Jumat, 11 Desember 2020

Contoh Kesimpulan Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah memuat artikel yang berjudul "Contoh Duplik", dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Contoh Kesimpulan. Berikut penulis pilihkan contoh sebagaimana diuraikan di bawah ini.[1] Penulis tekankan bahwa ini hanya sebatas contoh saja, dan sidang pembaca bisa mengkritisi contoh tersebut. Misalnya saja, sepanjang penulis berpraktik, di dalam sebuah surat kesmimpulan, tetap memuat petitum gugatan, meskipun isinya sama dengan petitum sebagamana tertulis dalam gugatan. Silahkan check contoh berikut ini.


KESIMPULAN PENGGUGAT
PERKARA PERDATA NO. 52/PDT.G/2012/PN. JKT. SEL.
PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
ANTARA
EVA DWINOPIANTI.....................PENGGUGAT
MELAWAN
JAKSA AGUNG RI............TERGUGAT I
REYZA ANDRIAN....................TERGUGAT II


Kepada Yth.
Majelis Hakim Perkara Perdata No. 52/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel
Jalan Ampera No. 133 Ragunan, Pasar Minggu
Jakarta Selatan

Perihal : Kesimpulan Penggugat


Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Gandi Husodo, S.H., M.H. dan Lidya Desnia Ida Masta, S.H., M.H. Advokat/Pengacara dan Penasihat Hukum pada Ganlid & Partners Law Firm. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus pada tanggal 28 Januari 2012 (Surat Kuasa terlampir) dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama serta mewakili Eva Dwinopianti selaku PENGGUGAT, perkenankanlah bersama ini kami menyampaikan Kesimpulan dalam Perkara Perdata No. 52/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel sebagai berikut:

Tanggapan atas bukti Tergugat I

Bukti TI-4 yang diajukan oleh Tergugat I membuktikan bahwa tanah dan bangunan yang ada di atasnya di Jalan Tepekong No. 10, Grogol Selatan adalah milik Penggugat yang dapat dibuktikan melalui Sertifikat Hak Milik No. 605/Grogol Selatan.

Bukti TI-5 yang diajukan oleh Tergugat I membuktikan bahwa benar telah terjadi transaksi jual-beli tanah bersertifikat Hak Milik No. 605/Grogol Selatan, di mana pihak penjual adalah Reyza Andrian sendiri dan pihak pembeli adalah Sugijarto. Dan Bukti TI-7 menguatkan kepemilikan Penggugat atas tanah dan rumah tersebut karena Penggugat telah membeli secara sah tanah dan bangunan di atasnya bersertifikat Hak Milik no. 605/ Grogol Selatan dari Sugijarto dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Hanny Sudarmadi, SH.

Bukti TI-12 yang diajukan oleh Tergugat I membuktikan bahwa adalah benar Tergugat I telah memberikan Sertifikat Hak Milik No. 605/ Grogol Selatan kepada Tergugat II.

Tanggapan atas bukti Tergugat II

Bukti TII-3 dan Bukti TII-4 yang diajukan oleh Tergugat II menguatkan dalil yang disampaikan oleh Penggugat bahwa Tergugat II terbukti benar telah menerima Sertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan yang diberikan oleh Tergugat I.

Bukti TII-5, TII-6, TII-7 yang diajukan oleh Tergugat II membuktikan Tergugat II benar-benar ingin menguasai tanah dan rumah di Jalan Tepekong No. 10, Grogol Selatan yang sebenarnya adalah tanah dan rumah Penggugat. Hal ini dikuatkan oleh Bukti TII-10 yang diajukan oleh Tergugat II bahwa Tergugat II telah menjual tanah dan bangunan yang ada di atas tanah tersebut kepada Sugijarto secara sah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Didi, S.H.

Saksi yang diajukan oleh Penggugat

Bahwa Saksi yang diajukan oleh Penggugat, yakni: Hadeli Firman dan Sugijarto diperoleh keterangan dalam persidangan yang menyatakan bahwa benar Tergugat II telah melakukan pinjaman kepada Bank Natin dan tidak sanggup untuk melunasinya sehingga Pihak Bank Natin melakukan penjualan atas barang yang dijamin, yakni Sertifikat Hak Milik no. 605 /Grogol Selatan yang berupa tanah seluas 450 M2 beserta rumah di atasnya kepada Sugijarto, di mana Tergugat II sendiri sebagai pihak penjual dan Hadeli Firman (Pimpinan Bank Natin) sebagai saksi. Jual beli tersebut dilakukan dihadapan notaris Bpk. Didi Sujadi, SH. Kemudian Sugijarto menjual tanah dan rumah di atasnya tersebut kepada Penggugat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Hanny Sudarmadi, SH. Karena Hadeli Firman (Pimpinan Bank Natin) terlibat kasus Pidana sehingga Sertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan disita oleh pihak kepolisian. Penggugat merasa dirugikan dan meminta sertifikat tersebut dikembalikan. Dengan dikeluarkannya Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka Sertifikat tersebut dapat dikembalikan, namun oleh Tergugat I Sertifikat tersebut dikembalikan kepada Tergugat II.

