Sabtu, 12 Desember 2020

Contoh Gugatan Isbat Cerai

(vectorstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label praktik hukum platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Jakarta)", dan selanjutnya pada kesempatan ini akan membahas perihal Contoh Gugatan Isbat Cerai. Secara sederhana gugatan isbat cerai adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak perempuan muslim terhadap pasangan lelakinya di Pengadilan Agama terkait yang sebelumnya pernikahan dimaksud belum tercatat di Kantor KUA setempat. Jika kita bicara kasus, maka dapat dirujuk pada kasus artis dangdut Melinda (Pelantun lagu Cinta Satu Malam) melawan Dedi Supardi (Pernah menjabat Bupati Cirebon). Berikut contoh dimaksud.*)

Bandung, 9 Juli 2020

Kepada Yth.:
Ketua Pengadilan Agama Bandung
Jl. Terusan Jakarta No.: 120, Antapani Tengah, Kec. Antapani, 
Kota Bandung, Jawa Barat, 40291. Telp.: 022-7273387.


Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Mr. XYZ, S.H.

Advokat pada “XYZLaw Office, beralamat di Jalan Braga Nomor: 15, Bandung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 27 Juni  2020 (terlampir), dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama:

Nama : ABC Binti HIJ, Jenis Kelamin : Perempuan, Tempat/Tanggal Lahir : Garut/9 Oktober 1985, NIK : 870707900700, Agama : Islam, Pendidikan : S1, Pekerjaan : IRT, Alamat : Jl. Asia-Afrika, Blok C, Kota: Bandung, Provinsi: Jawa Barat.

Baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”.

Penggugat dengan ini mengajukan Gugatan Isbat Cerai, melawan:

Nama: EFG Bin OPQ, Jenis Kelamin: Laki-laki, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta/26 November 1980, NIK: 000000078790006, Agama: Islam, Pendidikan: S1, Pekerjaan: Karyawan swasta, Alamat: Jl. Asia-Afrika, Blok E, Kota: Bandung, Provinsi: Jawa Barat.

Selanjutnya dalam perkara a quo disebut sebagai “Tergugat”. 

Adapun posita gugatan Penggugat adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
  1. Bahwa, pada tanggal 7 Oktober 2008, Penggugat melangsungkan pernikahan dengan Tergugat menurut agama Islam di wilayah hukum Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan: Banjar, Kota: Banjar, Provinsi: Jawa Barat;
  2. Bahwa, pada saat pernikahan tersebut Penggugat berstatus Gadis, dan Tergugat berstatus Perjaka, pernikahan dilangsungkan dengan wali nikah adalah SDI, dan dihadiri saksi nikah masing-masing bernama Bapak WYT dan Bapak FZY, adapun mas kawin berupa Seperangkat Alat Sholat, Emas seberat 24 gram dan uang tunai sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta Rupiah) yang dibayar tunai;
  3. Bahwa, antara Penggugat dengan Tergugat tidak ada pertalian nasab, pertalian kerabat semenda dan pertalian sesusuan serta memenuhi syarat dan tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan, baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Bahwa, setelah nikah, pada tahun pertama, antara Penggugat dengan Tergugat tinggal rumah orangtua Penggugat atau tinggal di rumah orang tua Tergugat, karena letaknya memang berdekatan, kemudian pada tahun kedua dan seterunya antara Penggugat dengan Tergugat tidak tingggal satu rumah dikarenakan Tergugat berkerja di lain kota, diantaranya Tergugat bekerja di Kota Bogor dan di Tasikmalaya;
  5. Bahwa, selama pernikahan antara Penggugat dengan Tergugat telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2 orang keturunan, yaitu: a). MNO, Laki-laki, umur 10 tahun; b). OPQ, Laki-laki, Umur 10 tahun.
  6. Bahwa, selama pernikahan tersebut tidak ada pihak ketiga yang mengganggu gugat pernikahan Penggugat dengan Tergugat tersebut dan selama itu pula Penggugat dan Tergugat tetap beragama Islam;
  7. Bahwa, sampai sekarang Penggugat tidak mempunyai kutipan akta nikah, karena pernikahan Penggugat ternyata tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjar dengan alasan petugas tidak mencatat pernikahan tersebut, sementara Penggugat sangat membutuhkan bukti keabsahan perkawinan tersebut dan karenanya Penggugat mohon agar perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat terlebih dahulu ditetapkan keabsahannya sebagai bukti kebasahan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat untuk alasan hukum dalam pengurusan perceraian antara Penggugat dengan Tergugat;
  8. Bahwa, pada awal-awal pernikahan telah terjadi perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat. Namun, kurang lebih sejak awal tahun 2015 ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai tidak harmonis dengan adanya perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat yang terus menerus yang sulit untuk dirukunkan lagi yang disebabkan antara lain: a). Tergugat suka main game online; b). Tergugat suka main perempuan;
  9. Bahwa, puncak keretakan hubungan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tersebut adalah awal Tahun 2016, yang akibatnya antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sampai dengan saat ini. Hal mana pada bulan Februari tahun itu Tergugat secara lisan dan tertulis menjatuhkan talak kepada Penggugat;
  10. Bahwa, dengan kejadian tersebut rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi dapat dibina dengan baik sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah sulit dipertahankan lagi, dan karenanya agar masing-masing pihak tidak lebih jauh melanggar norma hukum dan norma agama maka perceraian merupakan alternatif terakhir bagi Penggugat untuk menyelesaikan permasalahan antara Penggugat dengan Tergugat;
  11. Bahwa, untuk memenuhi ketentuan Pasal 84 ayat (1) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 yang diubah oleh Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor: 28/TUADA-AG/X/2002 tanggal 22 Oktober 2002 memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Bandung untuk mengirimkan Salinan Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama di tempat tinggal Penggugat dan Tergugat dan Kantor Urusan Agama tempat perkawinan Penggugat dan Tergugat untuk dicatat dalam register yang tersedia untuk itu;
  12. Penggugat mohon agar Putusan ini dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya Verzet, Banding, Kasasi maupun upaya hukum lainnya;
  13. Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini;
Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Bandung untuk memutus dengan petitum sebagai berikut:

Primair:
  1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan sah perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2008, bertempat di Kecamatan Banjar, Kota: Banjar, Provinsi: Jawa Barat;
  3. Menjatuhkan talak satu ba'in shughra Tergugat (EFG Bin OPQ) terhadap Penggugat (ABC Binti HIJ);
  4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Bandung untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan setempat untuk mencatat perceraian tersebut;
  5. Biaya perkara menurut hukum.
Subsidair:

Atau, apabila Ketua Pengadilan Agama Bandung berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono).

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Hormat Kami,
Kuasa Hukum Penggugat


Ttd.

Mr. XYZ, S.H.
_____________
Referensi:

*) Dokumen pribadi penulis


Jumat, 11 Desember 2020

Contoh Kesimpulan Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah memuat artikel yang berjudul "Contoh Duplik", dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Contoh Kesimpulan. Berikut penulis pilihkan contoh sebagaimana diuraikan di bawah ini.[1] Penulis tekankan bahwa ini hanya sebatas contoh saja, dan sidang pembaca bisa mengkritisi contoh tersebut. Misalnya saja, sepanjang penulis berpraktik, di dalam sebuah surat kesmimpulan, tetap memuat petitum gugatan, meskipun isinya sama dengan petitum sebagamana tertulis dalam gugatan. Silahkan check contoh berikut ini.


KESIMPULAN PENGGUGAT
PERKARA PERDATA NO. 52/PDT.G/2012/PN. JKT. SEL.
PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
ANTARA
EVA DWINOPIANTI.....................PENGGUGAT
MELAWAN
JAKSA AGUNG RI............TERGUGAT I
REYZA ANDRIAN....................TERGUGAT II


Kepada Yth.
Majelis Hakim Perkara Perdata No. 52/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel
Jalan Ampera No. 133 Ragunan, Pasar Minggu
Jakarta Selatan

Perihal : Kesimpulan Penggugat


Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Gandi Husodo, S.H., M.H. dan Lidya Desnia Ida Masta, S.H., M.H. Advokat/Pengacara dan Penasihat Hukum pada Ganlid & Partners Law Firm. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus pada tanggal 28 Januari 2012 (Surat Kuasa terlampir) dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama serta mewakili Eva Dwinopianti selaku PENGGUGAT, perkenankanlah bersama ini kami menyampaikan Kesimpulan dalam Perkara Perdata No. 52/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel sebagai berikut:

Tanggapan atas bukti Tergugat I

Bukti TI-4 yang diajukan oleh Tergugat I membuktikan bahwa tanah dan bangunan yang ada di atasnya di Jalan Tepekong No. 10, Grogol Selatan adalah milik Penggugat yang dapat dibuktikan melalui Sertifikat Hak Milik No. 605/Grogol Selatan.

