Sabtu, 24 Oktober 2020

Mendahulukan Penyitaan Barang Bergerak

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas "Penyitaan Berdasarkan Perkiraan Nilai Objektif Dan Proporsional" pada label praktik hukum, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Mendahulukan Penyitaan Barang Bergerak.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, permintaan sita jaminan (CB) atas harta kekayaan Tergugat sangat erat kaitannya dengan sengketa dan tuntutan, yaitu: a). Pembayaran pelunasan Utang, berdasarkan perjanjian kredit; b). Tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi atau PMH. Apabila Penggugat mengajukan tuntutan atas pemenuhan pembayaran utang atau tuntutan ganti rugi, sangat beralasan meminta penyitaan terhadap harta kekayaan Tergugat. Permintaan sita dapat diajukan terhadap barang tertentu apabila barang itu telah diikat sebagai agunan atau terhadap sebagian atau seluruh harta kekayaan Tergugat berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, apabila tuntutan tidak diikat dengan agunan barang tertentu.[1]

Permintaan maupun pelaksanaan sita jaminan dalam kasus yang demikian, mesti tunduk kepada prinsip yang diatur Pasal 227 ayat (1) HIR dan 720 Rv. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal itu, permintaan dan pengabulan maupun pelaksanaan sita jaminan atas tuntutan pembayaran utang atau ganti rugi, tunduk pada prinsip:[2]
  • Yang pertama-tama disita ialah barang bergerak (roerende goederen, moveable goods), kalau nilai harga barang bergerak yang disita diperkirakan sudah cukup menutupi pelunasan pembayaran tuntutan, penyitaan harus dihentikan sampai di situ;
  • Apabila diperkirakan penyitaan terhadap barang bergerak belum mencukupi jumlah tuntutan, baru boleh dilakukan penyitaan terhadap barang tidak bergerak (onroerende goederen, unmoveable goods).
Memperhatikan tata urutan yang digariskan Pasal 227 ayat (1) HIR itu, penyitaan atas harta kekayaan Tergugat berdasarkan tuntutan pembayaran utang atau tuntutan ganti rugi, tidak boleh langsung diletakkan kepada barang tidak bergerak. Urutan prioritas pertama, diletakkan pada barang bergerak.[3]

Kebolehan melanjutkan sita terhadap barang tidak bergerak, apabila nilai harga barang bergerak tidak mencukupi untuk melunasi jumlah tuntutan, dengan pengecualian yang dijelaskan di bawah ini:[4]
  1. Tidak ada dijumpai barang bergerak. Penggugat tidak mengetahui dan menjumpai harta kekayaan Tergugat yang berbentuk barang bergerak. Sehubungan dengan itu, permintaan sita langsung ditujukan Penggugat terhadap barang tidak bergerak. Kalau benar-benar tidak ada barang bergerak, permintaan sita dapat dikabulkan langsung terhadap barang tidak bergerak.
  2. Perjanjian Kredit Dijamin Agunan Tertentu. Pengecualian lain, apabila Perjanjian Kredit telah menentukan sendiri barang jaminan sebagai agunan utang berupa barang tidak bergerak, penyitaan dapat langsung diletakkan terhadapnya, meskipun terbukti Tergugat mempunyai barang bergerak. Dalam kasus demikian, prinsip spesialitas dan separatis mengesampingkan azas mendahulukan penyitaan terhadap barang bergerak yang digariskan Pasal 227 ayat (1) HIR dan Pasal 720 Rv.
___________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 303.
2. Ibid. Hal.: 304.
3. Ibid. Hal.: 304.
4. Ibid. Hal.: 304.

Jumat, 23 Oktober 2020

Mengenal Thomson Snell & Passmore, Firma Hukum Tertua

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label Tokoh Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas "Mr. Johannes van Den Brand, Advokat Pembela Kuli Zaman Penjajahan Belanda", dan pada kesempatan ini kita akan ke tanah Inggris untuk berkenalan dengan Thomson Snell & Passmore, merupakan firma hukum tertua yang ada dan masih beroperasi.

