Jumat, 16 Oktober 2020

Penggugat Wajib Menunjukkan Barang Objek Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam topik mengenai Sita, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Dua Sisi Alasan Permohonan Sita" dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Penggugat Wajib Menunjukkan Barang Objek Sita. 

Hukum membebankan kewajiban kepada Penggugat untuk menyebut secara jelas dan satu per satu barang objek yang hendak disita.[1] Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa:
  1. Tidak Dibenarkan Menyebut Secara Umum, permintaan sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan Tergugat, dianggap tidak memenuhi syarat. Meskipun Pasal 1131 KUHPerddata menegaskan, segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya; tidak berarti permohonan sita semata-mata dilakukan secara umum tanpa menyebut satu per satu barang apa yang hendak disita. Permintaan sita yang demikian tidak terang, sebab tidak diketahui persis apa saja harta kekayaan Tergugat, sehingga tidak jelas barang apa dan mana yang hendak disita.
  2. Menyebut Rinci Identitas yang Melekat pada Barang, selain dirinci dan disebut satu per satu barang milik Tergugat yang hendak disita, rincian itu harus dibarengi dengan penyebutan identitas barang secara lengkap, meliputi: a). Jenis atau bentuk barang; b). Letak dan batas-batasnya serta ukurannya dengan ketentuan, jika tanah yang bersertifikat, cukup menyebut nomor sertifikat hak yang tercantum di dalamnya; c). Nama Pemiliknya; d). Taksiran harganya; e). Jika mengenai rekening, disebut nomor rekeningnya, pemiliknya, dan bank tempat rekening berada maupun jumlahnya; f). Jika saham, disebut nama pemegangnya, jumlahnya, dan tempatnya terdaftar. 
Intinya, permintaan sita yang tidak menyebut secara jelas identitasnya, dianggap merupakan permintaan yang kabur objeknya, sehingga tidak mungkin diletakkan sita. Terhadap permintaan yang seperti itu, cukup dasar alasan untuk menolaknya.[2]

Hakim atau Pengadilan tidak dibebani kewajiban untuk mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena itu semata-mata menjadi beban yang dipikulkan hukum kepada Penggugat. Oleh karena itu, tidak ada dasar alasan bagi Penggugat meminta kepada hakim agar mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita, karena penyitaan itu adalah untuk kepentingan Penggugat maka dia yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.[3]

Jika dibandingkan dengan praktik, dan sepengalaman penulis sebagai advokat, dalam menyebutkan objek sita memang haruslah rinci. Sebagai contoh, dalam hal objek sitanya adalah sebidang tanah, bahkan ditambahkan batas-batasnya Utara, Selatan, Timur dan Barat, sehingga lebih lengkap.
__________________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 291.
2. Ibid.
3. Ibid.

Kamis, 15 Oktober 2020

Mr. R.M. Gondowinoto, Sarjana Hukum Pribumi Pertama

(HistoriA, Ket: Gondowinoto Berdiri, Keempat dari Kiri)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas tokoh "Mr. Sartono, Advokat Soekarno di Meja Hijau". Pada kesempatan yang berbeda ini akan dibahas tokoh yang lain, yaitu Mr. R.M. Gondowinoto seorang pribumi pertama bergelar Sarjana Hukum.

Sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya yang berjudul: "Di Negeri Penjajah", menyebut orang Indonesia pertama yang meraih gelar Meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum adalah Raden Mas Gondowinoto pada 1918.[1] Meskipun demikian, juga ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Sarjana Hukum pertama orang Hindia Belanda adalah Oi Jan Lee. Namun artikel ini bermaksud mengacu pada orang pribumi pertama peraih gelar sarjana hukum.

Universitas Leiden & Jejak Pribumi Pertama Bergelar Sarjana Hukum

Universitas Leiden (bahasa Belanda: Universiteit Leiden; nama bahasa Latin: Academia Lugduno-Batava) adalah universitas umum di Belanda. Terletak di Leiden dan didirikan pada tahun 1575 oleh Pangeran Willem van Oranje, universitas negeri ini adalah universitas tertua di Belanda. Universitas Leiden dikenal untuk sejarah panjangnya, keunggulan di ilmu sosial, dan asosiasi pelajarnya.[2]

