Jumat, 06 November 2020

Barang Yang Telah Disita, Dapat Diletakkan Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Barang yang Telah Disita, Dapat Diletakkan Sita Penyesuaian.

Sesuai dengan prinsip yang digariskan oleh Pasal 463 Rv, tidak dibenarkan meletakkan sita terhadap barang yang telah disita, tetapi yang harus diletakkan ialah sita penyesuaian (vergelijkende beslag). Kalau begitu, apabila atas permintaan Penggugat atau Kreditor telah diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag), sita revindicatoir , sita eksekusi (executorial beslag) atau sita maritaal (maritaal beslag), maka:[1]
  • Pada waktu yang bersamaan, tidak dapat diminta dan dilaksanakan penyitaan terhadap barang itu atas permintaan Penggugat atau Kreditor lain, sesuai dengan azas bahwa pada waktu yang bersamaan hanya dapat diletakkan satu kali saja penyitaan terhadap barang yang sama;
  • Permintaan sita yang kedua dari Pihak Ketiga, harus ditolak atau tidak dapat diterima atas alasan pada barang yang bersangkutan telah diletakkan sita sebelumnya atas permintaan Penggugat atau Kreditor terdahulu;
  • Yang dapat dikabulkan kepada Pemohon yang belakangan hanya berbentuk Sita Penyesuaian (vergelijkende beslag).
Sebagai contoh, A menggugat B yang dibarengi dengan permintaan sita jaminan atas harta kekayaan B, dan permintaan itu dikabulkan dengan jalan meletakkan sita atas tanah dan rumah B. Beberapa saat kemudian C mengajukan gugatan kepada B dan meminta agar tanah dan rumah B diletakkan sita jaminan. Dalam kasus ini, apabila terbukti sita jaminan yang diminta A telah terdaftar dan diumumkan sebelum C mengajukan permintaan sita, permintaan sita yang diajukan C terhadap barang yang sama pada waktu yang bersamaan, ditegakkan penerapan prinsip Sita Penyesuaian. Dalam arti permintaan sita yang diajukan C, ditolak dan kepadanya hanya diberikan kedudukan dan kapasitas sebagai pemegang sita penyesuaian. Caranya mencatat kedudukan itu dalam berita acara sita yang menerangkan:[2]
  • Barang yang bersangkutan berada dalam keadaan tersita (dalam contoh ini atas permintaan Penggugat A sehubungan dengan perkara antara A dan B),
  • Berdasarkan hal itu, kepada Pemohon C hanya dapat diberikan kedudukan sebagai pemegang sita penyesuaian.
Asas ini bertujuan untuk melindungi kepentingan pemegang sita jaminan pertama (A). Karena dia yang lebih dahulu mengajukan permintaan, dan dikabulkan serta penyitaan sudah didaftarkan dan diumumkan lebih dahulu sebelum C mengajukan permintaan, cukup dasar alasan untuk melindunginya sebagai pemegang prioritas pertama, sedangkan pemohon belakangan hanya diberikan posisi berikutnya dengan ketentuan:[3]
  • Apabila sita pertama diangkat, pemegang sita penyesuaian naik peringkatnya menjadi pemegang sita pertama, atau
  • Jika barang sitaan dijual lelang, dan dari hasil penjualan terdapat sita setelah dilunasi pembayaran kepada pemegang sita pertama, maka sisa itu jatuh menjadi hak pemegang sita penyesuaian.
Prinsip dan penerapan sebagaimana dijelaskan di atas, ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1362 K/Sip/1982. Menurut putusan ini, jika benar atas barang-barang dalam perkara ini telah diletakkan sita jaminan, maka dalam perkara lain yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yang dapat dimohonkan hanyalah sita penyesuaian (vergelijkende beslag) berdasarkan Pasal 463 Rv.[4]

Memperhatikan penjelasan di atas, sangat keliru tindakan Pengadilan yang memperkenankan dan mengabulkan permintaan sita jaminan atau sita eksekusi terhadap barang yang telah disita lebih dahulu. Kekeliruan itu sering menimbulkan kericuhan pelaksanaan eksekusi, apabila pada waktu yang bersamaan muncul dua permintaan atas objek barang yang sama berdasarkan dua putusan pengadilan yang berbeda. Masing-masing Pemohon eksekusi menganggap dirinya paling berhak atas barang sitaan. Yang paling fatal, apabila perkara yang kedua lebih dahulu memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga dapat lebih dahulu meminta eksekusi dari perkara yang pertama, meskipun penyitaannya lebih dahulu dari yang kedua.[5]
___________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 317.
2. Ibid. Hal.: 317-318.
3. Ibid. Hal.: 318 
4. Ibid. Hal.: 318.
5. Ibid. Hal.: 318-319.

Kamis, 05 November 2020

Pengertian Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengertian Sita Penyesuaian.