Bukti TI-5 yang diajukan oleh Tergugat I membuktikan bahwa benar telah terjadi transaksi jual-beli tanah bersertifikat Hak Milik No. 605/Grogol Selatan, di mana pihak penjual adalah Reyza Andrian sendiri dan pihak pembeli adalah Sugijarto. Dan Bukti TI-7 menguatkan kepemilikan Penggugat atas tanah dan rumah tersebut karena Penggugat telah membeli secara sah tanah dan bangunan di atasnya bersertifikat Hak Milik no. 605/ Grogol Selatan dari Sugijarto dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Hanny Sudarmadi, SH.

Bukti TI-12 yang diajukan oleh Tergugat I membuktikan bahwa adalah benar Tergugat I telah memberikan Sertifikat Hak Milik No. 605/ Grogol Selatan kepada Tergugat II.

Tanggapan atas bukti Tergugat II

Bukti TII-3 dan Bukti TII-4 yang diajukan oleh Tergugat II menguatkan dalil yang disampaikan oleh Penggugat bahwa Tergugat II terbukti benar telah menerima Sertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan yang diberikan oleh Tergugat I.

Bukti TII-5, TII-6, TII-7 yang diajukan oleh Tergugat II membuktikan Tergugat II benar-benar ingin menguasai tanah dan rumah di Jalan Tepekong No. 10, Grogol Selatan yang sebenarnya adalah tanah dan rumah Penggugat. Hal ini dikuatkan oleh Bukti TII-10 yang diajukan oleh Tergugat II bahwa Tergugat II telah menjual tanah dan bangunan yang ada di atas tanah tersebut kepada Sugijarto secara sah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Didi, S.H.

Saksi yang diajukan oleh Penggugat

Bahwa Saksi yang diajukan oleh Penggugat, yakni: Hadeli Firman dan Sugijarto diperoleh keterangan dalam persidangan yang menyatakan bahwa benar Tergugat II telah melakukan pinjaman kepada Bank Natin dan tidak sanggup untuk melunasinya sehingga Pihak Bank Natin melakukan penjualan atas barang yang dijamin, yakni Sertifikat Hak Milik no. 605 /Grogol Selatan yang berupa tanah seluas 450 M2 beserta rumah di atasnya kepada Sugijarto, di mana Tergugat II sendiri sebagai pihak penjual dan Hadeli Firman (Pimpinan Bank Natin) sebagai saksi. Jual beli tersebut dilakukan dihadapan notaris Bpk. Didi Sujadi, SH. Kemudian Sugijarto menjual tanah dan rumah di atasnya tersebut kepada Penggugat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Hanny Sudarmadi, SH. Karena Hadeli Firman (Pimpinan Bank Natin) terlibat kasus Pidana sehingga Sertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan disita oleh pihak kepolisian. Penggugat merasa dirugikan dan meminta sertifikat tersebut dikembalikan. Dengan dikeluarkannya Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka Sertifikat tersebut dapat dikembalikan, namun oleh Tergugat I Sertifikat tersebut dikembalikan kepada Tergugat II.

Saksi yang diajukan oleh Tergugat II

Bahwa Saksi yang diajukan oleh Tergugat II, yakni Budiono dan Zainudin Kusumahbrata diperoleh keterangan dalam persidangan yang menyatakan bahwa Tergugat II telah melunasi pinjaman yang Ia pinjam di Bank Natin. Dan Tergugat II tidak mengetahui adanya transaksi jual beli tanah dan rumah bersertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan yang Ia jaminkan.