Saksi yang diajukan oleh Tergugat II

Bahwa Saksi yang diajukan oleh Tergugat II, yakni Budiono dan Zainudin Kusumahbrata diperoleh keterangan dalam persidangan yang menyatakan bahwa Tergugat II telah melunasi pinjaman yang Ia pinjam di Bank Natin. Dan Tergugat II tidak mengetahui adanya transaksi jual beli tanah dan rumah bersertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan yang Ia jaminkan.

Bahwa berdasarkan bukti-bukti sebagaimana yang dimaksud di atas terungkap dalam persidangan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh Tergugat I dan Tergugat II atas pembelaan diri yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab serta tidak terbukti, oleh karena itu alasan-alasan itu haruslah ditolak;
  2. Bahwa tanah dan rumah di atasnya yang bersertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan, Penggugat dapatkan dengan transaksi jual-beli yang sah dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Hanny Sudarmadi, SH dengan pihak penjual adalah Sugijarto, yang tertuang dalam Akta Jual Beli No.1/Kebayoran Lama/2003.
  3. Bahwa Sugijarto membeli rumah beserta tanah tersebut dari Tergugat II dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Bpk Didi Sujadi, SH, di mana pihak penjualnya adalah Tergugat II sendiri dengan saksi adalah Hadeli Firman (Pimpinan Bank Natin). Jual beli ini tertuang dalam Akta Jual Beli No. No.52/1/Kebayoran Lama/1993. Proses penjualan rumah beserta tanahnya itu lantaran Tergugat II tidak dapat melunasi pinjaman yang dipinjamnya di Bank Natin.
  4. Tergugat I telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum dengan menyerahkan Sertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan kepada Tergugat II sesuai dengan surat dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan No. B-2658/ 0.1.14/Euh.2/10/2011.

Jakarta, 1 Agustus 2012

Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat


Ttd.

G H, S.H., M.H.  


Ttd.

L D I M, S.H., M.H.
_____________________________
Referensi:

1. "Contoh Kesimpulan (Penggugat)", lawlowlew.blogspot.com, diakses pada tanggal 11 Desember 2020, http://lawlowlew.blogspot.com/2013/01/contoh-kesimpulan-penggugat.html

Kamis, 10 Desember 2020

The Meaning of Customary Criminal Sanctions in the Baduy Customary Law Community

(idntimes.com)

Oleh:
M. Noor Fajar Al Arif Firtiana; I Nyoman Nurjaya; Abdul Madjid; Nurini Aprilianda

Previously platform Hukumindo.com has publish "Penyelesaian Sengketa Pada Suku Osing (Kabupaten Banyuwangi)" article, on this occasion The Meaning of Customary Criminal Sanctions in the Baduy Customary Law Community is in our subject.

Abstract

Baduy customary community is one of the customary law communities that still exists, including in their customary law, there is a philosophical difference in the interpretation of criminal sanctions on  positive law and customary law. Positive law reflects more absolutes so that it is far from a sense of justice as the law aspires, while Baduy customary law prioritizes the restoration of behavior and harmony. This research uses the antro legal social approach with qualitative analysis.

Keywords: Sanctions; Customary Crimes; Customary Law Communities

Introduction

Indonesia is a big country that is not known for its natural wealth but is also known for its multicultural wealth. Multi-cultural wealth has an impact on how you interact in life. As a pluralism-based state, the existence of indigenous and tribal peoples who live and develop and have their own legal systems, in other words the law applies in Indonesia not only state law but also customary law and religious law. The third position of the legal system based on the concept of legal pluralism has the same position and still exists in several regions, although sometimes the legal system faces each other.

Among the the customary law communities in Indonesia that still exist, there is a Baduy customary community. The Baduy customary community has its own legal system that has been in place for hundreds of years. Customary law in the Baduy community which is reflected in customary rules (mandate of wiwitan) is a collection of ethics or behavior that is formed into a philosophical life that is:
"Gunung teu benang di lebur Lebak teu benang dirakrak Lojor teu benang dipotong Pondok teu benang disambung (mountains cannot be destroyed, valleys must not be destroyed, long must not be cut, short must not be continued)."

For the Baduy customary law community, the wiwitan mandate has a very deep philosophy of maintaining a balance between humans and humans, humans with nature and humans with their God through mutual interaction, compassion and foster care. Conformity between an act with customs and customary law is a necessity because it is passed down from generation to generation since human life has become a benchmark, guidelines, rules, norms of life, customary law and is the basis of religious expectations.

The increase in crime and the number of fostered citizens in a country indicates that there are serious problems in resolving law enforcement. Law enforcement carried out on positive law prioritizes misery while in the customary law community especially the Baduy community criminal law is not intended to provide misery or suffering but instead provides an improvement to behavior.

