Rabu, 05 Februari 2020

Sistematika Hukum Perdata

(rebateumrah.blogspot.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Sejarah Hukum Perdata di Indonesia (Hindia-Belanda)” telah disinggung bahwa pada dasarnya KUHS yang saat ini berlaku di Indonesia (dahulu Hindia-Belanda) adalah merupakan suatu copy KUHS negeri Belanda. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai sistematika dari KUHS dimaksud.


Hukum perdata diatur dalam (bersumber pokok pada) Kitab Undang-undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.).[1]

KUHS itu terdiri dari atas 4 Buku, yaitu:[2]
  1. Buku I, yang berjudul Perihal Orang (van Personen), yang memuat Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan;
  2. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (van Zaken), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris;
  3. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (van Verbintennissen), yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak, hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
  4. Buku IV, yang berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Liwat waktu (van Bewijs en Verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat liwat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata (yang termuat dalam KUHS) dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu:[3]
  1. Hukum Perorangan (Personenrecht) yang memuat antara lain: a. Peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum; b. Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.
  2. Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain: a. Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/isteri; b. Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua—ouderlijke macht); c. Perwalian (voogdij); d. Pengampuan (curatele).
  3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum Harta Kekayaan meliputi: a. Hak mutlak, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap tiap orang; b. Hak Perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
  4. Hukum Waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda atau kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).

_________________________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 214.
2.  Ibid. Hal.: 214.
3.  Ibid. Hal.: 214-215.

Senin, 03 Februari 2020

Sejarah Hukum Perdata di Indonesia (Hindia-Belanda)

(MUI Sumut)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah disinggung sebelumnya pada artikel berjudul: ‘Sejarah Hukum Perdata di Negeri Belanda & Hindia Belanda’, bahwa kodifikasi hukum perdata yang berlaku di Indonesia saat ini adalah berasal dari negeri Belanda. Melalui Staatsblad No.: 23 yang berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (kemudian Indonesia) mulai berlaku Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), disingkat KUHS (B.W.).

KUHS yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oudhaarlem. Maksud kodifikasi pada waktu itu adalah untuk mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia Belanda dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda.[1]

Di negeri Belanda, setelah merdeka dari Perancis, aliran kodifikasi diwujudkan pada tahun 1830 dalam KUHS (tertanggal 5 Juli 1830) dan akan mulai berlaku jam 12 malam tanggal 31 Januari 1831 (antara 31 Januari dan 1 Februari 1831). Sesudah kodifikasi itu setelah pemerintah Belanda mengangkat Mr. C.C. Hageman sebagai Presiden Mahkamah Agung di Hindia Belanda dengan tugas supaya menyesuaikan peraturan lama Hindia-Belanda dengan kodifikasi tadi. Tapi Mr. C.C. Hageman yang diangkat pada Juli 1830 sampai dengan tahun 1835 tidak juga mengerjakan tugas utamanya, kemudian Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada waktu itu J.CH. BAUD menegur beliau, dan kemudian digantikan oleh Scholten van Oudhaarlen.[2]

Terkait dengan tugas dimaksud, kemudian dibentuk panitia dengan Scholten van Oudhaarlen sebagai ketua, dengan anggotanya adalah: 1). Mr. I. Schneither dan 2). Mr. I.F.H van NES. Adapun tugas panitia tersebut adalah untuk: 1). Merancang peraturan, agar aturan-aturan undang-undang Belanda dapat dijalankan; 2). Mengemukakan usul-usul; 3). Memperhatikan organisasi kehakiman. Panitia dimaksud berhasil membuat rancangan peraturan tentang susunan badan peradilan di Hindia-Belanda, yang walaupun sudah disahkan oleh pemerintah Belanda, mulai berlakunya ditangguhkan. Rancangan yang disahkan itu kemudian dikirimkan ke Gubernur Jenderal (Merkus) untuk kemudian meminta nasihat dari J. Van de Vinne selaku directeur’s Lands Middelen en Domein. Panitia menyelesaikan pula beberapa usul, antara lain tentang KUHS dan RO. Walaupun reaksinya sengit, namun Scholten van Oudhaarlen sebagai Jurist masih dapat mempertahankan pendirian-pendiriannya, sehingga usulnya diterima menjadi undang-undang (KUHS dan RO/Reglement op de R.O.).[3]