Universitas Leiden mulai dikenal sejak masa keemasan Belanda, ketika akademisi dari seluruh Eropa terpikat dengan Republik Belanda karena iklim toleransi terhadap cendekiawan dan reputasi internasional Leiden. Pada masa ini Leiden menjadi rumah untuk para cendekiawan Eropa seperti René Descartes, Rembrandt, Christiaan Huygens, Hugo Grotius, Baruch Spinoza dan Baron d'Holbach.[3] Salah satu alumni Fakultas Hukum Universitas Leiden adalah Ketua Mahkamah Agung R.I. pertama, yaitu Mr. Koesoemah Atmadja.[4]

Universiteit Leiden, Belanda, memiliki sejarah yang cukup dekat dengan komunitas hukum Indonesia. Sejak dahulu kala, tak sedikit “anak-anak” Bumiputera--ketika Indonesia masih disebut Hindia Belanda--yang menimba ilmu hukum dan meraih gelar dari universitas tertua di Belanda ini.[5] Kedekatan ini dikarenakan pada waktu itu Belanda adalah merupakan negara yang menjajah Nusantara, selain itu dengan adanya politik etis, keran pendidikan mulai dibuka kepada penduduk pribumi Nusantara. 

Gondowinoto, Keturunan Raja Paku Alam

Gondowinoto lahir pada 1889 di Yogyakarta. Putra dari Pangeran Notodirodjo, saudara Pakoe Alam VI. Ayahnya sangat peduli dengan pendidikan. Karenanya dia dan saudara-saudaranya dimasukkan ke sekolah Belanda. Setelah lulus pendidikan ELS dan HBS pada 1907, dia menyusul kakaknya, Raden Mas Notokworo, meneruskan pendidikan ke Negeri Belanda. Notokworo menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Leiden tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Hindia Belanda.[6]

Pada 1910, Gondowinoto, yang menguasai bahasa Latin dan Yunani, mengikuti langkah kakaknya yang lain, Noto Soeroto, mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Noto Soeroto menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum atau kandidaatexamen (semacam sarjana muda). Namun, dia gagal meraih gelar Mr. Sehingga Gondowinoto yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar Mr.[7]

Karir Hukum

Setelah lulus tahun 1918, Gondowinoto kembali ke Indonesia. Penugasan pertamanya sebagai anggota Majelis Kehakiman di Makassar (1919-1921). Kariernya naik menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi di Makassar. Dari Makassar, Gondowinoto bertugas di Kalimantan. Di sana dia pernah menjadi pembela Idham Chalid (kelak menjadi ketua PBNU) yang ketika itu menjadi penghulu di Setui, Kalimantan Selatan.[8]

Dalam biografinya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: "Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah" karya Arief Mudatsir Mandan, disebut bahwa Idham Chalid berhenti sebagai penghulu Setui karena perkara perkelahian dengan Haji Bakri. Penyebabnya tidak diketahui pasti. Kasus itu sampai ke pengadilan (Landraad) di ibu kota onderafdeling (Kawedanaan) Kota Baru, Pulau Laut. Hakim Landraad seorang Belanda agak memihak kepada Haji Bakri, kabarnya karena Idham Chalid pernah ikut mengurus Sarikat Islam dan Nahdlatul Ulama. “Seorang advokat sahabatnya, Mr. R.M. Gondowinoto, menjadi pembelanya di pengadilan. Akhirnya, keputusan perkara Upau alias tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, dua-dua bebas, disuruh bermaaf-maafan. Keduanya menjadi bersahabat kembali,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Malahan sehabis persidangan, Haji Bakri menginap di rumah Idham Chalid. “Demikianlah orang-orang tua dahulu, tidak ada yang menyimpan dendam walaupun pernah bersengketa.”[9]

Selain di bidang hukum, Gondowinoto juga terlibat dalam pergerakan di media massa. Dia menjabat direktur surat kabar Soeara Kalimantan yang mulai terbit pada 1 April 1930. A.A. Hamidhan sebagai kepala redaksi, dan A. Atjil sebagai redaktur keliling (reizende redacteur) dan penanggung jawab. Surat kabar ini diterbitkan oleh Drukkerij en Uitgevers Mij. Kalimantan. Pada 1934, susunan redaksi ditambah M. Hadhriah sebagai pejabat redaktur (plaatsyervangend redacteur) dan A. Madjidi sebagai kepala administrasi.[10]

Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, mengenai haluannya, mingguan itu cenderung bercorak nasionalis dan berusaha memperjuangkan kepentingan Islam, umpamanya dalam artikel yang ditulis oleh redaksi tanggal 1 April 1930, antara lain mengemukakan: “Mementingkan soal-soal segenap kawan”; “wajib Pemoeda Islam sekarang ini menjelma warta”; “Angan angan kemerdekaan diharapkan Oemat”; “Boeatlah tjonto kepada Oemat”.[11]

Ketika pemerintah Hindia Belanda mencurigai Soeara Kalimantan, Gondowinoto menulis artikel “Soeara Kalimantan Berbahaja” tanggal 15 November 1930, yang antara lain mengemukakan bahwa Soeara Kalimantan:[12]
"Membela kehormatan bangsanya tanah airnya dari tindasan yang sewenang wenang dengan jalan yang patut … Akan mempertimbangkan dan memuji kepada siapa saja yang berbuat kebaikan dalam pekerjaannya tetapi mencuci sampai bersih pada segala perbuatan yang berbau busuk …. Mengajak rakyat bangsanya memperbaiki perekonomian dengan jalan memberi pandangan yang menarik hati mereka."

Pada masa pendudukan Jepang, Gondowinoto kembali ke Jawa. Dia menjadi penuntut umum di Mangkunegaran. Dia meninggal dunia pada tahun 1953.[13] Sebagaimana telah dijabarkan di atas, karir hukumnya cukup beragam dari Hakim, Advokat maupun Jaksa.

___________

Referensi:

1. "Bukan Gondowinoto! Oei Jan Lee, Orang Indonesia Pertama Lulusan Sarjana Hukum Luar Negeri", reqnews.com, Senin, 06 Mei 2019, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://www.reqnews.com/the-other-side/2381/bukan-gondowinoto-oei-jan-lee-orang-indonesia-pertama-lulusan-sarjana-hukum-luar-negeri
2. "Universitas Leiden", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Leiden
3. Ibid.
4. "Kisah Ketua MA Pertama", Hukumindo.com, 07 Agustus 2020, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://www.hukumindo.com/2020/08/kisah-ketua-ma-pertama-koesoemah-atmadja.html
5. "Melacak Jejak Orang “Bumiputera” yang Belajar Hukum di Leiden", Hukumonline.com, 28 Desember 2015, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt568103d12702c/melacak-jejak-orang-bumiputera-yang-belajar-hukum-di-leiden/
6. "Sarjana Hukum Pertama Indonesia Lulusan Belanda", Historia.id., 07 April 2019, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://historia.id/politik/articles/sarjana-hukum-pertama-indonesia-lulusan-belanda-DBKJk/page/1
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.

Rabu, 14 Oktober 2020

Dua Sisi Alasan Permohonan Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label Praktik Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas artikel "Hakim Berwenang Menilai Alasan Sita", dan pada kesempatan ini akan dibahas terkait Dua Sisi Alasan Permohonan Sita.
 
Perlu diperingatkan, meskipun hukum menuntut permohonan sita berdasarkan alasan yang didukung fakta, namun demikian Hakim tidak dibenarkan menuntut fakta yang terlampau ekstrem. Misalnya, harus dibuktikan berdasarkan batas minimal pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht). Sikap yang demikian, dianggap berlebihan. Jika fakta yang diminta sangat berlebihan, dapat menimbulkan kesewenangan, dan bahkan dapat mematikan hak Penggugat mengajukan permintaan sita.[1] Penulis sependapat bahwa jika permintaan sita diajukan dengan syarat yang terlalu berlebihan akan mematikan hak Penggugat dalam mengajukan permintaan sita.

Contohnya adalah Hakim meminta bukti tertulis atau saksi tentang adanya upaya Tergugat untuk menggelapkan harta kekayaannya. Permintaan yang demikian dianggap terlampau ekstrem dan berlebihan.[2] Contoh dimaksud cukup jelas, dikarenakan sangat sulit memperoleh bukti tertulis atas upaya Tergugat untuk menggelapkan harta kekayaannya.

Akan tetapi, kalau pada sisi satu permohonan tidak didukung alasan yang objektif dan masuk akal, dan pada sisi lain penyitaan itu sendiri tidak relevan dan urgent (mendesak) dengan isi gugatan, maka terdapat dasar alasan yang cukup untuk menolak permintaan sita.[3] Inilah juga kesulitannya, adalah tidak masuk akal jika kemudian sita yang diajukan secara tanpa alasan kemudian dikabulkan. Sudah selayaknya jika sita yang diajukan tanpa alasan ditolak oleh Hakim.
______________

Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H.,  Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 290.
2. Ibid. Hal.: 290.

