Rabu, 09 September 2020

Hukum Acara Menghendaki Perdamaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com dalam label Praktik Hukum telah membahas mengenai Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai, dan pada kesempatan ini akan membahas tentang perihal Hukum Acara Menghendaki Perdamaian.

Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:[1]
"Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan memperdamaikan mereka".

Selanjutnya, ayat 2 berbunyi:[2]

"Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa". 

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal ini, sistem yang diatur hukum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, hampir sama dengan court connected arbitration system, dimana pertama-tama hakim menolong para pihak yang bersengketa untuk berdamai, kedua apabila tercapai kesepakatan damai dituangkan dalam perjanjian perdamaian, dan terhadap perjanjian perdamaian dibuatkan putusan Pengadilan yang menghukum para pihak untuk menepati perjanjian perdamaian tersebut.[3]

Jika demikian, bertitik tolak dari Pasal 130 HIR dalam Hukum Acara Perdata menunjukan sejak jauh dari sebelum sistem ADR dikenal pada era sekarang, telah dipancangkan landasan yang menuntut dan mengarahkan penyelesaian sengketa melalui Perdamaian.[4]

________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 2010, Hal.: 238.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.

Selasa, 08 September 2020

Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com dalam label Praktik Hukum ini telah membahas tentang Penyelesaian Melalui Perdamaian, dan selanjutnya pada artikel ini akan membahas mengenai Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai.

Penyelesaian perkara melalui Perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert determination, atau mini trial mengandung berbagai keuntungan substansial dan psikologis, yang terpenting di antaranya adalah:[1]
  1. Penyelesaian Bersifat Informal, dalam artian kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum, dan memakai pendekatan bercorak nurani dan moral;
  2. Yang Menyelesaikan Sengketa Para Pihak Sendiri, dalam artian penyelesaian para pihak tidak diserahkan kepada Pihak Ketiga seperti Hakim atau Arbiter;
  3. Jangka Waktu Penyelesaian Pendek, paling lama waktu penyelesaian satu atau dua minggu, atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati kedua belah Pihak;
  4. Biaya Ringan, boleh dikatakan tidak diperlukan biaya, meskipun ada sangat murah atau zero cost;
  5. Aturan Pembuktian Tidak Perlu, tidak ada pertarungan yang sengit dari para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan lawan;
  6. Proses Penyelesaian Bersifat Konfidensial, dalam artian penyelesaian perdamaian bersifat rahasia;
  7. Hubungan Para Pihak Bersifat Kooperatif, hal ini dikarenakan yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama;
  8. Komunikasi dan Fokus Penyelesaian, dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif antara Para Pihak, dalam komunikasi itu terpancar keinginan untuk memperbaiki Perselisihan dan Kesalahan masa lalu menuju hubungan yang lebih baik di masa depan;
  9. Hasil yang Dituju Sama Menang, hasil akhir yang dituju adalah sama, yaitu win win solution, dengan menjauhi sifat egoistik;
  10. Bebas Emosi dan Dendam, dalam arti meredam sikap emosional tinggi dan bergejolak ke arah suasana bebeas emosi selama berlangsung penyelesaian maupun setelah Penyelesaian dicapai. 
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10, 2020, Hal.: 236-238.

Minggu, 06 September 2020

Penyelesaian Melalui Perdamaian

(iStock)

Oleh:

Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai 7 Kritik Mendunia Terhadap Peradilan, dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Penyelesaian Melalui Perdamaian.

Penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada masa belakangan ini berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam berbagai bentuk seperti:[1]

  • Mediasi (mediation) melalui sistem kompromi di antara para pihak, sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai fasilitator;
  • Konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator, Pihak Ketiga sebagai konsiliator merumuskan perdamaian, akan tetapi keputusan tetap pada Para Pihak;
  • Expert Determination, menunjuk seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan, keputusan yang diambilnya mengikat para pihak;
  • Mini Trial, hal mana Para Pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak: a). Memberi opini kepada kedua belah pihak; b). Opini diberikan advisor setelah mengdengar permasalahan sengketa dari kedua belah Pihak; c). Opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing Pihak, serta memberi pendapat bagaimana cara penyelesaian yang harus ditempuh Para Pihak.
Demikian sepintas bentuk-bentuk cara penyelesaian sengketa yang berkembang di luar Pengadilan maupun arbitrase. Memang masih ada lagi bentuk lain seperti summary jury trial, namun apa yang dikemukakan di atas membuktikan perkembangan cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan.[2] Penulis kira hal ini cukup menarik dengan makin beragamnya penyelesaian sengketa secara perdamaian di luar litigasi Pengadilan.