Menurut catatan dari "Guiness World Record", firma hukum tertua yang sampai saat ini beroperasi adalah Thomson Snell & Passmore, yang berlokasi di Kent, Inggris. Law Firm ini telah beroperasi sejak tahun 1570 atau tepatnya telah berumur 450 tahun! Firma hukum ini didirikan oleh Pendeta Nicholas Hooper. Law firm Pickering Kenyon adalah pemegang rekor sebelumnya dalam kategori ini karena beroperasi dari tahun 1561, tetapi tidak ada lagi pada tahun 1995 setelah 434 tahun.[1]

Mengenal Thomson Snell & Passmore

Thomson Snell & Passmore menonjol dalam kancah hukum Inggris karena garis keturunannya yang luar biasa. Ada garis perkembangan yang jelas --mitra yang mewariskan tradisi, budaya dan keahlian-- dari satu generasi ke generasi lainnya sejak akhir abad ke-16. Dan dalam perjalanan waktu itu konteks ekonomi di mana para pengacara ini bekerja telah berubah tidak hanya sekali tetapi tiga kali setelah revolusi pertanian, industri, dan digital.[2]

Kebetulan, tiga 'mitra nama' --Thomson, Snell & Passmore--aktif di paruh kedua abad kesembilan belas dan paruh pertama abad kedua puluh. Jeremy Passmore, putra John Passmore, adalah anggota keluarga terakhir yang berlatih setelah pensiun pada 2017. Namun, mereka bergabung bersama perusahaan yang silsilahnya jauh ke dalam tradisi hukum Kent dan London. Ini membentuk karakter dan nilai-nilai perusahaan dan menjelaskan posisinya yang unik dalam sejarah hukum negara ini.[3]

Jadi, umur panjang perusahaan adalah penghargaan atas kemantapan dan komitmennya yang dalam guna bekerja demi kepentingan terbaik kliennya dan kebaikan komunitas lokal. Kisah dua ratus tahun pertama sebenarnya tentang dua keluarga--Hoopers dan kemudian Scoones dan ikatan yang mereka jalin. Setelah itu, ada kisah tentang bagaimana perusahaan modern muncul dari akar kuno tersebut.[4]

Sejarah Pendirian Law Firm

Pada tahun 1570, seorang kurator dari Gereja Paroki Tonbridge dengan nama Nicholas Hooper mengumumkan dirinya sebagai "ahli menulis dan konseptor dokumen". Dia menambah gaji gerejawi dengan menyusun surat wasiat dan obligasi properti, dan mengambil keuntungan dari perluasan aktivitas pedagang di bawah pemerintahan Elizabeth I dari Inggris. Putra Hooper, John, mengambil alih praktik tersebut pada tahun 1618, dan firma tersebut tetap berada di dalam keluarga sampai keturunan John, George Hooper, meninggal pada tahun 1759.[5]

Setelah kematian George Hooper, firma tersebut diakuisisi oleh Thomas Scoons dari Tonbridge. Dia memberikannya kepada putranya, William Scoons, yang diikuti oleh putranya sendiri William Junior dan John Scoons. Pada tahun 1850-an, keluarga Scoons berpulang untuk selamanya, meninggalkan perusahaan kepada partnernya, Sydney Alleyne. Perusahaan itu dikenal sebagai Alleyne & Walker selama era Victoria. Pada tahun 1890 diambil alih oleh John Thomas Freer, menjadi Alleyne Morgan & Freer. Pada tahun 1939, firma itu dibeli oleh firma lain, Templar & Passmore. Perusahaan memperoleh namanya pada tahun 1968 sampai saat iniFrederick Alfred Snell, putra pendiri salah satu firma yang bergabung untuk membentuk firma saat ini, memegang rekor sebagai pengacara tertua di Inggris pada saat kematiannya pada usia 96 tahun pada 1954.[6]