Selasa, 13 Oktober 2020

Hakim Berwenang Menilai Alasan Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya yang berjudul "Alasan Permohonan Sita", platform Hukumindo.com telah membahas alasan penyitaan yang diajukan oleh Penggugat. Berlanjut pada artikel ini, yaitu Hakim Berwenang Menilai Alasan Sita, Hukumindo.com bermaksud membahas mengenai Hakim Berwenang Menilai Alasan Sita.

Penilaian atas alasan sita, menjadi kewenangan Hakim. Dia bebas menilai apakah alasan itu memiliki kualitas yang objektif atau subjektif. Pedoman atau patokan yang dipergunakan Hakim menilai alasan penyitaan yang diajukan penggugat antara lain:[1]
  • Terdapat fakta konkret yang mendukung persangkaan tentang adanya tindakan atau upaya Tergugat hendak mengasingkan harta kekayaannya;
  • Paling tidak terdapat petunjuk yang membenarkan persangkaan itu;
  • Fakta atau petunjuk itu bersifat objektif dan masuk akal (common sense).
Berdasarkan patokan itulah Hakim menilai apakah permohonan sita mempunyai alasan atau tidak. Untuk memperoleh gambaran alasan yang lebih objektif, Hakim dapat:[2]
  • Dapat diperoleh Hakim dari Penggugat dan Tergugat melalui proses pemeriksaan insidentil, apabila penilaian dilakukan mendahului pemeriksaan pokok perkara;
  • Atau dapat diperoleh dalam proses pemeriksaan dari kedua belah pihak, apabila penilaian alasan sita dilakukan selama proses pemeriksaan berlangsung.
Terkadang upaya Tergugat untuk menggelapkan harta kekayaannya, bisa nyata dan konkret. Misalnya, Tergugat menawarkan atau menghibahkan. Tetapi adakalanya dilakukan dengan licik dan tersembunyi, seperti membuat jual-beli atau penghibahan yang berlaku surut (ex tunc).[3] Dapat penulis tambahkan sepengalaman sebagai advokat praktik, bahwa dalam praktinya membuktikan adanya upaya Tergugat untuk mengalihkan objek sita adalah hal yang cukup sulit, akan tetapi bukan berarti tidak mungkin.
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal. 290.
2. Ibid. Hal.: 290.
3. Ibid. Hal.: 290.

Senin, 12 Oktober 2020

Kata Mutiara Hukum Terpilih V (Selected Law Quotes V)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan sebelumnya, platform Hukumindo.com telah menyajikan kepada sidang pembaca sejumlah 4 (empat) artikel terkait dengan Kata Mutiara Hukum, diantaranya: a). Kata Mutiara Hukum Terpilih I (Selected Law Quotes I); b). Kata Mutiara Hukum Terpilih II (Selected Law Quotes II); c). Kata Mutiara Hukum Terpilih III (Selected Law Quotes III), dan terakhir yaitu d). Kata Mutiara Hukum Terpilih IV (Selected Law Quotes IV). Pada kesempatan ini akan disajikan kepada sidang pembaca yang budiman Kata Mutiara Hukum Terpilih V (Selected Law Quotes V).

"The juries are our Judges of all fact, and of Law when they choose it." Artinya: Para juri adalah Hakim kami atas semua fakta, dan Hukum kami ketika mereka memilihnya.

Jefferson.

"Justice in the life and conduct of the State is possible only as first it resides in the hearts and souls of the citizen." Artinya: Keadilan dalam kehidupan dan tingkah laku suatu Negara hanya mungkin terjadi jika ia berada di dalam hati dan jiwa warganya.

Plato.

"A lean compromise is better than a fat lawsuit." Artinya: Kompromi yang ramping lebih baik daripada gugatan yang gemuk.

Herbert.

"Justice? You get justice in the next world, in this world you have the law." Artinya: Keadilan? Anda mendapatkan keadilan di akhirat, di dunia ini Anda memiliki hukum.

William Gaddis.