_____________

Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap., S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-Sepuluh: 2010, Hal.: 236.

2. Ibid., Hal.: 236.

Jumat, 04 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Hambali

 
(maktabahmahasiswa.bloger.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan terdahulu dalam tetralogi mazhab KHI, platform Hukumindo.com telah membahas tokoh Imam Hanafi, dan sebagai artikel penutup dalam tetralogi ini, akan dibahas Imam Hambali.

Lahir & Tumbuh Kembang

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Ia merupakan seorang ulama besar di bidang hadis dan fikih yang pernah dimiliki dunia Islam. Dilahirkan di Salam, Baghdad (sekarang Irak), pada 164 H, Imam Hambali sudah menunjukkan kecerdasannya sejak usia dini. Bahkan, ketika usianya relatif muda, ia sudah hafal Alquran.[1]

Imam Hambali mendapatkan pendidikannya yang pertama di Kota Baghdad. Saat itu, Kota Baghdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam yang penuh dengan beragam kebudayaan serta penuh dengan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Di sana, tinggal para qari, ahli hadis, para sufi, ahli bahasa, filsuf, dan sebagainya. Ia menaruh perhatian yang sangat besar pada ilmu pengetahuan. Dengan tekun, ia belajar hadis, bahasa, dan administrasi. Imam Hambali juga banyak menimba ilmu dari sejumlah ulama dan para fukaha besar. Di antaranya adalah Abu Yusuf (seorang hakim dan murid Abu Hanifah) dan Hisyam bin Basyir bin Abi Kasim (ulama hadis di Baghdad).[2]

Ia juga berguru kepada Imam Syafi'i dan mengikutinya sampai ke Baghdad. Suatu ketika, seseorang menegurnya, ''Anda telah sampai ke tingkat mujtahid dan pantas menjadi imam. Mengapa masih menuntut ilmu? Apakah Anda akan membawa tinta ke kuburan?'' Imam Hambali menjawab, ''Saya akan menuntut ilmu sampai saya masuk ke liang kubur.''[3]

Karya-karya

Imam Hambali menaruh perhatian besar kepada hadis Nabi SAW. Karena perhatiannya yang besar, banyak ulama--seperti Ibnu Nadim, Ibnu Abd al-Bar, at-Tabari, dan Ibnu Qutaibah--yang menggolongkan Imam Hambali dalam golongan ahli hadis dan bukan golongan mujtahid.[4]

Begitu besar perhatiannya kepada hadis, ia pun pergi melawat ke berbagai kota untuk mendapatkan hadis, antara lain ia pernah ke Hijaz, Kufah, dan Basrah. Atas usahanya itu, akhirnya ia dapat menghimpun ribuan hadis yang dimuat dalam karyanya Musnad Ahmad ibn Hambal. Karya monumentalnya ini disusun dalam jangka waktu sekitar 60 tahun. Di dalamnya, terhimpun 40 ribu hadis yang diseleksi dari sekitar 700 ribu hadis yang dihafalnya.[5]

Sebagian besar ulama menganggap hadis yang terdapat dalam kitab ini termasuk kategori sahih. Namun, ada juga ulama yang menyatakan beberapa hadis dalam kitab itu lemah. Selain Al-Musnad, Imam Hambali juga menyusun kitab Tafsir Alquran dan kitab an-Nasikh wa al-Mansukh (kitab mengenai ayat-ayat yang menghapuskan dan dihapuskannya sebuah hukum). Ia juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara wa al-Iman, kitab al-I'lal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha'il ash-Shahabah.[6]