Area Praktik

Pada 2017, Thomson Snell & Passmore beroperasi di bidang wasiat, perwalian, dan perkebunan, hukum properti, dan hukum komersial, seperti yang telah mereka lakukan sejak 1570. Selain itu, mereka menawarkan berbagai macam layanan modern baik untuk individu maupun bisnis.[7]

Dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah memperluas fokus mereka pada klien komersial, dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 25,5% dari pada paruh pertama tahun 2016. Selama periode waktu yang sama, praktik klien swasta perusahaan tumbuh sebesar 7%. Pertumbuhan berlanjut di paruh akhir 2016, meskipun ada kekhawatiran tentang efek Brexit terhadap ekonomi Inggris.[8] 

Dapat penulis tambahkan, bahwa selama firma hukum ini beroperasi, nampaknya lebih banyak menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti wasiat, hukum properti dan hal-hal yang berhubungan dengan perihal perusahaan. Bagaimana rekan advokat sekalian, sudah ada gambaran agar firma hukum anda bertahan hingga ratusan tahun?

_________________
Referensi:

1. "Oldest law firm in operation", guinessworldrecords.com, Diakses pada tanggal 22 Oktober 2020, https://www.guinnessworldrecords.com/world-records/399783-oldest-law-firm-in-operation
2. "Thomson Snell & Passmore: a short history for a firm long on heritage", ts-p.co.uk., Diakses pada tanggal 22 Oktober 2020, https://www.ts-p.co.uk/about-us/history
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Thomson Snell & Passmore", en.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 Oktober 2020, https://en.wikipedia.org/wiki/Thomson_Snell_%26_Passmore
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Kamis, 22 Oktober 2020

Penyitaan Berdasarkan Perkiraan Nilai Objektif Dan Proporsional

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Menyita Objek Milik Pihak Ketiga", dan pada kesempatan berikut ini akan dibahas Penyitaan Berdasarkan Perkiraan Nilai Objektif dan Proporsional dengan Jumlah Tuntutan.

Prinsip lain yang mesti diperhatikan, mengenai jumlah nilai barang yang disita. Sedapat mungkin tidak melebihi jumlah tuntutan Penggugat. Penyitaan yang ekstrem melampaui jumlah gugatan, dianggap sebagai tindakan undue process atau tidak sesuai dengan hukum acara dan dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang.[1]

