Oleh:
Tim Hukumindo
Pada label tokoh hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas "Mengenal Thomson Snell & Passmore, Firma Hukum Tertua", dan masih dalam label yang sama, pada kesempatan ini akan membahas mengenai Mr. Assaat, Advokat yang pernah menyandang pelaksana jabatan Presiden Republik Indonesia.
Sidang pembaca yang budiman tentu mengenal Abraham Lincoln, atau mungkin Nelson Mandela? Masing-masing berasal dari negeri Paman Sam (Amerika Serikat) dan Afrika Selatan. Keduanya pernah menjadi Presiden di negaranya masing-masing. Persamaannya adalah keduanya sama-sama pernah menjadi Presiden, dan lebih spesifik lagi, keduanya adalah mempunyai latar belakang profesi di bidang hukum, yaitu Advokat. Bagaimana dengan Indonesia, sidang pembaca tidak perlu berkecil hati, kita mempunyai Mr. Assaat, yang pernah menyandang sebagai pelaksana jabatan Presiden R.I. dan juga mempunyai latar belakang profesi yang sama sebagai Advokat.
Latar Belakang Sejarah
Memahami posisi Mr. Assaat sebagai pelaksana jabatan Presiden R.I., mengharuskan kita untuk membaca mengenai Konferensi Meja Bundar. Bahkan mungkin perundingan-perundingan lainnya setelah Belanda melancarkan Agresi militer untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.[1]
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[2]
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibu kota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan Federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.[3]
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:[4]
"1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
3.Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949."
Terjadi perdebatan di Parlemen Belanda atas hasil kesepakatan Konperensi Meja Bundar, akan tetapi Majelis Tinggi dan Rendah negeri Belanda meratifikasinya pada tanggal 21 Desember oleh mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik khususnya mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua Barat yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan dipindahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.[5] Berikut lambang Republik Indonesia Serikat:
(id.wikipedia.org)
Adapun dampaknya adalah tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.[6] Alhasil, dampaknya kepada Indonesia waktu itu adalah yang diakui berdaulat oleh Belanda adalah Republik Indonesia Serikat (R.I.S).
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah: Kapan Mr. Assaat menyandang pelaksana jabatan Presiden Republik Indonesia? Dan apa arti pentingnya? Jabatan ini disandangnya yaitu setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 5 Agustus 1950.[7] Arti pentinya sejarah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian dan Republik Indonesia merupakan salah satu di antaranya. Dan karena Soekarno dan Hatta telah ditetapkan sebagai Presiden dan Perdana Menteri RIS, berarti telah terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia. Oleh sebab itu, Assaat menjabat sebagai Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia. Peranan Assaat sangat penting. Kalau tidak ada R.I. saat itu berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia, yakni bahwa R.I. pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun dengan mengakui keberadaan R.I. dalam R.I.S. yang hanya beberapa bulan, maka sejarah R.I. sejak tahun 1945 hingga sekarang tidak pernah terputus. Sebelum R.I.S. melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950, Assaat merupakan pemangku jabatan presiden sekitar sembilan bulan. Oleh karena itu, pengingkaran terhadap eksistensi Assaat sebagai Presiden R.I. memiliki konsekuensi historis maupun yuridis yang sangat besar.[8]
Kelahiran, Pendidikan & Kiprah Dalam Dunia Pergerakan
Laki-laki kelahiran Banuhampu, Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tanggal 18 September 1904 ini terlahir sebagai remaja yag sangat beruntung di zamannya. Gelar adatnya saja Datuk Mudo. Setidaknya, ia mencicipi sekolah elit pribumi sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dia mencicipi SD elit pribumi HIS, SMP elit pribumi MULO, sebentar di STOVIA, lalu di AMS.[9]
Setelahnya, dia belajar juga di sekolah hukum Recht Hoge School (RHS). Sejak masih sekolah di Betawi, Assaat ikut serta dalam Jong Sumatranen Bond, organisasi pemuda bagian pergerakan nasional. Ikut serta pula dia dalam kepanitiaan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta.[10]
Setelah lulus dari Leiden (1939), selain pernah jadi advokat di Jakarta (1940), menurut catatan Orang-orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa (1986:280), dia pernah bekerja di NV Centrale Hulp Spaar en Hypotheekbank di Jakarta. Waktu zaman Jepang, dia menjadi pegawai di Somubu Indonesia Bunshitu. Assaat pernah juga menjadi camat Gambir dan Wedana Mangga Besar kala zaman Jepang.[11]
Terkait pergerakan nasional, dia pernah menjadi bendahara Pemuda Indonesia (1939) dan bendahara pada Indonesia Muda (1941-1942). Menurut catatan Sutan Mohamad Rasyid Rasjid, dia pernah aktif mendukung Mr. Sartono di Partai Indonesia (Partindo) ketika masih kuliah bersama Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin.[12]