Karakteristik Mazhab Hambali & Sebaran Pengikutnya

Karakteristik Mazhab Hambali senantiasa berpedoman pada teks-teks hadis dan mempersempit ruang penggunaan kiyas dan akal.[7] Corak pemikiran Mazhab Hambali adalah tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa.[8]

Selain sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW. Mazhab Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut terkonsentrasi di wilayah Teluk Persia dengan jumlah pengikut sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.[9]

Pada masa mudanya beliau berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi'i. Sedangkan murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir Al Jailani, lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.[10] Di akhir hayatnya Imam Hambal menderita sakit. Sepuluh hari kemudian wafat pada tanggal 22 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M dalam usia 75 tahun.[11]

Jejak Mazhab Hambali dalam KHI

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur bahwa hukum menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil (kawin hamil) adalah dipebolehkan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 53. Dan pendapat soal dimaksud menurut Mazhab Hambali adalah Jika seorang perempuan melakukan perbuatan zina, maka bagi orang yang mengetahui hal itu tidak boleh menikahinya, kecuali dengan dua syarat: a). masa idah-nya telah selesai. b). Dia bertobat dari perbuatan zina. Dengan kata lain, menurut Mazhab Hambali, dalam hal menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil (kawin hamil) adalah boleh, akan tetapi dengan syarat.
_________________________

Referensi:
1. "Imam Hambali, Sang Pemegang Teguh Hadits Nabi", republika.co.id., Jumat 20 Mar 2020, Diakses pada 4 September 2020, https://republika.co.id/berita/q7hpda430/imam-hambali-sang-pemegang-teguh-hadits-nabi;
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Sejarah dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih", malangtimes.com., 11 Januari 2019, Diakses pada 04 September 2020, https://www.malangtimes.com/baca/34943/20190111/110500/sejarah-dan-karakteristik-4-mazhab-fiqih
9. Ibid.
10. Ibid.
11. "Kisah Ulama Besar: Imam Hambali, Dipenjara dan Disiksa Karena Teguh Pendiriannya", kalam.sindonews.com., Miftah H. Yusufpati, Kamis, 28 Mei 2020, Diakses pada tanggal 4 September 2020, https://kalam.sindonews.com/read/49333/70/imam-hambali-dipenjara-dan-disiksa-karena-teguh-pendiriannya-1590638703/30

Kamis, 03 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Hanafi

(kajikisah.blogspot.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com dalam edisi tokoh mazhab Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah membahas tokoh Imam Maliki, dan untuk kesempatan ini akan dibahas tokoh selanjutnya, yaitu Imam Hanafi.

Kelahiran & Pertumbuhan

Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriyah (H) bertepatan dengan 699 Masehi (M) di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya, nama Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi yang bergelar Al-Imam Al-A'zham.[1] Kufah adalah sebuah daerah yang saat ini berada di negara Irak.

Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umayyah. Ia hidup dalam keluarga yang saleh. Ia juga sudah hafal Alquran sejak masih usia anak-anak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru. Saat masih kecil, Imam Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutra. Bahkan, dia memiliki toko untuk berdagang kain.[2]

Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi yang dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama, menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadis, serta ilmu kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.[3]

Imam Syafi’i pernah melempar pujian terhadap Imam Hanafi sebagai berikut: “Tidak seorang pun yang mencari ilmu fikih, kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya itu sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.”[4]

Guru dan Karya

Kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu agama itu ia pelajari dari sejumlah ulama besar masa itu. Di antaranya adalah Atho' bin Abi Rabbah, Asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi'. Ia juga belajar kepada ulama lainnya, seperti Nafi' Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya), Abu Ja'far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.[5]

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.[6] Inilah uniknya Imam Hanafi, ajaran-ajarannya justru disebarluaskan oleh murid-muridnya.