Formulation of The Problem: What is the meaning of criminal sanctions on the Baduy customary community?

Research Methods: This research is a legal research using the socio-legal antro approach. The data used are primary data and secondary data analyzed using qualitative analysis.

Analysis

According to Dyah Irawati and Hinijati, the presence of law had never thought about whether to consider whether or not it would be recognized by state power, but instead it had emerged genuinely from within the unitary community of customary peoples long before the birth of the state. This indicates the real authenticity of customary law, because customary law arises from the content of the community itself.

autonomously and it is called authentic. The pattern of interaction is a source of community knowledge which then gives birth to the values of wisdom that underlie the patterns of behavior that govern the behavior of customary peoples in a group so that the code of conduct is held, respected and has the power to remember for the community.

Any violation of customary law or customary criminal act will result in damage, not only to the level of the body and lives of people (victims), but also to cause disturbance or shock in the magical realm due to natural imbalances. This has consequences, the resolution of violations of the law is not enough to only be an outward solution but must also include restoring the balance of nature.

In the Baduy customary law community, legal settlement is the most recent effort, so it must be based on the foundation of "justice and silih hampura/forgiveness". This philosophy guarantees a balance in legal settlement on the one hand and creates harmony between peace and tranquility on the other. In relation to justice, the justice referred to by the Baduy traditional law community is to place something in its position, a value which is a balance point between legal certainty and legal usefulness. The solution by forgiving each other aims to maintain and re-realize the balance of the cosmos, restore the existing cosmopolitan and keep the order of human life running well and harmoniously.

The law gets attention and is felt as a sanction for community members depending on the values and behavior that grows from the awareness of the community members concerned. In the law, it is not difficult for us to know, it can be seen in the legislation, on the court, before the judge, in certain institutions, but in customary law it is not easy to know, because what is said customary law is not in the form of systemic regulations and modified.

One of the factors that is driving the obedience and obedience of individuals to the law is none other than the existence of sanctions so it cannot be imagined how the law can be binding without sanctions, whether effective or even vice versa. Criminal law, for example, which has a different legal system compared to other fields of law that bases more sanctions on physical sanctions also raises the pros and cons of criminal sanctions imposed by judges, both among legal practitioners and legal academics themselves, especially among those seeking justice. Every social relationship must not conflict with the provisions in the existing legal regulations and apply in society. Sanctions in the form of (criminal) penalties will be imposed on any violator of existing legal regulations as a reaction to an unlawful act he committed.

Criminal sanctions as stated by Van Bemmelen last cure (utimum remidium). This last cure is the ultimate step if the enforcement mechanism in other fields of law does not work effectively, but in the development of Indonesian criminal law criminal sanctions in some cases shifted their position. No longer as ultimum remidium but as premium remidium (the main cure).

Crime prevention by using criminal law wherever criminal law is built based on and derived from the legal values that live in society, the criminal law that will be built will reflect the social, cultural and structural values of Indonesian society, bringing the consequences that in overcoming crime by means of penal, criminal law can be used as a source and needs to be studied in depth, so that it can carry out its role as a source of national criminal law that can support the implementation of legal development.

There is a difference meaning in giving sanctions to national law and adat law. The meaning of sanctions in national criminal law is still oriented towards retaliation and detention of the perpetrators so that the perpetrators do not repeat their actions again. It is explicitly interpreted that the meaning of sanctions actually kills the character and future of the perpetrators because the perpetrators are not protected by their human rights. It is often illustrated that prison is a crime high school, so Sudarto  defines criminality as suffering intentionally given to people who commit acts that meet certain conditions.

Types of criminal sanctions in the Criminal Code (Criminal Code), Article 10.

Criminal principal:
  1. Criminal death;
  2. Criminal imprisonment;
  3. Criminal confinement;
  4. Criminal fines, and
  5. Criminal closing
Additional crimes consist of:
  1. Revocation of certain rights
  2. Expropriation of certain items;
  3. Announcement of the judge's decision
Although normatively in Law No. 12 of 1995 concerning Corrections, Article 2, the correctional system is implemented in order to form correctional fostered citizens so that they become fully human, aware of mistakes, improve themselves and do not repeat criminal acts so that they can be re-accepted by the community, can actively plays a role in development, and can live reasonably as a good and responsible citizen.

The meaning of the sanctions is very much different from the meaning of sanctions on the customary law community, especially the Baduy customary law community. In tracing the meaning of sanctions on customary law can use the method said by Llewellyn and Hoebel in three ways, namely:
  1. By investigating abstract norms that can be recorded in the memories of customary leaders, community leaders or authority holders who are authorized to make legal decisions (ideology method)
  2. By observing every real action / actual behavior of community members in daily life when interacting in their community (descriptive method)
  3. By reviewing cases of disputes that have occurred or are occurring in the community (trauble cases method).
The purpose of imposing sanctions on customary peoples is to restore the disturbed balance due to adat violations. This concept of thought has been absorbed in the souls of Baduy people, which resulted in a belief that the occurrence of unresolved adat violations according to the provisions of the prevailing customary law will be able to cause disruption that causes the suffering of customary peoples. So a recovery step is needed by imposing a customary obligation on the offender in the form of organizing certain rituals to restore the situation at a time. If it is not fulfilled, then greater responsibility is needed, because there must be, related to converging, expensing, converging, fighting or the surrounding community. This thought is due to issuing customary sanctions in the application of customary and cosmic court laws is always linking them with the cosmic and always linking these two realms that there must be a balance of the world of birth and the inner world.