Sebagaimana telah diketahui, bahwa peraturan di Hindia-Belanda konkordan dengan peraturan di negeri Belanda. Disimpulkan bahwa azas konkordansi itu adalah sempit (enge concordantie), jadi, peraturan-peraturan negeri Belanda selalu diikuti oleh Hindia-Belanda. Hanya bila sangat perlu saja boleh menyimpang; konkordansi itu demikian eratnya, sehingga, walaupun peraturan Belanda nyata-nyata salah, namun peraturan Hindia-Belanda tidaklah boleh menyimpang. Demikianlah KUHS Hindia-Belanda kemudian Indonesia setelah merdeka, sekarang ini (yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848) dapat dikatakan suatu copy KUHS negeri Belanda.[4]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 210.
2.  Ibid. Hal.: 210-211.
3.  Ibid. Hal.: 212-213.
4.  Ibid. Hal.: 213-214.

Jumat, 31 Januari 2020

Sejarah Hukum Perdata di Negeri Belanda & Hindia Belanda


(Gallica-BnF)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah azas-azas hukum pidana telah ditutup dengan artikel berjudul: ‘Tentang Tidak Mampu Bertanggungjawab Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 44 KUHP’. Selanjutnya, kuliah dalam www.hukumindo.com akan berlanjut pada azas-azas hukum perdata. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai sejarah hukum perdata di Indonesia.

Sejarah hukum perdata di Indonesia pada intinya dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, adalah kodifikasi hukum perdata Belanda, tahun 1830. Kedua adalah kodifikasi hukum perdata di Indonesia, tahun 1848.[1] Dengan kata lain, kodifikasi hukum perdata yang berlaku di Indonesia saat ini adalah berasal dari negeri Belanda. Pada artikel ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai bagian pertama.

Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), disingkat KUHS (B.W.). KUHS sebagian besar adalah hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838 akibat pendudukan Perancis di Belanda, berlaku di Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian dari Code Napoleon ini adalah Code Civil, yang dalam penyusunannya mengambil karangan-karangan pengarang bangsa Perancis tentang hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsur-unsur hukum kanoniek (hukum agama Katholik) dan hukum kebiasaan setempat mempengaruhinya.[2]

Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi, tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce. Setelah pendudukan Perancis berakhir, oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan menggunakan sebagai sumber sebagian besar “Code Napoleon” dan sebagian kecil hukum Belanda Kuno.[3]

Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai sebelumnya (5 Juli 1830), tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan: 1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil); 2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang).[4]

Berdasarkan azas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropah di Hindi Belanda (kemudian Indonesia). Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No.: 23 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (kemudian Indonesia).[5]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 209 & 210.
2.  Ibid. Hal.: 209.
3.  Ibid. Hal.: 209.
4.  Ibid. Hal.: 209.
5.  Ibid. Hal.: 209-210.

Rabu, 29 Januari 2020

Perjanjian Jual-Beli Dengan Hak Untuk Membeli Kembali

(grooveground.com)

Oleh:
Tim Hukumindo 

Yang bertanda-tangan di bawah ini:                                                    

Nama: ........................., Jenis Kelamin: ................, NIK: ................Tempat/Tgl. Lahir:.............................., Pekerjaan: ...................., Alamat:..............................

Selanjutnya disebut sebagai “Pihak Pertama-Penjual”.

Nama: ........................., Jenis Kelamin: ................, NIK: ................Tempat/Tgl. Lahir:.............................., Pekerjaan: ...................., Alamat:..............................