Karakter Pemikiran Imam Hanafi

Beberapa nasehat Imam Hanafi adalah sebagai berikut:[7]
  • Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku;
  • Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil atau memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut;
  • Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Dasar-dasar Imam Hanafi dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:[8]
  1. Al-Qur'an;
  2. Sunnah, di mana dia selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Dia mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah;
  3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar);
  4. Qiyas;
  5. Istihsan;
  6. Ijma' para ulama;
  7. Urf masyarakat muslim
Mazhab Hanafi terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.[9] Mazhab ini mempunyai corak pemikiran hukum yang rasional.[10]

Jejak Mazhab Hanafi dalam KHI

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991, mengatur mengenai salah satu rukun dalam pernikahan, yaitu terkait dua orang saksi. Saksi merupakan syarat sahnya pernikahan. Menurut golongan Hanafiah, pada dasarnya setiap orang yang dapat melaksanakan akad, pernikahan pun sah dengan kesaksiannya (wali dan kedua mempelai). Setiap orang yang dapat menjadi wali dalam pernikahan, maka dapat pula menjadi saksi dalam pernikahan itu.
_______________
1. "Mengenal Sosok Imam Hanafi", Republika.co.id., Sabtu 17 Agustus 2019, Diakses pada 3 September 2020, https://republika.co.id/berita/pwcx0a313/mengenal-sosok-imam-hanafi
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. "Imam yang Memiliki Madzhab: Imam Hanafi", Islampos.com., Diakses pada tanggal 3 September 2020, https://www.islampos.com/imam-yang-memiliki-madzhab-imam-hanafi-136411/
8. "Mazhab Hanafi", id.wikipedia.org., Diakses pada 3 September 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi
9. Ibid.
10. "Sejarah dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih", malangtimes.com., 11 Januari 2019, Diakses pada tanggal 3 September 2020, https://www.malangtimes.com/baca/34943/20190111/110500/sejarah-dan-karakteristik-4-mazhab-fiqih

Rabu, 02 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Maliki

(minanews.net)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Dalam edisi tetralogi Mazhab KHI terdahulu, platform Hukumindo.com telah membahas tokoh "Tetralogi Mazhab KHI, Imam Syafi'i", dan pada kesempatan ini akan dilanjutkan ke tokoh selanjutnya, yaitu Imam Maliki.

Kelahiran & Riwayat Pendidikan

Nama lengkap Imam Malik adalah Abdillah bin Anas al-Ashbahani. Beliau adalah Imam dan ulama terkemuka. Beliau dilahirkan pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H.[1]

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.[2]

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.[3]

Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.[4]

Di usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.[5]

Imam Malik mempunyai ciri pengajaran setiap menyampaikan ilmu, yakni disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”[6]

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut resiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.[7]

Al Muwatta’ dan Karya Lainnya

Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.[8]

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).[8]

Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.[9]

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.[10]

Karakteristik Mazhab Maliki

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ia juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).[11] Tidak jarang kemudian karakteristik mazhab ini dikatakan sangat dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual.

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.[12] Imam Maliki wafat pada pagi hari 14 Rabi'ul Awwal tahun 179 H di Maddinah dalam usia 89 tahun.[13]

Jejak Mazhab Maliki dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Ketentuan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil akibat zina, menyebabkan perdebatan dan silang pendapat dari berbagai kalangan, dan mazhab Maliki adalah termasuk yang melarangnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga sperma suami dan memelihara dari percampuran nasab yang baik dengan anak zina.
__________
Referensi:

1. "Biografi Singkat Imam Malik; Pendiri Mazhab Maliki", Umma.id., diakses pada 2 September 2020, https://umma.id/article/share/id/1002/259420
2. "Imam Malik, Penyusun Al Muwatta’ yang Terkenal", Minanews.net. 29 Agustus 2019, Diakses pada 2 September 2020, https://minanews.net/imam-malik-penyusun-al-muwatta-yang-terkenal/
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. "Biografi Lengkap Imam Maliki Bin Anas, Imam Haramain dan Penulis Kitab Muwatha'", asianmuslim.com, 24 Februari 2020, Diakses pada 2 September 2020, https://www.asianmuslim.com/2020/02/biografi-lengkap-imam-malik-bin-anas.html