Sita penyesuaian atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Vergelijkende Beslag, tidak diatur dalam HIR maupun RBg, akan tetapi diatur dalam Rv. Pasal ini mengatur prinsip saisie sur saisie ne vaut, yaitu:[1]
  1. Sita jaminan atau sita eksekusi atau sita pada umumnya, hanya boleh diletakkan satu kali atau suatu barang yang sama pada saat yang bersamaan;
  2. Oleh karena itu, apabila Pihak Ketiga meminta sita diletakkan atas suatu barang debitur atau Tergugat yang telah diletakkan sita sebelumnya, atas permintaan kreditur atau Penggugat, maka: a). Permintaan sita tersebut (yang belakangan) harus dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak; b). Sebagai gantinya, hanya dapat diletakkan sita persamaan, yang dinyatakan dan dicatat dalam berita sita yang menjelaskan, oleh karena atas barang yang diminta sita telah lebih dahulu disita atas permintaan orang lain, maka yang dapat dikabulkan adalah Sita Penyesuaian.
Meskipun HIR dan RBg tidak mengatur vergelijkde beslag, asas ini telah diakomodasi dalam praktik peradilan berdasarkan process doelmatigheid. Demi kelancaran dan kepastian penegakkan hukum mengenai penyitaan, Pasal 463 Rv dianggap perlu dijadikkan prinsip agar tidak terjadi penyitaan yang tumpang tindih atas barang debitur yang sama pada waktu yang bersamaan.[2]

Pengambilan prinsip sita persamaan dalam praktik, antara lain ditegaskan dalam Putusan MA Nomor: 1829 K/Pdt/1992 yang menegaskan praktik peradilan sudah lama mengambil asas vergelijkde beslag yang diatur dalam Pasal 463 Rv sebagai prinsip atau sistem beracara, berdasarkan ajaran process doelmatigheid.[3]

Dengan demikian, demi terciptanya kepastian perlindungan kepada Penggugat yang bertindak meminta pengajuan sita, hakim dan juru sita seharusnya dengan tegas menerapkan prinsip di atas tersebut. Mengenai terjemahan vergelijkde beslag, menurut Marianne Termorshuizen tidak berbeda dengan keterangan ahli M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul: "Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata", yaitu sita persamaan atau perbandingan, atau sita penyesuaian.[4]
____________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 316.
2. Ibid. Hal.: 316.
3. Ibid. Hal.: 316-317. 
4. Ibid. Hal.: 317.

Rabu, 04 November 2020

Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuatan Mengikat Sita Sejak Diumumkan", selanjutnya dalam artikel ini akan membahas Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan.

Jangkauan kekuatan mengikat sita jaminan yang telah diumumkan secara sah oleh Juru Sita dijelaskan pada Pasal 199 ayat (1), dan Pasal 200 HIR (Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 RBg). Berdasarkan ketentuan tersebut, kekuatan mengikat sita jaminan meliputi:[1]
  1. Para Pihak yang berperkara, dan
  2. Juga menjangkau pihak lain (Pihak Ketiga) yang tidak ikut sebagai pihak dalam perkara.
Meskipun penyitaan menjangkau pihak ketiga, hak pihak ketiga untuk mengajukan derden verzet atas penyitaan tidaklah hilang berdasarkan Pasal 195 ayat (6) HIR, apabila barang yang disita adalah miliknya. Oleh karena itu, jangan sampai keliru memahami kekuatan mengikat sita kepada pihak ketiga, yaitu bukan untuk melenyapkan hak pihak ketiga mengajukan perlawanan terhadap sita yang dilakukan kepada hak miliknya. Jangkauan kekuatan mengikat sita yang diatur dalam Pasal 199 ayat (1) HIR:[2]
  • Tidak melenyapkan hak pihak ketiga mempertahankan haknya terhadap barang sitaan melalui derden verzet berdasarkan Pasal 195 ayat (6) HIR;
  • Tetapi hanya meliputi larangan kepada pihak ketiga untuk mengadakan transaksi yang bersifat pemindahan hak atau pembebanan atas objek barang yang disita.
Sehubungan dengan itu, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 199 ayat (1) HIR, terdapat beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan terhadap objek barang yang disita, yaitu:[3]
  1. Dilarang memindahkan, Membebani, atau Menyewakan Barang Sitaan, terhitung sejak pemberitahuan atau pengumuman barang yang disita pada kantor pendaftaran yang ditentukan untuk itu, hukum melarang untuk: a). Memindahkan barang sita kepada Pihak orang lain; b). Membebani barang itu kepada orang lain; c). Menyewakan barang sitaan kepada orang lain.
  2. Akibat Hukum atas Pelanggaran Larangan, Transaksi Batal Demi Hukum, menurut Pasal 199 ayat (2) HIR, setiap Perjanjian transaksi pemindahan, pembebanan atau penyewaan barang yang disita, dianggap merupakan: a). Pelanggaran atas larangan yang digariskan Pasal 199 ayat (1) HIR; b). Oleh karena itu, perjanjian transaksi dinyatakan batal demi hukum (null and void). Dapat dilihat, penyitaan yang sudah diumumkan mengikat kepada Pihak Ketiga. Pada dasarnya pihak ketiga yang mengadakan transaksi jual-beli atau bentuk lain dengan Tersita atas barang yang disita, tidak dapat mempergunakan alasan itikad baik (good faith).
  3. Pihak Ketiga Tidak Dapat Mempergunakan Upaya Derden Verzet untuk Mempertahankan Kepemilikan atas Perolehan Barang yang Disita, penegasan ini diatur dalam Pasal 199 ayat (2) HIR. Setiap perjanjian transaksi yang melanggar larangan yang digariskan Pasal 199 ayat (1) HIR, tidak dapat dijadikan dalih atau dasar alasan mengajukan derden verzet atas sita eksekusi atau atas eksekusi barang sitaan.
  4. Pelanggaran Terhadap Pasal 199 ayat (1) HIR Dapat Dipidana Berdasarkan Pasal 231 KUHP, akibat yang timbul atas pelanggaran Pasal 199 ayat (1) HIR, bukan hanya dari segi Perdata saja, yaitu transaksi tersebut batal demi hukum, tetapi juga dari segi pidana. Dari segi Pidana, tindakan itu dianggap melanggar delik Pasal 231 KUHP. Unsurnya: a). Barang siapa dengan sengaja melepaskan barang yang disita, atau melepaskan dari simpanan, atau menyembunyikan barang sitaan, dan; b). Dia mengetahui barang itu dilepaskan dari sitaan; c). Perbuatan itu diancam Pidana Penjara maksimal empat tahun. Bahkan menurut Pasal 231 ayat (3) KUHP, orang yang menyimpan yang dengan sengaja membiarkan perbuatan itu atau membantu orang yang melakukan kejahatan itu, diancam dengan penjara maksimal lima tahun.
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 313.
2. Ibid. Hal.: 313-314.
3. Ibid. Hal.: 314-316.