Selanjutnya disebut sebagai “Pihak Kedua-Kembali”.

Pihak Pertama” menerangkan dengan ini telah menjual kepada “Pihak Kedua” yang menerangkan telah membeli dari “Pihak Pertama”:

“Sebuah persil hak eigendom nomor perponding no: ............................... terletak di ............................., Kelurahan .......................... yang dimaksudkan dalam surat eugendom tertanggal ......................... tahun ......................, dibuat dihadapan yang berajib di ........................ tertulis atas nama Pihak Pertama, dengan semua yang didirikan dan ditanam di atas persil tersebut yang karena sifatnya, maksudnya dan menurut ketetapan Undang-undang termasuk sebagai barang tidak bergerak.”

Penjualan dan pembelian ini telah terjadi dan diterima untuk harga Rp. ...............(.......................Rupiah) jumlah uang mana telah diterima oleh Pihak Pertama dari Pembeli, pada waktu surat yang syah dan selanjutnya dengan memakai syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian sebagai berikut:

Pasal 1

Mulai hari ini persil tersebut menjadi kepunyaan pembeli dan mulai waktu ini pula pembeli berhak menempati dan menjalankan serta menggunakan hak-haknya tersebut di atas yang telah dibelinya.

Pasal 2

Persil tersebut mulai hari ini pindah kepada pembeli menurut keadaannya sebagaimana pembeli sudah mendapat pada waktu ini dan mulai hari ini pula segala bahaya maupun kerugian sudah menjadi tanggungannya pembeli.

Pasal 3

Ongkos-ongkos pembalikan nama, denda-denda atas bea balik nama dan ongkos dari sebab beban-beban untuk membalik nama persil tersebut di atas namanya pembeli, adalah atas tanggungan dan pembayarannya pembeli.

Beban pajak dari persil tersebut hingga akhir bulan ini adalah atas tanggungannya penjual, dan sesudahnya itu menjadi tanggungan dan pembayarannya pembeli.

Pasal 4

Penjual menjamin pembeli bahwa persil yang dijual itu tidak dibebani dengan hipotik atau diberati dengan beban-beban lainnya dan karenanya pembeli dijamin oleh penjual terhadap segala sangkut-paut berkenaan dengan hal-hal tersebut.

Pasal 5

Penjual atau mereka yang mendapat hak dari padanya berhak untuk membeli kembali dan pembeli diwajibkan harus menjual kepada penjual apa yang telah dijual dan dibeli dengan surat perjanjian dalam waktu .......................... bulan terhitung dari hari ini sehingga harus dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal ......................... tahun ................................ Dengan membayar kembali uang penjualannya sebesar Rp. ................................. (.............................Rupiah) oleh penjual kepada pembeli, maka penjual dianggap telah membeli kembali apa yang telah dijual dengan perjanjian ini.

Pasal 6

Jika penjual atau mereka yang mendapat hak dari padanya tidak menggunakan hak-haknya dalam waktu tersebut dalam Pasal 5 dari perjanjian ini, maka pembeli menjadi pemilik mutlak dari barang yang dibelinya dengan surat perjanjian ini.

Pasal 7

Pembeli diwajibkan dan ia menerangkan menerima kewajiban ini untuk memelihara apa yang dijual sebaik-baiknya supaya ia menyerahkan kembali bangunan-bangunan yang berada di atas persil itu dalam keadaan baik kepada penjual jika yang terakhir hendak menggunakan haknya tersebut di atas, sedang ongkos-ongkos pemeliharaan bangunan-bangunan itu menjadi tanggungan dan pembayaran penjual.