"We must reject the idea that every guilty rather than the law's breaker, society is guilty rather than the law breaker. It is time to restore the American precept that each individual is accountable for his actions." Artinya: Kita harus menolak anggapan bahwa setiap ada kesalahan, maka masyarakat lebih bertanggungjawab daripada si pelanggar hukum. Sudah saatnya merubah persepsi masyarakat Amerika bahwa setiap orang bertanggungjawab atas segala tindakannya.

Ronald Reagan.

"There is no grater tyranny than that which is perpetrated under the shield of the law and in the name of Justice." Artinya: Tidak ada tirani yang paling kejam selain yang dilakukan dengan cara seolah-olah berlindung pada Hukum dan mengatasnamakan Keadilan.

Montesquieu.

"The good of the People is the greatest law." Artinya: Kebaikan rakyat adalah hukum tertinggi.

Cicero.

"Chaos was the law of nature; Order was the dream of man". Artinya: Kekacauan adalah fitrah alam; Keteraturan adalah mimpi umat manusia."

Henry Adams.

"What is tolerance? It is the consequence of humanity. We are all formed of frailty and error; Let us pardon reciprocally each other's folly--that is the first law of nature." Artinya: Apa yang dimaksud dengan toleransi? Hal ini merupakan akibat dari kemanusiaan. Kita dibentuk dari kesalahan dan kekeliruan; Mari kita saling memaafkan kebodohan masing-masing--hal tersebut merupakan hukum alam yang utama.

Voltaire.

"The best way to get a bad law repealed is to enforce it strictly." Artinya: Cara terbaik untuk mencabut undang-undang yang buruk adalah dengan menegakkannya secara ketat.

Abraham Lincoln.

"The Law is still the Law, and we must follow it whether we like it or not." Artinya: Hukum tetaplah sebuah Hukum, kita harus mematuhinya, suka atau tidak suka.

Vladimir Putin.

"A jury consist of twelve persons chosen to decide who has the better Lawyer." Artinya: Dewan Juri berisi dua belas orang untuk memilih siapa pihak yang mempunyai Pengacara yang lebih baik.

Frost.

"When men are pure, laws are useless; when men are corrupt, laws are broken." Artinya: Ketika manusia dalam keadaan bersih, hukum tidak lah berguna; ketika manusia berubah menjadi busuk; hukum telah dilanggar.

Disraeli.

"The end of law is not to abolish or restrain, but to preserve and enlarge freedom. For in all the States of created beings capable of law, where then is no law, this is no freedom" Artinya: Tujuan akhir hukum bukan lah untuk melenyapkan atau menahan, tetapi untuk melestarikan dan memperluas kebebasan. Karena di semua Negara yang makhluknya mampu menciptakan hukum, ketika tidak ada hukum, ini bukan kebebasan.

John Locke.

"At his best, men is the noblest of all animals; separated from law and justice, he is the worst." Artinya: Dalam bentuknya yang terbaik, manusia adalah yang paling mulia dari semua hewan; sedangkan menyangkut hukum dan keadilan, dia adalah yang terburuk.

Aristoteles.
_____________
Referensi: Dikutip dari berbagai sumber.

Sabtu, 10 Oktober 2020

Kata Mutiara Hukum Terpilih IV (Selected Law Quotes IV)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah mengembangkan "Kata Mutiara Hukum" sampai dengan tiga bagian, yaitu: "Kata Mutiara Hukum Terpilih I (Selected Law Quotes I)", kemudian "Kata Mutiara Hukum Terpilih II (Selected Law Quotes II)" dan "Kata Mutiara Hukum Terpilih III (Selected Law Quotes III)". Dan pada kesempatan ini akan disajikan ke sidang pembaca yang budiman, yaitu Kata Mutiara Hukum Terpilih IV (Selected Law Quotes IV). Berikut kata mutiara dimaksud.

"Orang baik tidak memerlukan hukum untuk memerintahkan mereka agar bertindak penuh tanggung jawab, sementara orang jahat akan selalu menemukan celah di sekitar Hukum."

Plato (428 SM-348 SM).

"Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di dalam ruang sidang; keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu."

Clarence Darrow (1857 - 1938).

"Ketika fakta memihak Anda, berdebatlah dengan fakta. Ketika Hukum ada di pihak Anda, bertahanlah dengan Hukum. Ketika Anda tak punya dua-duanya, berteriaklah."

Al Gore.

"Ketidakadilan di manapun adalah ancaman bagi keadilan di manapun."

