangka : ............................
- Bahan Bakar : ............................

Pada Leasing ............................, cabang ............................, beralamat di ............................

Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, Penerima Kuasa berhak melakukan pengambilan atas Asli Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) Roda Empat sebagaimana tersebut di atas, untuk kemudian diserahkan kepada Pemberi Kuasa.

Demikian kuasa ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Demikian surat kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di bawah, bermeterai cukup, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kab./Kota......................., Tanggal......../....../20.......

Penerima Kuasa          Pemberi Kuasa




(........................) (........................)
_________________

7 Kritik Mendunia Terhadap Peradilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Sistem Penggabungan Pengadilan dengan Arbitrase", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang 7 Kritik Mendunia Terhadap Peradilan.

Berbagai usaha dan pemikiran yang bertujuan mendesain peradilan yang lebih efektif dan efisien telah dikemukakan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, kritik global yang ditujukan kepada Pengadilan semakin menderu. Semua kritik itu bernada tidak puas atas kinerja dan keberadaan Peradilan.[1]

Dapat dikemukakan beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada Pengadilan, terutama setelah era 1980, antara lain:[2]
  1. Penyelesaian sengketa lambat, penyakit kronis yang diderita dan menjangkiti semua badan peradilan dalam segala tingkat peradilan di seluruh dunia adalah: a). Penyelesaian sangat lambat atau buang waktu; b). Terjadi sebagai akibat sistem pemeriksaannya yang sangat formal, dan sangat teknis; c). Pada sisi lain, arus perkara semakin deras baik secara kuantitas dan kualitas, sehingga terjadi beban yang berlebihan.
  2. Biaya perkara mahal, pada dasarnya biaya perkara mahal, dan biaya itu semakin mahal sehubungan dengan lamanya waktu penyelesaian. Semakin lama proses penyelesaian, semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Biaya pengacara di Amerika rata-rata US $ 250 per jam.
  3. Peradilan tidak tanggap, berdasarkan pengamatan, peradilan kurang tanggap (unresponsive) dalam bentuk perilaku: a). Tidak tanggap membela dan melindungi kepentingan umum yang sering diabaikan, kurang perduli terhadap kebutuhan dan keadilan masyarakat luas; b). Pengadilan sering berlaku tidak adil, sering melayani lembaga besar atau orang kaya saja, sebaliknya tidak memihak rakyat biasa dan sering memperlakukan rakyat dimaksud secara tidak wajar.
  4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya malah menimbulkan masalah baru. Dalam artian, putusan pengadilan tidak memberikan solusi yang menyeluruh. Bahkan tidak memuaskan yang kalah maupun yang menang.
  5. Putusan pengadilan membingungkan, sering disebut juga erratic. Terkadang tanpa alasan yang kuat dan masuk akal, contoh dalam pengabulan tuntutan ganti rugi, kadang dikabulkan besar jumlahnya dan kadang tuntutan ganti rugi ditolak, padahal alasan hukumnya kuat.
  6. Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum, belakangan ini sering ditemukan putusan yang berdisparitas, padahal kasusnya sama. Padahal sesuai dengan doktrin hukum, seharusnya diberi perlakuan yang sama.
  7. Kemampuan para hakim bercorak generalis, pada umumnya ada yang mengatakan bahwa hakim menghadapi berbagai hanya bersifat generalis saja. Kualitas dan kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu sangat minim, sehingga diragukan kemampuan menyelesaikan sengketa secara tepat dan benar sesuai dengan asas-asas maupun doktrin dan paradigma yang berlaku pada sengketa tersebut.
Terkait dengan 7 kritik mendunia terhadap Peradilan di atas, Penulis berpendapat bahwa hal tersebut adalah sebuah kewajaran, akan tetapi sepengetahuan penulis, juga telah dilakukan berbagai upaya perbaikan sehingga arahnya sudah benar. Satu contoh saja, terkait kritik akan kemampuan hakim yang bercorak generalis, sepengetahuan Penulis telah banyak hakim-hakim yang melanjutkan pendidikan dan turut serta dalam pelatihan yang sifatnya adalah kekhususan, hal ini tentu membantu mengembangkan kapasitas setiap hakim dalam mengadili perkara.
___________________

Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kesepuluh-2010, Hal.: 233.
2. Ibid. Hal.: 233-235.

