Tim Hukumindo
Pada
kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Sebagai Kaidah dan Kebiasaan” telah kita selesaikan,
kemudian kita akan beranjak untuk memahami kaidah hukum dalam posisinya sebagai
salah satu kaidah dalam etika dan hubungannya dengan kaidah-kaidah lain. Adapun
buku yang dijadikan acuan dalam kuliah ini adalah “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding
tot de studie van het Nederlandse recht”, karya Prof. Mr. Dr. L. J. Van
Apeldorn, penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), tahun 1993.
A. Pendahuluan
Hukum
terdiri dari peraturan-peraturan/kaidah-kaidah tingkah laku. Tetapi selain
daripada hukum, masih ada peraturan/kaidah lain. Kumpulan dari segala
peraturan-peraturan dimaksud bernama etika. Etika meliputi kaidah-kaidah
tentang agama, kesusilaan, hukum dan adat. Pada zaman dahulu, manusia tidak
membedakan perbedaan-perbedaan itu. Misalnya dalam “The Ten Commandments”,
dalam kitab Zabur atau Al-Qur’an terdapat bermacam-macam kaidah agama,
kesusilaan, dan hukum yang dicampuradukan, pada waktu itu alasannya adalah
dikarenakan seluruhnya berasal dari Tuhan. Meskipun hubungan antar kaidah
dimaksud adalah erat, akan tetapi kesadaran untuk membedakannya datang di
kemudian hari.[1]
B. Hukum Dan Adat
Berbeda Dari Kesusilaan Dan Agama
1.
Hukum dan Kesusilaan
Hidup
manusia mempunyai dua segi: manusia sekaligus adalah makhluk perseorangan dan
juga makhluk sosial. Kesusilaan menyangkut manusia sebagai perseorangan, hukum
dan adat menyangkut kemasyarakatan. Kesusilaan memberi peraturan untuk
seseorang. Sebaliknya hukum dan adat ditujukan pada manusia sebagai makhluk
masyarakat. Orientasinya, ia menghendaki kesempurnaan masyarakat.[2]
Antara
hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, terutama
terdapat perbedaan tujuan. Tujuan hukum ialah tata tertib masyarakat yang baik;
tujuan kesusilaan ialah penyempurnaan seseorang. Dengan perbedaan tersebut,
terdapat hubungan erat dengan perbedaan yang lain, yang lebih mengenai isinya,
Hukum dan adat yang menghendaki peraturan masyarakat yang baik, memberikan
peraturan-peraturan untuk perbuatan-perbuatan lahir manusia. Kesusilaan yang
ditujukan pada kesempurnaan seseorang, pertama-tama tidak mengindahkan
perbuatan-perbuatan manusia, melainkan lebih mengindahkan sikap batin. Akan
tetapi perbedaan-perbedaan itu jangan terlalu dibayangkan terlalu tajam.[3]
Akan
tetapi, perbedaan antara hukum dan kesusilaan ialah: bila tingkah laku lahir
seseorang sesuai dengan peraturan hukum, maka hukum tidak menanyakan kehendak
baiknya. Hukum merasa cukup dengan tingkah laku lahir yang sesuai dengan
peraturannya. Meskipun ketika seseorang melanggar hukum, diperhatikan juga
kehendak baiknya. Hal ini menjelaskan bahwa ketika seseorang melanggar hukum,
ternyata menjadikan kedua kaidah ini saling mendekati, bahkan saling tumpang
tindih. Hukum tidak jarang terpaksa menjatuhkan vonis hukuman atas perbuatan-perbuatan
yang ditimbulkan oleh alasan-alasan yang dibenarkan oleh kesusilaan.[4]
Perbedaan
antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, adalah
terkait asal-usul kaidahnya. Rumusannya adalah sebagai berikut: Kesusilaan
adalah otonom, hukum (demikian juga adat) adalah heteronom. Dalam hukum,
kekuasaan dari luarlah yang meletakkan kemauannya kepada kita, yakni
masyarakat. Kita takluk pada hukum di luar kehendak kita, hukum mengikat kita
tanpa syarat. Sebaliknya seluruh susila adalah suatu tuntutan yang dilakukan
orang terhadap dirinya sendiri. Kesusilaan mengikat kita karena kehendak kita
sendiri. Perbedaan lain juga erat kaitannya dengan titik pangkal pikiran kita.