Martin Luther King, Jr.

"Kebohongan sanggup berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari maraton. Namun di Pengadilan, kebenaran itu akan memenangkan maraton."

Michael Jackson (1958 - 2009).

"Hukum bernilai bukan karena itu adalah Hukum, melainkan karena ada kebaikan di dalamnya."

Henry Ward Beecher.

"Hukum adalah alat rekayasa Sosial."

Roscoe Pound.

"Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman."

Blaise Pascal.

"Hukum untuk manusia, bukan Manusia untuk Hukum."

Satjipto Rahardjo.

"Ahli Hukum, jurist, kebanyakan sangat legalistis, sangat memegang kepada hukum-hukum yang prevaleren, sangat memegang kepada hukum-hukum yang ada, sehingga jikalau diajak revolusi--revolusi yang berarti melemparkan hukum yang ada, a revolution rejects yesterday...amat sulitlah yang demikian itu."

Soekarno (dengan mengutip Tokoh Liebknecht, dalam Kongres I Persahi).

"Compromise is the best and cheapest lawyer." Artinya: Kompromi adalah pengacara terbaik dan termurah.

Stevenson.

"In Law, nothing is certain but the expense." Artinya: Dalam dunia hukum, tidak ada yang pasti kecuali biaya-biaya yang harus dikeluarkan.

Butler.

"I was made, by the law, a criminal, not because of what I had done, but because of what I stood for, because of what I thought, because of my conscience." Artinya: Saya dicap sebagai seorang penjahat oleh Hukum, bukan karena apa yang telah Saya lakukan, tetapi karena pendirian Saya, karena pemikiran Saya, karena hati nurani yang Saya miliki.

Nelson Mandela.

"No client ever had enough money to bribe my conscience or to stop it's utterance against wrong, and oppression My conscience is my own--my creator--not man's. I shall never sink the rights of mankind to the malice, wrong, or avarice of another's wishes, though those wishes come to me in the relation of client and attorney." Artinya: Tidak ada klien yang punya cukup uang untuk menyuap hati nurani saya atau menghentikan ucapan saya melawan yang salah, dan ketertindasan hati nurani saya adalah karena saya--penciptanya adalah saya sendiri--bukan orang lain. Saya tidak akan pernah menenggelamkan hak-hak manusia pada kejahatan, kesalahan, atau keserakahan keinginan orang lain, meskipun keinginan itu datang kepada saya dalam hubungan klien dan pengacara.

Abraham Lincoln.

"When injustice becomes law, resistance becomes duty." Artinya: Ketika ketidakadilan menjadi Undang-undang, perlawanan menjadi sebuah kewajiban.

Thomas Jefferson.

"Keadilan jadi barang sukar, ketika Hukum hanya tegak pada yang bayar."

Najwa Shihab.
_______________
Referensi: Dikutip dari berbagai sumber.

Jumat, 09 Oktober 2020

Dasar Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label 'Sudut Pandang Hukum', platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena Covid-19", dan pada kesempatan ini akan dibahas terkait Dasar Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai.

Baru-baru ini penulis yang berprofesi sebagai advokat praktik mempunyai pengalaman yang tidak begitu ideal. Dalam suatu waktu, penulis ditegur oleh salah satu Ketua Majelis Hakim perkara perdata di suatu Pengadilan Negeri di Jakarta agar surat gugatan penulis dibubuhi meterai. Hal ini tentu menambah ketelitian penulis untuk ke depannya dalam menjalankan profesi ini. Pada kesempatan dalam artikel ini, penulis akan membahas mengenai dasar hukum bea meterai dimaksud.