Imposition of customary sanctions that will be given to the perpetrators is not immediate but must pay attention to the mental and physical condition of the perpetrators, if the perpetrators are in not a state of mental and physical health then the imposition of sanctions for adat trials must be postponed. This is the meaning of the law must be wise in Baduy customary law, after recovering the health of the perpetrators, then execute a ceremonial ceremony and imposing customary sanctions.

If we compare the meaning of Baduy customary criminal sanctions with the meaning of criminal sanctions in the Criminal Code, there is clearly a philosophical difference, the Criminal Code is currently more philosophical in punishment while the philosophy of Baduy customary law sanctions as stated by Ayah Mursyid is protect human dignity and maintain harmony, which means that even if a person is considered guilty but must still be protected by his rights, family good name, family's future, and maintain the integrity of his family because of imposing sanctions that are inappropriate or should actually damage the balance of nature. Similarly with Jaro Saija the meaning of sanctions is coaching towards one's. behavior, especially their mind, when one's mind is calm then they will behave properly. In giving sanctions, don't overdo it because it will have a bad impact, not only for the perpetrators, the family but also for the customary, so the dignity of the perpetrators must also be maintained, the implementation of customary sanctions is not forced. However, if it is not implemented, it will have a bad impact on them, their family or their descendants, because the philosophy of sanctions of the Baduy customary people returns the balance and harmony of the community as before (Restitutio in integrum).

The meaning of harmony is associated with maintaining wholeness in the family. In Baduy customary criminal sanctions that are associated with criminal deprivation of independence. Customary violations with sanctions are exiled / excluded including categorized as severe traditional violations. There is a uniqueness in exile for perpetrators of customary violations in Baduy, perpetrators who were exiled for 40 days under Baduy customary law, are allowed to bring their families. According to Ayah Murshid, aside from protecting human dignity and also aiming to maintain harmony. According to the harmonious researcher in question there are 2 (two) meanings:
  1. Harmony with the community, which is when the criminal period is over, the perpetrators and the family (if they brought) can interact again with other communities as usual, for the Baduy community, a person who has served traditional punishment accompanied by a Ngabokoran or a traditional ceremony then he is considered as a clean person, and Baduy customary people will not give a stamp or sitgma as perpetrators of crime. Ngabokoran is a cleansing ceremony for traditional violations committed by perpetrators, this ceremony is not intended as a torture or suffering but to restore cosmic balance.
  2. Harmony with the family that each head of the family has rights and obligations to his wife and children. The obligation to maintain safety and comfort, to the child, parents are obliged to give attention and affection to their children, the obligation to the spouse is the obligation to provide for birth, inner and biological needs. This must be applied to avoid sexual irregularities, sexual harassment, same-sex rape and the practice of renting space in prisons by prisoners. That is the philosophy why in customary Baduy people who are exiled are allowed to bring their wife and children.
In this harmony, there are family values that are security values and comfort values. These values can only be given by the head of the family. The meaning of this sanction, according to the researcher, should be applied to all criminal acts regulated in Indonesian criminal law, not only limited to criminal acts regulated in customary law. If it is limited to certain criminal acts which are only regulated by customary law or subject to customary law, then the values or principles contained in customary law cannot be function as the soul of the nation or the volkgeist who animates national law. But only limited in concrito to customary law in national law.

Conclusion

The meaning of sanctions on positive law is still miserable or absolutism, so naturally the crime rate is still high, in contrast to the meaning of sanctions on the Baduy customary law community prioritizing protecting dignity and maintaining harmony.
_____________
Bibliography
  • Agus Surono, Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remidium Dalam Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, December 7, 2019.
  • Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2013.
  • I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Persepektif Antropologi Hukum, UM Press, Malang, 2006.
  • Mohammad Jamin, Politik Hukum Peradilan adat di Propinsi Papua Pasca Berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus, Malang. Disertasi tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013.
  • Nyoman Serikat, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
  • Rusli, Tinjauan Yuridis Persamaan dan Perbedaan Sanksi Pidana Antara Hukum Pidana Islam Dengan Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Ilmun Hukum Legal Opinion Edisi 6 Volume 2 Tahun 2014.
  • Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto, FH-Undip, 2009.
Copyrights

International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding (IJMMU) Vol. 7, No. 3, April 2020. Copyright for this article is retained by the author(s), with first publication rights granted to the journal.