Bahwa berdasarkan bukti-bukti sebagaimana yang dimaksud di atas terungkap dalam persidangan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh Tergugat I dan Tergugat II atas pembelaan diri yang tidak baik dan tidak bertanggung jawab serta tidak terbukti, oleh karena itu alasan-alasan itu haruslah ditolak;
  2. Bahwa tanah dan rumah di atasnya yang bersertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan, Penggugat dapatkan dengan transaksi jual-beli yang sah dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Hanny Sudarmadi, SH dengan pihak penjual adalah Sugijarto, yang tertuang dalam Akta Jual Beli No.1/Kebayoran Lama/2003.
  3. Bahwa Sugijarto membeli rumah beserta tanah tersebut dari Tergugat II dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Bpk Didi Sujadi, SH, di mana pihak penjualnya adalah Tergugat II sendiri dengan saksi adalah Hadeli Firman (Pimpinan Bank Natin). Jual beli ini tertuang dalam Akta Jual Beli No. No.52/1/Kebayoran Lama/1993. Proses penjualan rumah beserta tanahnya itu lantaran Tergugat II tidak dapat melunasi pinjaman yang dipinjamnya di Bank Natin.
  4. Tergugat I telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum dengan menyerahkan Sertifikat Hak Milik no. 605/Grogol Selatan kepada Tergugat II sesuai dengan surat dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan No. B-2658/ 0.1.14/Euh.2/10/2011.

Jakarta, 1 Agustus 2012

Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat


Ttd.

G H, S.H., M.H.  


Ttd.

L D I M, S.H., M.H.
_____________________________
Referensi:

1. "Contoh Kesimpulan (Penggugat)", lawlowlew.blogspot.com, diakses pada tanggal 11 Desember 2020, http://lawlowlew.blogspot.com/2013/01/contoh-kesimpulan-penggugat.html

Kamis, 10 Desember 2020

The Meaning of Customary Criminal Sanctions in the Baduy Customary Law Community

(idntimes.com)

Oleh:
M. Noor Fajar Al Arif Firtiana; I Nyoman Nurjaya; Abdul Madjid; Nurini Aprilianda

Previously platform Hukumindo.com has publish "Penyelesaian Sengketa Pada Suku Osing (Kabupaten Banyuwangi)" article, on this occasion The Meaning of Customary Criminal Sanctions in the Baduy Customary Law Community is in our subject.

Abstract

Baduy customary community is one of the customary law communities that still exists, including in their customary law, there is a philosophical difference in the interpretation of criminal sanctions on  positive law and customary law. Positive law reflects more absolutes so that it is far from a sense of justice as the law aspires, while Baduy customary law prioritizes the restoration of behavior and harmony. This research uses the antro legal social approach with qualitative analysis.

Keywords: Sanctions; Customary Crimes; Customary Law Communities

Introduction

Indonesia is a big country that is not known for its natural wealth but is also known for its multicultural wealth. Multi-cultural wealth has an impact on how you interact in life. As a pluralism-based state, the existence of indigenous and tribal peoples who live and develop and have their own legal systems, in other words the law applies in Indonesia not only state law but also customary law and religious law. The third position of the legal system based on the concept of legal pluralism has the same position and still exists in several regions, although sometimes the legal system faces each other.

Among the the customary law communities in Indonesia that still exist, there is a Baduy customary community. The Baduy customary community has its own legal system that has been in place for hundreds of years. Customary law in the Baduy community which is reflected in customary rules (mandate of wiwitan) is a collection of ethics or behavior that is formed into a philosophical life that is:
"Gunung teu benang di lebur Lebak teu benang dirakrak Lojor teu benang dipotong Pondok teu benang disambung (mountains cannot be destroyed, valleys must not be destroyed, long must not be cut, short must not be continued)."

For the Baduy customary law community, the wiwitan mandate has a very deep philosophy of maintaining a balance between humans and humans, humans with nature and humans with their God through mutual interaction, compassion and foster care. Conformity between an act with customs and customary law is a necessity because it is passed down from generation to generation since human life has become a benchmark, guidelines, rules, norms of life, customary law and is the basis of religious expectations.

The increase in crime and the number of fostered citizens in a country indicates that there are serious problems in resolving law enforcement. Law enforcement carried out on positive law prioritizes misery while in the customary law community especially the Baduy community criminal law is not intended to provide misery or suffering but instead provides an improvement to behavior.

Formulation of The Problem: What is the meaning of criminal sanctions on the Baduy customary community?

Research Methods: This research is a legal research using the socio-legal antro approach. The data used are primary data and secondary data analyzed using qualitative analysis.