Selasa, 03 November 2020

Bentuk Dan Cara Demonstrasi Yang Legal

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label Sudut Pandang Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja", dan pada kesempatan ini akan dibahas tentang  Bentuk dan Cara Demonstrasi yang Legal.

Baru-baru ini kita sering disuguhkan berita aksi-aksi demonstrasi terkait dengan disahkannya Undang-undang Cipta Kerja, tidak sering diantaranya berakhir dengan kerusuhan. Tentu saja selain bertentangan dengan hukum, secara akal sehat tindakan demikian adalah kontra produktif. Artikel ini bermaksud memberikan semacam informasi hukum mengenai bentuk dan tata cara menyampaikan pendapat di muka umum yang sah. 

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Adalah Hak Asasi Manusia

Pada zaman pemerintahan otoriter Orde Baru, menyampaikan pendapat di muka umum adalah hal yang tabu. Kegiatan-kegiatan yang mengarah dan bertentangan dengan arah rezim akan langsung diberangus dengan cara-cara 'senyap'. Kebebasan berpendapat hampir sebuah hal yang tidak mungkin dan sangat membahayakan jiwa. Baru setelah reformasi dan rezim Soeharto jatuh, keran-keran mengemukakan pendapat terbuka lebar.

Salah satu buah reformasi yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat adalah dimasukkannya kebebasan berpendapat sebagai salah satu hak asasi manusia. Langsung dijamin oleh konstitusi! Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."
Adapun undang-undang organik dari Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud di atas adalah Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Bentuk Dan Cara Demonstrasi Yang Legal

Bagi para pihak yang berkepentingan dengan menyampaikan pendapat di muka umum, baru-baru ini seperti halnya organisasi pekerja, mahasiswa, pelajar dan pihak-pihak lainnya, menjadi penting mematuhi undang-undang agar penyampaian pendapat di muka umum/demonstrasi sejalan dengan undang-undang, atau dengan kata lain sesuai dengan hukum yang berlaku.

Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum telah mengatur mengenai bentuk-bentuk dan tata cara menyampaikan pendapat di muka umum. Adapun bentuk-bentuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1) undang-undang dimaksud adalah:
  1. Unjuk rasa atau demonstrasi;
  2. Pawai;
  3. Rapat umum; dan atau
  4. Mimbar bebas.
Adapun yang dimaksud dengan "unjuk rasa" adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. "Pawai" adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum. "Rapat umum" adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu. Dan yang dimaksud dengan "Mimbar Bebas" adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Adapun tata cara menyampaikan pendapat di muka umum diatur pada Pasal 10 Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang isinya adalah sebagaimana dikutip berikut:
"(1). Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri;

(2). Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok;

(3).  Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.

(4). Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan."