Untuk menghindari tindakan penyitaan yang berlebihan, perlu diperhatikan pedoman-pedoman sebagai berikut:[2] 
  1. Dalam sengketa milik, Penyitaan terbatas pada Barang yang disengketakan. Jika perkara yang terjadi berkenaan dengan sengketa milik mengenai barang tertentu, permintaan sita yang dapat diajukan Penggugat hanya terbatas pada yang disengketakan, tidak melebihi barang itu;
  2. Dalam sengketa utang yang dijamin dengan barang tertentu. Apabila tuntutan berupa utang yang dikaitkan dengan perjanjian jaminan barang tertentu berupa tanah dalam bentuk hak tanggungan atau pabrik dalam bentuk fidusia maupun dalam bentuk perjanjian jaminan biasa, maka barang yang boleh disita hanya terbatas pada barang jaminan, sesuai dengan prinsip yang melekat pada perjanjian jaminan atau secured transaction, barang yang dijadikan dan diikat sebagai jaminan, memiliki sifat separatis, dalam arti barang itu secara khusus telah dipisahkan dari yang lain, dan semata-mata diperuntukan bagi kreditor yang bersangkutan;
  3. Sita dilakukan terhadap semua Harta Kekayaan tergugat sampai terpenuhi jumlah tuntutan. Kalau yang disengketakan berkenaan dengan tuntutan pembayaran utang yang tidak dijamin dengan barang tertentu (unsecured transaction), permintaan dan peletakkan sita dapat diajukan dan dilakukan terhadap semua harta kekayaan tergugat berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, sampai penyitaan diperkirakan mencukupi memenuhi jumlah tuntutan. Yang menjadi patokan atas tindakan penyitaan tersebut, tidak boleh melampaui jumlah tuntutan;
  4. Apabila terjadi pelampauan segera dikeluarkan Penetapan Pengangkatan Sita. Penyitaan yang melampaui batas dari jumlah tuntutan, sering terjadi dalam sengketa utang yang tidak dijamin dengan barang agunan tertentu maupun dalam tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Dalam kasus yang seperti ini, Hakim kurang perduli memperkirakan jumlah barang yang disita dengan besarnya tuntutan. Hakim cenderung mengabulkan permohonan sita atas semua barang yang diajukan Penggugat, meskipun harga seluruh barang itu 10 atau 20 kali nilai tuntutan. Tindakan seperti itu sangat ceroboh dan tidak dibenarkan hukum, karena tindakan penyitaan yang jauh melampaui nilai tuntutan, bertentangan dengan tujuan sita jaminan, yaitu agar tuntutan Penggugat dapat dipenuhi kelak apabila Putusan telah berkekuatan hukum tetap. Apabila ternyata penyitaan terlanjur melampaui jumlah tuntutan, Hakim harus segera mengeluarkan penetapan pengangkatan sita atas barang selebihnya. 
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 300.
2. Ibid. Hal.: 301-303.

Rabu, 21 Oktober 2020

Larangan Menyita Objek Milik Pihak Ketiga

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengabulan Sita Berdasarkan Pertimbangan Objektif", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Larangan Menyita Objek Milik Pihak Ketiga.

Proses penyelesaian suatu perkara, tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 KUHPerdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara. Hanya mengikat kepada para pihak Penggugat dan Tergugat. Tidak boleh merugikan pihak ketiga atau pihak lain yang tidak terlibat sebagai pihak dalam perkara yang bersangkutan.[1]

Sehubungan dengan itu, pengabulan dan pelaksanaan sita dalam suatu perkara: a). Hanya terbatas terhadap harta kekayaan Tergugat; b). Tidak boleh melampaui terhadap harta kekayaan pihak ketiga. Adapun kewajiban hakim untuk meneliti apakah harta kekayaan yang diajukan Penggugat untuk disita, benar-benar milik Tergugat. Penelitian tentang itu dapat dilakukan melalui beberapa jalur:[2]
  1. Melalui pemeriksaan insidentil atau pemeriksaan pokok perkara. Dalam pemeriksaan itu, hakim dapat menanyakan baik kepada Penggugat dan Tergugat atas objek barang-barang yang hendak disita;
  2. Memerintahkan juru sita meneliti di Kantor BPN, apakah tanah yang hendak disita terdaftar atas nama Tergugat. 
Apabila ternyata dari hasil penelitian barang yang diminta untuk disita, bukan milik Tergugat, barang itu dikeluarkan dari objek sita.

Dalam hal objek yang dilakukan sita kemudian diduga milik Pihak Ketiga, maka upaya hukum yang dapat dilakukan secara perdata adalah:[3]
  1. Derden Verzet (Perlawanan Pihak Ketiga), sekiranya barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui upaya derden verzet. Meskipun sita telah diletakkan di atasnya, tidak ada muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alasan untuk menduga, harta tersebut milik Tergugat, bukan milik Pihak Ketiga;
  2. Segera Terbitkan Penetapan Pengangkatan Sita atas Barang Milik Pihak Ketiga, apabila sita telah diletakkan atas harta kekayaan yang ditunjuk Penggugat, kemudian hal itu dilawan oleh Tergugat berdasarkan alasan harta itu milik pihak ketiga, dann dari hasil penelitian Pengadilan memperoleh fakta, harta itu benar milik Pihak Ketiga, tindakan yang mesti dilakukan hakim adalah segera menerbitkan penetapan yang berisi perintah pengangkatan sita terhadap barang dimaksud dan jika barang tersebut berupa tanah atau kapal, yang pengumuman sitanya didaftarkan di kantor pendaftaran tanah atau kapal, maka pengangkatan sita tersebut segera diberitahukan kepada pejabat yang berwenang agar pengumuman sita dicabut, dan objek sitaan dipulihkan ke dalam keadaan tidak berada si bawah penyitaan.
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 299.
2. Ibid. Hal.: 299.
3. Ibid. Hal.: 299-300.