HIR, RBg dan Rv Tidak Mengatur Mengenai Bea Meterai

Platform Hukumindo.com telah membahas mengenai syarat-syarat formil sebuah surat gugatan, di antaranya pada artikel berjudul: "Pemberian Tanggal Gugatan". Kemudian juga pada artikel yang berjudul: "Identitas Para Pihak Dalam Gugatan". Ada juga artikel yang berjudul: "Formulasi Surat Gugatan". Pada intinya, terdapat syarat-syarat formil dalam suatu surat gugatan yang harus dipenuhi, dalam hal salah satunya atau beberapa di antaranya tidak terpenuhi, mengakibatkan surat gugatan cacat secara formil. Adapun secara inti, terdapat 7 (tujuh) syarat formil yang harus ada, yaitu:[1]
  1. Ditujukan (Dialamatkan) Kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif;
  2. Diberi Tanggal;
  3. Ditandatangani Penggugat atau Kuasa;
  4. Identitas Para Pihak;
  5. Fundamentum Petendi;
  6. Petitum Gugatan; dan
  7. Perumusan Gugatan Asessor (Accesoir).
Jika dilakukan penelitian lebih lanjut tidak ditemukan ketentuan di dalam HIR, RBg maupun Rv terkait dengan Bea Meterai dalam suatu surat gugatan. Ketentuan undang-undang mengenai bea meterai diatur tersendiri di luar ketiga ketentuan hukum acara sebagaimana dimaksud di atas. Ia diatur dalam Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.[2]

Pengertian Meterai, Bea Meterai Dan Fungsi Meterai

Pada Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai tidak ditemukan mengenai pengertian "meterai". Penulis harus mencari rujukan lain terkait dengan hal ini ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, KBBI mengartikan "meterai" sebagai: "Cap tanda berupa gambar yang tercantum pada kertas atau terukir (terpateri dan sebagainya) pada kayu, besi, dan sebagainya; cap; tera; segel".[3] Kita sederhanakan mengenai pengertian meterai sebagai cap atau segel. 

Sedangkan yang dimaksud dengan bea meterai menurut id.wikipedia.org adalah: "Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di pengadilan. Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen".[4] 

Mengutip dari laman DJP, bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak.[5] Dengan kata lain, bea meterai adalah sejumlah pajak yang dikenakan terkait dengan cap atau segel resmi dari sebuah negara.

Sedangkan, yang dimaksud fungsi materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu. Jadi pada dasarnya, bea meterai adalah pajak atau objek pemasukan kas negara yang dihimpun dari dana masyarakat yang dikenakan terhadap dokumen tertentu.[6] Artinya, fungsi meterai adalah kutipan negara yang berbentuk pajak yang dibebankan pada dokumen tertentu.

Ketentuan Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai

Pasal 1 ayat (1) huruf "a" Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, berbunyi sebagai berikut: "Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan". Dengan demikian, jika dikaitkan dengan suatu surat gugatan, maka termasuklah sebagai "dokumen" sebagaimana dimaksud pada ketentuan itu.

Pada Bab II dengan titel "Objek, Tarif Dan Yang Terhutang Bea Meterai", khususnya Pasal 2 angka (1) huruf "a" Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai berbunyi sebagai berikut: "(1) Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk: a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata..." Dengan kata lain, Surat Gugatan adalah termasuk surat lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan mengenai perbuatan yang bersifat perdata.

Besaran Tarif Bea Meterai Pada Surat Gugatan

Pasal 3 Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai berbunyi sebagai berikut: "Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Materai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2". 

Sepengalaman penulis dalam berpraktik sebagai advokat, sampai saat artikel ini diposting, bea meterai yang digunakan dalam sebuah surat gugatan rata-rata adalah Rp. 6.000,- (enam ribu Rupiah). Dan meterai yang digunakan adalah meterai tempel. Selain itu ke depannya, mulai tahun 2021, Pemerintah akan menaikkan bea meterai menjadi sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu Rupiah). 

Apa akibatnya jika tidak atau kurang dalam membayar bea meterai? Hal dimaksud diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai yang bunyinya sebagai berikut: "(1). Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar; (2). Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian". 

Ketentuan Khusus Bagi Hakim, Panitera, Juru Sita Terkait Bea Meterai

Pada undang-undang tersebut, terdapat ketentuan khusus bagi Hakim, Panitera, dan Juru Sita di Pengadilan terkait dengan bea meterai. Adalah Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai berbunyi sebagai berikut: "Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan: a). menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; b). melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan; c). membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; d). memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya".

Terdapat konsekuensi yang diatur pada ayat selanjutnya yang berbunyi sebagai berikut (Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai): "Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Hal ini berarti dalam hal mereka memproses sebuah dokumen hukum yang wajib bermeterai akan tetapi tidak dilakukan atau besarannya kurang, maka terdapat setidaknya sanksi administratif yang menanti.
________________
Referensi:

1. "Formulasi Surat Gugatan", www.hukumindo.com, tanggal 22 April 2020, Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://www.hukumindo.com/2020/04/formulasi-surat-gugatan.html
2. Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai
3. "Meterai", kbbi.web.id., Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://kbbi.web.id/meterai 
4. "Bea Meterai", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Bea_meterai
5. "Bea Meterai: Fungsi & Cara Penggunaannya Pada Dokumen Anda", online-pajak.com., Dina Lathifa, 7 Desember 2019, Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/bea-materai
6. Ibid.