Adapun tata cara kemudian yang harus dilakukan adalah mengacu pada ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang isinya adalah sebagaimana dikutip berikut:

"Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat:

  1. maksud dan tujuan;
  2. tempat, lokasi, dan rute;
  3. waktu dan lama;
  4. bentuk;
  5. penanggung jawab;
  6. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
  7. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
  8. jumlah peserta."
Selain itu, perlu diperhatikan juga mengenai ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang isinya adalah sebagaimana dikutip berikut:
  1. "Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib dan damai.
  2. Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab".
Penulis mengucapkan selamat menyampaikan pendapat di muka umum bagi pembaca yang budiman. Sampaikan pendapat anda sesuai dengan kaidah-kaidah hukum.
________________
Referensi:

1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

Senin, 02 November 2020

Kekuatan Mengikat Sita Sejak Diumumkan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepaa Penggugat", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Kekuatan Mengikat Sita Sejak Diumumkan.

Pengumuman berita acara sita merupakan syarat formil untuk mendukung keabsahan dan kekuatan mengikat sita kepada Pihak Ketiga. Selama belum diumumkan, keabsahan dan kekuatan formilnya baru mengikat kepada Para Pihak yang bersengketa, belum mengikat kepada Pihak Ketiga. Berarti selama penyitaan belum diumumkan, Pihak Ketiga yang melakukan transaksi atas barang itu, dapat dilindungi sebagai pembeli atau pemegang jaminan maupun penyewa yang beritikad baik.[1]

Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 199 ayat (1) HIR. Terhitung sejak hari pengumuman atau pemberitahuan penyitaan, tersita dilarang memindahkan, menggunakan, atau menyewakannya kepada Pihak Ketiga. Setiap perjanjian yang bertentangan dengan larangan itu, tidak dapat dipergunakan Pihak Ketiga sebagai dasar mengajukan upaya derden verzet. Sedemikian rupa pentingnya arti pendaftaran dan pengumuman penyitaan tersebut. Apabila Juru Sita lalai mendaftarkannya, penyitaan hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara saja, tetapi tidak mengikat kepada Pihak Ketiga, sehingga Pihak Ketiga yang beritikad baik memperoleh barang itu dari Tersita, harus dilindungi. Akan tetapi, meskipun makna pendaftaran dan pengumuman sita sedemikian rupa pentingnya untuk melindungi kepentingan Penggugat (Pemohon Sita), dalam praktik sering hakim atau Juru Sita mengabaikan hal itu. Memperhatikan pengabaian atau kelalaian itu, MA melalui SEMA Nomor: 5 Tahun 1975 mengingatkan semua Jajaran Pengadilan, agar setiap penyitaan didaftarkan atau dicatatkan sesuai ketentuan Pasal 198 HIR/Pasal 214 RBg dengan cara menyanmpaikan salinan berita acara kepada Kantor Pendaftaran Tanah atau Kantor Pejabat yang berwenang untuk itu[2]

Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk merealisasikan pengumuman penyitaan berdasarkan Pasal 198 HIR, Pasal 214 RBg, adalah sebagai berikut:[3]
  1. Membuat salinan Berita Acara Sita, Juru Sita membuat salinan berita acara. Tindakan tersebut merupakan langkah pertama yang mesti dilakukan Juru Sita, apabila menurut ketentuan Undang-undang, objek barang yang disita didaftarkan pada kantor atau pejabat tertentu. Misalnya tanah berdasarkan PP Nomor: 10 tahun 1961 sebagaimana diubah dengan PP Nomor: 24 Tahun 1997, didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah (aka BPN), dan Kapal di Kantor Syahbandar.
  2. Mendaftarkan Salinan Berita Acara, juru sita mendaftarkan salinan berita acara sita di Kantor Pendaftaran yang tersedia untuk itu menurut Undang-undang. Kalau barang yang disita adalah tanah, salinan berita acara didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah, dan kalau Kapal di Kantor Syahbandar, serta kalau barang jaminan fidusia didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia (KEMENKUMHAM).
  3. Menyebut Jam, Hari, Bulan, dan Tahun Pendaftaran, pendaftaran salinan berita acara menyebut jam, hari, bulan dan tahun pendaftaran. Terhitung sejak itu, penyitaan sah dan berkekuatan mengikat kepada Pihak Ketiga. Kepada Pihak Tersita dan Pihak Ketiga berlaku sepenuhnya kekuatan Pasal 199 HIR, berupa larangan memindahkan, membebani, atau menyewakan barang sitaan itu.
  4. Juru Sita Memerintahkan Pejabat Pendaftaran Melakukan Pengumuman Sita, mengenai perintah Pengumuman sita diatur dalam Pasal 198 ayat (1) dan ayat (2) HIR. Sehubungan dengan itu, perintah pengumuman sita yang mesti disampaikan Juru Sita, adalah: a). Perintah untuk mengumumkan Pendaftaran Berita Acara Sita disampaikan juru sita kepada Pejabat Kantor tempat pendaftaran dilakukan. b). Apabila pendaftaran itu disampaikan kepada Kantor Kepala Desa, maka perintah untuk mengumumkan penyitaan disampaikan Juru Sita kepada Kepala Desa. Cara pengumuman tidak ditentukan secara rinci. Namun paling tidak, perlu diperhatikan Pokok pengumuman, yaitu: Dibuat dalam bentuk tertulis, menyebut nomor dan tanggal penetapan sita, identitas pemohon sita dan dalam perkara apa, Juru Sita melaksanakan sita, dan pengumuman menurut kebiasaan setempat bisa ditempelkan di tempat yang sering dikunjungi orang. 
  5. Tujuan Pengumuman Sita, tujuan utama Pengumuman Sita, agar diketahui oleh umum atau Pihak Ketiga. Dengan pengumuman itu secara formil telah terpenuhi asas Publisitas atas Sita tersebut.
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.:  311.
2. Ibid. Hal.:  311.
3. Ibid. Hal.:  311-313.