Pasal 8

Kedua belah pihak telah mengetahui, bahwa untuk jual beli ini harus diperoleh ijin terlebih dahulu dari yang berwajib dan jika ternyata ijin tersebut tidak didapati, maka penjualan dan pembelian ini menjadi batal. Dalam hal demikian pembeli dikuasakan mutlak oleh penjual untuk menjual apa yang dijual kepada siapa saja yang mendapat ijin untuk membelinya, untuk harga dan menurut syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang disetujui oleh pihak kedua, menandatangani akte jual-belinya, membantu menyerahkan apa yang dijual itu, menerima uang penjualannya dan memberi tanda penerimaannya serta memperuntukan uang penjualan tersebut yang dianggap sebagai mengganti uang pembeliannya. Ia tidak berhak untuk menagihnya kembali dari penjual, baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya.

Apabila uang pendapatan itu kurang dari uang pembeliannya tersebut, maka sisanya dihapuskan dan bilamana ada kelebihan, maka uang kelebihan itu diperuntukan pihak kedua dan dianggap sebagai pembayaran kerugian karena pembatalan jual-beli ini.

Hak untuk menjual kepada orang lain yang diberikan oleh penjual kepada pembeli menurut pasal ini tidak boleh dipergunakan, jikalau waktu tersebut dalam pasal 5 dari perjanjian ini belum lewat.

Pasal 9

Kedua belah pihak dengan ini memberi kuasa kepada ....................................................................untuk bersama-sama atau masing-masing mewakili kedua belah pihak dalam memohon ijin dari yang berwajib mengenai penjualan dan pembelian ini dan dalam hal pembalikan nama persil tersebut di atas namanya pembeli, menerima semua transport, menghadap dimana perlu, membuat serta menandatangani semua surat yang perlu dan selanjutnya mengerjakan segala sesuatu yang diharuskan atau diperlukan, semua itu dengan hak untuk memindahkan kekuasaan ini kepada orang lain (substitutie).

Kekuasaan ini merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat terpisah dari surat ini, dengan tidak ada kekuasaan mana surat ini tidak dibuat dan karenanya tidak akan batal atau dapat dibatalkan karena apapun juga.

Pasal 10

Kedua belah pihak memilih tentang perjanjian ini dan segala akibatnya, tempat kediaman yang sah dan tidak berubah di Kantor Panitera Pengadilan Negeri di ........................................

________________________________________
Pustaka: Prof. Mr. Dr. S. Gautama, "Contoh-contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi Sehari-hari Jilid 1", Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal.: 255-257.

Catatan: untuk terminologi eigendom, saat ini dapat disesuaikan sebagai Sertifikat Hak Milik (SHM), sedangkan untuk hipotek saat ini dapat disesuaikan sebagai Hak Tanggungan (HT). Dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.  

Senin, 27 Januari 2020

Tentang Tidak Mampu Bertanggungjawab Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 44 KUHP

(tirto.ID)


Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)’, telah dilakukan pembahasan, masih pada bab yang sama tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana, dan selanjutnya untuk kesempatan yang satu ini akan dikaji tentang tidak mampu bertanggungjawab Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 44 KUHP.

Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: "(1) Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggung karena penyakit." (2) “Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa."

Dasar penghapusan pidana karena tidak mampu bertanggungjawab dalam hal-hal tertentu karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau gangguan penyakit, telah diatur dalam Pasal 44 KUHP. Tidak mampu bertanggung jawab menurut Pasal 44 ini, telah banyak disinggung di dalam bab yang menguraikan tentang kesalahan. Alasan penghapus pidana karena jiwa yang cacat tubuhnya atau gangguan penyakit, mempunyai sifat perseorangan di mana perbuatannya itu sendiri tetap dipandang bersifat melawan hukum, akan tetapi berhubung keadaan si pembuat di situ kesalahannya tidak ada padanya, dan karena itu pula kepadanya tidak dipidana. Menurut ilmu pengetahuan, dasar penghapusan pidananya termasuk "schulduitsluitingsgrond".[1]