Selasa, 20 Oktober 2020

Mr. Johannes van Den Brand, Advokat Pembela Kuli Zaman Penjajahan Belanda

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label 'tokoh hukum', platform Hukumindo.com telah membahas "Mr. R.M. Gondowinoto: Sarjana Hukum Pribumi Pertama", dan pada kesempatan ini akan dibahas Mr. J. van Den Brand, Advokat Perburuhan Zaman Penjajahan Belanda.

Kondisi Sosiologis & Dasar Hukum Advokat

Di zaman penjajahan Belanda, tanggal 1 Mei 1843 disahkan Inlandsch Reglemen (I.R.) sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra, sedangkan untuk golongan Eropa berlaku hukum acara pidana Reglement op de Rechtsvordering. Pengadilan sehari-hari untuk orang-orang Bumiputra adalah Landraad dan pengadilan sehari-hari untuk golongan Eropa adalah Raad van Justitie.[1]

Saat itu, kebanyakan hakim dan semua notaris, serta para advokat adalah orang Belanda sampai pertengahan tahun 1920-an. Bagi orang Indonesia, cukup disediakan satu kitab undang-undang baik untuk perkara perdata dan pidana, yang menetapkan acara-acara pengadilan pangreh praja maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.[2] Para advokat pada waktu itu mayoritas adalah orang-orang Belanda.

Pada tahun 1924 sebuah fakultas hukum didirikan di Batavia, Rechtshogeschool. Dengan tersedianya pendidikan hukum ini, maka kesempatan bagi orang Indonesia untuk menjadi Advokat semakin terbuka. Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para Advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai Advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke Indonesia.[3]

Adapun berbagai pengaturan profesi Advokat pada masa penjajahan Belanda adalah sebagaimana berikut:[4]
  1. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan R.O., pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum;
  2. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang Advokat atau procureur;
  3. Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 tentang Bepalingen Bedreffende Het Kostuum Der Regterlijke Ambtenaren En Dat Der Advocaten, Procureur En Deurwaarders, yaitu Peraturan Mengenai Pakaian Pegawai Kehakiman Dan Para Advokat, Jaksa dan Juru Sita;
  4. Staatsblad Tahun 1922 Nomor 522 tentang Vertegenwoordiging Van Den Lande In Rechten, yaitu tentang mengenai Mewakili Negara Dalam Hukum;
  5. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 Jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan;
  6. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan;
  7. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”;
  8. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya;
  9. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Penderitaan Kuli Perkebunan Zaman Penjajahan Belanda

Istilah ”kuli” identik dengan pekerja kasar zaman kolonial. Panggilan ”kuli” juga merendahkan derajat bagi mereka yang menyandangnya. Kenyataannya kehidupan para kuli memang kerap ditindas oleh tuan kebun yang mengontrak mereka. Penggunaan istilah tersebut berkembang seiring besarnya kebutuhan perkebunan besar atas tenaga kerja pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[5]

Hampir tiga dasawarsa silam, Profesor emeritus Jan Breman, seorang ahli sosiologi dari University of Amsterdam, mengungkap kembali penderitaan para kuli Sumatra Timur. Dia mengungkap penderitaan kuli sejak penandatanganan kontrak sampai kehidupannya di perkebunan. Breeman berkisah, selama berlayar, kuli tidak dianggap sebagai penumpang kapal, melainkan sebagai barang atau ternak. Para kuli itu diangkut dalam gerbong tertutup, bahkan ruangan mereka dipenuhi sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, dan muntahan mabuk laut.[6]