Sabtu, 31 Oktober 2020

Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja

(Suara.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label Sudut Pandang Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai", dan pada kesempatan ini akan dibahas Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja di Indonesia, kemudian disahkan sebagai Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Pada artikel ini, pertama tama akan dibahas mengenai Terminologi Omnibus Law, kemudian akan dibahas sejarah omnibus law, setelah itu akan dibahas para inisiator omnibus law Cipta (Lapangan) Kerja, dan terakhir adalah kesimpulan.

Terminologi Omnibus Law

Beberapa pengertian mengenai apa itu omnibus law dalam literatur diawali dengan pemahaman secara gramatikal, yakni kata omnibus yang berasal dari bahasa Latin berarti “untuk semuanya” (Toruan dalam “Pembentukan Regulasi Badan Usaha dengan Model Omnibus Law”,  2017:464).[1]

Di dalam Black’s Law Dictionary, definisi omnibus adalah: "for all; containing two or more independent matters. Applied most commonly to a legislative bill which comprises more than one general subject (Black, 1990: 1087). Artinya: Untuk semua/seluruhnya; mengandung dua atau lebih hal-hal yang berdiri sendiri Seringkali digunakan dalam RUU yang terdiri lebih dari satu subjek umum".[2]

Dari definisi omnibus, kemudian diarahkan ke omnibus bill. Black (1990: 1087) mendefinisikan omnibus bill sebagai berikut: "A legislative bill including in one act various separate and distinct matters, and frequently one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole enactment". Artinya: Sebuah RUU dalam satu bentuk yang mengatur bermacam-macam hal yang terpisah dan berbeda, dan seringkali menggabungkan sejumlah subjek yang berbeda dalam satu cara, sedemikian rupa sehingga dapat memaksa eksekutif untuk menerima ketentuan yang tidak disetujui atau juga membatalkan seluruh pengundangan.[3]

Dari segi hukum, kata Omnibus memang sering disandingkan dengan kata law atau bill. Artinya adalah sebuah peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi atau hasil penggabungan beberapa aturan dengan substansi dan tingkatan yang berbeda.[4]

Sementara, definisi yang lebih sederhana menyebutkan omnibus bill adalah: "a bill consisting of a number of related but separate parts that seeks to amend and/or repeal one or several existing Acts and/or to enact one or several new Acts." (House of Commons, Glossary of Parliamentary Procedure, 2011: 38). Artinya: Sebuah RUU yang terdiri dari sejumlah bagian terkait tetapi terpisah yang berupaya untuk mengubah dan/atau mencabut satu atau beberapa undang-undang yang ada dan/atau untuk membuat satu atau beberapa undang-undang baru.[5] 

Dapat penulis tambahkan, di negara kita Indonesia, usaha untuk mentransliterasikan istilah omnibus law ini juga beredar istilah 'Undang-undang Sapu Jagat'. Secara sepintas, istilah ini acap kali digunakan dalam dunia persilatan, akan tetapi jika ingin diterapkan sebagai istilah hukum, rasanya perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam. Serta tidak menutup kemungkinan untuk mengambil diksi yang lain dalam usaha mentransliterasikannya. 

Sejarah Omnibus Law 

Penggunaan Omnibus Law telah banyak dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system. Di dunia terdapat dua sistem hukum yakni common law system dan civil law system. Indonesia mewarisi tradisi civil law system.[6]

Sejarah omnibus dapat dilihat di beberapa negara yang telah menerapkan misalnya Amerika Serikat, Kanada hingga Inggris. Konsep Omnibus Law sebenarnya sudah cukup lama. Di Amerika Serikat (AS) tercatat UU tersebut pertama kali dibahas pada 1840.[7]

Di Kanada, background paper yang dipublikasikan Library of Parliament dari Parlemen Kanada tentang Omnibus bill: Frequently Ask Questions, Bedard (2012: 2) menyatakan sulit untuk menyatakan kapan pertama kali omnibus bill diajukan di Parlemen Kanada. House of Commons Procedure and Practice memperkirakan praktek Omnibus Bill dimulai pada tahun 1888, ketika sebuah usul RUU diajukan dengan tujuan meminta persetujuan terhadap dua perjanjian jalur kereta api yang terpisah. Namun, RUU semacam omnibus juga ditengarai ada pada awal 1868, yaitu pengesahan sebuah undang-undang untuk memperpanjang waktu berlakunya beberapa undang-undang pasca-Konfederasi Kanada.[8]