Kamis, 08 Oktober 2020

Alasan Permohonan Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com, dalam label Praktik Hukum, telah membahas mengenai "Sita Berdasarkan Permohonan", dan sedangkan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Alasan-alasan Permohonan Sita.

Seperti yang telah dijelaskan, penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan Tergugat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan yang bersifat ekseptional, harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat. Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar Penggugat dalam pengajuan sita menunjukan kepada Hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan.[1]

Menurut Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita adalah sebagai berikut:
  1. Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa Tergugat: a). Mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dan b). Hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung;[2]
  2. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif. Hal ini berarti a). Penggugat harus dapat menunjukan fakta tentang adanya langkah-langkah Tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama proses pemeriksaan berlangsung, dan b). Paling tidak Tergugat dapat menunjukan indikasi objektif tentang adanya daya upaya Tergugat untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari Gugatan;[3]
  3. Sedemikian ruapa eratnya isi gugatan dengan Penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dan Tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan kerugian kepada Penggugat. Dari penjelasan di atas, Penggugat tidak dibenarkan mengajukan alasan sita hanya berdasarkan kekhawatiran atau persangkaan secara subjektif tentang Penggelapan atau Pengasingan harta kekayaan yang akan dilakukan oleh Tergugat. Menurut Pasal 227 HIR dan Pasal 720 Rv, alasan itu baru objektif, apabila didukung fakta atau petunjuk yang nyata. Paling tidak, Penggugat dapat menjelaskan tentang adanya daya upaya Tergugat yang konkret untuk menghilangkan harta kekayaannya.[4]
Sepengalaman penulis sebagai Advokat praktik, terdapat perbedaan yang cukup menarik dalam tataran teori dan praktik. Pada tataran teori, secara hukum alasan sita mengacu kepada ketentuan Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, hal dimaksud secara umum mengacu kepada adanya kekhawatiran Tergugat akan menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, yang dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Pada tataran praktik, sering kali penulis dalam menyusun posita gugatan memakai redaksional terkait permohonan sita sebagai berikut:
"Bahwa, agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir), maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) terhadap harta tidak bergerak milik Tergugat berupa:......"
Redaksional posita atas permohonan sita di atas dalam praktinya tidak terdapat masalah, hanya saja jika ditelisik lebih lanjut tidak mengakomodasi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menjelaskannya? Karena di satu sisi tidak secara eksplisit atas permohonan sita dimaksud tidak mencantumkan alasan sita sebagaimana ketentuan Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv, sedangkan di sisi lain dalam praktik dikatakan redaksional permohonon sita hanya dengan menuliskan "agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir) maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita..." tidaklah menjadi masalah. 

Menurut salah satu kolega penulis yang tidak disebutkan namanya di sini, bahwa ketika seorang Penggugat atau Kuasa Hukumnya menuliskan alasan sita dalam salah satu posita gugatannya mengacu secara eksplisit pada ketentuan Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv adalah perihal formilnya. Sedangkan jika seseorang Penggugat atau Kuasa Hukumnya menuliskan alasan sita dalam salah satu posita gugatannya dengan redaksional "agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir) maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita..." adalah perihal materiilnya (akibat). 

Penggunaan kedua bentuk alasan sita dalam posita surat gugatan sebagaimana telah disinggung di atas adalah diperbolehkan, serta tidak menjadi masalah. Hal ini bagi penulis cukup menarik, dikarenakan penjelasan tersebut tidak terdapat dalam buku ahli dari M. Yahya Harahap, S.H. yang penulis kutip. Mungkin dapat dimaklumi, bahwa ahli dimaksud mempunyai latar belakang sebagai seorang Hakim, yang tentu saja berbeda posisi hukumnya dengan seorang Advokat.
__________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 Tahun 2010, Hal.: 289.
2. Ibid. Hal.: 289.
3. Ibid. Hal.: 289.
4. Ibid. Hal.: 289-290.

Japan Asks Its Citizens To Write Cellphone Passwords And Applications In Wills

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Singapore Oil King Defrauds Giant Bank ...