Hukum menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik. Tujuan ini hanya
tercapai jika di luar dan di atas perseorangan terdapat kekuasaan yang tidak
berpihak yang membuat perintah bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain.
Sedangkan kesusilaan menghendaki kesempurnaan diri seseorang. Apa yang dapat
dipandang mencukupi tujuan itu hanya dapat ditentukan oleh tiap-tiap orang
untuk dirinya sendiri.[5]
Hukum
dan adat, sebagai peraturan tingkah laku, dapat dibedakan dari kesusilaan dari
segi bagaimana orang patuh terhadapnya. Kesusilaan berakar dari suara hati
manusia. Sifat perintah susila ialah bahwa ia harus dipenuhi dengan sukarela.
Satu-satunya kekuasaan yang berdiri di belakang kesusilaan adalah kekuasaan
suara hati manusia sendiri. Sedangkan dalam hukum, kekuatan kekuasaan hati
nurani manusia tidaklah asing, ia juga menjadi dasar seseorang patuh terhadap
hukum, hukum dipatuhi salah satunya atas sebab hati nurani seseorang merasa
sejalan dengan keyakinan kesusilaannya. Akan tetapi, dalam hukum, dapat juga
seseorang patuh terhadap hukum secara lahiriah tanpa memperhatikan sikap
batinnya. Di belakang hukum terdapat juga kekuasaan yang lain daripada hati
nurani, yaitu masyarakat meletakkan peraturan-peraturan pada kita dan juga
mempunyai alat kekuasaan untuk memaksakannya.[6]
Antara
hukum dan adat pada satu pihak, dengan kesusilaan di pihak lain masih terdapat
perbedaan dalam daya kerjanya. Hukum dan adat mempunyai dua daya kerja. Ia
memberikan kekuasaan dan meletakkan kewajiban. Ia serentak normatif dan
atributif. Sedangkan kesusilaan hanya meletakkan kewajiban semata. Ia
semata-mata bersifat normatif. Perbedaan ini merupakan lanjutan perbedaan
tujuan antara berbagai golongan kaidah dalam etika. Hukum dan adat menghendaki
peraturan pergaulan hidup yang baik dan meletakkan atas diri manusia
kewajiban-kewajiban untuk kepentingan sesama manusia. Kesusilaan menghendaki
kesempurnaan individu, menunjukan peraturan-peraturannya kepada manusia sebagai
individu, untuk kepentingan manusia itu sendiri.[7]
2.
Agama
Agama
dalam arti sempit adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Hubungan itu
mengandung kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, sebagai cinta terhadap Tuhan dan
percaya kepada Tuhan. Kewajiban-kewajiban dimaksud benar-benar bersifat
keagamaan sejati, yang isinya berbeda dari kewajiban yang sifatnya moral maupun
yang sifatnya kewajiban hukum. Hubungan
antara Tuhan dengan manusia membawa juga kewajiban untuk menuruti kehendak
Tuhan. Maka, agama meliputi lapangan yang lebih luas dari semata-mata hubungan
antara Tuhan dan manusia. Berdasarkan kewajiban mengikuti kehendak Tuhan lah
kemudian manusia juga terikat untuk melakukan perintah pada sesama manusia.