Menurut catatan Hatta dalam "Mohammad Hatta Memoir", awal zaman Jepang, bersama kawan-kawannya yang bergelar Mr, Assaat menawarkan diri bekerja kepada Hatta. Namun, akhirnya, bersama Mr. Wilopo, Assaat bekerja di bawah seorang Jepang bernama Harada.[13]
Pada zaman Indonesia Merdeka dia termasuk yang ikut Republik. Dia aktif dalam organisasi yang mirip parlemen bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), di mana Assaat jadi ketuanya sejak awal 1947. Di KNIP, Assaat adalah wakil dari Partai Sosialis. Ketika ibukota Republik Indonesia diduduki militer Belanda, pada 19 Desember 1948, Assaat termasuk salah satu yang ditangkap.[14]
Pada 22 Desember 1948, bersama Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Gafar Pringgodigdo, dan Komodor Suryadi Suryadarma—sebagai tawanan militer Belanda—Assaat dibawa keluar ibukota yang telah diduduki. “Masing-masing boleh membawa pakaian dalam koper. Kira-kira pukul 08.00 kami dibawa dengan jeep ke Maguwo. Di Maguwo kami diminta naik ke dalam sebuah Bomber (pesawat pembom),” aku Hatta.[15]
Assaat memprediksi mereka semua akan dibawa ke Saparua, seperti yang sebelumnya dialami Sam Ratulangi. Rupanya, pesawat itu mendarat di lapangan terbang tertua di Indonesia, Cililitan (kini Bandara Halim Perdanakusumah). Mereka singgah sebentar dan semuanya buang air. Sebelum terbang menuju Bangka, pesawat tiba di lapangan terbang Pangkal Pinang (kini Depati Amir). Hatta bersama Gafar, Assaat, dan Suryadarma dibawa ke Menumbing. Setelah Belanda ditekan dunia internasional, pada 1949 Republik Indonesia pun dipulihkan. Pemimpin-pemimpin republik, termasuk Assaat, dibebaskan.[16]
Assaat kembali ke Yogyakarta dan setelah 27 Desember 1949 dia jadi pejabat Presiden RI untuk beberapa bulan. Ketika hendak mengisi jabatan pejabat Presiden, Assaat ditanyai Subakir, seperti dicatat dalam Skets Parlementer sebagai berikut:[17]
"Nama Tuan disebut-sebut sebagai salah satu yang mungkin akan menjadi acting Presiden Republik Indonesia. Sampai dimana betulnya ini?”
Sambil tertawa, Assaat menjawab, “Ah buat saya itu terlalu muda.” Umur Assaat kala itu mendekati 46 tahun.
Subakir lalu bikin Assaat ikut tertawa dengan bilang, “Datuk Mudo yang terlalu muda.”
Sebelum ibukota R.I. kembali lagi ke Jakarta, demi mengenang Yogyakarta sebagai kota perjuangan, Assaat memprakarsai pembangunan Masjid Syuhada. Selama menjadi acting Presiden, Assaat adalah penandatangan statuta pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM). Assaat, pejabat presiden yang tercatat itu, tutup usia pada 16 Juni 1976.[18]
Mr. Assaat Dan Profesi Advokat
Pada saat zaman Republik Indonesia baru berdiri, tak banyak kaum terpelajar. Seorang advokat seharusnya tajir melintir dan ke mana-mana pakai mobil. Namun, itu tidak terjadi di awal tahun 1950 di Yogyakarta pada diri Assaat. Padahal, dia punya ijazah Meester in Rechten (Mr) dari tahun 1939 dari Universitas Leiden Belanda, meski beberapa tahun pertama studi hukumnya dijalani di Recht Hoge School (RHS) Batavia.[19]
Sejak tahun 1940, Assaat sudah jadi Advokat di Jakarta. Ia adalah Advokat yang hidup sederhana. “Dari rumah ke kantornya sehari-hari kadang-kadang berjalan kaki dan bersepeda,” tulis Marthias Dusky Pandoe, dalam buku "Jernih Melihat Cermat Mencatat". Biasanya dia melintasi daerah Malioboro, Yogyakarta. Di hari-hari terakhir Yogyakarta menjadi ibukota R.I. Mr. Assaat bukanlah orang sembarangan pada waktu itu.[20]
Belakangan, Assaat bernasib sama dengan orang bergelar Meester in Rechten (Mr.) lain yang pernah jadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Tak banyak orang Indonesia tahu bahwa Mr. Assaat pernah menjadi pejabat Presiden ketika Sukarno harus mengampu kepemimpinan Republik Indonesia Serikat.[21]
Meskipun berprofesi sebagai Advokat, Mr. Assaat jauh dari gaya hidup glamor layaknya celebrity lawyer seperti saat ini. Terutama bagi orang-orang yang mengenalnya, Mr. Assaat adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Penjabat Presiden, ia tidak mau dipanggil 'Paduka Yang Mulia', lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden yang menjadi agak canggung pada waktu itu. Mr. Assaat bukan ahli pidato, ia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh. Ia seorang yang taat melaksanakan ibadah, tak pernah meninggalkan salat lima waktu, dan adalah seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, seperti juga Bung Hatta.[22]
___________________
Referensi:
1. "Konperensi Meja Bundar", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 24 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Posisi Presiden Sjafruddin Prawiranegara, Assaat, dan Jokowi", Ahmad Choirul Rofiq, www.kompasiana.com., Diakses pada tanggal 25 Oktober 2020, https://www.kompasiana.com/8377/54f412407455139d2b6c84b7/posisi-presiden-sjafruddin-prawiranegara-assaat-dan-jokowi
9. "Mr. Assaat: Presiden yang Tak Dihitung oleh Negara", tirto.id., Diakses pada tanggal 25 Oktober 2020, https://tirto.id/mr-assaat-presiden-yang-tak-dihitung-oleh-negara-cLQy
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Ibid.
19. Ibid.
20. Ibid.
21. Ibid.
22. "Assaat", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 25 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Assaat