Rabu, 16 September 2020

Landasan Formil Prosedur Mediasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Kenyataan Mediasi di Pengadilan, dan untuk kesempatan ini, masih dalam label praktik hukum, akan membahas perihal Landasan Formil Prosedur Mediasi.

Landasan formil mengenai integrasi mediasi dalam sistem peradilan pada dasarnya tetap bertitik tolak dari ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 145 RBg. Namun untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung memodifikasinya ke arah yang bersifat memaksa (compulsory). Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:[1]
  1. Semula Diatur dalam SEMA No. 1 Tahun 2002, SEMA ini diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002 yang berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR). Penerbitan SEMA tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas MA di Yogyakarta pada tanggal 24 s.d. 27 September 2001. Motivasi yang mendorongnya, adalah untuk membatasi perkara kasasi secara substantif dan prosesual. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat Kasasi.
  2. Disempurnakan dalam PERMA No. 2 Tahun 2003, umur SEMA No. 1 Tahun 2002, hanya 1 Tahun 9 bulan, pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003 sebagai penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan: "Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/ 145 RBg) dinyatakan tidak berlaku".
  3. Alasan Penerbitan PERMA, dalam konsiderans dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan PERMA menggantikan SEMA No. 1 Tahun 2002, antara lain: a). Mengatasi penumpukan perkara; b). SEMA No. 1 Tahun 2002, belum lengkap; c). Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg, dianggap tidak memadai.
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 242-243.

Selasa, 15 September 2020

Kenyataan Mediasi Di Pengadilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah memposting artikel berjudul: "Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif", sebagai kelanjutannya, berikut akan dibahas tentang Kenyataan Mediasi Di Pengadilan.

Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya, hampir 100% berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or losing). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan sangat mandul. Akibatnya, keberadaan Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.[1] Penulis sependapat bahwa selama menjalani praktik beracara di Pengadilan, sangat sedikit perkara yang berhasil dengan jalan damai.

Ada yang berpendapat, kemandulan itu bukan semata-mata disebabkan faktor kurangnya kemampuan, kecakapan dan dedikasi haki, tetapi lebih didominasi motivasi dan peran advokat atau kuasa hukum. Mereka lebih cenderung mengarahkan proses litigasi berjalan terus mulai dari peradilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali, demi mengejar professional fee yang besar dan berlanjut.[2] Dapat penulis tambahkan di sini, Penulis telah mengalami sendiri perkara-perkara yang terjadi perdamaian atau berlanjut ke pokok perkara, argumentasi bahwa dominasi motivasi peran advokat atau kuasa hukum dalam kemandulan keberhasilan mediasi di Pengadilan adalah tidak benar, banyak hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah mediasi di Pengadilan, dan sepanjang Penulis berpraktik, sebagai advokat profesional hukumnya adalah wajib menjelaskan hukum materiil dan prosedur hukum (acara) yang akan dilalui oleh klien beserta implikasi yang akan didapatkannya. Maka keputusan terjadinya perdamaian atau tidak (berlanjut pada tahap litigasi berikutnya) ada di tangan klien, bukan advokat atau kuasa hukum.

Pada umumnya sikap dan perilaku hakim menerapkan Pasal 130 HIR, hanya bersifat formalitas. Kalau begitu, kemandulan peradilan menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi pihak advokat atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri hakim yang lebih mengedepankan sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan yang mengatakan: "Keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui Perdamaian".[3] Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Penulis berpendapat keputusan untuk berdamai ada pada para pihak yang berperkara, tidak dibebankan kepada kuasa hukum atau hakim mediator.
__________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 241.
2. Ibid. Hal.: 241.
3. Ibid. Hal.: 241.

Senin, 14 September 2020

Contoh Surat Kuasa Pendaftaran Go-Biz atau Grab Merchant

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel terdahulu, platform Hukumindo.com telah mengajak sidang pembaca untuk mengetahui salah satu Contoh Surat Kuasa untuk Membayar Pajak Kendaraan Bermotor, dan pada kesempatan berikut ini akan diberikan Contoh Surat Kuasa Pendaftaran Go-Biz atau Grab Merchant.

Dalam dunia yang serba digital seperti sekarang ini, sektor bisnis telah menyatu dengan teknologi informasi yang memungkinkan keduanya bersatu dalam menghasilkan cuan. Salah satu peluang saat ini yang bisa dilirik kaum millenial adalah dengan berbisnis pada platform seperti Go-Biz terbitan Gojek dan Grab Merchant yang diampu Grab. Tentu saja untuk melakukan pendaftaran pada kedua platform dimaksud dapat dikuasakan, berikut salah satu contoh surat kuasanya.