Analysis

According to Dyah Irawati and Hinijati, the presence of law had never thought about whether to consider whether or not it would be recognized by state power, but instead it had emerged genuinely from within the unitary community of customary peoples long before the birth of the state. This indicates the real authenticity of customary law, because customary law arises from the content of the community itself.

autonomously and it is called authentic. The pattern of interaction is a source of community knowledge which then gives birth to the values of wisdom that underlie the patterns of behavior that govern the behavior of customary peoples in a group so that the code of conduct is held, respected and has the power to remember for the community.

Any violation of customary law or customary criminal act will result in damage, not only to the level of the body and lives of people (victims), but also to cause disturbance or shock in the magical realm due to natural imbalances. This has consequences, the resolution of violations of the law is not enough to only be an outward solution but must also include restoring the balance of nature.

In the Baduy customary law community, legal settlement is the most recent effort, so it must be based on the foundation of "justice and silih hampura/forgiveness". This philosophy guarantees a balance in legal settlement on the one hand and creates harmony between peace and tranquility on the other. In relation to justice, the justice referred to by the Baduy traditional law community is to place something in its position, a value which is a balance point between legal certainty and legal usefulness. The solution by forgiving each other aims to maintain and re-realize the balance of the cosmos, restore the existing cosmopolitan and keep the order of human life running well and harmoniously.

The law gets attention and is felt as a sanction for community members depending on the values and behavior that grows from the awareness of the community members concerned. In the law, it is not difficult for us to know, it can be seen in the legislation, on the court, before the judge, in certain institutions, but in customary law it is not easy to know, because what is said customary law is not in the form of systemic regulations and modified.

One of the factors that is driving the obedience and obedience of individuals to the law is none other than the existence of sanctions so it cannot be imagined how the law can be binding without sanctions, whether effective or even vice versa. Criminal law, for example, which has a different legal system compared to other fields of law that bases more sanctions on physical sanctions also raises the pros and cons of criminal sanctions imposed by judges, both among legal practitioners and legal academics themselves, especially among those seeking justice. Every social relationship must not conflict with the provisions in the existing legal regulations and apply in society. Sanctions in the form of (criminal) penalties will be imposed on any violator of existing legal regulations as a reaction to an unlawful act he committed.

Criminal sanctions as stated by Van Bemmelen last cure (utimum remidium). This last cure is the ultimate step if the enforcement mechanism in other fields of law does not work effectively, but in the development of Indonesian criminal law criminal sanctions in some cases shifted their position. No longer as ultimum remidium but as premium remidium (the main cure).

Crime prevention by using criminal law wherever criminal law is built based on and derived from the legal values that live in society, the criminal law that will be built will reflect the social, cultural and structural values of Indonesian society, bringing the consequences that in overcoming crime by means of penal, criminal law can be used as a source and needs to be studied in depth, so that it can carry out its role as a source of national criminal law that can support the implementation of legal development.

There is a difference meaning in giving sanctions to national law and adat law. The meaning of sanctions in national criminal law is still oriented towards retaliation and detention of the perpetrators so that the perpetrators do not repeat their actions again. It is explicitly interpreted that the meaning of sanctions actually kills the character and future of the perpetrators because the perpetrators are not protected by their human rights. It is often illustrated that prison is a crime high school, so Sudarto  defines criminality as suffering intentionally given to people who commit acts that meet certain conditions.

Types of criminal sanctions in the Criminal Code (Criminal Code), Article 10.

Criminal principal:
  1. Criminal death;
  2. Criminal imprisonment;
  3. Criminal confinement;
  4. Criminal fines, and
  5. Criminal closing
Additional crimes consist of:
  1. Revocation of certain rights
  2. Expropriation of certain items;
  3. Announcement of the judge's decision
Although normatively in Law No. 12 of 1995 concerning Corrections, Article 2, the correctional system is implemented in order to form correctional fostered citizens so that they become fully human, aware of mistakes, improve themselves and do not repeat criminal acts so that they can be re-accepted by the community, can actively plays a role in development, and can live reasonably as a good and responsible citizen.