Dari hal ini manusia memperoleh sifat kesusilaan keagamaanya, yaitu ketika
terikat secara batin atas dasar hubungannya dengan Tuhan.[8]
C. Hukum Dan Adat
Adat
adalah segala peraturan tingkah laku yang tidak termasuk dalam lapangan hukum,
kesusilaan dan agama. Tetapi adat juga diartikan sebagai tingkah laku yang
berlaku untuk anggota lingkungan tertentu. Selanjutnya adat dimaknai dalam arti
peraturan-peraturan tingkah laku. Terdapat hubungan yang rapat sekali antara
adat dan kebiasaan. Adat timbul dikarenakan adanya kebiasaan.[9]
Untuk
menarik batas yang tegas antara hukum dan adat adalah hal yang sukar. Hukum sebagai
kebiasaan misalnya, ia timbul dan tumbuh dari kebiasaan. Sebagaimana telah
disinggung tadi, bahwa adat juga timbul dikarenakan kebiasaan. Beberapa
persamaan antara hukum dan adat: 1). Bahwa ia ditujukan pada manusia sebagai
makhluk sosial. 2). Bahwa ia puas dengan tingkah laku lahir, tidak menanyakan
kehendak baik yang mendukung tingkah laku itu. 3). Sifatnya heteronom,
diletakkan pada diri kita oleh masyarakat dimana kita hidup. 4). Bahwa ia
memberi hak-hak menuntut sesuatu tingkah laku sesuai peraturan-peraturannya.[10]
Perbedaan
antara hukum dan adat seringkali dilihat dari sanksinya. Meskipun demikian hal
ini tidaklah sesederhana yang dikatakan. Perbedaan antara hukum dan adat tidak
begitu saja terletak pada paksaan. Pada peraturan-peratuan adat, paksaan
datanya dari tiap-tiap orang yang tidak teratur, seringkali melampaui batas.
Sebaliknya pada hukum, paksaan dilakukan oleh masyarakat melalui
institusi/organ. Perbedaan lain yang pokok antara adat dan hukum adalah
bersifat formil, bukan materiil. Artinya hanya dari sudut pandang pengertian
hukum saja, bukan dari isinya.[11]
D. Hubungan Antara
Berbagai Golongan Kaidah-kaidah Etika
Hukum
pada satu pihak, kesusilaan, agama dan adat pada pihak lain dapat dibedakan,
akan tetapi pemisahan tersebut sesungguhnya tidak ada. Dikarenakan semua
memberikan fungsinya berupa peraturan-peraturan hubungan antar manusia. Terdapat
hubungan yang rapat antara berbagai kaidah etika, tiap-tiap kaidah sebagaimana
dimaksud memberikan pengaruh yang kuat terhadap isi kaidah-kaidah lain. Antara
lain, kaidah agama dan kaidah kesusilaan terus menerus mempengaruhi kaidah hukum.
Hukum untuk sebagian besar adalah kesusilaan positif yang diperlukan oleh
Pemerintah, dan kesusilaan didasarkan pada agama. Kejahatan-kejahatan yang
diuraikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hampir semuanya
perbuatan-perbuatan yang dicela juga oleh kesusilaan dan agama. Selain itu,
bukan hanya pembuat undang-undang saja yang harus mengikuti kesusilaan, hakim
juga selalu berbuat demikian.[12]
Selain
itu, hubungan lainnya adalah kaidah-kaidah etika yang beragam itu saling
memperkuat daya masing-masing. Peraturan hukum diikuti tidak semata-mata karena
sifat memaksa dari Pemerintah melalui institusi/organ pelaksananya, melainkan
juga bersandar pada bahwa orang merasa terdorong mengikutinya berdasarkan agama
dan kesusilaan.[13]
_________________________________
|
1. “Pengantar
Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan
Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 22.
2. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 22-23.
3. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 23.
4. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25.
5. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25-26.
6. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 27.
7. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 28.
8. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29.
9. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29-30.
10.
L.J.
van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 31.
11.
L.J.
van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 32.
12.
L.J.
van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 35-36.
13.
L.J.
van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 37-38.