Kuli perkebunan kerap kena tipu tuan kebunnya soal upah. Breman mengungkap bahwa upah yang dijanjikan dalam kontrak tidak sesuai dengan daya beli di Sumatra Timur. Kuli tidak diberi kebebasan membelanjakan upahnya yang sudah rendah itu. Banyak tuan kebun menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon. Lebih lagi, pernah terjadi seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka di atasnya, dan membayarkannya kepada para kuli Cina. Tentu saja, mata uang kertas bon dan kepingan kaleng biskuit tadi hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan.[7]

Kuli menjadi sebuah ironi di negerinya sendiri. Breeman berkesimpulan bahwa tindak penyiksaan terhadap para kuli tadi bukanlah suatu kasus yang kebetulan terjadi, melainkan bersifat mengakar lantaran didukung antara tuan kebun dan pemerintah kolonial.[8]

Mr. J. van Den Brand Advokat Pembela Kuli

Pada zaman penjajahan Belanda, ada advokat Belanda yang justru membela rakyat jelata pribumi yang notabene terjajah, namanya M. Johannes van Den Brand. Ia lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand memilih mengabdi di Hindia-Belanda (sekarang Indonesia). Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat.[9]

Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J. Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007). Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.[10]

Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia-Belanda menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.[11]

Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den Brand dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap Den Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.[12]

Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.[13]

Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.[14]
__________________
Referensi:

1. "Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia", lbhsembilandelapan.wordpress.com, Diakses tanggal 20 Oktober 2020, https://lbhsembilandelapan.wordpress.com/2015/08/12/sejarah-bantuan-hukum-di-indonesia/
2. Ibid.
3. "SEJARAH ADVOKAT INDONESIA", abpnnews.id., 11/08/2019 Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, https://abpnews.id/2019/08/11/sejarah-advokat-indonesia/
4. Ibid.
5. "Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda", nationalgeographic.grid.id., Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 12 Maret 2019, Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, https://nationalgeographic.grid.id/read/131662370/kisah-tak-terperi-para-kuli-hindia-belanda?page=all
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. "Advokat Van Den Brand", irawan-santoso.blogspot.com., Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, http://irawan-santoso.blogspot.com/2008/05/van-den-brand.html
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.

Senin, 19 Oktober 2020

Pengabulan Sita Berdasarkan Pertimbangan Objektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih pada label Praktik Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Permohonan Sita Dapat Diajukan Selama Pemeriksaan Sidang", dan selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengabulan Sita Berdasarkan Pertimbangan Objektif.

Seperti telah dijelaskan, penyitaan merupakan tindakan eksepsional yang memberi kewenangan bagi Pengadilan atau Hakim untuk menghukum dan merampas harta kekayaan Tergugat sebelum putusan mengenai pokok perkara diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan itu, agar penyitaan tidak bercorak sewenang-wenang, perlu ditegakkan prinsip yaitu pengabulan sita harus berdasarkan pertimbangan yang objektif. Prinsip ini berkaitan dengan asas permohonan sita yang harus berdasarkan alasan yang cukup dan objektif. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip tersebut, dalam penetapan pengabulan sita, haruslah jelas dan terang tercantum pertimbangan yang rasional dan objektif.[1]

Argumentasi mengenai alasan sita, dalam penetapan sita terdapat pertimbangan mengenai alasan yang diajukan Penggugat, yaitu: a). Kaitan antara sita dengan dalil gugatan sangat erat sedemikian rupa, sehingga penyitaan benar-benar urgent (mendesak), sebab kalau sita tidak diletakkan di atas harta kekayaan Tergugat, kepentingan Penggugat tidak terlindungi; b). Penggugat dapat menunjukan berdasarkan fakta atau paling tidak berupa indikasi adanya dugaan atau persangkaan bahwa Tergugat berdaya upaya untuk menggelapkan atau menghilangkan harta kekayaannya selama proses pemeriksaan berlangsung, guna menghindari pemenuhan gugatan.[2]