The meaning of the sanctions is very much different from the meaning of sanctions on the customary law community, especially the Baduy customary law community. In tracing the meaning of sanctions on customary law can use the method said by Llewellyn and Hoebel in three ways, namely:
  1. By investigating abstract norms that can be recorded in the memories of customary leaders, community leaders or authority holders who are authorized to make legal decisions (ideology method)
  2. By observing every real action / actual behavior of community members in daily life when interacting in their community (descriptive method)
  3. By reviewing cases of disputes that have occurred or are occurring in the community (trauble cases method).
The purpose of imposing sanctions on customary peoples is to restore the disturbed balance due to adat violations. This concept of thought has been absorbed in the souls of Baduy people, which resulted in a belief that the occurrence of unresolved adat violations according to the provisions of the prevailing customary law will be able to cause disruption that causes the suffering of customary peoples. So a recovery step is needed by imposing a customary obligation on the offender in the form of organizing certain rituals to restore the situation at a time. If it is not fulfilled, then greater responsibility is needed, because there must be, related to converging, expensing, converging, fighting or the surrounding community. This thought is due to issuing customary sanctions in the application of customary and cosmic court laws is always linking them with the cosmic and always linking these two realms that there must be a balance of the world of birth and the inner world.

Imposition of customary sanctions that will be given to the perpetrators is not immediate but must pay attention to the mental and physical condition of the perpetrators, if the perpetrators are in not a state of mental and physical health then the imposition of sanctions for adat trials must be postponed. This is the meaning of the law must be wise in Baduy customary law, after recovering the health of the perpetrators, then execute a ceremonial ceremony and imposing customary sanctions.

If we compare the meaning of Baduy customary criminal sanctions with the meaning of criminal sanctions in the Criminal Code, there is clearly a philosophical difference, the Criminal Code is currently more philosophical in punishment while the philosophy of Baduy customary law sanctions as stated by Ayah Mursyid is protect human dignity and maintain harmony, which means that even if a person is considered guilty but must still be protected by his rights, family good name, family's future, and maintain the integrity of his family because of imposing sanctions that are inappropriate or should actually damage the balance of nature. Similarly with Jaro Saija the meaning of sanctions is coaching towards one's. behavior, especially their mind, when one's mind is calm then they will behave properly. In giving sanctions, don't overdo it because it will have a bad impact, not only for the perpetrators, the family but also for the customary, so the dignity of the perpetrators must also be maintained, the implementation of customary sanctions is not forced. However, if it is not implemented, it will have a bad impact on them, their family or their descendants, because the philosophy of sanctions of the Baduy customary people returns the balance and harmony of the community as before (Restitutio in integrum).

The meaning of harmony is associated with maintaining wholeness in the family. In Baduy customary criminal sanctions that are associated with criminal deprivation of independence. Customary violations with sanctions are exiled / excluded including categorized as severe traditional violations. There is a uniqueness in exile for perpetrators of customary violations in Baduy, perpetrators who were exiled for 40 days under Baduy customary law, are allowed to bring their families. According to Ayah Murshid, aside from protecting human dignity and also aiming to maintain harmony. According to the harmonious researcher in question there are 2 (two) meanings:
  1. Harmony with the community, which is when the criminal period is over, the perpetrators and the family (if they brought) can interact again with other communities as usual, for the Baduy community, a person who has served traditional punishment accompanied by a Ngabokoran or a traditional ceremony then he is considered as a clean person, and Baduy customary people will not give a stamp or sitgma as perpetrators of crime. Ngabokoran is a cleansing ceremony for traditional violations committed by perpetrators, this ceremony is not intended as a torture or suffering but to restore cosmic balance.
  2. Harmony with the family that each head of the family has rights and obligations to his wife and children. The obligation to maintain safety and comfort, to the child, parents are obliged to give attention and affection to their children, the obligation to the spouse is the obligation to provide for birth, inner and biological needs. This must be applied to avoid sexual irregularities, sexual harassment, same-sex rape and the practice of renting space in prisons by prisoners. That is the philosophy why in customary Baduy people who are exiled are allowed to bring their wife and children.
In this harmony, there are family values that are security values and comfort values. These values can only be given by the head of the family. The meaning of this sanction, according to the researcher, should be applied to all criminal acts regulated in Indonesian criminal law, not only limited to criminal acts regulated in customary law. If it is limited to certain criminal acts which are only regulated by customary law or subject to customary law, then the values or principles contained in customary law cannot be function as the soul of the nation or the volkgeist who animates national law. But only limited in concrito to customary law in national law.