Selasa, 08 Desember 2020

Pelaksanaan Sita Dilakukan Di Tempat Barang Terletak

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Juru Sita Dibantu Dua Orang Saksi" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Pelaksanaan Sita Dilakukan Di Tempat Barang Terletak.

Ketentuan ini bertitik tolak dari Pasal 197 ayat (9) HIR yang menjelelaskan barang yang disita ditinggalkan di tempat orang yang disita barangnya.[1] 

Oleh karena itu, penyitaan tidak dapat dijalankan di luar tempat barang itu berada. Juru sita dan saksi yang melaksanakan penyitaan langsung mendatangi tempat barang yang hendak disita berada. Penyitan yang dilakukan dari belakang meja, tidak sah.[2]

Juru sita dan saksi harus melihat dan mengamati sendiri objek barang sitaan. Bahkan kalau yang hendak disita barang tidak bergerak seperti tanah, juru sita dan saksi harus mengukur dan mencocokan luas dan batas-batasnya sesuai dengan yang disebut dalam permohonan sita.[3]
_____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 335.
2. Ibid., Hal.: 334.
3. Ibid., Hal.: 334.

Senin, 07 Desember 2020

Juru Sita Dibantu Dua Orang Saksi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Memberitahukan Penyitaan Kepada Tergugat", dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Juru Sita Dibantu Dua Orang Saksi.

Hal ini, juru sita dibantu dua orang saksi, diatur dalam Pasal 197 ayat (6) HIR, pada waktu Juru Sita melaksanakan penyitaan:[1]
  • Dibantu dua orang saksi, dengan menyebut nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya dalam berita acara sita;
  • Saksi harus penduduk Indonesia: a). Paling tidak berumur 21 tahun, dan b). orang yang dapat dipercaya.
Ketentuan ini bersifat imperatif. Mengabaikannya merupakan pelanggaran terhadap undang-undang yang mengakibatkan penyitaan tidak sesuai dengan hukum (undue process of law), sehingga penyitaan batal demi hukum. Dalam praktik, saksi yang mendampingi Juru Sita, diambil dari kalangan pegawai PN yang bersangkutan. Tindakan ini dapat dibenarkan untuk memudahkan pelaksanaan. Jika diambil dari masyarakat luar, dapat menghambat pelaksanaan sita, karena tidak mudah mendapatkan orang yang bersedia buang waktu menyaksikan penyitaan.[2]

Mengenai kehadiran Kepala Desa, bukan syarat, tetapi sebaiknya dia diberitahukan dan diundang untuk menghadirinya. Akan tetapi, kalau Kepala Desa dijadikan saksi dia harus hadir:[3]
  • Dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai saksi;
  • bukan dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai Kepala Desa.
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 334.
2. Ibid., Hal.: 334.
3. Ibid., Hal.: 334-335.

Sabtu, 05 Desember 2020

Memberitahukan Penyitaan Kepada Tergugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penyitaan Dilaksanakan Panitera Atau Juru Sita", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Memberitahukan Penyitaan (Sita Revindikasi) Kepada Tergugat.

Tata cara yang perlu ditaati dalam penyitaan, yaitu secara formil pelaksanaan sita harus diberitahukan kepada Tersita atau Tergugat. Pemberitahuan berisi:[1]
  • Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan sita;
  • Menyebut barang dan tempat penyitaan;
  • Agar menghadiri Pelaksanaan sita.
Pemberitahuan agar Tersita menghadiri penyitaan ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (5) HIR. Seperti yang dikatakan di atas, pemberitahuan itu merupakan syarat formil dan bersifat imperatif dengan acuan penerapan:[2]
  1. Pelaksanaan sita yang tidak diberitahukan kepada Tersita (Tergugat) adalah cacat hukum oleh karena itu tidak sah;
  2. Namun ketidakhadiran Tersita dalam pelaksanaan penyitaan, tidak menjadi syarat sahnya sita, asal sudah diberitahukan.
Demikianlah, apabila pemberitahuan telah dilakukan secara resmi dan patut, sudah terpenuhi syarat formil. Kalau Tersita tidak mau hadir pada saat dan tempat penyitaan yang ditentukan:[3]
  • Tidak menjadi masalah hukum, oleh karena itu, ketidakhadiran itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda penyitaan;
  • Dengan demikian tanpa hadirnya Tersita, Penyitaan sah menurut hukum asal sudah diberitahukan kepadanya.
Oleh karena itu, Pengadilan atau Juru Sita yang menunda penyitaan atas alasan Tersita tidak hadir, tidak mempunyai dasar hukum. Jika kehadiran Tersita dijadikan syarat, Tersita dapat bertindak sewenang-wenang dengan cara tidak mau menghadirinya. Berarti kapan pun sita bisa dijalankan, jika hal itu dijadikan syarat.[4]
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H,, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 333-334. 
2. Ibid., Hal.: 334.
3. Ibid., Hal.: 334.
4. Ibid., Hal.: 334.