Rabu, 26 Agustus 2020

Sistem Penggabungan Pengadilan dengan Arbitrase

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pembatasan Perkara yang dapat Dikasasi", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Sistem Penggabungan Pengadilan dengan Arbitrase.

Sistem menggabungkan Pengadilan dengan Arbitrase, telah berkembang di beberapa Negara. Di Inggris disebut in court arbitration system. Di Amerika Serikat disebut court connected arbitration. Sedangkan di Australia dinamakan court annexed arbitration.[1]

Mekanisme Prosesnya

Setiap perkara yang diajukan ke Pengadilan:[2]
  • Tidak langsung diperiksa melalui proses litigasi;
  • Lebih dahulu diperiksa dan diselesaikan melalui proses arbitrase;
  • Yang bertindak sebagai arbiter, salah seorang hakim yang bertugas di PN yang bersangkutan;
  • Penyelesaian melalui arbitrase bersifat memaksa: a). Mau tidak mau Para Pihak yang berperkara mesti taat mengikuti proses penyelesaian melalui arbitrase; b). Hal dimaksud disebut juga compulsory arbitration system; c). Hakim yang ditunjuk sebagai arbiter, mesti mengambil dan menjatuhkan putusan dalam bentuk putusan arbitrase.
Daya Kekuatan Mengikat Putusan

Putusan yang dijatuhkan arbiter dalam sistem court connected arbitration bersifat alternatif:[3]
  1. Bila Disetujui Para PihakFinal and Binding: dalam arti putusan langsung final and binding, tertutup upaya banding, serta langsung memiliki kekuatan eksekutorial.
  2. Bila Tidak Disetujui Para Pihak: hal ini berarti putusan yang dijatuhkan dengan sendirinya batal demi hukum (null and void), dan putusan dianggap tidak pernah ada (never existed), dengan demikian, perkara mentah kembali, dan untuk seterusnya diperiksa melalui proses litigasi.
Memperhatikan sifat final dan mengikat putusan digantungkan pada persetujuan kedua belah pihak yang berperkara, putusan yang dijatuhkan arbiter dalam sistem ini disebut dengan:[4]
  • Pre-trial settlement (putusan pra peradilan); atau
  • Mandatory and nonbinding.
Sebagai salah seorang advokat praktik, penulis dapat mengomentari bahwa sistem penggabungan antara litigasi dengan arbitrase di Indonesia belumlah diterapkan. Hal ini adalah wawasan baru bagi penulis, dan mungkin juga bagi sidang pembaca. Meskipun demikian, yang sudah diterapkan adalah penggabungan antara Mediasi dengan Litigasi, hal ini sesuai dengan Perma Nomor: 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tentu ada perbedaan tersendiri antara mediasi dengan arbitrase, dan hal ini baiknya menjadi bahasan tersendiri di artikel yang akan datang.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 232.
2. Ibid. Hal.: 232.
3. Ibid. Hal.: 232.
4. Ibid. Hal.: 233.

Senin, 24 Agustus 2020

Pembatasan Perkara Yang Dapat Dikasasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Mengintegrasikan Sistem Manajemen dalam Peradilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pembatasan Perkara yang Dapat Dikasasi.

Sistem ini seringkali ahli M. Yahya Harahap, S.H. kemukakan dalam berbagai tulisan. Bahkan alam kedudukan beliau sebagai Ketua Tim RUU Perubahan UU Nomor: 14 Tahun 1985, hal itu merupakan salah satu bagian yang tidak luput dari pembaruan sistem Peradilan di masa yang akan datang. Konsep ini dapat dijelaskan dengan singkat sebagai berikut:[1]
  1. Struktur Peradilan Tetap, jadi struktur peradilan yang ada sekarang tetap dipertahankan. Tidak perlu diubah, sehingga secara instansional tetap terdapat: a). Peradilan tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri (PN); b). Tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi (PT); dan c). Kasasi oleh Mahkamah Agung (MA).
  2. Jenis Perkara Diklasifikasikan Berdasarkan Kualitas, jenis perkara biasa dan jenis perkara kecil (small claim). Dapat penulis tambahkan, bahwa terkait dengan perkara kecil, atau small claim, telah diatur dalam Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Betul bahwa untuk perkara jenis ini, dengan segala ketentuannya, tidak dikenal upaya hukum Kasasi, hanya banding saja, itu pun masih di Pengadilan Negeri setempat. 
Sistem ini bertujuan untuk:[2]
  1. Untuk memperpendek atau mengurangi upaya hukum terhadap perkara kecil;
  2. Untuk menghindari penumpukan (backlog) perkara pada tingkat Kasasi.
Realitanya, meskipun telah diterapkan Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, tidak serta merta membuat perkara yang melakukan upaya hukum sampai Kasasi berkurang signifikan. Hal ini tentu dikarenakan salah satunya alasan bahwa Perma dimaksud hanya meminimalisasi saja, nyatanya kriteria perkara sederhana juga sangat terbatas dan dengan syarat-syarat yang ketat. Sehingga belum mampu mengurangi ditempuhnya upaya hukum Kasasi oleh para pencari keadilan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 231.
2. Ibid. Hal.: 231-232.