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................
Pemilik Toko : ............................
Alamat Toko : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

-----------------KHUSUS--------------

Untuk melakukan pendaftaran pada platform ............................ (Go-Biz atau Grab Merchant) ............................ atas toko milik Pemberi Kuasa yang bernama ............................   

Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, Penerima Kuasa berhak melakukan hal-hal sebagaimana berikut:
  1. Mengisi dan menandatangani formulir pendaftaran;
  2. Mengumpulkan dan menyerahkan semua berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran;
  3. Mengunggah (upload) dan mengunduh (download) semua berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran pada platform terkait;
  4. Melakukan wawancara dengan petugas perusahaan yang ditunjuk dalam hal diperlukan;
  5. Dalam hal perlu, menghadap petugas perusahaan dan melakukan segala bentuk komunikasi untuk kelancaran proses pendaftaran;
  6. Melakukan tindakan lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan aturan yang berlaku.
Demikian surat kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di bawah, bermeterai cukup, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kab./Kota......................., Tanggal......../....../20.......

Penerima Kuasa          Pemberi Kuasa



(........................) (........................)

_______________

Jumat, 11 September 2020

Lasdin Wlas, Advokat Veteran Yang Masih Aktif Berpraktik

(Facebook)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label tokoh, terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas para Imam-imam Mazhab yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dari Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi sampai Imam Hambali. Sedangkan artikel ini akan mengembalikan sidang pembaca pada profesi yang ditekuni oleh penulis. Kesempatan ini akan digunakan penulis untuk turut serta mempublikasikan salah satu advokat senior, bahkan veteran yang pernah dikenal secara personal.

Advokat senior atau advokat veteran di sini tidak menunjuk pada seseorang yang baru diangkat menjadi advokat ketika usianya menginjak pensiun atau pada usia sudah berumur. Namun seseorang yang memang secara sadar menggeluti profesi ini untuk jangka waktu yang telah lama. Dikarenakan beliau juga pernah menjadi Dosen bagi penulis ketika menempuh pendidikan Sarjana Hukum, dan juga Guru Praktisi Hukum ketika memulai karir di dunia advokat, terlepas dari segala kontroversi, tulisan ini bermaksud memberikan penghargaan atas karya dan pengabdian beliau selama ini di dunia profesi advokat.  

Biografi Singkat

Advokat senior ini lahir di Sawah Lunto, Sumatera Barat pada tanggal 30 Desember 1930. Pendidikan formal yang pertama dienyamnya adalah Hollandsch-Inlandsche School/HIS (Sekolah Belanda untuk kalangan Bumiputera) pada tahun 1942. Pada masa penjajahan Jepang, beliau termasuk dalam anggota Pemuda Asia Timur Raya bentukan Gunseikanbu (Kantor pusat pemerintahan militer Jepang) pada tahun 1943.[1]

Sekolah Menengah Pertama (SMP) lulus pada tahun 1952 di Sawah Lunto. Pada tahun 1955 lulus Sekolah Menengah Atas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Beliau kemudian mengenyam pendidikan militer BI Veteran di Yogyakarta, tahun 1962. Dilanjutkan dengan mendapat gelar Bacalaureat Hukum (Sarjana Muda Hukum) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1963, dan kemudian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1968.[2] Pada suatu kesempatan ketika beliau memberikan kuliah kepada Penulis, sepengakuannya pernah lulus seleksi Calon Hakim selepas menggondol gelar Sarjana Hukum pada FH Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, akan tetapi tidak diambil kesempatan itu dikarenakan alasan keluarga atau keengganan beliau untuk berdinas ke luar kota. Setelah melewatkan kesempatan dimaksud, malahan beliau mempunyai karir yang panjang sebagai advokat. 

Adapun pengalaman kerja/Perjuangannya, diantaranya adalah: Tentara TRI/Tentara Cenie Persenjataan Divisi IX Sawahlunto, Tentara TRI/Tentara Cenie Persenjataan Komandemen Divisi IX Sumatera Tengah pada tahun 1946-1948. Menggabungkan diri dengan Tentara Pelajar dan Tentara Gerilya tahun 1949. Demobilisasi Tentara Pelajar Rayon IX Sumatera Tengah tahun 1951. Pengangkatan Keputusan dengan dengan SK Veteran Pejuang Kemerdekaan RI NVP (Nomor Veteran Perang): 21756.[3]

Selain itu beliau pernah mendapat Tanda Jasa/Satya Lencana Republik Indonesia, antara lain: Bintang Gerilya Satya Lencana SL/MDI. PK I, Satya Lencana SI/MDI. PK II, Satya Lencana GOM I, Satya Lencana GOM VI, Satya Lencana Penegak.[4]

Jika penulis amati, advokat senior Indonesia ini mempunyai dua latar belakang pendidikan dan karir, pertama adalah pendidikan dan karir militer, dan kedua adalah pendidikan hukum dan profesi seputar advokat. Hal ini menjadikan beliau mempunyai latar belakang yang relatif komplit, baik dalam bidang militer maupun dalam profesi advokat.