Selasa, 01 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Syafi'i

(nusadaily.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com pada label tokoh telah membahas "Mr. Iskak Tjokroadisurjo, Membuka Kantor Hukum Pertama di Batavia", serta Pada kesempatan selanjutnya akan menyinggung tokoh-tokoh fiqh Islam yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Sejarah Singkat

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991 bisa dikatakan sebagai hukum materiil Peradilan Agama di Indonesia, hal ini meliputi: 
  • Buku I Tentang Hukum Perkawinan;
  • Buku II Tentang Hukum Kewarisan;
  • Buku III Tentang Hukum Perwakafan.
Di balik diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991 ini tentu mempunyai sejarah tersendiri, dan inilah yang akan diterangkan kemudian. 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah suatu istilah untuk menunjukkan himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab fikih empat mazhab. Seluruh pandangan ulama terkait fikih itu disatukan dalam bentuk buku yang disusun dengan memakai bahasa perundang-undangan.[1] Adapun fikih empat mazhab dimaksud meliputi mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.

KHI menjadi pegangan hakim di pengadilan agama dalam memutus sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah dan lain-lain yang para pihaknya adalah Muslim. Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya "Ahli Waris Pengganti Pasal Waris Bermasalah Dalam KHI" menyampaikan, ide pembetukan KHI bermula pada 21 Maret tahun 1985. Ketika itu, muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 07/KMA/1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam Melaiui Yurisprudensi. "Dalam SKB tersebut terdapat instruksi kepada kementrain agama untuk membentuk sebuah tim yang berisi ulama dan sarjana serta cendikiawan Islam yang ditugasi untuk membentuk pembangun hukum Islam melalui jalur yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum," katanya.[2]

Pekerjaan tim tersebut, lanjut Zarkasih, ialah mengkaji kitab-kitab fikih Islam yang selama ini dipakai para hakim di pengadilan agama. Tujuannya agar kajian yang ada sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia serta menuju tata hukum nasional. Menurut para peneliti dan sejarawan, munculnya SKB tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran, yakni tidak adanya satu kitab hukum resmi sebagai rujukan standar dalam memberi putusan pada perkara-perkara di pengadilan agama. Keadaan yang berbeda dengan lingkungan peradiian umum (KUHPerdata).[3]

Zarkasih mengatakan, sebelum adanya KHI, hakim dalam mengambil keputusan di pengadilan agama biasanya menggunakan kitab fikih yang sudah berumur. Dalam arti, kitab-kitab itu ditulis ulama dari abad lampau. Akibatnya, sering muncul putusan yang tidak seragam. Sebab, rujukan dan pedoman kitab-kitab yang dipakai memang tidak seragam. Misal, perkara yang sama boleh jadi mendapatkan putusan yang berbeda karena ditangani hakim yang berbeda dan berbeda pula rujukan kitabnya. Para hakim pun punya kecenderungan yang berbeda dalam memilih kitab rujukan. "Apabila kebetulan hakim yang memberi putusan pada tingkat pertama berbeda kitab rujukannya dengan hakim yang lain pada tingkat banding, maka tidak dapat dihindarkan lagi, terjadi putusan yang berbeda," kata dia. Hal itu tidak sejalan dengan prinsip kepastian hukum. Melihat masalah itu, Kementerian Agama merasa sangat perlu untuk mengadakan satu kitab rujukan standar bagi para hakim agama dalam menentukan putusan masalah mereka di pengadilan. Akhirnya, Kemenag menggandeng MA sebagai induk pengadilan untuk membuat SKB yang ditandatangani pada 1985 itu.[4] Setelah penulis melakukan riset di dunia maya, sampai dengan terbitnya Instruksi Presiden RI Nomor: 1 Tahun 1991, tentu melalui jalan yang cukup panjang, namun demikian tidak akan dibahas lebih lanjut di sini. Artikel ini hanya bermaksud membahas keempat tokoh mazhab fikih Islam yang ajarannya berada dalam KHI.