Cara memperoleh fakta yang lebih objektif, supaya pertimbangan penetapan pengabulan sita dapat diutarakan berdasarkan fakta atau indikasi yang lebih objektif dan rasional, Pengadilan dapat menempuh cara berikut:[3]
  1. Melalui proses pemeriksaan Insidentil, dalam artian apabila hakim bermaksud hendak mengabulkan atau menolak sita sebelum proses pemeriksaan pokok perkara berlangsung, maka: a). Tidak layak pengabulan atau penolakan itu dilakukan dari belakang meja berdasarkan analisis yang bersumber dari gugatan atau dokumen yang disampaikan Penggugat kepada Pengadilan; b). Yang tepat dan layak, Pengabulan atau penolakan sita dilakukan melalui proses pemeriksaan insidentil. Melalui proses insidentil, hakim mencoba menggali dan menemukan hal-hal yang bermakna sejauh mana urgensi penyitaan itu.
  2. Melalui proses pemeriksaan Pokok Perkara, pengabulan atau penolakkan sita yang paling ideal, dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan pokok perkara. Melalui cara ini, hakim menggariskan kebijaksanaan agar permasalahan permintaan sita tidak diselesaikan sebelum pemeriksaan pokok perkara, tetapi bersama-sama dengan pemeriksaan pokok perkara. Jadi, untuk menghindari kekeliruan dalam pengabulan sita, cara yang dianggap paling tepat adalah melalui proses pemeriksaan pokok perkara. Melalui cara ini akan diperoleh fakta dan informasi lebih lengkap dan objektif yang bersumber dari kedua belah pihak yang berperkara.
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 297.
2. Ibid. Hal.: 297.
3. Ibid. Hal.: 298-299.

Sabtu, 17 Oktober 2020

Permohonan Sita Dapat Diajukan Selama Pemeriksaan Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada platform sebelumnya, Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penggugat Wajib Menunjukan Barang Objek Sita", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Permohonan Sita Dapat Diajukan Selama Pemeriksaan Sidang.

Sebagai pedoman, dapat diikuti penegasan Putusan MA Nomor: 371 K/Pdt/1984 yang mengatakan, meskipun sita jaminan (CB) tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan (CB) dapat dilakukan permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti ini tidak bertentangan ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR, dapat dikemukakan acuan penerapan pengajuan permintaan sita.[1] Diterangkan sebagai berikut.

Pertama, selama belum dijatuhkan putusan pada tingkat Peradilan Pertama. Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama di PN, Penggugat dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas waktu ini, secara tersurat disebut dalam Pasal 127 ayat (1) HIR yang mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat (debitur) dapat diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan seperti telah dijelaskan terdahulu, permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan.[2]

Kedua, dapat diajukan selama Putusan belum dieksekusi. Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi: selama putusan yang mengalahkannya belum dijalankan eksekusinya. Dengan demikian: baik selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum; selama putusan belum dieksekusi, Penggugat dapat mengajukan permintaan sita atas harta kekayaan Tergugat. Memperhatikan ketentuan ini, permintaan sita tidak hanya dapat diajukan selama pemeriksaan perkara pada tingkat pertama PN, tetapi juga dapat diajukan dalam semua tingkat pemeriksaan: dapat diajukan Penggugat selama proses pemeriksaan di PN; dapat juga diajukan selama berlangsung pemeriksaan tingkat banding di PT; atau selama proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat Kasasi di MA.[3]