Jumat, 04 Desember 2020

Penyitaan Dilaksanakan Panitera Atau Juru Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Surat Penetapan Sita Revindikasi", dan pada kesempatan ini akan membahas perihal Penyitaan Dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. 

Berdasarkan Pasal 197 ayat (2) HIR, perintah pelaksanaan menjalankan sita ditujukan kepada Panitera PN. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 39 UU No. 2 tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004 (UU Peradilan Umum) pada setiap PN ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti yang berfungsi membantu Panitera di bidang pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi. Dengan demikian perintah pelaksanaan sita revindikasi dapat dilaksanakan oleh Juru Sita. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (3) HIR yang menegaskan:[1]
  • Panitera dapat diganti oleh seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya;
  • Penggantian itu dilakukan apabila Panitera berhalangan karena pekerjaan jabatannya.
Dalam praktik, dengan adanya jabatan fungsional Juru Sita berdasarkan Pasal 39 UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004, perintah pelaksanaan penyitaan langsung diberikan kepada Juru Sita, tanpa permohonan dari Panitera seperti yang digariskan Pasal 197 ayat (3) HIR.[2] Hal dimaksud sudah sesuai dengan Undang-undang Tentang Peradilan Umum.
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 333.
2. Ibid., Hal.: 333.

Selasa, 01 Desember 2020

Surat Penetapan Sita Revindikasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tata Cara Sita Revindikasi' dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Surat Penetapan Sita Revindikasi.

Tata cara yang pertama, Ketua Pengadilan Negeri atau Majelis Hakim yang memeriksa perkara menerbitkan surat penetapan sita. Apabila Pengadilan berpendapat permohonan sita beralasan, dan oleh karena itu dapat dikabulkan, maka:[1]
  • Pengabulan sita dituangkan dalam Surat Penetapan;
  • Surat Penetapan, berisi perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk melaksanakan sita revindikasi atas objek yang disebut dalam Permintaan.
Perintah sita tidak dapat dibenarkan berbentuk lisan, tetapi mesti berbentuk surat. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (1) HIR, bahwa perintah menjalankan sita harus dengan surat. Oleh karena itu, perintah sita dilakukan dengan jalan menerbitkan surat penetapan yang berisi:[2]
  • Pertimbangan atas pengabulan sita;
  • Perintah pelaksanaan sita kepada Panitera atau Juru Sita;
  • Menyebut satu per satu barang yang hendak disita dari tangan Tergugat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perintah sita secara lisan tidak sah, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya menurut hukum.[3] Dapat penulis simpulkan bahwa sita revindikasi ini dilakukan oleh institusi Pengadilan, secara tersurat dan dilakukan secara operasional oleh Juru Sita.
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-10 tahun 2010, Hal: 333.
2. Ibid., Hal: 333.
3. Ibid., Hal: 333.

Senin, 30 November 2020

Contoh Duplik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label Praktik Hukum, platform Hukumindo.com sebelumnya telah membahas perihal "Gugatan Cerai Di Tangerang", "Contoh Jawaban Gugatan Perdata" dan "Contoh Replik" serta pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Contoh Duplik.

Secara sederhana Duplik adalah jawaban Tergugat atas Replik dari Penggugat. Cukup banyak contoh-contoh duplik yang bisa didapatkan oleh sidang pembaca yang budiman dari dunia maya. Pada kesempatan ini akan penulis pilihkan salah satu contoh Duplik yang dirasa cukup baik, sebagai berikut:[1]

Perihal: Duplik Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III

Kepada Yth :
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sarolangun
Dalam Perkara Perdata Nomor.03/Pdt.G/2009/PN. Srln

Di-
Pengadilan Negeri Sarolangun


Dengan Hormat,

Untuk dan atas nama Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III, berdasarkan surat kuasa khusus No : 01/KK/ P & A/IV/2008, tanggal 13 April 2009, dalam perkara perdata Nomor : 03/Pdt.G/2009/PN.Srln, perkenankan kami:

1. XY, S.H.
2. YZ, S.H.

Masing-masing adalah Advokat/Penasehat Hukum yang tergabung pada XYZ Law Firm, dengan ini mengajukan duplik terhadap dalil-dalil Replik Penggugat tanggal 26 Mei 2009, adalah sebagai berikut:

DALAM EKSEPSI:

Bahwa, pada prinsipnya Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III, tetap pada dalil-dalil dalam Eksepsi/Jawaban terdahulu, dan membantah semua dalil-dalil Penggugat baik dalam gugatannya maupun dalam Replik;

Bahwa, dalil penggugat pada angka 2 adalah tidak benar, karena gugatan kurang pihak (plurium litis consortium) bukanlah semata-mata ditujukan kepada Tergugat saja, tetapi juga berlaku untuk kurang Pihak bagi Penggugat sehingga gugatan menjadi cacat error in persona (kekeliruan mengenai orang). (lihat Buku Hukum Acara Perdata karangan M. Yahya Harahap), oleh sebab itu dalil Penggugat tersebut haruslah di tolak, dan Tergugat serta para Turut Tergugat tetap pada jawaban terdahulu;