Imam Syafi'i

Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi menjadi salah satu ulama besar dalam sejarah umat Islam. Beliau lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i dan merupakan pendiri mazhab Syafi’i yang menjadi mazhab dominan di Indonesia. Pengetahuan keilmuan seorang Imam Syafi’i pun tidak perlu diragukan. Beliau lahir dari pasangan Idris bin Abbas dan Fatimah al-Azdiyyah di Kota Gaza, Palestina pada tahun 767 Masehi atau 150 Hijriah. Namun, sebagian kecil ahli sejarah mengungkapkan kalau Imam Syafi’i lahir di Asqalan, kota yang berjarak sekitar 18 km dari Kota Gaza. Nama Imam Syafi’i merupakan nama pemberian dari orang tuanya. Nama itu adalah kombinasi antara nama dua orang, yakni Nabi Muhammad SAW dan kakeknya, yakni Syafi’i bin asy-Syaib. Dalam kesehariannya, beliau pun memperoleh panggilan asy-Syafi’i.[5]

Kemudian kita akan menyinggung masa belajar dan Guru-guru Imam Syafi’i. Pada usia 7 tahun, beliau pun sudah berhasil menghafal Al-Quran. Selanjutnya, di umur 12 tahun, Imam Syafi’i telah mengingat seluruh isi kitab Al-Muwaththa’ yang merupakan hasil karya Imam Malik. Pada usia 10 tahun, ibu asy-Syafi’i membawanya ke Mekkah. Hal ini dilakukan agar Imam Syafi’i kecil bisa belajar dengan lebih baik. Terutama, karena bisa memperoleh akses yang cepat ke berbagai ulama besar yang ada di Tanah Suci. Di sini, Imam Syafi’i pun berkesempatan untuk berguru kepada beberapa ulama fikih ternama. Guru-guru beliau ketika berada di Kota Mekkah antara lain adalah: Muslim bin az-Zanji yang merupakan mufti Kota Mekkah pada masa tersebut. Dawud bin Abdurrahman al-Atthar. Muhammad bin Ali bin Syafi’i yang merupakan paman beliau. Sufyan bin Uyainah. Abdurrahman bin Abi Bark al-Mulaiki. Sa’id bin Salim. Fudhail bin al-Ayyadltu, beliau juga dikenal memiliki ketertarikan dalam mempelajari bahasa dan sastra Arab.[6]

Setelah menempuh pendidikan di Kota Mekkah, beliau melanjutkan perburuan ilmunya ke Madinah. Di sinilah terjadi pertemuan antara Imam Syafi’i dengan Imam Malik. Beliau pun secara khusus merupakan pengagum dari Imam Malik, apalagi setelah menghafal buku karangannya. Asy-Syafi’i pun menetap di Madinah hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 Hijriah. Kemudian beliau melanjutkan pembelajarannya ke Yaman. Imam Syafi’i menjejakkan kakinya ke Yaman pada usia 21 tahun. Saat itu, beliau pun memperoleh kedudukan tinggi di kalangan ulama. Namun, hal itu tidak membuat sosok asy-Syafi’i puas. Selama di Yaman, ulama-ulama yang menjadi guru beliau antara lain: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, Umar bin Abi Salamah, Yahya bin Hasan.[7]

Semasa hidupnya, Imam Syafi’i pun telah menelurkan beberapa karya, yaitu:[8]
  • al-Umm;
  • ar-Risalah;
  • al-Mabsuth;
  • al-Hujjah;
  • Bayadh al-Fardh, dan lain-lain.
Selain itu, beberapa ulama terkenal juga pernah menjadi murid dari Imam Syafi’i. Termasuk di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dikelan sebagai pendiri mazhab Hambali. Selain itu, beberapa murid lainnya dari Imam Syafi’i adalah: Al-Hasan bin Muhammad az-Za’farani, Ishaq bin Rahawaih, Harmalah bin Yahya, Sulaiman bin Dawud al-Hasyimi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, dan lain-lain.[9]

Meski dikenal sebagai salah satu ulama terbesar, Imam Syafi’i merupakan seorang yang rendah hati. Bahkan, dalam kesehariannya, beliau adalah sosok zuhud yang memilih hidup sederhana dan jauh dari kemewahan.[10] Arti penting mazhab syafi'i di Indonesia adalah bahwa mazhab fikih ini dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia.