Karya Tulis & Karir Profesi

Karya tulis yang masih relevan sampai dengan saat ini dari beliau adalah sebuah buku bertemakan Profesi Advokat berjudul: "Cakrawala Advokat Indonesia", Lasdin Wlas, S.H., Penerbit: Liberty, Yogyakarta, Tahun: 1989. Lihat lampiran berikut:

(Bukalapak)

Dapat penulis tambahkan, salah satu literatur di atas adalah yang paling baik membahas mengenai Kode Etik Advokat. Ditulis oleh advokat yang telah lama malang melintang dalam profesi ini. Selain itu sumber ini masih relevan untuk dibaca, meski oleh sarjana hukum yang baru terjun dalam profesi dimaksud. 

Selain itu, beberapa karya tulis lainnya yang terekpose penulis adalah: "Peran Hukum Turut Serta Menunjang Pembangunan Nasional", Makalah, Tahun 1981. "Kode Etik Advokat", Makalah dalam Latihan Hukum II LKBH UII, Tahun 1981. "Pendidikan Advokatur", Buku Perkuliahan, Tahun 1987.[5] Pada tahun 2009, beliau masih menulis pada Varia Advokat, Volume 09, Juni 2009 dengan judul tulisan: "Meneropong Organisasi Profesi Advokat Indonesia", Hal.: 23-25. Hal mana tulisan tersebut meneropong perjalanan panjang organisasi advokat di Indonesia.  

Praktik peradilan pemberi bantuan hukum sebagai Procureur/Pokrol sejak tahun 1963. Kemudian sebagai Pengacara Praktik sejak tahun 1970. Advokat sejak 1973 sampai dengan saat ini.[6] Artinya, jika dilakukan sinkroninasi antara karir keadvokatannya dengan pendidikan hukum yang ditempuhnya, Lasdin Wlas menjadi Procureur/Pokrol setelah mendapat gelar Bacalaureat Hukum (Sarjana Muda Hukum) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1963. Kemudian menekuni dunia profesi advokat setelah mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada tahun 1968 dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 

Selain karir di bidang militer dan advokat, Lasdin Wlas juga aktif dalam dunia praktik advokat dan akademik. Diantaranya pernah sebagai Direktur Litigasi LP3H D.I.Y pada tahun 1980. Ketua Tim Pembela Subversi wilayah Surakarta, Sukoharjo dan Klaten tahun 1983. Dekan Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta serta Pengurus dan Penasehat PERADIN DPC Yogyakarta dari tahun 1983-1985.[7] Sepengalaman penulis pada masa menjalani kuliah hukum di FH Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dahulu, di antaranya beliau pernah mengampu mata kuliah Hukum Adat. Adapun alamat kantor beliau adalah: Jalan Prof. Herman Yohannes, Sagan Timur, No.: 43, Yogyakarta.

Peran Serta dalam Kancah Profesi Advokat

Pada bulan Februari 2020, beliau masih tercatat sebagai salah satu Dewan Penasehat Pengurus Pusat Kongres Advokat Indonesia (KAI).[8] Pada Judicial Review Nomor: 79/PUU-VIII/2010 di Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor: 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, sepanjang mengenai frasa ”satu-satunya”, beliau menjadi salah satu saksi, hal mana kesaksian beliau adalah seputar pengalamannya dalam mengikuti perkembangan organisasi advokat dan pembentukan wadah tunggal organisasi advokat. Dari pengalamannya mengikuti perkembangan pembentukan wadah tunggal organisasi advokat memang banyak kendala di lapangan. Kemudian mengenai kode etik advokat sendiri sudah dibentuk sejak tahun 2003 semenjak UU Advokat ada.[9] 

Di tengah usianya yang tidak lagi muda, semangat beliau untuk turut serta berkarya dan mengabdi dalam dunia advokat  tidaklah surut. Pada tahun 2016, beliau masih tercatat sebagai salah satu Anggota Dewan Penasehat, Pengurus Pusat IKADIN. Sepengetahuan penulis, saat ini beliau adalah salah satu advokat senior yang masih berpraktik, bahkan mungkin untuk ukuran seluruh wilayah Indonesia. 