Bahwa, dalil Penggugat pada angka 3  dalam eksepsinya adalah tidak benar dan tidak beralasan hukum, dan merupakan kesimpulan Penggugat semata, Penggugat tidak membaca secara keseluruhan dalil-dalil Tergugat dan Para Turut Tergugat, seharusnya Penggugat menyadari bahwa kalimat  yang Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III, tulis tersebut adalah apa yang ada dalam gugatan Penggugat dengan tujuan untuk memperjelas dalil-dalil Tergugat dan Para Turut Tergugat;

Oleh karena itu perlu Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III jelaskan hal tersebut bukanlah pengakuan dari Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III mengenai kepemilikan Penggugat atas tanah objek sengketa, Penggugat hanya menterjemahkan sepotong-sepotong dari dalil –dalil Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III, oleh karenanya dalil Penggugat tersebut haruslah ditolak;

Bahwa, dalil Penggugat pada angka 4 semakin menunjukkan bahwa gugatan Penggugat Kabur, tidak jelas (obscure libel), karena tidak menyebutkan dengan jelas berapa luas tanah dan batas-batas tanah yang menurut Penggugat telah dibangun asset-aset Pemerintah Daerah  Kabupaten Sarolngun (SMPN 13, Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Batang Asai, Kantor dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Kecamatan Batang Asai, Kantor Camat Batang Asai) dalil tersebut hanyalah menggambarkan ketidaktahuan Penggugat atas objek sengketa, karenanya dalil tersebut haruslah ditolak;

Bahwa, apa yang Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III uraikan pada angka 2 diatas sekaligus merupakan bantahan terhadap dalil Penggugat pada angka 5 halaman 2 dalam repliknya tersebut;

Bahwa, menanggapi dalil Penggugat pada bagian II angka 1 dan 2, sebagaimana dalil jawaban Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III terdahulu, Perlu Pembuktian lebih lanjut, mengenai bukti kepemilikan Penggugat tersebut, dan dalil Penggugat haruslah ditolak karena sudah jelas dan nyata gugatan Penggugat kabur mengenai batas-batas dan luas objek sengketa ;

Berdasarkan uraian-uraian eksepsi tersebut diatas, maka sepatutnyalah apabila Mejelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan membuat putusan sebagai berikut:
  1. Menerima Eksepsi/Jawaban dan Duplik Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan bahwa Gugatan dan Replik Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
  3. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;
DALAM POKOK PERKARA:

Bahwa, sebagaimana yang telah Tergugat, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III kemukakan dalam eksepsi di atas, mohon dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari dalil-dalil duplik dalam pokok perkara ini;

Bahwa, pada prinsipnya Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III menolak seluruh dalil-dalil Replik Penggugat, dan Tergugat I, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III tetap pada dalil-dalil dalam jawaban terdahulu;

Bahwa, dalil Penggugat pada angka 2 adalah tidak benar dan merupakan kesimpulan Penggugat secara sepihak, oleh sebab itu haruslah ditolak ;

Bahwa, dalil Penggugat pada angka 3 haruslah dikesampingkan karena tidak benar dan tidak mempunyai dasar hukum, hanyalah ungkapan ketidakpuasan Penggugat, dan Penggugat tidak membaca secara keseluruhan dalil-dalil Tergugat, seharusnya Penggugat menyadari bahwa kalimat  yang Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III tulis tersebut adalah apa yang ada dalam gugatan Penggugat untuk memperjelas dalil-dalil jawaban Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III;

Oleh karena itu perlu Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III jelaskan, hal tersebut bukanlah pengakuan dari Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III mengenai kepemilikan Penggugat atas tanah objek sengketa tersebut Perlu Pembuktian lebih lanjut, Penggugat hanya menterjemahkan sepotong-sepotong dari dalil –dalil Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III, oleh sebab itu dalil Penggugat tersebut haruslah ditolak;

Bahwa, dalil Penggugat pada angka 4 haruslah dikesampingkan, mengenai pertanyaan-pertanyaan yang Tergugat dan para Turut Tergugat jabarkan dalam jawaban terdahulu adalah hal yang wajar karena memang terdapat kejanggalan-kejanggalan, apa lagi dengan terbitnya sertifikat hak milik atas nama ARIFIN, diatas tanah yang merupakan asset Pemerintahan Daearah Kabupaten Sarolangun dan diatasnya terdapat bangunan-bangunan sekolah dan perkantoran yang dipergunakan untuk kepentingan umum;