Karakteristik Mazhab Syafi'i

Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijma, Imam Syafl'i juga berpegang pada qiyas. Beliau disebut juga sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul Fiqih. Karyanya yang terkenal adalah AI-Umm dan Ar-Risalah. Pemikirannya yang cenderung moderat diperlihatkan dalam Qaul Qadim (pendapat yang baru) dan Qaul Jadid (pendapat yang lama).[11] Penulis kira kata kuncinya sudah cukup jelas, bahwa karakter menonjol pemikiran hukum mazhab Syafi'i ini adalah rasional-tradisional. 

Penulis tambahkan, salah satu contoh konkrit pemikiran mazhab Syafi'i dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah perihal masa iddah dan talak khuluk (talak dengan tebusan). Contoh dimaksud terdapat dalam Pasal 153, Pasal 154 dan Pasal 155 Perihal Waktu Tunggu (masa Iddah), Buku I Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Perkawinan.

Untuk penyebarannya mazhab Syafl'i diikuti oleh 495 juta jiwa. Negara-negara dengan mayoritas pengikut mazhab ini adalah Indonesia, Ethiopia, Malaysia, Yaman, Mesir, dan Somalia. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Ahmad AI Ghazali, lbnu Katsir, lbnu Majah, An Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqalani, Abu Hasan Al Asy'ari, dan Said Nursi.[12]
_________________
Referensi:

1. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991;
2. "Sejarah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia", Republika.co.id., Selasa 24 Mar 2020, Diakses pada 1 September 2020, https://republika.co.id/berita/q7olv0458/sejarah-kompilasi-hukum-islam-di-indonesia
3. Ibid.
4. Ibid. 
5. "Biografi Imam Syafi’i – Masa Kecil, Masa Belajar, dan Karya Imam Syafi’i", inspiraloka.com., March 24, 2017, Diakses pada 1 September 2020, https://www.inspiraloka.com/biografi-imam-syafii/
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. "Sejarah dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih", malangtimes.com., 11 Januari 2019, diakses pada 1 September 2020, https://www.malangtimes.com/baca/34943/20190111/110500/sejarah-dan-karakteristik-4-mazhab-fiqih
12. Ibid.

Senin, 31 Agustus 2020

Contoh Surat Kuasa untuk Membayar Pajak Kendaraan Bermotor

(Futuready.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Kuasa Mengurus Balik Nama PBB", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Contoh Surat untuk Kuasa Membayar Pajak Kendaraan Bermotor.


SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

-----------------KHUSUS--------------

Untuk membayar Pajak Kendaraan Bermotor (BPKB) Roda Empat, dengan rincian sebagai berikut:

- Nama Pemilik : ............................
- Nomor Polisi : ............................
- BPKB Nomor : ............................
- STNK Nomor : ............................
- Merk : ............................
- Type : ............................
- Tahun Pembuatan : ............................
- Nomor Mesin : ............................
- Nomor Rangka : ............................
- Bahan Bakar : ............................

Pada Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) ............................, beralamat di ............................, sebesar Rp. ............................ (............................Rupiah). 

Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, Penerima Kuasa berhak menghadap pejabat pada loket instansi yang ditunjuk, melengkapi berkas-berkas lampiran yang diperlukan baik asli maupun photo copy, melakukan pembayaran-pembayaran atas nama Pemberi Kuasa, mengambil asli bukti pembayaran pajak kendaraan dan menyerahkannya kepada Pemberi Kuasa, serta melakukan perbuatan-perbuatan lain yang diperlukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian kuasa ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Demikian surat kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di bawah, bermeterai cukup, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kab./Kota......................., Tanggal......../....../20.......

Penerima Kuasa          Pemberi Kuasa




(........................) (........................)
_______________


Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...