Mengintegrasikan Sistem Manajemen dalam Peradilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Mengintegrasikan Sistem Manajemen dalam Peradilan.

Sebenarnya berbagai sistem yang lebih efektif, banyak diajukan pada masa belakangan ini, antara lain dapat dilihat pada uraian berikut:[1]
  1. One Court Entry System, dimaksudkan dengan unified court system yang disebut one court system, yaitu bertujuan mengintegrasikan country court dengan high court. Dengan demikian, proses penyelesaian perkara dipersingkat menjadi satu tingkat. Dapat penulis tambahkan di sini, manajemen peradilan yang dimaksud telah diadopsi dalam penyelesaian perkara sederhana, sebagaimana diatur dalam Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, dimana banding dilakukan pada Pengadilan Negeri setempat.
  2. Full Pre-trial Disclosure, pada saat mengajukan gugatan, Penggugat harus sekaligus melengkapi atau melampirkan alat bukti. Hal ini bermaksud persidangan cukup memeriksa hal-hal tertentu saja, tidak bertele-tele. Dapat penulis tambahkan, manajemen peradilan seperti ini telah diterapkan dalam praktik, yaitu mengacu pada Perma Nomor: 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik, dimana ketika Penggugat melakukan pendaftaran gugatan secara online, diharuskan meng-attach atau melampirkan dua alat bukti surat yang nantinya dalam persidangan secara tatap muka diajukan sebagai bukti.
  3. Timetable Program, sejak penerimaan berkas perkara, hakim wajib membuat program jadwal sidang sejak awal, yang mesti ditaati oleh Para Pihak dengan ancaman, pemeriksaan tetap dilanjutkan tanpa hadirnya pihak yang ingkar hadir. Sepengetahuan Penulis sebagai Advokat praktik, hal ini pun telah dilakukan berdasarkan Perma Nomor: 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik, dimana pada sidang setelah perkara dinyatakan gagal pada tahap mediasi dan dikembalikan kepada Mejelis Hakim yang menangani perkara, dilakukan semacam hearing kepada Para Pihak terkait jalannya jadwal persidangan nantinya.
  4. Extra Hour's Sitting Per Day, adalah penambahan jam pemeriksaan sidang extra setiap hari sesuai dengan kebutuhan penyelesaian, dikaitkan dengan program jadwal sidang yang ditentukan dalam timetable, dengan imbalan uang lembur.
  5. In Court Arbitration System, yaitu penggabungan arbitrase dengan pengadilan. Apabila para pihak setuju, hakim bertindak sebagai arbiter, putusan yang dijatuhkannya merupakan putusan arbitrase (Arbiteral Award), yang langsung final and binding atau berkekuatan hukum tetap dan mengikat.
Dari uraian di atas, sepengalaman penulis sebagai advokat praktik, manajemen peradilan yang berbasiskan teknologi informasi telah beberapa diterapkan, diantaranya adalah nomor 1-3 sebagaimana disebutkan di atas, hal ini sesuai dengan Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana dan Perma Nomor: 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 230-231.

Sabtu, 22 Agustus 2020

Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan Batal, Juru Sita Dapat Dihukum", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif. Tulisan ini adalah bagian dari Bab 7 Perihal Putusan Akta Perdamaian Dalam Rangka Sistem Mediasi dari Bukunya Hukum Acara Perdata, penulis M. Yahya Harahap. 