Bahwa, dalil Penggugat pada angka 5 dan angka 6  adalah tidak benar, karena sudah jelas Tergugat telah mendapat penyerahan tanah yang menjadi objek sengketa tersebut dari H. Matyakin, Daud dan Tayen yang merupakan keturunan dari Penghulu Malin / nenek moyang dari Penggugat (sesuai dengan keputusan Rapat Adat Kecamatan Batang Asai tentang gugatan Sdr. MARBAWI cs (anak Tergugat) terhadap Tanah SMPN 13 Batang Asai) kemudian diperkuat oleh Surat Pernyataan Penyerahan Tanah  tertanggal 12 Juni 1990;

Atas dasar hal tersebut Tergugat membangun sarana dan prasarana yang nota bene adalah untuk kepentingan umum dan merupakan Milik Pemerintah Sarolangun, oleh sebab itu dalil Penggugat tersebut haruslah ditolak dan Tergugat,  Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III, tetap pada dalil jawaban terdahulu;

Bahwa, dalil Penggugat pada angka 7 s/d angka 11 tidak perlu Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III tanggapi karena tidak berdasar hukum, dan Tergugat,  Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III tetap pada dalil jawaban terdahulu, oleh sebab itu dalil Penggugat tersebut haruslah ditolak ;

Bahwa, menanggapi dalil Penggugat pada angka 13 mengenai tuntutan ganti rugi, dimana Penggugat dalam gugatannya terdahulu tidak memperinci dari mana asal-usul angka Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), bahwa tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan fakta-fakta dianggap sebagai tuntutan yang tidak mempunyai dasar hukum, oleh karenanya dalil Penggugat tersebut haruslah di tolak;

Bahwa, menanggapi dalil Penggugat pada angka 14 mengenai Sita Jaminan dari Penggugat terhadap lokasi tanah dan bangunan yang ada diatasnya berupa: Gedung SMPN 13 Batang Asai, Kantor Camat Batang Asai, Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Batang Asai, Kantor dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Kecamatan Batang Asai,  harus ditolak, karena suatu objek sita haruslah dijelaskan secara rinci mengenai letak, luas dan batas-batas secara jelas;

Bahwa, Permintaan Sita Jaminan oleh Penggugat terhadap objek yang tidak disebutkan secara jelas mengenai identitasanya yaitu menyangkut berapa luas tanah dan bangunan-bangunan diatasnya, merupakan permintaan yang kabur objeknya, sehingga tidak mungkin di letakkan Sita terhadap permintaan seperti itu, dan sudah cukup dasar dan alasan untuk menolak dalil Penggugat tersebut;

Kemudian perlu Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III jelaskan bahwa lokasi tanah dan bangunan yang yang ada diatasnya berupa: Gedung SMPN 13 Batang Asai, Kantor Camat Batang Asai, Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Batang Asai, Kantor dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Kecamatan Batang Asai, adalah Asset Pemerintahan Daerah Kabupaten Sarolangun, sesuai dengan ketentuan pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan “Bahwa pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang dan barang milik negara/daerah dan/atau yang dikuasai negara/daerah, uang dan barang milik negara/daerah dan/atau yang dikuasai negara/daerah tersebut diantaranya termasuk barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah", jadi sudah jelas bahwa dalil Penggugat mengenai Sita Jaminan terhadap tanah dan bangunan yang merupakan Asset Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun, dan berikut tuntutan uang paksa tersebut haruslah di tolak;

Bahwa, mengenai dalil Penggugat selebihnya yang tidak Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III tanggapi bukan berarti Tergugat, dan Para Turut Tergugat mengakui, semata-mata karena dalil-dalil tersebut tidak berkwalitas dan tidak mempunyai dasar hukum;

DALAM PROVISI:

Bahwa, Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil Replik Penggugat dalam Provisi, dan Tergugat, para Tergugat tetap pada dalil-dalil jawaban dalam Provisi terdahulu, Oleh sebab itu, mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutuskan “menolak tuntutan Provisi dari Penggugat untuk seluruhnya".

Berdasarkan semua hal-hal yang terurai diatas, maka mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutuskan sebagai berikut:

DALAM PROVISI:

– Menolak tuntutan Provisi dari Penggugat untuk seluruhnya ;


DALAM POKOK PERKARA:
  1. Menolak gugatan dan Replik Penggugat untuk keseluruhan;
  2. Menerima Eksepsi, Jawaban dan Duplik Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III;
  3. Menyatakan bahwa tanah objek sengketa adalah Aset pemerintahan Kabupaten Sarolangun;
  4. Menolak Sita Jaminan (conservatoir beslaag) dan uang paksa (dwangsom) yang dimintakan oleh Penggugat;
  5. Menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh Penggugat;
  6. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat ;
Atau apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (Et Aequo et Bono).

Jambi, 2 Juni 2009

Hormat Kami
Kuasa Hukum Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, Turut Tergugat III

Ttd.

XY, S.H.

Ttd.

YZ, S.H.
______________
Referensi:

1. "Contoh Duplik Perkara Perdata", helmilaw.wordpress.com, 10 April 2010, diakses pada tanggal 29 November 2020, https://helmilaw.wordpress.com/2010/04/10/contoh-duplik-perkara-pidana/

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...