Conclusion

The meaning of sanctions on positive law is still miserable or absolutism, so naturally the crime rate is still high, in contrast to the meaning of sanctions on the Baduy customary law community prioritizing protecting dignity and maintaining harmony.
_____________
Bibliography
  • Agus Surono, Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remidium Dalam Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, December 7, 2019.
  • Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2013.
  • I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Persepektif Antropologi Hukum, UM Press, Malang, 2006.
  • Mohammad Jamin, Politik Hukum Peradilan adat di Propinsi Papua Pasca Berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus, Malang. Disertasi tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013.
  • Nyoman Serikat, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
  • Rusli, Tinjauan Yuridis Persamaan dan Perbedaan Sanksi Pidana Antara Hukum Pidana Islam Dengan Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Ilmun Hukum Legal Opinion Edisi 6 Volume 2 Tahun 2014.
  • Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto, FH-Undip, 2009.
Copyrights

International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding (IJMMU) Vol. 7, No. 3, April 2020. Copyright for this article is retained by the author(s), with first publication rights granted to the journal.

Selasa, 08 Desember 2020

Pelaksanaan Sita Dilakukan Di Tempat Barang Terletak

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Juru Sita Dibantu Dua Orang Saksi" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Pelaksanaan Sita Dilakukan Di Tempat Barang Terletak.

Ketentuan ini bertitik tolak dari Pasal 197 ayat (9) HIR yang menjelelaskan barang yang disita ditinggalkan di tempat orang yang disita barangnya.[1] 

Oleh karena itu, penyitaan tidak dapat dijalankan di luar tempat barang itu berada. Juru sita dan saksi yang melaksanakan penyitaan langsung mendatangi tempat barang yang hendak disita berada. Penyitan yang dilakukan dari belakang meja, tidak sah.[2]

Juru sita dan saksi harus melihat dan mengamati sendiri objek barang sitaan. Bahkan kalau yang hendak disita barang tidak bergerak seperti tanah, juru sita dan saksi harus mengukur dan mencocokan luas dan batas-batasnya sesuai dengan yang disebut dalam permohonan sita.[3]
_____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 335.
2. Ibid., Hal.: 334.
3. Ibid., Hal.: 334.

Senin, 07 Desember 2020

Juru Sita Dibantu Dua Orang Saksi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Memberitahukan Penyitaan Kepada Tergugat", dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Juru Sita Dibantu Dua Orang Saksi.

Hal ini, juru sita dibantu dua orang saksi, diatur dalam Pasal 197 ayat (6) HIR, pada waktu Juru Sita melaksanakan penyitaan:[1]
  • Dibantu dua orang saksi, dengan menyebut nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya dalam berita acara sita;
  • Saksi harus penduduk Indonesia: a). Paling tidak berumur 21 tahun, dan b). orang yang dapat dipercaya.
Ketentuan ini bersifat imperatif. Mengabaikannya merupakan pelanggaran terhadap undang-undang yang mengakibatkan penyitaan tidak sesuai dengan hukum (undue process of law), sehingga penyitaan batal demi hukum. Dalam praktik, saksi yang mendampingi Juru Sita, diambil dari kalangan pegawai PN yang bersangkutan. Tindakan ini dapat dibenarkan untuk memudahkan pelaksanaan. Jika diambil dari masyarakat luar, dapat menghambat pelaksanaan sita, karena tidak mudah mendapatkan orang yang bersedia buang waktu menyaksikan penyitaan.[2]

Mengenai kehadiran Kepala Desa, bukan syarat, tetapi sebaiknya dia diberitahukan dan diundang untuk menghadirinya. Akan tetapi, kalau Kepala Desa dijadikan saksi dia harus hadir:[3]
  • Dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai saksi;
  • bukan dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai Kepala Desa.
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 334.
2. Ibid., Hal.: 334.
3. Ibid., Hal.: 334-335.

Sabtu, 05 Desember 2020

Memberitahukan Penyitaan Kepada Tergugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penyitaan Dilaksanakan Panitera Atau Juru Sita", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Memberitahukan Penyitaan (Sita Revindikasi) Kepada Tergugat.