Salah satu Omnibus Bill terkenal di Kanada (yang kemudian menjadi Criminal Law Amendment Act, 1968-69 yang terdiri dari 126 halaman dan 120 klausul) adalah perubahan terhadap Criminal Code yang disetujui pada masa kepemimpinan Pierre Eliot Trudeau (Menteri Kehakiman di pemerintahan Lester Pearson). Undang-undang ini mengubah beberapa kebijakan, yaitu masalah homoseksual, prostitusi, aborsi, perjudian, pengawasan senjata, dan mengemudi dalam keadaan mabuk.[9]

Konsep hukum omnibus juga telah dicoba oleh negara-negara Asia Tenggara. Di Vietnam, penjajakan penggunaan teknik omnibus dilakukan untuk implementasi perjanjian WTO.[10]

Di Filipina, penggunaan Omnibus Law lebih mirip dengan apa yang ingin dilakukan di Indonesia. Filipina memiliki Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991. Berdasarkan policy paper yang disusun oleh Aquino, Correa, dan Ani (2013: 1), pada 16 Juli 1987, Presiden Corazon C. Aquino menandatangani Executive Order No. 26 yang dikenal sebagai The Omnibus Investments Code of 1987 (Peraturan Omnibus tentang Investasi Tahun 1987). Peraturan tersebut ditujukan untuk mengintegrasikan, memperjelas, dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan tentang investasi untuk mendorong investasi domestik dan asing di negara tersebut. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan tentang fungsi dan tugas Dewan Investasi (Board of Investments); investasi dengan insentif; insentif untuk perusahaan multinasional; dan insentif untuk perusahaan pemrosesan ekspor.[11] Dapat penulis tambahkan di sini, bahwa tradisi omnibus law adalah berasal dari civil law system dengan contoh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada yang dalam perjalanannya kemudian diadopsi juga oleh negara-negara penganut tradisi common law system seperti Indonesia. 

Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja

Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja dibuat dalam proses yang cukup panjang. Bahkan Luhut mengakui, bahwa salah satu pencetus ide dibuatnya Omnibus Law dimaksud adalah dirinya. Ia menceritakan ide itu muncul pada waktu dia menjabat sebagai Menko Polhukam pada periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi. Saat itu dia melihat banyaknya keruwetan dalam undang-undang yang saling tumpang tindih dan menyebabkan peluang korupsi.[12]

Waktu itu, lanjut Luhut, dia melakukan diskusi dengan para menteri lainnya untuk membahas permasalahan tersebut. "Waktu itu kan Pak Mahfud dan juga Pak Jimly Asshiddiqie, Pak Seno Adji, Pak Sofyan Djalil, dari kantor saya ada pak Lambong, untuk mendiskusikan gimana caranya. Karena kalau satu persatu undang-undang itu direvisi nggak tau sampai kapan selesainya," terangnya. "Kemudian waktu lah datang ide dari Pak Sofyan di Amerika pernah disebut omnibus. Nah omnibus ini tidak menghilangkan undang-undang tapi menyelaraskan isi undang-undang itu jangan sampai tumpang tindih atau saling berkait saling mengikat dengan yang lain," tambah Luhut.[13] Menurut catatan penulis, waktu itu Sofyan Djalil menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia atau Kepala Bapennas.

Namun hasil dari pembicaraan saat ini belum ditindaklanjuti. Barulah di periode kedua Jokowi ide untuk membuat Omnibus Law mulai serius dilakukan. "Karena kesibukan sana sini belum terjadi, baru mulai dibicarakan kembali oleh Presiden akhir tahun lalu dan sekarang buahnya sekarang. Jadi itu proses panjang bukan proses tiba-tiba," tutupnya.[14] Hal ini membuktikan bahwa pemikiran untuk menerbitkan sebuah produk hukum sapu jagat telah ada sejak periode pertama pemerintahan Joko Widodo.

Kesimpulan

Menurut hemat penulis, omnibus law ini adalah istilah hukum yang menunjuk pada sebuah produk undang-undang yang mencakup revisi atas cakupan lintas klaster secara bersamaan. Klaster-klaster hukum yang berkaitan dikumpulkan dalam satu undang-undang untuk kemudian dilakukan revisi yang bermaksud membentuk norma baru yang diharapkan baik oleh Pemerintah maupun DPR. Merujuk pada Undang-undang Cipta (Lapangan) Kerja yang telah disahkan DPR, sebenarnya tidak secara langsung memakai istilah omnibus law, namun dari materi dan muatan serta teknik hukumnya adalah sejalan dengan istilah produk hukum dimaksud. 