Secara teori mungkin masih benar pandangan, bahwa dalam negara hukum tunduk kepada rule of law, dimana kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan Kehakiman (judicial power), dimana peranannya adalah sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat, oleh karena itu peradilan masih relevan sebagai the last resort untuk mencari keadilan.[1]

Akan tetapi pengalaman pahit menimpa masyarakat, mempertontonkan sistem peradilan yang tidak effektif dan tidak efisien. Penyelesaian perkara membutuhkan waktu bertahun-tahun, proses bertele-tele mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali. Eksekusi pun dibenturkan lagi dengan adanya upaya verzet dan derden verzet. Padahal masyarakat membutuhkan penyelesaian yang cepat.[2] Bahkan sepengalaman penulis sebagai advokat praktik, tidak sering dijumpai dilakukan gugatan ulang lagi dari awal, padahal objek perkaranya adalah sama.

Akan tetapi, kenyataan praktik berbicara, sampai saat ini di negara manapun belum mampu mencipta dan mendesain sistem peradilan yang efektif. Dan pekerjaan mendesain sistem peradilan yang seperti itu, tidaklah gampang, dikarenakan terlalu banyak kepentingan yang harus dilindungi, Sedang pada lain sisi kepentingan itu bertentangan antara satu dengan yang lainnya.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 229.
2. Ibid. Hal.: 229.
3. Ibid. Hal.: 229.

Jumat, 21 Agustus 2020

Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Otentikasi Surat Panggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum.

Mengenai hal ini, tidak diatur dalam HIR dan RBg, tetapi ditemukan landasannya dalam Pasal 21 Rv. Selayaknya ketentuan ini dijadikan landasan hukum bagi Pengadilan untuk mengantisipasi tindakan juru sita yang sembrono. Menurut Pasal 21 Rv:[1]
  • Jika surat panggilan dinyatakan batal;
  • Hal itu terjadi disebabkan perbuatan juru sita (dilakukan dengan sengaja (intentional) atau karena kelalaian (omission));
  • Dalam hal seperti itu, Juru Sita dapat dihukum: (a. Untuk mengganti biaya Panggilan dan biaya acara yang batal; b. Juga untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang diderita pihak yang dirugikan atas kebatalan itu berdasarkan PMH (Perbuatan Melawan Hukum yang digariskan Pasal 1365 KUH Perdata)).
Dalam pembaruan hukum acara yang akan datang, sudah saatnya untuk memperluas dan mempertegas tanggung jawab juru sita atas kesengajaan dan kelalaian yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan. Ketentuan Pasal 21 Rv masih dianggap relevan sebagai dasar acuan.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 228.
2. Ibid. Hal.: 228.

Kamis, 20 Agustus 2020

Otentikasi Surat Panggilan Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Otentikasi Surat Panggilan Sidang.

Agar surat panggilan sah secara otentik, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Hanya surat panggilan yang memiliki otentikasi yang sah sebagai surat atau relaas. Untuk itu harus memenuhi syarat-syarat berikut.[1]

Syarat pertama, Ditandatangani oleh Juru Sita. Apabila sudah ditanda-tangani, dengan sendirinya menurut hukum sah sebagai akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Juru Sita. Kepalsuan otentikasinya, dapat dilumpuhkan berdasarkan putusan pidana pemalsuan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan isi atau tanda-tangan yang tercantum di dalamnya adalah palsu.[2]

Syarat kedua, Berisi keterangan yang ditulis tangan Juru Sita yang menjelaskan panggilan telah disampaikan di tempat tinggal yang bersangkutan secara in Person atau kepada Keluarga atau kepada Kepala Desa (Lurah). Belakangan untuk menghindari manipulasi atau pemalsuan pemanggilan dikembangkan praktik yang mengharuskan pihak yang dipanggil ikut membubuhkan tanda tangan pada surat panggilan. Pengembangan ini sangat efektif mengawasi kebenaran penyampaian panggilan. Adanya tanda tangan orang yang dipanggil merupakan bukti, bahwa panggilan telah benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya.[3] Lihat contoh berikut:[4]

(pn-sengkang.go.id)

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 227.
2. Ibid. Hal.: 227-228.
3. Ibid. Hal.: 228.
4. http://www.pn-sengkang.go.id/hubungi-kami/blog-pengadilan/relaas-panggilan-umum/item/relaas-panggilan-sidang.html

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...