Ketiga, instansi yang berwenang memerintahkan sita. Mengenai kasus permohonan sita yang diajukan setelah proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat Banding atau Kasasi, terdapat perbedaan pendapat. Pedapat pertama, Mutlak menjadi kewenangan PN. menurut pendapat ini hanya PN, instansi yang berwenang memerintahkan dan melaksanakan sita, Pendapat ini bertitik tolak dari ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR yang berbunyi: Ketua PN karena jabatannya memerintahkan Penyitaan; Pelaksanaan perintah penyitaan dijalankan oleh Panitera atau Juru Sita. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi berwenang Memerintahkan Sita, menurut Subekti, permohonan sita (CB) dapat juga diajukan kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus pada tingkat banding. Pendapat ini didasarkan pada bunyi Pasal 227 ayat (1) HIR yang mengatakan sita dapat diajukan selama perkara tersebut belum memperolah putusan yang berkekuatan hukum tetap.[4]
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 292.
2. Ibid. Hal.: 292.
3. Ibid. Hal.: 292-293.
4. Ibid. Hal.: 293-297.


Jumat, 16 Oktober 2020

Penggugat Wajib Menunjukkan Barang Objek Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam topik mengenai Sita, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Dua Sisi Alasan Permohonan Sita" dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Penggugat Wajib Menunjukkan Barang Objek Sita. 

Hukum membebankan kewajiban kepada Penggugat untuk menyebut secara jelas dan satu per satu barang objek yang hendak disita.[1] Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa:
  1. Tidak Dibenarkan Menyebut Secara Umum, permintaan sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan Tergugat, dianggap tidak memenuhi syarat. Meskipun Pasal 1131 KUHPerddata menegaskan, segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya; tidak berarti permohonan sita semata-mata dilakukan secara umum tanpa menyebut satu per satu barang apa yang hendak disita. Permintaan sita yang demikian tidak terang, sebab tidak diketahui persis apa saja harta kekayaan Tergugat, sehingga tidak jelas barang apa dan mana yang hendak disita.
  2. Menyebut Rinci Identitas yang Melekat pada Barang, selain dirinci dan disebut satu per satu barang milik Tergugat yang hendak disita, rincian itu harus dibarengi dengan penyebutan identitas barang secara lengkap, meliputi: a). Jenis atau bentuk barang; b). Letak dan batas-batasnya serta ukurannya dengan ketentuan, jika tanah yang bersertifikat, cukup menyebut nomor sertifikat hak yang tercantum di dalamnya; c). Nama Pemiliknya; d). Taksiran harganya; e). Jika mengenai rekening, disebut nomor rekeningnya, pemiliknya, dan bank tempat rekening berada maupun jumlahnya; f). Jika saham, disebut nama pemegangnya, jumlahnya, dan tempatnya terdaftar. 
Intinya, permintaan sita yang tidak menyebut secara jelas identitasnya, dianggap merupakan permintaan yang kabur objeknya, sehingga tidak mungkin diletakkan sita. Terhadap permintaan yang seperti itu, cukup dasar alasan untuk menolaknya.[2]

Hakim atau Pengadilan tidak dibebani kewajiban untuk mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena itu semata-mata menjadi beban yang dipikulkan hukum kepada Penggugat. Oleh karena itu, tidak ada dasar alasan bagi Penggugat meminta kepada hakim agar mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena penyitaan itu adalah untuk kepentingan Penggugat maka dia yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.[3]

Jika dibandingkan dengan praktik, dan sepengalaman penulis sebagai advokat, dalam menyebutkan objek sita memang haruslah rinci. Sebagai contoh, dalam hal objek sitanya adalah sebidang tanah, bahkan ditambahkan batas-batasnya Utara, Selatan, Timur dan Barat, sehingga lebih lengkap.
__________________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 291.
2. Ibid.
3. Ibid.

Sritex Declared Bankrupt By The Semarang Commercial Court

( Getty Images ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " An Indonesian Citizen was Arrested b...