Pasal 44 KUHP ini, mempunyai syarat bahwa harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan cacat pertumbuhan/penyakit jiwa yang diderita oleh pembuat. Sampai dengan saat sekarang hubungan kausal penyakit jiwa ini, menimbulkan banyak persoalan karena ada berbagai penyakit jiwa dan sifat-sifatnya yang terdapat di dalam ilmu psikiatri. Bahkan ketentuan pidana tidak mau mengambil resiko terhadap golongan penyakit jiwa yang telah ternyata dengan positif, kepada hakim masih tetap diberi wewenang untuk tidak menghapuskan pidana begitu saja, melainkan dapat mengambil tindakan berupa penetapan untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2).[2]


Perbuatan pidana yang dilakukan karena cacat/penyakit jiwa yang berarti tidak mampu bertanggung jawab sehingga dihapuskan kesalahan. Di dalam doktrin juga telah jelas bahwa perbuatan pidana yang dilakukan karena umur yang masih muda/anak-anak, di situ ada ketidakmampuan bertanggung jawab, yang dengan sendirinya tidak dapat dipersalahkan, akan tetapi digolongkan dan diatur dalam aturan yang lain.[3] Dengan berakhirnya pembahasan tentang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP ini, maka pembahasan tentang azas-azas hukum pidana telah usai. Selanjutnya akan dibahas perkuliahan mengenai azas-azas hukum perdata.
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 202-203.
2.  Ibid. Hal.: 203.
3.  Ibid. Hal.: 203.


Jumat, 24 Januari 2020

Perihal Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)

(kanalaceh.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)’, telah dilakukan pembahasan, masih pada bab yang sama tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana, dan selanjutnya untuk kesempatan yang satu ini akan dikaji mengenai melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel).

Hukum positif terkait dengan melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel) terdapat dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Pasal 51 ayat 1 KUHP: tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”. Dalam bahasa Belanda, rumusan ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag’. Dan Pasal 51 ayat 2 KUHP: perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.

Melaksanakan perintah jabatan dibedakan dalam dua hal, yaitu perintah jabatan yang (ber)wenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP) dan perintah jabatan tanpa (we)wenang (Pasal 51 ayat 2 KUHP). Hubungan antara perintah jabatan dan dengan pihak yang diperintah harus mempunyai hubungan hukum yang bersifat berlaku umum, baik menurut isinya peraturan itu sendiri maupun karena sesuatu pernyataan penguasa yang berwenang.[1]

Adapula syarat bahwa mengenai cara dan alat yang dipakai untuk melaksanakan perintah jabatan harus sesuai, dalam arti tidak boleh terjadi seorang penjual rokok mendapat perintah dari jaksa untuk melaksanakan perintah jabatan menahan tersangka.[2]

Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak berwenang (Pasal 51 ayat 2) tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat: (1). Secara subjektif yang diperintah itu mempunyai itikad baik, yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah; dan (2). Secara objektif adalah masuk karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.[3]

Dari sebab itu perintah jabatan pada Pasal 51 ayat 1 di situ perbuatannya dibenarkan, tidak bersifat melawan hukum sebagai rechtvaardigingsgrond, maka perintah jabatan tidak berwenang Pasal 51 ayat 2, di situ perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, sehingga tidak dipidananya adalah karena dihapuskannya kesalahannya, atau dimaafkan.[4]

Memang oleh pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang itu menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika dipenuhi syarat subjektif adanya itikad baik dan syarat objektif masuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah, maka syarat-syarat yang demikian itu dapat menghapuskan kesalahan.[5]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 201.
2.  Ibid. Hal.: 201.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201-202.
5.  Ibid. Hal.: 202.

Rabu, 22 Januari 2020

Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)

(valery-petelin-police-in-action)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam kuliah hukum pidana, khususnya bab tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana. Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)’, telah dilakukan pembahasan, dan pada kesempatan ini akan dikaji mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang (wettelijkvoorchrift).

Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Bertindak untuk melaksanakan ketentuan undang-undang menurut Pasal 50 KUHP tidak dipidana. Dasar alasan penghapusan pidana dari Pasal 50 KUHP adalah paling mudah jalan pemikirannya, oleh karena sudah selayaknya barangsiapa yang oleh undang-undang yang satu diperintah/diberi kekuasaan untuk menjalankannya, di situ tidak akan dipidana oleh undang-undang yang lain, sebab jika tidak demikian tidak akan ada orang yang berani menjalankan undang-undang yang sering memuat larangan/perintah yang berat.[1]

Perbuatannya tidak bersifat melawan hukum, sehingga perbuatan itu dibenarkan karena rechtvaardigingsgrond. Namun tidak berarti meskipun melaksanakan undang-undang itu tanpa batas-batas yang patut, seperti halnya polisi menembak tahanan yang lari tanpa alasan isyarat lebih dahulu. Beberapa yurisprudensi menunjukan bahwa tiap-tiap kasus ditinjau sendiri-sendiri.[2]

Suatu perkataan “menjalankan/melaksanakan” peraturan undang-undang, masih terdapat perbedaan pendapat antara di satu pihak terbatas menjalankan kewajiban, dan di lain pihak mencakup perbuatan menjalankan kewajiban serta menjalankan kekuasaan. Dalam yurisprudensi pernah memutus dengan menganut pandangan yang pertama maupun yang kedua dengan mencakup verplichting dan bevoegheid.[3]

Mengenai arti perkataan “ketentuan/peraturan undang-undang” dalam perkembangan yang terdapat di dalam yurisprudensi sampai dengan tahun 1914, telah diterima sebagai pengertian ketentuan/peraturan undang-undang dalam arti formal maupun yang materiil, tidak hanya peraturan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang saja, melainkan setiap kekuasaan yang berwenang untuk membuat peraturan yang berlaku mengikat.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 200.
2.  Ibid. Hal.: 200.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201.

Senin, 20 Januari 2020

Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

(shutterstock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Daya Paksa (Overmacht)’, telah kita bahas, dan pada kesempatan ini akan dikaji tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer).

Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.

Pasal 49 KUHP mengatur tentang pembelaan terpaksa dengan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu untuk perbuatan itu tidak dapat dipidana. Pada hakikatnya pembelaan terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting), akan tetapi dalam batas tertentu diperkenankan karena semata-mata untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan keadaan demikian itu tidak dapat diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan pertolongan guna mencegah kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri.[1]

Syarat untuk terjadinya pembelaan terpaksa harus dipenuhi sifat-sifat berupa: (1). Harus ada serangan, yaitu: a). Yang timbul secara mendadak; b). Yang mengancam secara langsung; c). Yang bersifat melawan hukum. (2). Adanya pembelaan, yaitu: a). Sifatnya harus terpaksa; b). Dorongan yang dilakukan harus seimbang; c). Kepentingan yang dibela hanya tubuh manusia, kesusilaan dan benda.[2]

Suatu sifat khusus di Indonesia dengan pertimbangan wilayahnya yang luas dan petugasnya tidak mencukupi, maka dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP ditentukan, bahwa serangan harus timbul mendadak atau ancaman seranganan secara langsung berarti bahwa tidak perlu serangan sudah dimulai.[3]

Ditentukan pula untuk pembelaan terpaksa harus berhadapan dengan serangan yang melawan hukum, dengan sendirinya serangan itu harus dilakukan oleh orang. Serangan yang datangnya dari binatang buas menjadi tidak termasuk, sedangkan serangan dari orang gila dapat dipandang sebagai noodweer.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 197.
2.  Ibid. Hal.: 198.
3.  Ibid. Hal.: 198.
4.  Ibid. Hal.: 198.

Japan Asks Its Citizens To Write Cellphone Passwords And Applications In Wills

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Singapore Oil King Defrauds Giant Bank ...