Tata cara yang perlu ditaati dalam penyitaan, yaitu secara formil pelaksanaan sita harus diberitahukan kepada Tersita atau Tergugat. Pemberitahuan berisi:[1]
  • Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan sita;
  • Menyebut barang dan tempat penyitaan;
  • Agar menghadiri Pelaksanaan sita.
Pemberitahuan agar Tersita menghadiri penyitaan ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (5) HIR. Seperti yang dikatakan di atas, pemberitahuan itu merupakan syarat formil dan bersifat imperatif dengan acuan penerapan:[2]
  1. Pelaksanaan sita yang tidak diberitahukan kepada Tersita (Tergugat) adalah cacat hukum oleh karena itu tidak sah;
  2. Namun ketidakhadiran Tersita dalam pelaksanaan penyitaan, tidak menjadi syarat sahnya sita, asal sudah diberitahukan.
Demikianlah, apabila pemberitahuan telah dilakukan secara resmi dan patut, sudah terpenuhi syarat formil. Kalau Tersita tidak mau hadir pada saat dan tempat penyitaan yang ditentukan:[3]
  • Tidak menjadi masalah hukum, oleh karena itu, ketidakhadiran itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda penyitaan;
  • Dengan demikian tanpa hadirnya Tersita, Penyitaan sah menurut hukum asal sudah diberitahukan kepadanya.
Oleh karena itu, Pengadilan atau Juru Sita yang menunda penyitaan atas alasan Tersita tidak hadir, tidak mempunyai dasar hukum. Jika kehadiran Tersita dijadikan syarat, Tersita dapat bertindak sewenang-wenang dengan cara tidak mau menghadirinya. Berarti kapan pun sita bisa dijalankan, jika hal itu dijadikan syarat.[4]
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H,, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 333-334. 
2. Ibid., Hal.: 334.
3. Ibid., Hal.: 334.
4. Ibid., Hal.: 334.

Jumat, 04 Desember 2020

Penyitaan Dilaksanakan Panitera Atau Juru Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Surat Penetapan Sita Revindikasi", dan pada kesempatan ini akan membahas perihal Penyitaan Dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. 

Berdasarkan Pasal 197 ayat (2) HIR, perintah pelaksanaan menjalankan sita ditujukan kepada Panitera PN. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 39 UU No. 2 tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004 (UU Peradilan Umum) pada setiap PN ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti yang berfungsi membantu Panitera di bidang pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi. Dengan demikian perintah pelaksanaan sita revindikasi dapat dilaksanakan oleh Juru Sita. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (3) HIR yang menegaskan:[1]
  • Panitera dapat diganti oleh seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya;
  • Penggantian itu dilakukan apabila Panitera berhalangan karena pekerjaan jabatannya.
Dalam praktik, dengan adanya jabatan fungsional Juru Sita berdasarkan Pasal 39 UU No. 2 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004, perintah pelaksanaan penyitaan langsung diberikan kepada Juru Sita, tanpa permohonan dari Panitera seperti yang digariskan Pasal 197 ayat (3) HIR.[2] Hal dimaksud sudah sesuai dengan Undang-undang Tentang Peradilan Umum.
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 333.
2. Ibid., Hal.: 333.

Selasa, 01 Desember 2020

Surat Penetapan Sita Revindikasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tata Cara Sita Revindikasi' dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Surat Penetapan Sita Revindikasi.

Tata cara yang pertama, Ketua Pengadilan Negeri atau Majelis Hakim yang memeriksa perkara menerbitkan surat penetapan sita. Apabila Pengadilan berpendapat permohonan sita beralasan, dan oleh karena itu dapat dikabulkan, maka:[1]
  • Pengabulan sita dituangkan dalam Surat Penetapan;
  • Surat Penetapan, berisi perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk melaksanakan sita revindikasi atas objek yang disebut dalam Permintaan.
Perintah sita tidak dapat dibenarkan berbentuk lisan, tetapi mesti berbentuk surat. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (1) HIR, bahwa perintah menjalankan sita harus dengan surat. Oleh karena itu, perintah sita dilakukan dengan jalan menerbitkan surat penetapan yang berisi:[2]
  • Pertimbangan atas pengabulan sita;
  • Perintah pelaksanaan sita kepada Panitera atau Juru Sita;
  • Menyebut satu per satu barang yang hendak disita dari tangan Tergugat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perintah sita secara lisan tidak sah, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya menurut hukum.[3] Dapat penulis simpulkan bahwa sita revindikasi ini dilakukan oleh institusi Pengadilan, secara tersurat dan dilakukan secara operasional oleh Juru Sita.
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-10 tahun 2010, Hal: 333.
2. Ibid., Hal: 333.
3. Ibid., Hal: 333.

TEOFL Requirements for Civil Servant Candidate Tests Challenged to the Indonesia Constitutional Court

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding...