- Disamakan Kekuatannya dengan Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap, menurut Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal inipun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum.[2]
- Mempunyai Kekuatan Eksekutorial, penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat (2) HIR. Kalimat terakhir Pasal tersebut menegaskan, bahwa putusan akta perdamaian: a). Berkekuatan sebagai putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan b). Juga berkekuatan eksekutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela, maka ia dapat dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, dan atas permintaan itu, Ketua Pengadilan Negeri menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR.[3]
- Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding, hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akta perdamaian, tidak dapat dibanding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal itupun ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1038 K/Sip/1973, bahwa terhadap Putusan Perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan Banding. Dijelaskan kenapa tidak dapat dibanding, karena sesuai ketentuan Pasal 154 RBg/ 130 HIR, putusan Perdamaian atau acte van vergelijk, merupakan suatu Putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya.[4]
____________