Dari aspek sejarah, meskipun omnibus law ini berasal dari tradisi civil law system, tidak ada halangan dari segi hukum untuk kemudian diadopsi di negara dengan tradisi common law system seperti di Indonesia. Dan bukan hal yang tidak mungkin jika kemudian di masa yang akan datang di negeri ini akan ada produk hukum serupa.

Secara strategis, rezim pemerintahan Joko Widodo untuk periode kedua ini bermaksud memotong regulasi-regulasi yang menghambat investasi. Tujuan ini hanya dapat dilakukan dengan jalan menerbitkan sebuah produk hukum. Secara teknis, kemunculan omnibus law Cipta (Lapangan) Kerja di Indonesia digawangi oleh Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Marvest, kemudian ada Sofyan Jalil dengan pengetahuannya selaku jebolan S2 dan S3 hukum dari negeri Paman Sam, menterjemahkan ke dalam kerangka hukum dengan cara membentuk omnibus law. Setidaknya berpegang pada keterangan Luhut di atas, untuk M. Mahfud M.D.Jimly Asshiddiqiedan Indriyanto Seno Adji belum terlihat jangkauan pengetahuannya pada konsep hukum yang satu ini.
_____________
Referensi:

1. "Mengenal Apa Itu Omnibus Law Beserta Konsep dan Sejarah Perkembangannya", merdeka.com, Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020, https://www.merdeka.com/jatim/mengenal-apa-itu-omnibus-law-beserta-konsep-dan-sejarah-perkembangannya-kln.html?page=2
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. "Arti dan Sejarah Omnibus Law Atau UU Sapu Jagat", tirto.id., Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020, https://tirto.id/arti-dan-sejarah-omnibus-law-atau-uu-sapu-jagat-f5Du 
7Ibid
8Ibid
9Ibid
10Ibid
11Ibid
12Ibid
13. "Ungkap Pencetus Ide Omnibus Law, Luhut: Jujur Saya yang Mulai", detik.com, Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5222804/ungkap-pencetus-ide-omnibus-law-luhut-jujur-saya-yang-mulai
14. Ibid.

Jumat, 30 Oktober 2020

Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepada Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam label Praktik Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Menyita Barang Tertentu", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepada Penggugat.

Mengenai penjagaan barang sitaan berpedoman kepada ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg. Dalam ketentuan tersebut, ditegakkan prinsip, penjagaan barang sitaan tetap berada di tangan Tergugat atau Tersita. Prinsip ini ditegaskan juga dalam SEMA Nomor: 5 Tahun 1975, yang melarang penyerahan barang yang disita kepada Penggugat atau Pemohon Sita. Pada huruf (g) SEMA tersebut ditegaskan:[1]
  • Agar barang-barang yang disita tidak diserahkan kepada Penggugat atau Pemohon Sita;
  • Tindakan Hakim yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah Penggugat sudah pasti akan dimenangkan dan seolah-olah pula putusannya serta-merta;
Untuk lebih jelasnya penerapan atas larangan sebagaimana diterangkan di atas, dapat diuraikan sebagaimana berikut:
  1. Penjagaan Sita atas Barang Bergerak, sudah dikatakan di atas, Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg, mengatur tata tertib penyimpanan atau penjagaan barang sitaan benda bergerak. Berdasarkan Pasal itu, pelaksanaan penyimpanan atau penjagaan barang sitaan benda bergerak berdasarkan prinsip berikut: a). Ditinggalkan untuk disimpan oleh Pihak Tersita atau Tergugat di tempat barang itu terletak; b). Atau sebagian barang itu dibawa ke tempat penyimpanan yang patut. Begitulah patokan aturan penyimpanan sitaan barang bergerak yang mesti dipedomani Hakim dan Juru Sita.[2]
  2. Penjagaan Uang yang Diblokir di Bank, pada dasarnya penyimpanan uang yang ada di Bank disamakan dengan penyitaan Barang Bergerak. Oleh karena itu, prinsip penyimpanan dan penjagaannya tunduk pada ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR, yaitu: a). Tetap disimpan pada rekening atau deposito Tergugat di Bank yang bersangkutan; b). Penjagaan dan penguasaannya tetap berada di tangan Tersita, oleh karena itu tidak boleh dipindahnamakan kepada orang lain, tetapi harus tetap atas nama Tersita.[3]
  3. Penjagaan Sita atas Barang Tidak Bergerak, .[4]
  4. Penjagaan Sita Tidak Boleh kepada Pihak Ketiga, dilarang juga menyerahkan penguasaannya kepada Pihak Ketiga. Bahwa penyerahan atau penitipan barang sitaan oleh Juru Sita kepada Pihak Ketiga, seperti lurah atau Kepala Desa, tidak ada dasar hukumnya. Juru Sita yang menyerahkan penjagaan kepada Kepala Desa adalah keliru. Yang paling celaka, apabila penjagaan dan pengawasan diserahkan kepada Penggugat atau Kepala Desa. Misalnya, barang yang disita mobil angkutan atau kebun cengkih. Lantas sejak penyerahan dilakukan, mobil tersebut dioperasikan Kepala Desa atau Penggugat.[5]
  5. Penyitaan Tidak Mengurangi Penguasaan dan Kegiatan Usaha, seperti yang dijelaskan, larangan atas pemakaian barang sitaan, hanya terbatas pada barang yang habis pakai. Itu sebabnya tidak boleh memakai atau menggunakan uang yang disita, karena akan habis terpakai. Sepanjang pemakaian tidak berakibat habis terpakai, tidak dilarang mempergunakannya. Tergugat berhak penuh memakai dan mendiami rumah yang disita. Tersita berhak penuh menguasai kebun yang disita serta berhak mengambil hasilnya untuk dipakai dan dinikmati.[6]
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.:  306.
2. Ibid. Hal.:  306-307.
3. Ibid. Hal.:  307-309.
4. Ibid. Hal.:  309-310.
5. Ibid. Hal.:  310.
6. Ibid. Hal.: 310-311.

Selasa, 27 Oktober 2020

Larangan Menyita Barang Tertentu

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai artikel berjudul "Mendahulukan Penyitaan Barang Bergerak", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Larangan Menyita Barang Tertentu.

Salah satu prinsip yang penting diperhatikan, diatur dalam Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBg. Ketentuan pasal ini merupakan pengecualian terhadap azas yang diatur Pasal 1131 KUHPerdata. Menurut ketentuan ini, seluruh harta kekayaan debitur dapat dijadikan objek pelunasan pembayaran utangnya. Malahan ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR memuat pengecualian, berupa larangan meletakkan sita terhadap jenis barang tertentu.[1]

Tentang hal ini, dapat dikemukakan salah satu Putusan MA yang mengatakan, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR, Pasal 211 RBg, Pengadilan Negeri dapat menyita semua harta kekayaan Tergugat, baik yang bergerak atau tidak bergerak. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal ini sendiri terdapat pengecualian, meliputi:[2]
  • Hewan; dan
  • Perkakas yang sungguh-sungguh digunakan sebagai alat pencari nafkah sehari hari.
Jadi, kalau sifat dan fungsi hewan dan perkakas itu sungguh-sungguh dipergunakan sebagai alat mencari nafkah Tergugat, barang itu dilarang untuk disita. Akan tetapi, kalau hewan atau perkakas itu berfungsi sebagai sarana jasa atau produksi, tidak tergolong pada larangan tersebut. Misalnya mobil penumpang atau pengangkut barang, tidak dapat dikategorikan sebagai alat pencari nafkah, tetapi termasuk sarana jasa dalam bisnis untuk mencari keuntungan. Pengertian dan penafsiran umum yang dibenarkan terhadap perkakas yang disebut Pasal 197 ayat (8) HIR, adalah perkakas yang sifat dan fungsi maupun wujudnya:[3]
  • Dipergunakan langsung oleh seseorang (Tergugat) dengan kekuatan tenaga fisik untuk mencari nafkah sehari-hari, seperti cangkul, parang, dan sebagainya; atau
  • Alat maupun perkakas yang langsung dipergunakan oleh seorang ahli atau profesi, atau seniman, seperti gergaji bagi seorang tukang, pahat bagi pematung, dan sebagainya.
Dapat dilihat motivasi dan rasio yang terkandung dari larangan itu, bertitik tolak dari nilai kemanusiaan yang tidak membolehkan penegak hukum dalam bidang perdata memusnahkan secara total hak hidup seorang debitur. Penegakkan hukum harus tetap memiliki dimensi yang memenuhi perlindungan kepada debitur (Tergugat) dari kemusnahan total, jangan sampai kegiatannya melanjutkan kelangsungan hidup mencari nafkah sehari-hari dihentikan.[4]

Bertitik tolak dari motif yang dikemukakan di atas, Subekti dalam M. Yahya Harahap, S.H., mengajukan perluasan larangan itu. Yaitu tidak hanya terbatas pada jenis hewan atau perkakas mata pencaharian, tetapi meliputi tempat tidur yang dipergunakan suami isteri dan anak-anak serta buku-buku ilmiah sampai batas tertentu. Mungkin dapat juga diperluas sampai sejumlah uang, sehingga pelelangan terhadap harta kekayaan Tergugat, menyisihkan sedikit uang yang dapat menopang hidupnya untuk beberapa hari, sehingga penyitaan dan penjualan lelang, tidak menyengsarakan Tergugat dalam keadaan yang pilu dan menyedihkan.[5] Kesimpulannya adalah meskipun debitur lalai dan kemudian dilakukan sita, akan tetapi atas pertimbangan kemanusiaan, beberapa barang tertentu dilarang untuk diletakkan sita.
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.:  305.
2. Ibid. Hal.:  305.
3. Ibid. Hal.:  305.
4. Ibid. Hal.:  305.
5. Ibid. Hal.:  305-306.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...