Adapun jejak penanganan perkara yang pernah ditangani beliau adalah: a). Kuasa Hukum Aiptu Edy Wuryanto, terdakwa penggelapan barang bukti blocknote milik wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin melawan Oditur Militer D.I.Y.[10] b). Gugatan Pra Peradilan Nomor: 05/Akta.Pid.Pra/2013/PN.Slmn. pada Pengadilan Negeri Sleman sebagai salah satu kuasa hukum Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin melawan POLDA D.I.Y.[11] 
_______________
Referensi:

1. "Cakrawala Advokat Indonesia", Lasdin Wlas, S.H., Penerbit: Liberty, Yogyakarta, 1989.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Ujian Kompetensi Dasar Profesi Advokat Akan Dilakukan KAI DPD Jateng 22 Februari 2020", wartaindo.news, 20 Februari 2020, Diakses pada tanggal 11 September 2020, https://wartaindo.news/ujian-kompetensi-dasar-profesi-advokat-akan-dilakukan-kai-dpd-jateng-22-februari-2020/
9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 79/PUU-VIII/2010.
10. "Kasus Udin, Edy Wuryanto Tolak Surat Dakwaan Oditur Militer", DetikNews, Kamis 24 Februari 2005, Diakses pada tanggal 11 September 2020, https://news.detik.com/berita/d-298884/kasus-udin-edy-wuryanto-tolak-surat-dakwaan-oditur-militer 
11.  "17 Tahun Kasus Udin Tak Tuntas, Wartawan Praperadilankan Polisi", DetikNews, Senin, 11 November 2013, Diakses pada tanggal 11 September 2020, https://news.detik.com/berita/d-2409654/17-tahun-kasus-udin-tak-tuntas-wartawan-praperadilankan-polisilisi", detikNews, Senin, 11 November 2013, Diaksesn pada tanggal 11 September 2020,  


Kamis, 10 September 2020

Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu pada label Praktik Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas tentang Hukum Acara Menghendaki Perdamaian, dan pada kesempatan berikut ini akan dibahas mengenai Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif.

Pada prinsipnya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak bersifat imperatif. Hakim wajib berupaya mendamaikan Para Pihak yang berperkara. Hal itu dapat ditarik dari ketentuan Pasal 131 ayat (1) HIR, yang mengatakan:[1]
  • Jika hakim tidak dapat mendamaikan para pihak,
  • Maka hal itu mesti disebut dalam berita acara sidang.
Jadi menurut Pasal ini, kalau Hakim tidak berhasil mendamaikan, ketidakberhasilan itu mesti ditegaskan dalam berita acara sidang. Kelalaian menyebutkan hal itu dalam berita acara mengakibatkan pemeriksaan perkara:[2]
  • Mengandung cacat formil, dan
  • Berakibat pemeriksaan batal demi hukum.
Kalau begitu, upaya mendamaikan adalah bersifat imperatif. Tidak boleh diabaikan dan dilalaikan. Proses pemeriksaan yang tidak menempuh dan tidak dimulai tahap mendamaikan adalah batal menurut hukum. Dengan demikian, hal ini berarti:[3]
  1. Secara ekstrem Pemeriksaan yang Mengabaikan Tahap Mendamaikan, Tidak Sah. Bertitik tolak dari Pasal 130 ayat (1) Jo. Pasal 131 ayat (1) HIR, hakim yang mengabaikan pemeriksaan tahap mendamaikan dan langsung memasuki tahap pemeriksaan jawab-menjawab, dianggap melanggar tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan dikualifikasi undue process.
  2. Pencantuman Upaya Mendamaikan dalam Putusan, sesuai ketentuan Pasal 131 ayat (1) HIR dimaksud, upaya mendamaikan mesti dicantumkan dalam berita acara sidang. Namun tidak terbatas dalam berita acara saja, tapi juga dalam Putusan. Bunyinya paling sedikit: "hakim telah berupaya mendamaikan Para Pihak, tetapi tidak berhasil...". 
_____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, S.H., Hal.: 239.
2. Ibid. Hal.: 240.
3. Ibid. Hal.: 240-241.

Rabu, 09 September 2020

Hukum Acara Menghendaki Perdamaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com dalam label Praktik Hukum telah membahas mengenai Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai, dan pada kesempatan ini akan membahas tentang perihal Hukum Acara Menghendaki Perdamaian.

Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:[1]
"Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan memperdamaikan mereka".

Selanjutnya, ayat 2 berbunyi:[2]

"Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa". 

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal ini, sistem yang diatur hukum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, hampir sama dengan court connected arbitration system, dimana pertama-tama hakim menolong para pihak yang bersengketa untuk berdamai, kedua apabila tercapai kesepakatan damai dituangkan dalam perjanjian perdamaian, dan terhadap perjanjian perdamaian dibuatkan putusan Pengadilan yang menghukum para pihak untuk menepati perjanjian perdamaian tersebut.[3]

Jika demikian, bertitik tolak dari Pasal 130 HIR dalam Hukum Acara Perdata menunjukan sejak jauh dari sebelum sistem ADR dikenal pada era sekarang, telah dipancangkan landasan yang menuntut dan mengarahkan penyelesaian sengketa melalui Perdamaian.[4]

________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 2010, Hal.: 238.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.

Selasa, 08 September 2020

Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com dalam label Praktik Hukum ini telah membahas tentang Penyelesaian Melalui Perdamaian, dan selanjutnya pada artikel ini akan membahas mengenai Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai.

Penyelesaian perkara melalui Perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert determination, atau mini trial mengandung berbagai keuntungan substansial dan psikologis, yang terpenting di antaranya adalah:[1]
  1. Penyelesaian Bersifat Informal, dalam artian kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum, dan memakai pendekatan bercorak nurani dan moral;
  2. Yang Menyelesaikan Sengketa Para Pihak Sendiri, dalam artian penyelesaian para pihak tidak diserahkan kepada Pihak Ketiga seperti Hakim atau Arbiter;
  3. Jangka Waktu Penyelesaian Pendek, paling lama waktu penyelesaian satu atau dua minggu, atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati kedua belah Pihak;
  4. Biaya Ringan, boleh dikatakan tidak diperlukan biaya, meskipun ada sangat murah atau zero cost;
  5. Aturan Pembuktian Tidak Perlu, tidak ada pertarungan yang sengit dari para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan lawan;
  6. Proses Penyelesaian Bersifat Konfidensial, dalam artian penyelesaian perdamaian bersifat rahasia;
  7. Hubungan Para Pihak Bersifat Kooperatif, hal ini dikarenakan yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama;
  8. Komunikasi dan Fokus Penyelesaian, dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif antara Para Pihak, dalam komunikasi itu terpancar keinginan untuk memperbaiki Perselisihan dan Kesalahan masa lalu menuju hubungan yang lebih baik di masa depan;
  9. Hasil yang Dituju Sama Menang, hasil akhir yang dituju adalah sama, yaitu win win solution, dengan menjauhi sifat egoistik;
  10. Bebas Emosi dan Dendam, dalam arti meredam sikap emosional tinggi dan bergejolak ke arah suasana bebeas emosi selama berlangsung penyelesaian maupun setelah Penyelesaian dicapai. 
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10, 2020, Hal.: 236-238.

Minggu, 06 September 2020

Penyelesaian Melalui Perdamaian

(iStock)

Oleh:

Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai 7 Kritik Mendunia Terhadap Peradilan, dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Penyelesaian Melalui Perdamaian.

Penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada masa belakangan ini berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam berbagai bentuk seperti:[1]

  • Mediasi (mediation) melalui sistem kompromi di antara para pihak, sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai fasilitator;
  • Konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator, Pihak Ketiga sebagai konsiliator merumuskan perdamaian, akan tetapi keputusan tetap pada Para Pihak;
  • Expert Determination, menunjuk seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan, keputusan yang diambilnya mengikat para pihak;
  • Mini Trial, hal mana Para Pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak: a). Memberi opini kepada kedua belah pihak; b). Opini diberikan advisor setelah mengdengar permasalahan sengketa dari kedua belah Pihak; c). Opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing Pihak, serta memberi pendapat bagaimana cara penyelesaian yang harus ditempuh Para Pihak.
Demikian sepintas bentuk-bentuk cara penyelesaian sengketa yang berkembang di luar Pengadilan maupun arbitrase. Memang masih ada lagi bentuk lain seperti summary jury trial, namun apa yang dikemukakan di atas membuktikan perkembangan cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan.[2] Penulis kira hal ini cukup menarik dengan makin beragamnya penyelesaian sengketa secara perdamaian di luar litigasi Pengadilan.

_____________

Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap., S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-Sepuluh: 2010, Hal.: 236.

2. Ibid., Hal.: 236.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...